1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gurupendidik dianggap sebagai orang tua kedua bagi anak-anak, atau sebagai pengganti orang tua mereka di rumah. Pendidik yang selanjutnya
penulis sebutkan sebagai guru hendaknya mampu menempatkan diri mereka sebagai orang tua, temansahabat bagi anak-anak didik mereka. Sebuah
kesadaran yang belum semua guru mampu menerapkannya. Sebuah kesalahan paradigma yang mengatakan bahwa anak didik
ibarat sebuah wadah kosong yang siap untuk diisi sewaktu-waktu. Peran guru hanyalah memberikan dan menularkan ilmu yang mereka miliki, tanpa
melibatkan peran serta siswa dalam proses pembelajaran. Mereka kerap melupakan bahwa anak-anak didik mereka juga memiliki perasaan,
keterbatasan dan perbedaan daya fikir, dan faktor-faktor lainnya yang dapat menghambat proses pembelajaran atau sebaliknya mampu membantu proses
pembelajaran jika guru dapat menyikapinya dengan tepat. Sebagai pendidik atau pengajar, guru merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Guru harus memaksimalkan segala upaya yang dilakukan dalam pembelajaran agar para peserta didik mau
belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Proses belajar mengajar melibatkan interaksi antar guru dan peserta
didik secara terarah dan terencana. Guru memerlukan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dalam proses belajar mengajar
tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang guru harus berusaha menempatkan diri tidak hanya sebagai media penyampai pesan dan informasi
pengetahuan, tetapi juga sebagai motivator, mediator, fasilitator dan sebagainya.
Peran guru terhadap tumbuh kembang anak, baik itu kecerdasan kognitif, belajar akan norma-norma kesopanan dalam lingkungan sekolah dan
mayarakat penting diberikan kepada diri setiap peserta didik. Mereka harus
dipersiapkan untuk terjun langsung ke dalam kehidupan bermasyarakat sebagai salah salah satu wujud dari tujuan pendidikan.
Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan informal, non-formal, dan formal di sekolah dan
luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar di
kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.
1
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai
tindak lanjut dari tujuan tersebut, maka diadakan program pendidikan nasional. Sehubungan dengan hal ini pemerintah telah mengambil
kebijaksanaan-kebijaksanaan, di antaranya mengenai pelaksanaan pendidikan dewasa ini yang lebih diorientasikan pada peningkatan mutu, khususnya
untuk memacu penguasaan pengetahuan dan teknologi yang perlu ditingkatkan.
Paparan di atas, secara eksplisit tertera dalam UU RI No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa,
bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah melaksanakan usaha dan upaya dengan melaksanakan berbagai perbaikan seperti:
melengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan kualitas guru dan perbaikan kurikulum. Pada bidang kurikulum, pemerintah telah melakukan perubahan
yang mendasar dengan memberlakukan pendekatan kurikulum berbasis kompetensi.
1
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. II, h.11.
2
UU RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003,
h.12.
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini menempatkan posisi pendidikan sebagai penentu bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi suatu negara di masa yang akan datang. Untuk menunjang perkembangan IPTEK diperlukan penguasaan
terhadap ilmu dasar, salah satunya matematika. Perkembangan IPTEK tidak hanya menuntut kemampuan menerapkan matematika tetapi juga membentuk
kemampuan, penalaran untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Oleh karena itu, penguasaan suatu konsep matematika sangat penting dalam
mendukung hal tersebut. Tak diragukan lagi bahwa matematika merupakan salah satu puncak
kegemilangan intelektual. Di samping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika merupakan bahasa, proses dan
teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan. Perhitungan matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial
dan ekonomi. Di samping itu pemikiran matematis memberikan warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Bahkan jatuh bangun
suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuannya di bidang matematika. Akhirnya matematika merupakan salah satu kekuatan
utama pembentuk konsepsi tentang alam, serta hakekat dan tujuan manusia dalam berkehidupan.
