Gambaran Umum Kabupaten Soppeng

IV . KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Soppeng

Letak geografis Kabupaten Soppeng berada pada titik koordinat 4 06 ’ 00 ” - 4 32 ’ 00 ” LS dan 119 47 ’ 18 ” - 120 06 ’ 13 ” - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Wajo. BT. Secara administasi wilayah Kabupaten Soppeng berbatasan: - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bone. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone. - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barru. Jarak Kabupaten Soppeng dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yakni 172 km. Luas wilayah kabupaten ini adalah 1500 km 2 Tabel 9. Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Soppeng dengan ibukota Kabupaten adalah Watansoppeng, Wilayah Kabupaten Soppeng terbagi atas 8 delapan kecamatan dengan pembagian luas dan prosentasinya disajikan pada Tabel 9. Kecamatan Luas km 2 Prosentase Mario Riwawo 300 20 Lalabata 278 18.5 Liliriaja 96 6.4 Ganra 57 3.8 Citta 40 2.7 Lilirilau 187 12.5 Donri Donri 222 14.8 Marioriawa 320 21.3 Sumber : BPS Kab. Soppeng, 2009 Wilayah Kabupaten Soppeng terletak didepresiasi Sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan. Daratan luasnya ± 700 Km 2 berada pada ketinggian rata-rata ± 60 meter di atas permukaan laut. Perbukitan yang luasnya ± 800 Km 2 berada pada ketinggian rata-rata ± 200 meter di atas permukaan laut. Sedang Ibukota Watansoppeng berada pada ketinggian ± 120 meter di atas permukaan laut. Temperatur udara di Kabupaten Soppeng antara 24 C hingga 30 Potensi sumber daya air disamping untuk kehidupan sehari-hari juga berfungsi untuk menunjang berbagai aktivitas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia seperti pertanian, perikanan, perindustrian, pembangkit tenaga listrik dan sebagainya. Sebagian besar wilayah Kabupaten Soppeng merupakan daerah air tanah dangkal dan dalam, terutama di Kecamatan Lalabata. Sumber air permukaan di Kabupaten Soppeng berasal dari lima sungai utama yang karakteristiknya disajikan pada Tabel 10. C. Keadaan angin berada pada kecepatan lemah sampai sedang. Curah hujan Kabupaten Soppeng pada tahun 2008 berada pada intensitas 148 mm dan 14 hari hujanbulan. Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Soppeng tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 209 mm dan yang terendah yakni bulan September yakni 63 mm. Tabel 10. Nama sungai utama di Kabupaten Soppeng Nama Sungai Hulu Daerah Aliran Muara Langkemme G. Lapancu Dusun Umpungeng, Langkemme, Cenranae, Soga, Lingkungan Sewo Bila S.Walanae Soppeng G.Matanre Lapajung, Ujung, Mallanroe, Akkampeng, Belo, Lompulle S.Walanae Lawo G. Lapancung Lingkungan Lawo, Ompo, Cenrana, Paowe, Ganra D.Tempe Paddangeng G.Walemping Dusun Tajuncu, Paddangeng, Turung Lappae, Leworeng, Tokare D. Tempe Lajaroko G.Addepungeng Dusun Lajaroko, Batu-batu, Limpomajang, Toddang, Saloe D. Tempe Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Kabupaten Soppeng yang luasnya 150 000 ha digunakan untuk lahan persawahan seluas 25 275 ha atau sekitar 16.85. Selebihnya digunakan untuk lahan perkebunan, pekarangan, ladang, dan ada 2 yang merupakan danau sebagai sumber penghasil ikan di Kabupaten Soppeng. Lebih dari separuh areal persawahan di Kabupaten Soppeng sudah berpengairan teknissetengah teknis atau sekitar 58.93. Dengan luasan persawahan tersebut, maka Kabupaten Soppeng termasuk salah satu daerah penghasil beras yang utama di Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 jumlah produksi padi di Kabupaten Soppeng sebanyak 257 450 ton dengan produktivitas 7 317 tonha. Hasil produksi padi di Kabupaten Soppeng sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Produksi padi tahun 2004 – 2008 di Kabupaten Soppeng Tahun Produksi Padi ton Perubahan 2004 215 973 2005 182 513 -15.5 2006 213 703 17.1 2007 224 961 5.3 Sumber : BPS Kab. Soppeng, 2009 Tabel 11 menggambarkan bahwa pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi padi sebesar 15.5. