34 Eksistensi Kesultanan Melaka ini tersiar hingga mancanegara, diantaranya
Cina, India, Arab dan sekitar negara-negara Asia Tenggara dan beberapa negara Eropa. Kemudian Sultan Mahmud Syah I juga memperkuat kerjasama dengan
Kerajaan Cina disektor intern dan ekstern untuk kepentingan pemerintahannya. Tindakan Sultan Mahmud Syah I ini semata melanjutkan perjuangan
daripada buyutnya yang menjadi Sultan Melaka yakni Sultan Mansyur Syah. Kerjasama semakin harmonis antara Kesultanan Melaka dengan Kerajaan Cina
berlanjut dengan diadakan pernikahan antara Sultan Melaka dengan puteri-puteri dari Kerajaan Cina. Berjalannya waktu maka Sultan Mahmud Syah I menobatkan
sultan baru di Kerajaan Gasib, dimana Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Husin.
33
Tantangan dan masalah terus menghampiri Sultan Mahmud Syah I selama pemerintahan, sehingga Kesultanan Melaka mengalami fase kemerosotan
karena kedatangan bangsa asing, yakni bangsa Portugis. Mengenai kehadiran bangsa-bangsa asing di dunia Timur dapat terjadi karena masalah polarisasi antara
negara Barat dengan negara Timur Eropa dan Asia, sesungguhnya telah terulang untuk kedua kalinya yang terjadi pada masa kekhalifahan Islam, dimana pada saat
itu agama Islam telah menguasai Pantai Utara Afrika hingga ke Semenanjung Liberia sekitar tahun 711 M. Atas besarnya pengaruh agama Islam maka Portugis
dan Spanyol dan bagian negara Eropa lainnya berada di bawah kekuasaan agama Islam. Kejayaan agama Islam pada saat itu dibuktikan dengan adanya pusat-pusat
peradaban Islam di Cordova dan Granada dan Laut Tengah dan terdapat pula
33
O.K Nizami Jamil dkk, Sejarah Kerajaan Siak, cet.I, hal. 13.
35 pangkalan-pangkalan basis agama Islam di sekitar perairan Cordova, Granada
dan Laut Tengah.
34
Setelah bangsa Portugis datang ke Melaka untuk menguasai perdagangan internasional, bangsa lain yang hadir dan berambisi seperti, Belanda, Inggris,
Jepang juga hadir ke Melaka dalam rentan waktu yang berbeda-beda. Mengenai awal proses perjalanan Kerajaan Gasib menjadi kerajaan yang bercorak Islam kini
dapat di simpulkan pada abad ke VII-VIII, para pedagang Islam telah datang ke daerah Riau yang bertujuan untuk mencari komoditi dan sekaligus melakukan
Islamisasi namun belum mendapatkan respon yang signifikan karena saat itu di Riau masih kuat pengaruh agama Hindu-Budha. Berlanjut pada abad IX-XI M, di
Riau mengalami fase kemunduran dan terjadi vacuumnya aktifitas perdagangan, masuk pada abad ke XII, aktifitas perdagangan mulai ramai berdatangan para
pedagang Islam dari Arab, Persia, Marokko ke Riau, pada abad ini dipastikan agama Islam masuk dan tersebar pada abad ke XII di Riau. Setelah melewati abad
ke XII, pada abad ke XIII, eksistensi kerajaan yang kental dengan agama Budha melemah, adapun kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Sriwijaya, sehingga
setelah melemah hingga runtuhnya kejayaan kerajaan tersebut mulai muncul beberapa kerajaan yang bercorak Islam di Riau. Khususnya Kerajaan Siak-Gasib
muncul menjadi kerajaan bercorak Islam di bawah kuasa Sultan Ibrahim.
35
3. Keriwayatan Pendiri
Dewasa ini daerah Siak Sri Indrapura adalah sebuah kota yang ramai, maju dan hingga saat ini masih berdiri sebuah bangunan istana yang megah dan kokoh
34
Tim Penulisan Universitas Riau, Sejarah Riau, Masa Kolonialisme hingga Kemerdekaan RI, hal. 178.
35
Tim Penulisan Universitas Riau, Sejarah Riau, Masa Kolonialisme hingga Kemerdekaan RI, hal. 176.
36 yakni Istana Asserayah Hasyimiyah, Masjid Raya Syahabuddin, Komplek Makam
Pahlawan Nasional Sultan Syarif Kasim II, Balai Rung Sari.
36
Pada 292 tahun silam istana ini merupakan bukti bisu dalam kesaksian yang tegas bahwa di Siak Sri Indrapura telah berdiri sebuah kerajaan bahari yang
tangguh, dan memiliki armada kuat yang disegani di pesisir Timur Sumatera, dan Selat Malaka memilik perjalanan sangat panjang yang membutuhkan perjuangan
dalam melawan imperialisme bangsa Eropa. Kerjaan ini juga sebagai penerus kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu dari Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.
Adapun kerajaan yang berada di kota Siak Sri Indrapura yakni Kesultanan Siak Sri Indrapura yangberdiri pada tahun 1723 M.Adapun letaknya di bibir Sungai
Jantan yang berada di Kampung Gasib sebagai pusat Kerajaan Gasib.