3
Jadi dapat disimpulkan bahwa matematika adalah pelajaran yang penting dikuasai setiap siswa agar proses bernalar dapat terus diasah, karena
yang terpenting dari pelajaran matematika adalah proses bernalar, berlogika dan berfikir terstruktur, serta melatih analisis. Dengan dikuasainya ilmu
matematika yang mengandalkan penalaran dan logika maka siswa mampu menjalankan kehidupannya kelak dengan proses berfikir yang lebih terarah
pula. Namun pada kenyataannya, pentingnya diajarkan matematika dengan
proses bernalar tidak sejalan dengan kenyataan di sekolah. Pengalaman penulis sebagai pengajar di salah satu bimbingan belajar menunjukkan bahwa
sebagian besar peserta didik di bimbingan belajar tersebut mengatakan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang dianggap sebagai momok di sekolah,
3
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, h. 172
baik dari tingkat dasar hingga tingkat menengah atas, matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dipelajari. Matematika seringkali dianggap
sebagai pelajaran yang membosankan, tidak bermanfaat, menegangkan dan citra-citra buruk lainnya. Tidak salah memang jika melihat itu dari sisi proses
pembelajaran atau peran guru selama ini. Metode yang selama ini digunakan guru kerapkali dianggap membosankan bagi peserta didik. Mengajar tak
ubahnya proses “mendongeng”. Guru menjelaskan di depan kelas, memberikan rumus, contoh soal, dan menugaskan siswa untuk mengerjakan
soal-soal. Sebuah proses monoton dan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Salah satu hal yang membuat siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang membosankan karena matematika adalah pelajaran yang
hanya menuliskan angka-angka dan menghitungnya berdasarkan rumus yang telah diajarkan guru. Siswa tidak mengerti dari mana rumus itu berasal, siswa
kurang diajak terlibat langsung untuk menemukan jawaban menurut pola pikir dan dari pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelumnya.
Kurangnya penguasaan materi matematika bagi siswa diantaranya disebabkan karena siswa terbiasa menghafal suatu rumus tanpa mengetahui
bagaimana pembentukan rumus itu berlangsung. Hal ini menyebabkan siswa sering lupa dengan apa yang telah dipelajari dan siswa kurang dapat
memahami atau menarik kesimpulan dari informasi yang telah diberikan guru. Siswa juga tidak pernah diberi pengalaman langsung atau contoh
konkret, sehingga memberikan kesan yang membosankan. Selain itu, terdapat guru yang kurang berhasil menyampaikan konsep atau materi karena
kurangnya penguasaan metode pembelajaran. Masih rendahnya penguasaan terhadap pemahaman konsep matematika ditandai oleh nilai prestasi
matematika siswa yang masih rendah. Sebagian siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran ilmu
pasti yang membosankan dan sangat sulit untuk dipelajari karena dianggap sebagai pelajaran yang hanya berisi rumus-rumus, angka-angka, dan untuk
menguasainya harus memiliki hapalan yang kuat. Anggapan yang tidak
sepenuhnya salah, misalnya anggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang berisi rumus-rumus. Memang benar bahwa matematika identik dengan
rumus, namun yang perlu diajakan bahwa rumus-rumus itu tidak datang dengan sendirinya, namun ada pendekatan-pendekatan yang digunakan
sehingga didapatkan rumus-rumus yang ada saat ini. Para pendidik cenderung tidak mengikutsertakan peserta didik dalam mencari suatu jawaban dari
permasalahan yang ada dengan menggunakan penalaran, melainkan dengan menggunakan rumus yang ada. Sehingga pada saat anak lupa dengan rumus
yang sudah ia hafal, maka ia tidak bisa mengerjakan soal tersebut. Padahal yang terpenting dalam menguasai matematika adalah proses bernalar.
Penekanan hafalan pada pembelajaran matematika tradisional merupakan sesuatu yang dianggap paling buruk dan harus disingkirkan.