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi sebesar 17.1 dan pada tahun 2007 meningkat sebesar 5.3. Namun demikian di beberapa wilayah, persawahan tersebut mengalami ancaman banjir dan kekeringan sehingga terjadi gagal panen. Data pada tahun 2010 diperoleh gambaran bahwa terdapat 1 106 ha sawah yang gagal panen dan keseluruhannya terdapat di Kecamatan Ganra. Hasil perkebunan di Kabupaten Soppeng merupakan produk yang ikut menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Soppeng sesudah produk tanaman pangan. Salah satu produk perkebunan yang berhasil dikembangkan di Kabupaten Soppeng dan dapat meningkatkan taraf hidup petani adalah kakao. Peningkatan produksi kakao di Kabupaten Soppeng dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 sebesar 6 877 ton dan pada tahun 2008 sebesar 8 136 ton. Jumlah penduduk di Kabupaten Soppeng dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. dengan jumlah yang kurang signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan penduduk hanya sebesar 0.57, sedang pada tahun 2007 jumlah penduduk meningkat sebesar 0.40. Peningkatan jumlah penduduk tersebut disajikan pada Tabel 12 Tabel 12. Jumlah penduduk di Kabupaten Soppeng tahun 2005 - 2008 Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan 2005 225 984 2006 227 273 0.57 2007 228 181 0.40 2008 229 502 0.58 Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Tingkat kepadatan penduduk terbesar pada kecamatan Liliriaja yaitu sebesar 281 jiwakm 2 , sedang kecamatan Marioriawa memiliki kepadatan penduduk terkecil yakni 89 jiwakm 2 . Secara keseluruhan tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Soppeng sebesar 153 jiwakm 2 Tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Soppeng relatif rendah yaitu pada umumnya tidak berpendidikan SD dan tamat SD. Gambaran tingkat pendidikan penduduk dengan usia di atas 10 tahun disajikan pada Tabel 13 pada tahun 2008. Jumlah rumah tangga di Kabupaten Soppeng sebesar 55 348 rumah tangga dan sekitar 19 yang merupakan rumah tangga miskin. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh minimnya tingkat pendidikan masyarakat dan keterbatasan untuk menciptakan lapangan kerja. Tabel 13. Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan Pendidikan yang ditamatkan Prosentase Tidak tamat SD 37.40 SD 31.43 SMP 15.59 SMA 11.34 Diploma III 0.52 Diploma IIISarjana muda 0.66 S1-S2-S3 3.06 Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Dengan tingkat pendidikan yang diuraikan pada Tabel 13 menunjukkan keterkaitan dengan pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat secara umum. Lapangan usaha yang digeluti oleh masyarakat sebagian besar adalah dibidang pertanian yaitu sebesar 68.40 penduduk angkatan kerja, sedang lapangan usaha industri merupakan bidang yang paling sedikit digeluti yakni hanya sebesar 2.83. Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Soppeng pada tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5.37, angka pertumbuhan tersebut berada dibawah pertumbuhan tahun 2006 sebesar 6.63. BPS Kab. Soppeng tahun 2009. Salah satu indikator yang paling penting adalah produk domestik regional bruto PDRB, yaitu jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Soppeng dalam kurun waktu satu tahun. Kemajuan perekonomian suatu daerah dapat ditentukan dengan produksi yang diukur melalui PDRB. Besaran PDRB digunakan sebagai indikator utama untuk menilai kinerja perekonomian suatu wilayah teutama terkait dengan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Produk Domestik Regional Bruto dihitung menurut harga konstan, maka selama periode tahun 2006-2007 PDRB atas dasar harga konstan meningkat sebesar 5.37 persen dari