Sungai Lawo Development river management model based on ecohydraulic concept. (case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi)

Erosi dan Sedimentasi Aktivitas penduduk pada wilayah DAS secara tidak terkendali akan memberikan dampak terhadap perubahan kondisi fisik sungai terutama dalam bentuk erosi dan sedimentasi. Pada wilayah DAS Lawo. luas kawasan yang rawan erosi seluas 2 283.14 Ha 13.35. Selanjutnya di sepanjang sungai juga terjadi erosi tebing sungai. Akibat dari erosi tersebit. maka di daerah hilir terjadi sedimentasi yang berlebihan dimana terjadinya penyempitan sungai hingga berukuran 6 meter. Akibatnya kapasitas tampung sungai semakin kecil dan sering terjadi banjir utamanya pada wilayah Kecamatan Ganra. Kondisi ini lebih diperparah oleh perilaku masyarakat yang kurang baik yaitu sering membuang sampah ke sungai.

4.3. Sungai Lawo

Sungai Lawo merupakan salah satu sungai utama di Kabupaten Soppeng dengan hulu pada Gunung Lapancu dan bermuara di Danau Tempe. Sungai ini melintasi beberapa wilayah pemukiman yaitu Lingkungan Lawo. Ompo. Paowe. dan Ganra. Pemanfaatan sumber daya air pada Sungai Lawo yaitu untuk kebutuhan rumah tangga serta keperluan irigasi. Di wilayah kajian terdapat sebanyak 9 bendung yang dibangun untuk mengairi sawah di wilayah DAS Lawo. Bendung yang terbesar adalah bendung Tinco yang terletak di Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata. Bendung ini direncanakan mengairi sawah seluas 3 215 ha Data Bappeda Kabupaten Soppeng. 2007. Pemanfaatan sumber daya alam yang lain adalah penambangan material sungai yaitu kerikil. Salah satu areal tambang pada Sungai Lawo terletak pada Desa Cenrana Kabupaten Soppeng. Debit pada sungai ini fluktuatif dimana antara tahun 1975 – 1998 debit ekstrim yang terjadi dengan muka air tertinggi adalah 3.00 meter dengan debit sebesar 508 m 3 s yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1997. sedang aliran terkecil setinggi 0.15 meter dengan debit sebesar 0.51 m 3 s pada tanggal 16 Maret 2008. Pembacaan data aliran ini adalah pada koordinat 4 o 21’16”LS dan 119 o 49’39”BT yaitu pada Stasiun pembacaan di Kampung Talumpu Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng. Grafik aktual harian Sungai Lawo pada tahun 2001 disajikan pada Gambar 17 dan pada tahun 2008 disajikan pada Gambar 18. Gambar 17. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2001 Gambar 18. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2008 Gambar 17 dan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 debit maksimum yang terjadi pada Sungai Lawo lebih kecil dari 40 m 3 s. sedang pada tahun 2008 debit maksimum yang terjadi sebesar 110 m 3 s. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan aliran yang sangat besar antara tahun 2001 dan 2008. Adapun tingkat kekritisan DAS dapat dilihat berdasarkan rasio debit maksimum dan minimum. Berdasarkan data curah hujan tahun 2008 diperoleh debit minimum sebesar 1.404 m 3 s sedang debit maksimum sebesar 110 m 3 s. sehingga diperoleh rasio sebesar 78.57 atau mengindikasikan bahwa DAS Lawo masih dalam kondisi sedang. Hal ini sesuai dengan uraian Nugroho 2010 bahwa jika QmaksQmin antara 40-80, maka DAS tersebut dinilai dalam kondisi kualitas sedang. Wilayah kajian pada Sungai Lawo berawal pada daerah hulu sungai yaitu tepatnya pada Kampung Seppang Kecamatan Lalabata dan berakhir pada Desa Bakke Kecamatan Ganra. Panjang sungai yang menjadi wilayah penelitian adalah 16 400 m dengan luas daerah tangkapan adalah 76.54 km 2 Kondisi erosi tebing pada Sungai Lawo merupakan masalah dan menyebabkan kerugian akibat kehilangan lahan. Terjadinya erosi tebing dipengaruhi akibat kondisi tanah yang jenuh pada musim hujan dan menyebabkan meningkatnya massa tanah. Akibatnya beban pada tanah meningkat dan akan terjadi kelongsoran. Erosi tebing sungai juga dipengaruhi oleh kecepatan air. vegetasi di sepanjang tebing