Namun kita juga tidak boleh melupakan bahwa proses dan keahlian menghafal juga harus diperhatikan oleh para guru. Perlu diingat bahwa dalam
menghadapi ujian, siswa tidak diperkenankan menggunakan kalkulator dan alat hitung lainnya. Jadi pemahaman akan suatu permasalahan dengan
keahlian menghafal tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pemodelan Matematika,
Universitas Indonesia UI, Prof Djati Kerami mengemukakan, cara memperkenalkan pelajaran matematika kepada anak-anak harus secara alami,
agar anak tidak merasa takut terlebih dahulu, sehingga mereka diharapkan tertarik kepada pelajaran metematika. Ia mencontohkan bagaimana seorang
anak diperkenalkan lingkungan dengan beberapa pohon yang ada di sekelilingnya. Biarkan anak tersebut menghitung pohon tersebut, tanpa
disadari mereka telah belajar matematika. Belajar matematika harus didasari dengan rasa senang,
dengan begitu siswa akan “memiliki” matematika, dan proses belajar mengajar akan lebih kondusif sehingga pada akhirnya tujuan
pembelajaran matematika dapat tercapai. Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar harus dapat memahami tujuan dari proses
belajar yang yang dilakukan. Secara umum, tujuan dari belajar adalah agar
ilmu yang didapatkan dari proses belajar dapat dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari, atau dapat digunakan sebagai bekal pada pendidikan selanjutnya.
Sampai saat ini masalah-masalah pendidikan tentang pelajaran matematika masih menjadi beban berat bagi guru dan siswa, lemahnya
intensitas pemahaman terhadap suatu materi membuat siswa mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal dalam pelajaran matematika. Selama ini
siswa kurang memahami konsep dari pelajaran matematika yang diajarkan guru, bahkan tak jarang mereka tidak mengerti untuk apa mereka menghitung
dengan rumus yang telah diberikan oleh guru. Prestasi siswa Indonesia pada mata pelajaran matematika masih belum
memuaskan. Data UNESCO berdasarkan penelitian Trends in International Mathematics and Science Study TIMMS pada tahun 1999 menempatkan
Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 38 negara pada mata pelajaran matematika, masih di bawah Malaysia dan Singapura.
4
Sedangkan berdasarkan penelitian TIMMS yang dilakukan oleh Frederick K. S. Leung pada tahun 2003, jumlah jam pelajaran matematika di
Indonesia tidak sebanding dengan prestasi yang diraih. “Jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak
dibanding kedua negara tersebut. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika,
sementara siswa di Malaysia hanya mendapat 120 jam dan 112 jam di Singapura. Namun, waktu yang dihabiskan siswa Indonesia tidak
sebanding dengan prestasi yang diraih. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya menembus skor rata-rata 411, 11 angka lebih tinggi
dari rata-rata rendah dan masih kurang 64 poin lagi untuk menembus rata-rata menengah. Sementara Malaysia dan Singapura masing-
masing mencapai 508 dan 605.
5
Lebih lanjut, dari 49 negara yang ikut serta dalam TIMSS 2007, prestasi siswa Indonesia dalam matematika berada di urutan ke-36, dengan
skor rata-rata 405 skor rata-rata internasional = 500. Dalam pencapaian prestasi belajar matematika, lima urutan terbaik dunia diduduki oleh Taiwan
4
“Rendah, Prestasi Matematika Indonesia,” artikel diakses pada 7 Mei 2011 dari http:www.topix.comforumworldmalaysiaTPKMP1F380BEBFJGS.
5
“Rendah, Prestasi Matematika Indonesia …”
diikuti oleh Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Jepang. Secara umum, hasil TIMSS 2007 tersebut menunjukkan bahwa siswa kita
mempunyai pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk dapat memecahkan masalah rutin manipulasi bentuk, memilih strategi, dan
sebagainya apalagi yang non-rutin penalaran intuitif dan induktif berdasarkan pola dan kereguleran.
6
Hasil penelitian dari TIMSS ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa di Indonesia masih rendah. Jumlah jam pelajaran
tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai. Ini memberi indikasi ada yang salah dalam sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia. Guru selaku
pendidik memliki kewajiban untuk bisa mengangkat prestasi siswa di kelas dengan metode, atapun media yang bisa memberikan konsep yang benar
dalam proses belajar matematika. Matematika merupakan ilmu yang berhubungan dengan ide-ide atau
konsep abstrak yang tersusun secara hierarki dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan berurutan. Kesulitan
memahami matematika merupakan faktor utama yang menyebabkan siswa tidak menyukai matematika, yang pada dasarnya siswa bukan paham akan
konsep tetapi menghapal rumus-rumus pada matematika. Jika konsep-konsep dasar diterima siswa secara salah, maka akan sulit untuk memperbaikinya.
