5.2. Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik
Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik merupakan arahan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan tentang
kegiatan pengelolaan sungai yang tepat. Kebijakan ini disusun berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat partisipasinya dalam pengelolaan
sungai. Kajian tingkat partisipasi masyarakat dilakukan dengan skala
perbandingan komparatif yaitu dengan membagi atas tiga kategori tingkat partisipasi yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penentuan tingkat partisipasi
berdasarkan jawaban responden pada kuesioner yang diberikan. Kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat menggambarkan distribusi setiap parameter yang
ditinjau dan menunjukkan karakteristik pribadi yang dominan terdapat pada kelompok masyarakat. Masyarakat yang menjadi responden adalah pemilik lahan
dan pengelola lahan. Selanjutnya pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat dianalisis
dengan metode neural network yang terbagi atas tiga tahapan yaitu tahapan training, validasi dan aplikasi. Tahapan training adalah tahapan penyusunan
model dengan menggunakan sebagian data dari masyarakat. Tahapan ini merupakan proses iterasi dan model dapat diterima jika akurasinya mendekati
100. Sebagian data digunakan dalam proses validasi untuk melihat tingkat akurasi dari model. Model neural network yang menunjukkan akurasi mendekati
100 dapat dilanjutkan pada tahapan aplikasi. Tahapan aplikasi adalah kegiatan simulasi parameter sosial ekonomi
masyarakat yang dinaikkan atau diturunkan, dan jika terjadi perubahan terhadap tingkat partisipasinya maka dapat dinilai bahwa parameter tersebut berpengaruh
terhadap partisipasi masyarakat. Diagram alir penyusunan model pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap partisipasinya diuraikan pada
Gambar 32.
Gambar 32. Diagram alir analisis neural network Interpretasi hasil aplikasi dibagi berdasarkan prosentase sampel yang
menunjukkan adanya pengaruh. Jika prosentasenya kecil, maka tingkat pengaruhnya dinilai kecil, demikian pula sebaliknya. Variabel yang menunjukkan
pengaruh besar terhadap partisipasi masyarakat menjadi rujukan dalam penentuan arahan kebijakan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sungai. Error 0.05
Data Partisipasi Masyarakat Data kondisi sosial ekonomi
masyarakat
Training
Ya Validasi
Akurasi 95 Ya
Tidak Mulai
Aplikasi Tidak
Interpretasi
Selesai
Kegiatan strategis yang dapat mempengaruhi implementasi model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik dapat diperoleh
berdasarkan analisis AHP dan analisis kegiatan strategis dengan metode Bayes. Analisis AHP diawali dengan kegiatan pengumpulan data yaitu identifikasi
kriteria pada faktor, stakeholder, program dan skenario. Identifikasi ini dilakukan dalam focus group discussion bersama responden. Berdasarkan hasil identifikasi
tersebut dilakukan penyusunan struktur hirarki AHP yang merupakan dasar dalam pembuatan kuesioner. Kuesioner dibagikan pada pakar untuk menilai
perbandingan berpasangan antar kriteria pada setiap level. Hasil pengisian kuesioner oleh pakar dimasukkan dalam matriks pendapat
individu untuk selanjutnya dilakukan perhitungan eigen, indeks consistensi dan consistensi rasio. Pemeriksaan nilai consistensi rasio dilakukan untuk melihat
apakah pendapat pakar dapat dinilai valid atau tidak. Nilai CR harus memenuhi syarat yang disajikan pada Tabel 5, dan jika syarat ini tidak dipenuhi maka
jawaban pakar tidak dapat dimasukkan dalam penggabungan pendapat responden. Hasil matriks penggabungan pendapat responden dihitung nilai CRnya
untuk menilai validitas pendapat pakar. Selanjutnya dilakukan perhitungan eigen untuk memperoleh bobot setiap kriteria. Kriteria yang memiliki bobot tertinggi
menunjukkan kriteria yang prioritas diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Uraian tentang bagan alir kegiatan analisis AHP
disajikan pada Gambar 33. Metode Bayes dilakukan untuk menilai kegiatan pemerintah daerah yang
strategis dalam pelaksanaan pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Adapun tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- Mengidentifikasi kegiatan pemerintah daerah yang terkait dengan kegiatan pengelolaan sungai secara ekohidrolik.