Rp. 953.61 milyar menjadi Rp. 1 004.85 milyar. Gambar 15.Sektor perekonomian Kabupaten Soppeng Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Berdasarkan Gambar 15, sektor perekonomian Kabupaten Soppeng didominasi oleh sektor pertanian 48.58. Sedang sektor yang paling minim kontribusinya pada perekonomian adalah sektor pertambangan 0.57. Tingginya kontribusi sektor pertanian pada perekonomian di wilayah ini terkait dengan luas pemanfaatan lahan untuk sawah dan perkebunan yang masih tinggi serta dukungan ketersediaan sumber daya air dan prasarana irigasi. Kondisi lingkungan di Kabupaten Soppeng cukup memprihatinkan. Hal ini disebabkan dengan adanya lahan kritis seluas 14 494.36 ha. KLH Kab. Soppeng, 2010. Lahan kritis ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat kerusakan hutan yang ditandai dengan sistem hidrologi sungai yang fluktuatif, pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Kerusakan hutan di Kabupaten Soppeng pada umumnya disebabkan oleh kegiatan ladang berpindah, yaitu membuka lahan untuk ditanami tanaman ekonomi sehingga fungsi lahan berubah menjadi lahan perkebunan. Data pada Status Lingkungan Hidup Kabupaten Soppeng 2010 menunjukkan bahwa 53 dari total luas hutan yang ada di Kabupaten Soppeng rusak akibat kegiatan ladang berpindah. Kerusakan hutan tersebut merupakan penyebab utama terjadinya banjir yang sering terjadi di Kabupaten Soppeng. 4.2.Kondisi Fisik DAS Lawo Letak Administratif Secara administrasi DAS Lawo melintasi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lalabata dan Kecamatan Ganra. Pada Kecamatan Lalabata terdapat pada dua kelurahan yaitu Kelurahan Ompo dan Kelurahan Salokaraja. Sedang pada Kecamatan Ganra terdapat pada Desa Ganra. Kondisi Topografi Tinggi rendahnya suatu lokasi akan menentukan kelembaban udara pada daerah tersebut, karena ketinggian merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap suhu udara. Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo ± 1 000 meter dpl, bagian tengah DAS 180 - 500 meter dpl, dan bagian hilir DAS 32 meter dpl. Wilayah DAS Sungai Lawo mempunyai kemiringan berkisar dari lereng 0 hingga lereng 45. Untuk kemudahannya lereng dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu: lereng 0 – 7 berada pada daerah hilir, lereng 8 - 15 dan lereng 15 – 25 berada pada bagian tengah, lereng 26 - 45 dan lereng 45 berada pada bagian hulu. Gambaran klasifikasi dan luas lereng di wilayah DAS Lawo disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Klasifikasi dan luas lereng pada DAS Lawo No. Klasifikasi Lereng Luas Ha Prosentase 1 0 – 7 11 860.92 69.3 2 8 – 15 486.34 2.8 3 16 – 25 2 502.46 14.6 4 25 – 45 1 391.19 8.1 5 45 863.54 5.0 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber : Bappeda Kab. Soppeng, 2007 Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah DAS Lawo memiliki kemiringan lereng 0 – 7 atau relatif datar dan pada umumnya berada pada daerah hilir. Sedang wilayah dengan kelerengan 8-15, dan lereng 15 – 25 berada pada daerah tengah. Pada daerah hulu, kemiringan lereng 25 – 45 serta diatas 45. Geologi dan Jenis Tanah Formasi geologi yang tersebar diseluruh Wilayah Kabupaten Soppeng termasuk wilayah DAS Lawo, tersusun dari alluvium endapan danau, pantai dan sedimen serta batu gamping, yang berasal dari terobosan beku formasi terumbu berumur holosen, meosin dan pleosin. Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu - hilir. Untuk lebih jelasnya klasifikasi jenis tanah serta luasan dan prosentasenya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Jenis tanah di wilayah DAS Lawo Jenis Tanah Luas Ha Prosentase Alluvial 8 685.25 50.8 Gromosol 2 795.93 16.3 Mediterian 2 739.35 16.0 Mediterian Regosol 2 883.92 16.9 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng, 2007 Hidrologi Pengetahuan tentang kondisi hidrologi pada suatu daerah aliran sungai sangat penting dalam upaya pengelolaan sungai. Kondisi hidrologi suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi iklim serta topografi dan geologinya. Data iklim pada Sungai Lawo disajikan berdasarkan hasil pengukuran dari tahun 1985 hingga tahun 2008 di Stasiun Klimatologi Mallanroe yang terletak di sekitar Sungai Lawo pada koordinat 4 o 20’38” LS dan 119 o 55’16” BT diuraikan pada Tabel 16. