Pengembangan model pengelolaan sungai juga sebagai bagian dari upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diuraikan dalam
UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup bahwa: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
1.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka pengelolaan sungai yang diterapkan adalah dengan memanfaatkan vegetasi pada daerah
bantaran sungai sebagai upaya pencegahan banjir. Hal ini diungkapkan sebagai konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik. Konsep ini merupakan pembuatan
riparian buffer strips dengan vegetasi yang tepat. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa vegetasi pada bantaran sungai dapat meningkatkan
resistensi aliran air sehingga kecepatan air dapat dikurangi dan banjir pada daerah tengah dan hilir dapat dikendalikan.
Konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik merupakan pengelolaan sungai secara non struktural yang mengintegrasikan komponen sosial dan ekologi
dalam rekayasa hidrolik sungai. Komponen ekologi sungai dikembangkan dengan penataan vegetasi bantaran banjir di beberapa areal untuk memperlambat aliran air
sebagai komponen hidrolika pada sungai. Komponen sosial dintegrasikan pada rekayasa hidrolik dengan pertimbangan bahwa partisipasi masyarakat sangat
mendukung keberlanjutan pengelolaan sungai. demikian halnya dengan komponen ekonomi, dimana keterlibatan masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Dalam Undang Undang No. 27 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air diuraikan bahwa pengaturan daerah sempadan air merupakan salah satu upaya perlindungan dan pelestarian sumber air. Upaya perlindungan dan
pelestarian tersebut dapat diwujudkan dengan upaya pengendalian daya rusak air. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
menguraikan bahwa pengendalian daya rusak air meliputi upaya pencegahan sebelum terjadi bencana, penanggulangan pada saat terjadi bencana dan
pemulihan akibat bencana. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa pengelolaan sungai dilakukan secara
menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan fungsi sungai yang berkelanjutan.
Secara spesifik uraian tentang pengelolaan sungai dalam Peraturan Menteri PU No. 63PRT1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat
Sungai, Daerah Penguasaan Sungai Dan Bekas Sungai bahwa penetapan garis sempadan sungai bertujuan: 1 Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk
tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang disekitarnya; 2 Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di
sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai; dan 3 Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya
dapat dibatasi. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan budidaya pertanian dengan jenis tanaman
yang diijinkan, penyelenggaraan kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan
fungsi serta fisik sungai serta untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air.
Sebagai lokasi penerapan model, dipilih salah satu sungai kecil luas DAS ≤ 500 km
2
Sungai Lawo merupakan salah satu sungai di Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini memiliki luas kawasan DAS kurang lebih
17 104.45 ha 171.04 km sesuai dengan uraian pada Peraturan Pemerinrah Nomor 38 tahun
2011 tentang sungai.. Dasar pemilihan sungai kecil yaitu bahwa keterkaitan antara faktor fisik hidrolik, morfologi dan faktor ekologi dapat diamati secara mudah
Maryono, 2007.
2
dengan derah hulu pada Gunung Lapancu dan daerah hilir pada Danau Tempe. Kondisi sungai ini cukup mengkhawatirkan dimana data
tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi genangan permanen seluas 76.53 ha. Selain itu terdapat pula luas daerah rawan erosi seluas 2 283.14 ha. Banjir yang
terjadi setiap tahun menggenangi kawasan pemukiman dan persawahan sehingga menyebabkan kerugian moril dan material bagi penduduk.
Selain itu, pada tepi sungai juga terjadi kelongsoran tebing sungai river bank erosion yang menyebabkan lahan persawahan dan pemukiman penduduk
pada bantaran sungai berkurang. Masyarakat mengalami kerugian yang sangat besar akibat gagal panen dan kerugian lahan sawah dan pemukiman yang longsor.
Penanganan Sungai Lawo saat ini adalah di beberapa titik dibangun tanggul pelindung tebing serta normalisasi sungai. Akibatnya, terjadi energi yang besar
sehingga pada daerah yang tidak dibangun tanggul, terjadi erosi yang berlebihan dan bahkan terjadi kelongsoran. Erosi tersebut menyebabkan lahan sawah di tepi
sungai arealnya semakin hari semakin berkurang dan bahkan sering terjadi rumah penduduk pada bantaran sungai yang ikut hanyut terbawa arus sungai. Dengan
gambaran di atas, maka perlu disusun kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir
Banjir pada sungai
Pengelolaan sungai
sebagai flood damage
mitigation Pengelolaan
secara struktural
Pengelolaan secara non
struktural Komponen
hidrolika sungai
Komponen ekologi
sungai Komponen
sosial
Bantaran sungai sebagai
retensi banjir Model pengelolaan
sungai berbasis pada konsep
ekohidrolik Kebijakan
pengelolaan sungai berbasis pada
konsep ekohidrolik UU No. 27 Th 2004
PP No. 42 Th. 2008 PP No. 26 Th. 2008
PP No.38 Th. 2011 Permen PU No. 63PRT1993
Lebar bantaran
Tata guna lahan pada
bantaran sungai
1.3. Perumusan Masalah