- Menentukan nilai skoring untuk setiap alternatif. Menghitung hasil kali antaran skoring dengan bobot setiap kriteria
hasil dari AHP. - Menyusun matriks hubungan antara alternatif dan kriteria.
- Menjumlahkan nilai alternatif dan tentukan peringkat dari setiap alternatif.
Gambar 33. Bagan alir analisis AHP Mulai
Identifikasi kriteria pada setiap level
Penyusunan struktur AHP
Struktur AHP
Pembuatan dan pengisian kuesioner
Matriks pendapat individu
Hitung CR
CR memenuhi syarat
Ya Tidak
Jawaban pakar tidak
valid
Matriks penggabungan pendapat
Hitung CR
CR memenuhi syarat
Tidak
Jawaban pakar tidak
valid
Ya Hitung bobot kriteria
Bobot kriteria Selesai
Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik yang menghasilkan arahan bagi pemerintah daerah dalam penerapan konsep
ekohidrolik disusun atas lima tahapan. Secara detail model kebijakan tersebut diuraikan tahapannya dalam bagan alir pada Gambar 34.
Gambar 34. Disain Kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada konsep ekohidrolik.
Mulai
Data sosek masyarakat
Data partisipasi masyarakat
Identifikasi kriteria pada
setiap level
Analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat
Analisis tingkat partisipasi masyarakat
Analisis AHP
Tingkat partisipasi masyarakat
Distribusi kondisi sosek masyarakat
Analisis faktor sosial ekonomi yang paling
berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sungai
Faktor sosial ekonomi yang paling berpengaruh
terhadap partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sungai
Bobot
Metode Bayes
Kegiatan pemda
Kegiatan strategis yang mendukung pengelolaan
sungai dengan ekohidrolik
Selesai
Pada pengembangan kebijakan pengelolaan sungai, kondisi masyarakat merupakan fokus kajian. Sedang kemampuan pemerintah daerah sebagai salah
satu stakeholder tidak diperhitungkan. Kemampuan tersebut terkait dengan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki, teknologi serta keuangan
daerah. Selain itu, model ini juga tidak memberikan arahan tentang upaya manajemen operasional dalam implementasinya.
Regulasi yang memberikan kepastian hukum bagi pemerintah daerah dan masyarakat juga hendaknya diperhitungkan dalam model kebijakan. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diuraikan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung
setempat, atau sempadan sungai memiliki fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup dan sungai. Namun demikian, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa pada umumnya bantaran sungai dimiliki oleh masyarakat dan dijadikan sebagai kawasan budidaya. Olehnya itu, maka perlu adanya kajian
tentang kebijakan pemanfaatan ruang khususnya pada daerah sempadan sungai.
5.3.Penerapan Model Pengelolaan Sungai Berbasis pada Konsep Ekohidrolik di Sungai Lawo Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan.
Model pengelolaan sungai berbasis konsep ekohidrolik yang terbagi atas lima analisis selanjutnya diterapkan pada Sungai Lawo Kabupaten Soppeng
Provinsi Sulawesi Selatan. Kelima tahapan analisis tersebut diuraikan di bawah ini.
5.3.1. Analisis Hidrologi
Kondisi hidrologi yang terkait dengan pengelolaan sungai adalah data frekuensi kejadian hujan. Data curah hujan harian yang digunakan pada Sungai
Lawo adalah data selama kurun waktu 29 tahun yaitu antara tahun 1980 hingga tahun 2009 dari Stasiun pengamat Lapajung Lampiran 1. Hasil analisis curah
hujan harian maksimum untuk setiap tahun disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Curah hujan harian maksimum pada Daerah Aliran Sungai Lawo Tahun