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 25.69 o C sedang suhu terendah pada bulan Februari sebesar 21.41 o C. adapun suhu rata-rata pada wilayah ini sebesar 23.49 o Tabel 16. Kondisi klimatologi Daerah Aliran Sungai Lawo C. Selanjutnya dengan melihat kondisi penyinaran matahari maka didapatkan rata rata penyinaran matahari selama 6.81 jamhari dengan kelembaban realtif rata rata sebesar 85.90. Bulan Suhu o Penyinaran matahari jamhari C Kelembaban relatif Kecepatan angin mdetik Januari 21.65 6.84 85.34 0.28 Februari 21.41 6.23 86.93 0.41 Maret 21.92 7.20 85.78 0.31 April 23.66 7.28 86.11 0.28 Mei 23.66 7.02 87.90 0.50 Juni 24.10 4.15 85.67 0.50 Juli 22.69 5.30 85.94 0.43 Agustus 23.58 8.26 88.07 0.49 September 24.02 8.83 86.10 0.54 Oktober 25.69 7.78 81.29 0.56 November 25.13 7.15 85.05 0.31 Desember 24.20 6.67 86.93 0.43 Rata-rata 23.49 6.81 85.90 0.42 Sumber: Dinas PSDA Prov. Sul-Sel. 2009 Kondisi iklim juga ditandai dengan curah hujan pada suatu wilayah. Data yang diperoleh dari Stasiun pengamat Lapajung yang terletak pada DAS Lawo untuk tahun 1985 hingga tahun 2008 menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan sebesar 154 mm. Adapun rata-rata curah hujan bulanan dalam kurun waktu tersebut disajikan pada Gambar 16. 157 125 167 176 245 172 142 59 47 144 205 209 50 100 150 200 250 300 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember C u r a h H u ja n m m Gambar 16. Grafik fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan Tahun 1985 - 2008 Berdasarkan data yang diuraikan tersebut maka wilayah penelitian termasuk dalam iklim basah. Dimana terdapat dua bulan kering yaitu bulan Agustus dan September dengan curah hujan bulanan kurang dari 60 mm. Sedang jumlah bulan basah curah hujan lebih besar dari 100 mm sebanyak 10 bulan. Dengan demikian diperoleh nisbah bulan kering:bulan basah sebesar 0.2. Kondisi hidrologi DAS Lawo berdasarkan data dari Dinas PSDA bahwa debit 4.725 m3detik. Pada wilayah DAS Lawo terdapat beberapa wilayah yang rawan banjir dengan pembagian karakteristik riwayat banjir disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Luas genangan yang terjadi pada DAS Lawo Jenis Genangan Luas Ha Prosentase Permanen 76.53 0.4 Periodik 845.46 5.0 Temporer 307.13 1.8 Non genangan 15 875.33 92.8 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng. 2007 Pada Tabel 17 ditunjukkan bahwa terdapat sebanyak 7.186 luas wilayah pada DAS Lawo yang mengalami ancaman banjir. Genangan permanen sebagian besar terjadi pada daerah hilir yaitu di pinggiran Danau Tempe. Struktur dan Tipologi Karakteristik hulu DAS Lawo secara umum merupakan kawasan hutan lindung yang memiliki kerapatan hutan baik. Penduduk yang bermukim di sekitar hulu DAS memberikan perlindungan pada kondisi hutan tersebut. Namun di beberapa bagian sungai terdapat kerusakan kondisi fisik sungai seperti perubahan alur sungai. Pada bagian tengah DAS yang merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS di beberapa tempat telah mengalami perubahan dalam bentuk alur air dan bahkan terjadi pelebaran sungai sehingga nampak di beberapa bagian tengah sungai tidak ada air yang mengalir. Tata guna lahan pada bagian tengah DAS umumnya berbentuk sawah, kebun dan pemukiman. Kondisi ini menyebabkan terjadinya sedimentasi yang berlebihan. Pada bagian hilir DAS Lawo dari segi fisik sungai umumnya sudah mengalami degradasi terutama dalm