kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh
masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan.
Dengan demikian pengelolaan daerah aliran sungai selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada Gambar 2.
Gambar 2. Model pengelolaan daerah aliran sungai Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004
Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka daerah aliran sungai dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu
merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri: lereng terjal,
terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan
jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin 2002 daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi
interaksi antara unsur-unsur biotik vegetasi dan unsur-unsur abiotik iklim dan tanah. Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukan dan
keluaran berupa air dan sedimentasi.
Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki
karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil, tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air
permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik:
alur melebar, tebing melandai kurang dari 8, dinding lembah landai, terbentuk dataran banjir serta terbentuk meander.
Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya air. Kodoatie dan Sjarief 2008 menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak
sekali komponen, sistem dan fungsiperan terkait dengan sumber daya air. Olehnya itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu
kesatuan minimal dalam suatu daerah aliran sungai. Selanjutnya, Tideman 1996 memberikan argumentasi bahwa manajemen
DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya
alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan
keluaran dari ekosistem. Asdak 2007 menguraikan proses interaksi dalam DAS yaitu dengan
masukan berupa curah hujan dan erosi. Sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau
sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada daerah tangkapan air sangat erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem
DAS merupakan suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas
input, proses dan output tergambar pada Gambar 3.
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS Asdak, 2007 Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang
diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidroorologis di alam. Keseimbangan tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit
maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas
tanah serta kondisi sungai. Keterkaitan antara karakteristik DAS dengan kinerja sungai diuraikan oleh Haryoguritno 1998 bahwa keberlanjutan sungai dapat
diungkapkan sebagai kinerja sungai dalam menyediakan aliran andalan bagi komunitasnya. Indeks kinerja sungai ditentukan luas DAS, panjang sungai,
kelerengan sungai, kondisi geologi DAS, kerapatan pematusan, curah hujan, tata guna lahan, persentase luas hutan, persentasi aliran permukaan yang terkendali
dan kepadatan pendudukan di wilayah sungai.
2.
2.Sungai
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa: “sungai adalah alur atau wadah air alami danatau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.”.
Sungai adalah bagian dari muka bumi yang paling rendah dibandingkan dengan permukaan sekitarnya dan menjadi tempat air mengalir. Dari sudut
Input = Curah hujan
Vegetasi Sungai
Tanah
Output = debit dan muatan Manusia
= IPTEK
DAS = Prosessor
pandang ekologi, sungai dipandang sebagai wilayah keairan dinamis akibat pengalirannya. Sungai merupakan sistem terbuka dengan faktor dominan aliran
air. Aliran air ini melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai atau morfologi sungai tertentu.
Hui dan Ming 2009 mengungkapkan bahwa sungai memiliki lima fungsi alamiah yaitu: 1 Fungsi transportasi aliran yaitu mengangkut aliran air hujan
serta mengangkut sedimen serta mempertahankan kondisi normal sungai, 2 Fungsi sumber daya air permukaan, 3 Fungsi tangkapan air pada limbah industri,
pertanian dan pemukiman, 4 Fungsi habitat bagi biota akuatik, dan 5 Fungsi natural barrier atau pelindung alami. Dari kelima fungsi tersebut, fungsi
pengangkutan aliran air dan sedimen merupakan fungsi yang terpenting dalam pengelolaan sungai.
Sosrodarsono dan Takeda 2006 menguraikan bahwa sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan
mengalirkannya ke laut. Sungai dapat digunakan untuk berjenis-jenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan lain-lain.
Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting untuk irigasi.
Sungai juga merupakan salah satu elemen dalam siklus hidrologi dimana sungai mengumpulkan 3 tiga jenis limpasan yakni limpasan permukaan surface
runoff, aliran intra interflow dan limpasan air tanah groundwater runoff Sosrodarsono dan Takeda, 2006. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
sebagian terinfiltrasi dan sebagian mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang lebih rendah dan masuk ke sungai. Aliran air
ini merupakan limpasan permukaan. Aliran intra berasal dari aliran air yang terlebih dahulu terserap oleh tanah dan keluar kembali menuju ke sungai.
Limpasan air tanah bersumber dari air tanah groundwater yang keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah yang rendah.
Jika dilihat dari bentuknya, maka morfologi sungai menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik fisik, hidrologi, hidrolika, sedimen dan
lain-lain dan karakteristik biotik biologi atau ekologi daerah yang dilaluinya. Faktor yang berpengaruh terhadap morfologi sungai tidak hanya faktor abiotik
dan biotik namun juga campur tangan manusia dalam aktivitasnya mengadakan pembangunan di wilayah sungai sosio antropogenik. Pengaruh campur tangan
manusia ini dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih cepat daripada pengaruh alamiah abiotiik dan biotik saja.