Hujan harian maks mm
Tahun Hujan harian maks
mm 1980
85 1995
57 1981
80 1996
139 1982
73 1997
135 1983
73 1998
136 1984
66 1999
112 1985
109 2000
61 1986
68 2001
94 1987
87 2002
115 1988
162 2003
146 1989
83 2004
85 1990
70 2005
82 1991
62 2006
100 1992
87 2007
110 1993
83 2008
127 1994
58 Sumber : PSDA Prov. Sul Sel.
Curah hujan harian maksimum yang terjadi pada daerah aliran sungai Lawo bervariasi antara 57 mm hingga 162 mm. Nilai curah hujan tersebut
selanjutnya dihitung probabilitasnya dalam berbagai periode ulang. Dalam kajian ini dilakukan analisis probabilitas dengan menggunakan metode Gumbell dan
metode Log Pearson diperoleh curah hujan harian untuk berbagai periode ulang seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Probabilitas curah hujan pada Sungai Lawo Periode Ulang
tahun Curah hujan harian maks mm
Gumbell Log Pearson
2 90.232
90.557 5
119.985 116.228
10 139.749
133.119 20
158.549 146.797
25 164.554
154.149 50
183.001 169.646
Berdasarkan hasil perhitungan chi kuadrat, maka kedua data tersebut terdistribusi dengan normal, sehingga pemilihan data yang digunakan adalah data
curah hujan harian terbesar. Dalam kajian digunakan hasil dari metode Gumbell. Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan durasi dan periode ulang tertentu
diuraikan dalam kurva Intensity Duration Frequency IDF dan digunakan dalam perhitungan debit maksimum. Nilai intensitas hujan dianalisis dengan metode Van
Breen dengan persamaan Talbot. Kurva IDF disajikan dalam Gambar 35.
Gambar 35. Kurva intensitas hujan di Sungai Lawo Berdasarkan kurva IDF tersebut pula diperoleh intensitas hujan dalam
periode satu jam untuk berbagai periode. Nilai intensitas hujan pada periode ulang tertentu dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan debit maksimum
pada Sungai Lawo. Hasil perhitungan intensitas hujan dan hujan efektif ditampilkan pada Tabel 21.
Tabel 21. Intensitas hujan pada Daerah Aliran Sungai Lawo Periode Ulang
tahun Intensitas Hujan
mmjam Hujan efektif
mmjam 2
56.035 42.03
5 67.698
50.77 10
74.361 55.77
20 80.051
60.04 25
81.752 61.31
50 86.665
65.00 Dalam analisis debit banjir, lokasi penelitian dibagi atas 3 bagian lokasi
yaitu Seppang dan Lawo ditentukan sepanjang 6 400 meter Sta 000 hingga Sta 6 400, lokasi Cenrana, Paowe dan Talumae sepanjang 5 000 meter Sta 6 400
hingga Sta 11 400 sedang lokasi Ganra dan Bakke sepanjang 5 000 meter Sta 11 400 hingga Sta 16 400Lampiran 2.
Hasil perhitungan analisis hidrograf Nakayashu pada ketiga lokasi untuk periode ulang 50 tahun disajikan pada Gambar 36. Hasil analisis hidrograf
Nakayashu menunjukkan bahwa waktu yang digunakan dari permulaan hujan hingga terjadinya banjir puncak adalah 4 jam pada daerah Seppang-Lawo dan
daerah Cenrana-Paowe-Talumae. Debit puncak pada daerah pertama adalah sebesar 425.432 m
3
s sedang pada daerah kedua adalah sebesar 433.795 m
3
s. Pada daerah Ganra-Bakke puncak banjir terjadi pada jam ke-5 dengan debit
puncak sebesar 441.692 m
3
s
Gambar 36. Hidrograf Nakayashu pada Sungai Lawo Berdasarkan hidrograf tersebut, maka diperoleh debit maksimum yang
mungkin terjadi pada Sungai Lawo pada periode ulang tertentu pada ketiga wilayah. Perhitungan debit maksimum menunjukkan bahwa semakin ke hilir,
debit maksimum semakin besar. Hal ini disebabkan karena adanya akumulasi aliran sungai. Hasil perhitungan debit maksimum untuk ketiga wilayah
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Debit maksimum Sungai Lawo Periode
tahun Qmax m
3
s Seppang - Lawo
Cenrana-Paowe- Talumae
Ganra - Bakke 2
256.326 257.458
295.549 5
320.418 279.918
322.612 10
359.269 366.255
362.496 20
393.876 395.121
391.820 25
404.493 412.358
409.150 50
425.432 433.705
441.692 Tabel 22 menunjukkan bahwa pada Daerah Seppang dan Lawo, sungai
Lawo memiliki debit maksimum sebesar 256.32 m
3
s sekali dalam dua tahun. Sedang pada Cenrana-Paowe dan Talumae debit maksimum yang mungkin terjadi
pada periode tersebut sebesar 257.48 m
3
s dan pada Ganra dan Bakke debit tersebut sebesar 295.55 m
3
5.3.2. Analisis Hidrolika
s. Debit yang lebih besar akan memberikan kemungkinan banjir yang lebih besar pula.