37
Dari penjelasan singkat mengenai sejarah awal dari Kesultanan Siak Sri Indrapura tentu pembahasan akan mengenai kerajaan,pusat pemerintahan dan
istana, maka harus diketahui siapa aktor utamanya, bagaimanakah kepribadian, dan riwayatnya yang merupakan seorang putera mahkota dari zuriat Kesultanan
Johor-Riau bernama Sultan Mahmud Syah II 1685-1699 M, yang bernama Raja Kecik. Membahas mengenai asal usul dari sosok Raja Kecik sangatlah sulit
karena berbeda-beda persepsi ataupun pandangan mengenai waktu kelahiran dan mengenai zuriatnya.
Mengenai pandangan yang berbeda-beda tersebut, dapat difilter oleh penulis dari beberapa sumber yang sudah dikaji antara laindari buku Sejarah
Kerajaan Siak, yang ditulis oleh O.K Nizami Jamil dkk, berpendapat bahwa Raja
36
Lihat lampiran Gambar
37
O.K Nizami Djamil dkk, Sejarah Kerajaan Siak, hal. 6-8.
37 Kecik adalah seorang putera dari Sultan Mahmud Syah II dengan gelar Marhum
Mangkat di Julang, dan dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Cik Pong puteri dari Datuk Laksemana Johor. Pada saat Raja Kecik masih dalam kandungan
ibunya, ayahnya sudah terbunuh. Sebagai pengganti dari Sultan Mahmud Syah II adalah Datuk Bendahara Tun Habib dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah
sebagai Sultan Johor yang ke XI. Setelah menjadi Sultan Johor dan berkuasa, maka Sultan Abdul Jalil Riayat Syah melakukan pembersihan bagi seluruh
pengikut setia kepada Sultan Mahmud Syah II, diantaranya istri dari Sultan Mahmud Syah yaitu Cik Pong. Keadaan di Istana memanas setelah wafatnya
Sultan Mahmud Syah maka Datuk Laksemana Johor membawa anaknya Cik Pong untuk beranjak keluar dari Istana dan keluar dari Johor dan tidak ada seorangpun
yang mengetahui. Selama hijrahnya Cik Pong dari negeri Johor dalam pelariannya melahirkanseorang anak laki-laki dan diberi nama Raja Kecik, karena anak ini
merupakan keturanan dari Sultan Mahmud Syah II. Kelanjutan dari perjalanan Raja Kecik, kemudian Datuk Laksemana Johor menyerahkan Raja Kecik kepada
Temenggung Muar agar dirawat, selama tujuhtahun lamanya Temenggung Muar merawat Raja Kecik, hingga tercium oleh pemerintahan Johor dan tidak nyaman
karena orang-orang utusan Datuk Bendahara senantiasa mencari keberadaannya. Kemudian Temenggung Muar, menyerahkan Raja Kecik kepada seorang saudagar
Minangkabau yang terkenal aktifitas niaganya dengan Kerajaan Minangkabau dan Jambi bernama Nakhoda Malim. Nakhoda Halim meyerahkan Raja Kecik kepada
Yamtuan Sakti Pagaruyung dan dirawat serta diasuh hingga Raja Kecik berusia tujuh belas tahun. Pada akhirnya Raja Kecik tumbuh dewasa dan sangat ingin
merebut kembali tahta Kesultanan Johor.
38 Selanjutnya Raja Kecik memulai perjalanannpanjangnya dari satu negeri
ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Puteri Jamilan ibunda Yamtuan Sakti mengatakan kepada Raja Kecik bahwa lebih baik pergi ke Siak
dan Bengkalis untuk menuntut bela atas kematian ayahmu dan menaklukan Johor. Untuk melaksanakan cita-citanya, Raja Kecik mulai menghimpun dan mencari
beberapa dukungan dari Suku Minangkabau, Suku Melayu di Palembang, Suku Melayu Jambi, Suku Bintan, Suku Bugis, Suku Melayu di pesisir Selat Melaka
dan Suku Laut di Pulau-pulau serta menjalin hubungan dengan orang Portugis agar pihak Portugis tidak berpihak kemana-mana, dan ketika Raja Kecik ingin
menyerang ke Panchor,saat itu sebagai ibukota dari Kesultanan Johor. Pada bulan maret yang bertepatan pada tahun 1718 M, perahu-perahu angkatan perang Raja
Kecik menyusuri sungai Johor untuk menyerang Panchor. Sesampainya di Johor pasukan Raja Kecik sudah menunggu dan segera mengejar rombonganYamtuan
Muda Johor.
38
Peristiwa pengejaran ini berlangsung selama kurang lebih 20 hari pada akhirnya tepat pada tanggal 21 Maret Tahun 1718 M, akhirnya Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah kalah dan menyerah.Raja Kecik dengan ikhlas memaafkan dan tidak ada sikap kasar sama sekali kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, bahkan
Raja Kecik memberikan izin kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah untuk tinggal di Johor. Kemudian dalam waktu itu pula Raja Kecikdinobatkan sebagai Sultan
Johor XII dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Menurut versi Mohd Yusouff Hashim telah terjadi perpecahan didalam
pemerintahan Kesultanan Johor, akibatnya sangat berdampak kepada rakyatnya
38
Haji Buyung Bin Adil, Sejarah Johor, 1980, Kuala Lumpur : Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Kemeterian Pelajaran Malaysia, cet: II, hal. 94. Lihat juga Raja Ali Al Haji,
Tuhfat al Nafis Sejarah Melayu dan Bugis, Singgapura : Malaysia Publication LTD.