sungai. kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai. kedalaman dan lebar sungai. bentuk alur sungai dan tekstur tanah Asdak, 2007. . Kondisi tebing Sungai Lawo yang dideskripsikan dengan kejadian erosi dan tidak erosi. Kejadian erosi tebing dapat diamati dua cara yaitu berdasarkan adanya akar pohon yang nampak pada tebing sungai Walker et al., 1992 serta kondisi tidak adanya vegetasi pada tebing. Berdasarkan hasil pengamatan pada 83 titik pembacaan. diperoleh gambaran bahwa pada sisi kanan sungai erosi tebing yang terjadi lebih kecil dibandingkan pada sisi kanan sungai. Secara detail kejadian erosi tebing disepanjang sungai dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Kondisi tebing sungai pada Sungai Lawo Kejadian erosi tebing yang diamati sebagian besar terjadi pada daerah dengan tata guna lahan pada bantaran sungai adalah sawah dan kebun. Pada kedua jenis tata guna lahan tidak dilakukan perlindungan tebing sungai secara struktural. Secara parsial deskripsi kejadian erosi tebing sungai disajikan pada Gambar 20. Seppang Lawo Cenrana Paowe Talumae Ganra Bakke Kiri 46.2 55.0 87.5 36.4 50.0 84.2 16.7 Kanan 46.2 10.0 0.0 0.0 50.0 36.8 83.3 46.2 55.0 87.5 36.4 50.0 84.2 16.7 46.2 10.0 0.0 0.0 50.0 36.8 83.3 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 E ro si T e b in g Gambar 20. Kondisi erosi tebing pada setiap lokasi di Sungai Lawo Gambaran kejadian erosi tebing di Seppang, Talumae, Ganra, dan Bakke terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah ini dengan banyak meander merupakan faktor utama penyebab erosi tebing. Kondisi morfologi sungai yang memiliki meander mengakibatkan aliran air yang terjadi mengarah ke daerah tertentu di sisi luar belokan. Pada kondisi ini, aliran air akan berusaha bergerak keluar sehingga kecepatan air di sisi luar belokan akan lebih besar dibanding di sisi dalam belokan. Akibatnya. pada sungai yang memiliki tebing dengan kondisi tanah yang tidak stabil akan cenderung terjadi kelongsoran pada tebing di bagian luar belokan sungai. Proses kelongsoran tebing ini terjadi akibat adanya proses gerusan yang terus menerus di dasar tebing sebagai reaksi perubahan dasar terhadap kondisi pola aliran di belokan Sujatmoko, 2006 Kondisi Dasar Sungai Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara alamiah oleh aliran air dan mengendap pada daerah tertentu. Forman dan Gordon 1983 dalam Waryono 2008 menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata. kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya, sering terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai endapan lumpur. Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Kondisi dasar sungai Lawo bervariasi dari hulu ke hilir. Pada wilayah pengukuran sepanjang 16 400 meter terdapat 243 panjang sungai yang dasarnya terbentuk oleh batuan dengan ukuran 5 mm–20 mm. Hal ini sesuai dengan Gambar 21. Gambar 21. Distribusi sedimen dasar pada Sungai Lawo Adapun perbedaan sedimen dasar dapat diuraikan bahwa semakin ke hilir, maka sedimen sungai semakin halus. Dasar sungai pada Daerah Seppang yang terletak di hulu sungai didominasi oleh batuan dengan diameter yang lebih besar 20 mm. Dasar sungai pada daerah Cenrana didominasi dengan batuan kerikil diameter 5 mm hingga 20 mm. Sedang daerah Talumae, dasar sungainya sebagian besar terbentuk oleh pasir dan Daerah Bakke terbentuk oleh sedimen lumpur. Hal ini tergambar pada Gambar 22. Gambar 22. Variasi kondisi dasar sungai pada setiap wilayah Sedimen dasar sungai merupakan sumber bahan galian tambang utamanya pada daerah Lawo dan Cenrana. Kegiatan penambangan tersebut memberikan dampak negatif pada tanggul sungai, sehingga mempermudah terjadinya erosi tebing. Kegiatan lain yang mempertinggi sedimentasi pada daerah hilir adalah adanya pembuangan limbah abu sekam padi di sungai. V . HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Model Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep Ekohidrolik