Analisis hidrolika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Sebagai saluran terbuka,
maka sungai yang memiliki penampang alami diidealisasikan dengan bentuk trapesium. Hasil pengukuran lapangan menujukkan variasi karakteristik
penampang sungai pada daerah hulu, tengah dan daerah hilir perhitungan pada lampiran 2 sebagaimana disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Lebar Sungai Lawo pada berbagai lokasi Lokasi
Lebar dasar meter Lebar Atas meter
Max Min
Rata-rata Max
Min Rata-rata
Seppang 29.6 12.8
20.9 49.6 26.1 35.7
Lawo 31.2 6.6
17.9 49.1 14.4 30.2
Cenrana 48.0 10.3
28.0 58.2 31.0 41.4
Paowe 37.2 11.2
21.2 48.3 21.1 32.0
Talumae 44.0 5.9
24.1 52.0 13.2 33.3
Ganra 26.8 2.2
18.2 53.9 7.4 24.6
Bakke 16.0 11.2
13.7 53.9 30.3 36.0
Tabel 23 menunjukkan bahwa lebar sungai pada lokasi Seppang yang berada pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan lebar sungai pada
lokasi Lawo. Hal ini disebabkan karena pada daerah Seppang nampak terjadi erosi tebing yang tinggi sedang pada daerah Lawo terjadi banyak tumpukan sediman
batuan sehingga lebar sungai menyempit. Pada daerah Cenrana sungai nampak melebar disebabkan karena adanya kegiatan pelebaran alur sungai akibat adanya
penambangan batuan. Pada lokasi Paowe banyak terjadi penimbunan sedimen, sedang di Talumae terjadi pengikisan akibat erosi tebing tanpa adanya tindakan
perkuatan sehingga terjadi pelebaran sungai. Di daerah Ganra dan Bakke sungai semakin menyempit akibat tingginya sedimentasi.
Kondisi hidrolika lain yang juga mempengaruhi kapasitas sungai adalah kedalaman sungai. Tabel 24 menunjukkan bahwa kedalaman sungai bervariasi
antara 10 cm hingga 4.5 meter. Data tersebut juga menunjukkan bahwa daerah hulu dan daerah tengah memnunjukkan kedalaman rata-rata dibawah 2 meter
sedang di daerah hilir sungai semakin dalam. Tabel 24. Kedalaman Sungai Lawo
Lokasi Kedalaman meter
Max Min
Rata-rata Seppang
1.9 0.2
0.7 Lawo
1.5 0.2
0.6 Cenrana
2.6 0.1
0.9 Paowe
1.8 0.1
0.7 Talumae
3.7 0.2
1.6 Ganra
4.5 0.4
2.0 Bakke
3.4 0.9
2.1 Karakteristik hidrolika sungai yang terdiri atas lebar dan kedalaman sungai
memberikan pengaruh terhadap luas penampang sungai. Gambaran luas penampang sungai untuk setiap lokasi disajikan pada Gambar 37.
Gambar 37. Luas penampang Sungai Lawo Gambar 37 menunjukkan bahwa pada ketujuh daerah pengamatan luas
penampang maksimum dan minimum sangat besar perbedaannya. Hal ini menunjukkan ketidakteraturan sungai sangat besar. Kondisi sungai pada daerah
Talumae, Ganra dan Bakke memiliki luas penampang rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan dengan daera Seppang, Lawo, Cenrana dan Paowe.