bentuk sedimentasi. Kondisi ini dibiarkan berlanjut terus menerus maka akan berlanjut dengan proses pendangkalan di bagian tengah sungai dan akan mengganggu keberlangsungan ekosistem di bagian hilir DAS itu sendiri. Pemukiman merupakan salah satu komponen utama DAS. Terjadinya kerusakan terutama di wilayah bagian hulu DAS tidak terlepas dari berbagai aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di daerah sekitar DAS. Sebaran pemukiman tersebar diseluruh wilayah DAS Lawo mulai dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu DAS terdapat 4 empat kampung antara lain; Kampung Teppoe, Ara, Galunglangie, dan Seppang yang masuk di wilayah Kecamatan Lalabata dan Donri-Donri. Bagian tengah DAS terdapat 6 enam kampung antara lain Kampung Lawo, Cenrana. Paowe di wilayah kecamatan Lalabata dan Talumae wilayah Kecamatan Ganra. Sedangkan dibagian hilir DAS terdapat Kampung Bakke dan Desa Ganra di wilayah Kecamatan Ganra. Vegetasi Jenis vegetasi penutupan lahan dalam suatu wilayah DAS sangat berpengaruh terhadap tingkat resiko lingkungan yang akan terjadi seperti erosi. banjir dan sedimentasi. Vegetasi penutupan lahan merupakan salah satu komponen pembentuk DAS yang berperan penting terhadap keberlangsungan ekosistem DAS itu sendiri. Kaitannya dengan fungsi yang dijalankan maka vegetasi mempunyai pengaruh yang sangat besar terutama dalam menahan pukulan butir-butir air hujan dan menyimpan untuk sementara air yang diterimanya yaitu pada lapisan serasah yang selanjutnya akan menyerap dan memperlambat tingkat aliran permukaan. Tipe vegetasi penutupan lahan di wilayah DAS Lawo antara lain pemukiman, hutan, persawahan, kebun campuran, tegalanladang, belukar dan sebagian adalah rawa. Kondisi hutan di wilayah hulu DAS Lawo masih dalam status hutan lindung. sehingga kondisinya perlu dipertahankan fungsi lindungnya agar tetap terjaga. Namun disisi lain kerapatan pohon sudah mulai berkurang. disebabkan karena terjadinya penebangan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan belum sadar akan pentingnya pelestarian hutan. Sedangkan jenis penutupan lahan lainnya tersebar diseluruh wilayah DAS lawo. Pemukiman sebagian terdapat di bagian hulu DAS, dan secara umum tersebar di bagian tengah dan hilir DAS. Kebun campuran dan tegalanladang tersebar dari hulu-hilir umumnya terdapat di wilayah tengah DAS. Sedangkan persawahan sebagian terdapat di bagian hulu dan tengah DAS dengan luasan tertentu. Rawa hanya terdapat di bagian hilir DAS. Jenis penutupan lahan pada DAS Lawo disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Jenis tutupan lahan pada DAS Lawo Penutupan Lahan Luas Ha Permukiman 306.34 1.8 Hutan 4 584.56 26.8 Belukar 878.37 5.1 Kebun Campuran 1 405.21 8.2 Persawahan 5 775.97 33.8 Rawa 76.53 0.4 Ladangtegalan 4 077.47 23.8 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng. 2007 Tabel 18 menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan yang mendominasi kawasan DAS Lawo adalah persawahan sebesar 33.769. Sedang prosentase tutupan lahan yang berjenis hutan sebesar 26.803 menunjukkan kondisi ekosistim ini masih relatif baik. Erosi dan Sedimentasi Aktivitas penduduk pada wilayah DAS secara tidak terkendali akan memberikan dampak terhadap perubahan kondisi fisik sungai terutama dalam bentuk erosi dan sedimentasi. Pada wilayah DAS Lawo. luas kawasan yang rawan erosi seluas 2 283.14 Ha 13.35. Selanjutnya di sepanjang sungai juga terjadi erosi tebing sungai. Akibat dari erosi tersebit. maka di daerah hilir terjadi sedimentasi yang berlebihan dimana terjadinya penyempitan sungai hingga berukuran 6 meter. Akibatnya kapasitas tampung sungai semakin kecil dan sering terjadi banjir utamanya pada wilayah Kecamatan Ganra. Kondisi ini lebih diperparah oleh perilaku masyarakat yang kurang baik yaitu sering membuang sampah ke sungai.

4.3. Sungai Lawo