Forman dan Gordon 1983 dalam Waryono 2008 menguraikan bahwa morfologi sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar yang secara rinci
digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk morfologi sungai Waryono, 2008 Berdasarkan uraian dan Gambar 4, maka morfologi sungai tidak hanya
mencakup badan sungai tetapi juga daerah sekitarnya. Daerah A merupakan bantaran sungai yang merupakan pembatas antara badan sungai dengan daerah
datar sekitarnya. Daerah B merupakan tebing sungai yang merupakan pembatas daerah aliran. Daerah C adalah badan sungai dan D menunjukkan tinggi muka air.
Vegetasi yang tumbuh pada bantaran dan tebing sungai disebut juga vegetasi riparian.
Selain itu, morofologi sungai juga ditandai dengan adanya pulau-pulau di sungai. Pulau secara ekologis merupakan habitat yang paling cocok untuk
perkembangan ekologi, karena pulau relatif terlindung dari gangguan antropogenik. Secara hidrolik pulau berfungsi sebagai komponen penahan
kecepatan aliran sungai dan meningkatkan deversifikasi distribusi aliran sungai. Hal ini berguna bagi proses sedimentasi, erosi dan perkembangan ekologi akuatik
dan amphibi sungai Maryono, 2008
Adapun konfigurasi pulau di sepanjang sungai yang dapat muncul disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Konfigurasi pulau di sungai Maryono, 2008 Konfigurasi pulau di sungai yang berbeda-beda disebabkan oleh pola
aliran dan resistensi pulau terhadap aliran. Jika ditinjau pada arah memanjang sungai, bentuk alur sungai dapat dibedakan menjadi lurus, bercabang-cabang dan
bermeander. Menurut Rosgen dalam Maryono 2007, bentuk sungai dapat dibedakan menjadi 7 tipe yaitu tipe A,B,C,D,E,F dan G sebagaimana nampak
pada Gambar 6. Tipe-tipe tersebut terbentuk terutama dipengaruhi oleh kemiringan dasar dan sedimen penyusun dasar sungainya.
Gambar 6. Karakteristik sungai Rosgen, 1996 diacu dalam Maryono, 2007
Jika ditinjau dari lebar dan luas DAS, maka sungai terbagi atas empat kelompok Okologie, 1999 diacu dalam Maryono, 2005 yaitu:
− Kali kecil dari suatu mata air yaitu dengan luas DAS 0–2 km
2
− Kali kecil yaitu dengan luas DAS 2–50 km dan lebar
0–1 m.
2
− Sungai kecil yaitu dengan luas DAS 50-300 km dan lebar 1–3 m.
2
− Sungai besar yaitu dengan luas DAS lebih dari 300 km dan lebar 3–10 m.
2
Pembagian sungai menjadi empat jenis tersebut sangat penting artinya dalam menelaah sifat-sifat sungai. Sungai-sungai kecil akan mempunyai karakter yang
hampir sama, demikian pula dengan sungai sedang dan sungai besar. Salah satu karakter sungai yang dapat dilihat dari penggolongan tersebut adalah debit sungai.
Pada sungai kecil yang masih alamiah, debit aliran berasal dari air tanah atau mata air dan debit aliran permukaan atau air hujan. Aliran air pada sungai jenis ini
menggambarkan kondisi hujan daerah yang bersangkutan. Sedang pada sungai besar, sebagian besar debit alirannya berasal dari sungai-sungai kecil di atasnya.
dan lebar lebih dari 10 meter.
Secara melintang, sungai dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah badan sungai dan daerah sempadan sungai. Daerah badan sungai adalah bagian sungai
yang dalam dan yang dangkal yang bila airnya surut akan diisi dengan gugus endapan. Daerah ini biasa juga disebut dengan zona akuatik. Dasar sungai dapat
terdiri dari substrat berbatu, kerikil, pasir atau lumpur. Substrat berbatu atau kerikil merupakan substrat keras yang menyediakan tempat bagi tumbuhan dan
hewan akuatik untuk hidup. Air mengalir melalui permukaan bebatuan akan mengandung lebih banyak oksigen. Sedangkan substrat berpasir atau berlumpur
ditemukan ketika air sungai bergerak lambat. Hal ini terjadi karena aliran sungai yang lambat tidak mampu mengangkut partikel sedimen yang berukuran lebih
besar seperti bebatuan atau kerikil. Sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah dengan lebar
longsoran tebing sungai yang mungkin terjadi. Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan daerah hidrologis sungai yang sangat penting. Daerah
sempadan sungai berfungsi memberikan kemungkinan luapan banjir pada sisi kiri dan kanan sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat
diredam dengan demikian erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat berkurang. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir.