Karakteristik hidrolika lain adalah kemiringan sungai atau gradien sungai. Karakteristik ini berpengaruh pada kecepatan aliran. Dasar sungai dari hulu ke
hilir memperlihatkan perbedaan tinggi elevasi, dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan
gambaran berapa presen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air Waryono, 2008.
Daerah dengan kemiringan memanjang yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kecepatan yang tinggi dan memungkinkan terjadinya erosi tebing.
Sedang pada daerah dengan kemiringan kecil akan menyebabkan terjadinya sedimentasi. Kemiringan sungai pada beberapa lokasi diuraikan pada Gambar 38.
Gambar 38. Kemiringan memanjang pada Sungai Lawo Gambar 38 menunjukkan bahwa kemiringan sungai semakin ke hilir
semakin kecil. Bahkan pada daerah Ganra dan Bakke kemiringan sungai sangat kecil sehingga menunjukkan terjadinya sedimentasi yang tinggi. Kemiringan yang
kecil menunjukkan pengaliran air juga lambat dan jika terjadi peningkatan debit air yang cukup besar, maka akan menyebabkan terjadinya banjir.
Sungai sebagai saluran alamiah memiliki kondisi kekasaran dinding yang tidak seragam, sedang variabel ini mempengaruhi kecepatan air di sungai. Nilai
koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan,
urbanisasi, erosi dan sedimentasi Purwanto, 2002. Koefisien kekasaran sungai juga biasa disebutkan sebagai koefisien hambatan. Pada saluran alamiah,
koefisien hambatan merupakan gabungan antara koefisien hambatan bentuk dasar saluran, bentuk tebing, bentuk memanjang saluran dan struktur vegetasi
Maryono, 2005. Kondisi kekasaran saluran dapat dilihat berdasarkan koefisien kekasaran
equivalen berdasarkan rumus dari Keulegan dalam Maryono, 2005. Persamaan matematis kekasaran saluran yang diperoleh berdasarkan data kecepatan aktual,
tinggi muka air aktual, jari-jari hidrolis dan kemiringan saluran disajikan pada Gambar 39
Gambar 39. Persamaan matematis kekasaran saluran Nilai drag koefisien dapat diperoleh berdasarkan persamaan matematis
tersebut dan nilai kekasaran saluran ekuivalen juga dapat diperoleh. Pada Sungai Lawo diperoleh gambaran nilai koefisien kekasaran equivalen saluran yang
berbeda-beda untuk ketujuh lokasi penelitian. Perbedaan tersebut digambarkan pada Gambar 40.
Gambar 40. Kekasaran ekivalen sungai Gambar 40 menunjukkan bahwa tingkat kekasaran ekuivalen pada Sungai
Lawo berada diantara 0.276 m hingga 0.700 m. Nilai kekasaran tersebut dibandingkan dengan nilai kekasaran yang disajikan oleh Zanke dan DVWK
dalam Maryono 2005 bahwa sungai dengan kondisi jelek dan rusak memiliki
kekasaran ekivalen antara 300 mm hingga 500 mm. Dengan demikian secara umum kondisi sungai Lawo termasuk dalam kategori sangat jelek.
Selanjutnya menurut Purwanto 2002 bahwa pada dasarnya nilai koefisien kekasaran sepanjang sungai adalah bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa
faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi, dan sedimentasi yang kesemuanya sangat mempengaruhi nilai koefisien
kekasaran dari sungai yang bersangkutan. Kapasitas sungai menunjukkan kemampuan sungai dalam mengalirkan air.
Jika debit air lebih besar dari kapasitas tersebut maka akan terjadi banjir. Berdasarkan analisis hidrolika diperoleh variasi nilai kapasitas sungai seperti pada
Gambar 41.
Gambar 41. Kapasitas Sungai Lawo Gambarl 41 menunjukkan bahwa kapasitas rata-rata sungai berkisar antara
15 m
3
s hingga 122 m
3
s. Nilai maksimum menunjukkan bahwa terjadi pelebaran sungai dan kedalaman yang lebih tinggi. Sedang nilai minimum disebabkan
akibat adanya penyempitan sungai dan pendangkalan. Gambaran kapasitas tersebut menunjukkan bahwa Sungai Lawo memiliki ketidakteraturan yang cukup
tinggi dimana terdapat titik pembacaan dengan kapasitas yang sangat kecil.