Keberhasilan proses belajar matematika dapat diukur dari keberhasilan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Keberhasilan
ini dapat dilihat dari tingkat keberhasilan pemahaman, penguasaan materi dan hasil belajar siswa, terutama pada penguasaan konsep yang merupakan dasar
untuk belajar matematika di tingkat selanjutnya. Semakin tinggi pemahaman dan penguasaan materi serta prestasi belajar maka semakin tinggi pula tingkat
keberhasilan pembelajaran. Selain dari kemampuan siswa menerjemahkan informasi yang ia
dapatkan di sekolah, yang terpenting adalah peran guru dalam sistem
6
“Rendah, Prestasi Matematika Indonesia …”
pembelajaran, terutama peningkatan kualitas belajar mengajar. Guru tidak dapat menyalahkan sepenuhnya output dari hasil pembelajaran pada usaha
siswa dalam belajar, karena dalam proses belajar terdiri dari rangkaian peristiwa yang sangat kompleks, bahkan peran guru sangat besar untuk
mencapai hasil belajar yang maksimal. Proses belajar mengajar dipengaruhi oleh beberapa komponen pengajaran yaitu: guru, prasaranasarana termasuk
media pengajaran, kurikulum, metode pengajaran, materi pengajaran, alat evaluasi, lingkungan atau masyarakat setempat.
Khusus untuk pendidikan di tingkat dasar banyak sekali kesalahan konsep yang disampaikan oleh guru, hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan guru terhadap bidang studi matematika. Guru sekolah dasar adalah guru borongan, artinya bahwa guru sekolah dasar harus
menguasai semua mata pelajaran. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas
guru SD
adalah dengan
memberlakukannya aturan penyetaraan S1 bagi guru-guru SD.
7
Upaya pemerintah dalam memajukan pembelajaran matematika memang perlu dilakukan. Guru yang sudah mengajar di tingkat dasar
sebelum diberlakukannya aturan penyetaraan gelar pendidikan diberikan kesempatan untuk melanjutkan studinya, namun guru tersebut juga ditantang
untuk mengupayakan suatu cara agar matematika yang selama ini menjadi momok bagi siswa dapat disajikan dengan menarik dan dapat memberikan
konsep yang benar kepada siswa. Artinya pendidikan guru sebagai pendidik memang perlu diperhatikan dan ditingkatkan, namun kreatifitas guru dalam
mengajar jauh lebih penting agar materi yang ingin disampaikan kepada peserta didik dapat diberikan dengan baik dan tentunya menarik.
Salah satu cara yang penulis coba terapkan dalam membawakan matematika ke dalam “dunia siswa” adalah dengan menggunakan alat peraga.
Dengan alat peraga, siswa diajak untuk terlibat langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa secara mandiri diajak untuk memecahkan suatu
permasalahan dan soal-soal.
7
Gelar Dwirahayu, Penerapan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Matematika di Madrasah
– Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar: Sebuah Antologi, Jakarta: PIC UIN, 2007, h. 84
–85.
Untuk menanamkan secara baik pemahaman konsep-konsep matematika diperlukan kekongkritan, karena beberapa konsep-konsep
matematika memiliki sifat yang abstrak, maka diperlukan suatu benda-benda yang menjadi perantara atau alat peraga yang berfungsi untuk
mengkongkritkan, sehingga fakta-faktanya menjadi jelas dan mudah diterima siswa.
Dengan menggunakan alat peraga, guru dapat memberikan kesamaan dalam pengamatan. Pengamatan seseorang terhadap sesuatu biasanya
berbeda-beda, tergantung pada pengalamannya masing-masing. Dengan bantuan alat peraga, guru dapat memberikan persepsi yang sama terhadap
suatu benda atau peristiwa tertentu kepada para siswa. Kemudian persepsi yang sama akan menimbulkan pengertian dan pengalaman yang sama.
Dengan alat peraga, guru juga dapat mengatasi keterbatasan waktu, tempat dan tenaga. Dan yang terpenting alat peraga juga dapat meningkatkan
dan mengarahkan perhatian siswa sehingga dapat menimbulkam motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan
menanamkan konsep yang benar kepada siswa. “Menurut Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan
mengalami, dan dengan mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya”.
8
Alat peraga sebagai media pendidikan diharapkan dapat mengambil peran itu.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut dalam penelitian yang berjudul
“Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Pada Materi Bilangan ”.
B. Identifikasi Masalah