5.3.3. Analisis Tata Guna Lahan
Bantaran sungai merupakan daerah yang rawan banjir namun dengan letaknya yang strategis dan terdekat dengan sumber air, maka bantaran
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi tata guna lahan pada bantaran sungai di sepanjang Sungai Lawo terbagi atas empat jenis yaitu tanah kosongsemak, kebun,
sawah dan pemukiman, dan tidak ditemukan adanya hutan di bantaran sungai. Adapun distribusi pemanfaatan lahan pada bantaran sungai di sisi kiri dan kanan
sungai disajikan pada Gambar 42.
Tanah kosong
semak 16
Kebun 28
Sawah 43
Pemuki man
13 Hutan
Kanan
T.Kosong Semak
13
Kebun 33
Sawah 30
Pemuki man
24 Hutan
Kiri
Gambar 42. Distribusi tata guna lahan pada bantaran Sungai Lawo Pada gambar 42 nampak bahwa bantaran sungai Lawo sebagian besar
ditutupi oleh lahan sawah. Pada sisi kanan sungai, terdapat lahan sawah sebanyak 43 sedang pada sisi kiri lahan sawah sebanyak 30. Secara spesifik pembagian
tata guna lahan diuraikan berikut ini.
Tanah kosongsemak
Tanah kosong merupakan lahan yang tidak dikelola secara intensif oleh masyarakat. Pada bantaran sungai di sepanjang sungai Lawo tanah kosong pada
umumnya ditumbuhi oleh semak belukar atau tanaman bambu. Lahan ini pada umumnya tidak ditanami karena dinilai rawan banjir atau erosi. Selain itu adapula
yang tidak ditumbuhi oleh semak belukar karena tanahnya terbentuk oleh batuan atau lahan bekas sebagai areal tambang material. Penyebaran lahan kosong pada
bantaran sungai sebagian besar terdapat di daerah Cenrana, sedang di Paowe tidak terdapat lahan kosong sebagaimana diuraikan pada Gambar 43.
Gambar 43. Penyebaran lahan kosongsemak di Sungai Lawo
Kebun
Masyarakat di bantaran sungai mengelola lahan sebagai kebun yang pada umumnya menanam tanaman coklat, pisang, mangga dan jagung, Distribusi
penggunaan lahan ini pada sisi kiri dan kanan sungai disajikan pada Gambar 42.
Gambar 44. Penyebaran tataguna lahan kebun di Sungai Lawo Pada Gambar 44 nampak sebagian besar kebun terdapat pada daerah
Ganra baik pada sisi kiri dan kanan sungai. Pada wilayah Cenrana tidak satupun kebun baik pada sisi kiri maupun sisi kanannya.
Sawah
Lahan sawah merupakan tata guna lahan yang paling diminati oleh masyarakat Kabupaten Soppeng. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomis sawah
lebih tinggi dibandingkan dengan tataguna lahan kebun. Pada Daerah Seppang Lawo dan Paowe, jumlah sawah di bantaran sungai lebih banyak dibandingkan
dengan lokasi lain, dan bahkan pada daerah Ganra dan Bakke tidak satupun sawah ditemukan di bnataran sungai. Hal ini disebabkan oleh ancaman banjir yang
tinggi, sehingga masyarakat merasa rugi untuk mengolah lahannya sebagai sawah. Keberadaan pemanfaatan bantaran sungai sebagai sawah disajikan pada Gambar
45.
Gambar 45. Penyebaran tataguna lahan sawah pada Sungai Lawo Gambar 45 menunjukkan bahwa sebagian besar sawah terdapat pada
daerah Seppang dan Lawo, sedang pada daerah Bakke dan Ganra lahan sawah di bantaran sungai tidak ada disebabkan karena petani merasa rugi akibat bencana
banjir jika lahan tersebut dimanfaatkan sebagai sawah.
Pemukiman
Pemanfaatan bantaran sungai sebagai pemukiman pada umumnya terdapat di daerah Paowe, Talumae dan Ganra. Sedang di daerah Seppang dan Bakke tidak
satupun yang dimanfaatkan sebagai pemukiman. Uraian penyebaran pemukiman di bantaran sungai disajikan pada Gambar 46.
Gambar 46. Penyebaran pemukiman pada Sungai Lawo Gambar 46 menunjukkan bahhwa pada daerah Seppang dan Cenrana tidak
satupun dimanfaatkan sebagai pemukiman. Pemanfaatan lahan sebagai pemukiman sebagian besar terdapat pada daerah Cenrana, Paowe dan Ganra.
Gambaran pemanfaatan lahan di bantaran sungai jika dikaitkan dengan pengelolaan sungai secara ekohidrolik dianalisis potensinya Lampiran 6. Potensi
wilayah sesuai dengan jumlah prosentase tata guna lahan hutan, kebun dan lahan kosong digambarkan pada Gambar 47.
Gambar 47. Grafik potensi tata guna lahan Berdasarkan Gambar 47 maka nampak daerah Paowe memiliki potensi
terkecil yaitu hanya sebesar 0.6, sedang daerah Ganra dan Bakke memiliki potensi
yang besar untuk pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Wilayah Paowe yang didominasi dengan tataguna lahan sawah dan pemukiman relative lebih sulit untuk
dikelola dibandingkan wilayah Ganra dan Bakke.
5.3.4. Analisis Beban Banjir
Muka air banjir yang menunjukkan ketinggian air yang terjadi pada saat banjir dengan debit yang diperkirakan. Hasil perhitungan muka air banjir untuk
periode ulang 2 tahun di 8 stasiun di Seppang menunjukkan nilai tertinggi muka air banjir adalah 3.93 meter. Untuk periode ulang 5 tahun adalah 4.29 meter, 10
tahun adalah 4.49 meter, 20 tahun adalah 4.66 meter, 25 tahun 4.70 meter dan untuk periode 50 tahun adalah 4.80 meter. Dari delapan titik yang ditinjau di
lokasi Seppang menunjukkan semua wilayah menerima ancaman banjir untuk periode ulang 50 tahun. Hal ini digambarkan pada Gambar 48.
Gambar 48. Kondisi banjir di Daerah Seppang Gambar 48 menunjukkan tinggi muka air banjir lebih tinggi dibandingkan
dengan tinggi tanggul pada semua titik. Selisih terbesar diperoleh pada sta 800 yaitu sebesar 4.4 meter dan selisih terkecil sebesar 1.0 meter pada sta 2 200.
Pada daerah Lawo dengan jarak 2 400 hingga 6 400 meter dilakukan analisis muka air banjir pada enam titik. Muka air banjir tertinggi pada daerah ini
adalah sebesar 4.415 meter pada periode ulang 50 tahun. Hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 49
Gambar 49. Kondisi banjir di Daerah Lawo Gambar 49 menunjukkan bahwa terdapat satu titik pembacaan yang tidak
mengalami ancaman banjir yaitu pada sta 2 600 akibat ketinggian tanggul relatif aman. Pada lima titik lainnya, selisih tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul
melebih satu meter dan bahkan mencapai 4.1 meter pada Sta 3 200. Kondisi sungai pada daerah Cenrana juga menunjukkan karakter banjir
yang hampir sama dengan dua daerah sebelumnya. Muka air banjir untuk periode ulang 2 tahun berkisar antara 1.4 meter dan 2.2 meter, sedang untuk periode 50
tahun muka air banjir antara 1.9 meter dan 3.0 meter. Pada lima stasiun yang dianalisis, nampak bahwa muka air banjir 50 tahunan melebihi ketinggian tanggul.
Hal ini diuraikan pada Gambar 50.
Gambar 50. Kondisi banjir di Daerah Cenrana
Pada Gambar 50 nampak bahwa selisih tertinggi antara muka air banjir dan ketinggian tanggul adalah pada 6 800 yaitu sebesar 2.5 meter dan selisih terendah