Sempadan sungai merupakan area yang dipertimbangkan dalam perbaikan fungsi ekologi aquatik dan terrestrial, kualitas air, hidraulik dan morphologi
sungai. Penetuan lebar sempadan sungai berbeda-beda tergantung tujuan pemanfaatannya. Secara rinci penentuan lebar sempadan sungai sesuai
manfaatnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penentuan lebar sempadan sungai Manfaat
Lebar Sempadan meter Tujuan konservasi
Perbaikan kualitas air 5.00
- 30.00
Perbaikan habitat akuatik 3.00
- 30.48
Perbaikan habitat biota terestrial
30.00 -
500.00 Perlindungan kualitas air
15.00 -
80.00 Perlindungan gerakan meandering
dan banjir 5.00
- 90.00
Sumber: Maryono, 2010
Namun demikian fungsi sempadan sungai untuk kepentingan kualitas lingkungan seakan diabaikan. Saat ini
Pengurangan panjang aliran sungai serta tidak adanya meandering akibat pelurusan akan memperpendek retensi waktu dan mengurangi energi disipasi
hidrolik. Perubahan kondisi fisik ini menyebabkan air sungai lebih cepat mengalir ke laut, kapasitas pemulihan self cleaning capacity berkurang dan terjadi
peningkatan transpor hara ke laut. Pengurangan fungsi penyimpan air akan mengurangi ketersediaan habitat bagi ikan dan jenis hewan akuatik lainnya.
Selanjutnya
tidak adanya bantaran banjir akan meningkatkan volume run off dan mengurangi fungsi keseimbangan air water table. Biodiversitas juga akan
berkurang akibat tidak adanya flora dan fauna pada bantaran banjir. sebagian besar sungai di daerah-daerah
pertanian telah direduksi fungsinya menjadi drainase dengan kapasitas pemulihan self capacity yang kecil serta pengembangan nilai konservasi alami yang
minim. Konservasi sungai dilakukan dengan pelurusan dan pengerukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian. Akibatnya terjadi perubahan kondisi fisik
sungai yaitu: pengurangan panjang aliran, pengurangan fungsi penyimpanan air, tidak adanya bantaran banjir floodplains dan hilangnya vegetasi di sepanjang
sungai Petersen et al. 1992
Selain itu, vegetasi pada bantaran banjir dapat mengurangi angkutan sedimen di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian Irawan 2008 bahwa vegetasi
pada riparian adalah salah satu cara untuk mengendalikan erosi tebing sungai. Demikian pula dengan uraian Sandercock et al. 2007 bahwa vegetasi pada
bantaran sungai berpengaruh terhadap proses pengendapan dan pencegahan terhadap erosi. Sebagai sumber air, sungai sangat bermanfaat dalam kehidupan
manusia. Olehnya itu, maka sungai harus dikelola dengan baik demi menjaga keberlangsungan fungsinya berdasarkan karakteristik keteraturan dan
kompleksitasnya.
2.3. Banjir
Banjir adalah alirangenangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa Asdak, 2007. Pada Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Alirangenangan air yang terjadi
karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat
Sudjarwadi, 1987. Dengan demikian, kejadian banjir pada sungai menunjukkan adanya luapan di kiri dan kanan sungai dan dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Banjir terjadi ketika curah hujan dan limpasan melebihi kapasitas alur sungai
untuk mengangkut debit aliran yang meningkat Chech, 2005 Selanjutnya
Debit aliran yang meningkat disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Selain itu limpasan permukaan juga meningkat akibat kapasitas infiltrasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan curah hujan yang terjadi. Olehnya terjadinya banjir sangat terkait dengan intensitas curah hujan, infiltrasi dan
limpasan permukaan. Olehnya itu, maka dalam menentukan debit banjir Arsyad
2006 menguraikan bahwa banjir yang menggenangi lahan-lahan di perkotaan dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan terjadi sebagai akibat tidak
tertampungnya aliran permukaan yaitu air yang mengalir di permukaan tanah, oleh sungai dan saluran air lainnya.
DAERAH PENGUASAAN SUNGAI
DATARAN BANJIR DATARAN BANJIR
SUNGAI
Garis Sempadan GS GS
BANJIR BANJIR
DEBIT 50 TAHUNAN
diperlukan data curah hujan yang dianalisis menjadi intensitas curah hujan. Gambaran kejadian banjir pada sungai disajikan pada Gambar 7
Gambar 7. Kejadian banjir di sungai Nahak et al. 2008 yang mengkaji tentang penyebab utama terjadinya
genangan pada Sungai Muke di NTT serta alternatif pengendalian banjir dengan menganalisis kapasitas tampang hidraulis sungai dalam mengalirkan debit banjir
kala ulang 10 tahun. Hasil kajiannya adalah banjir terjadi akibat rendahnya kapasitas tampang maksimum bank full capacity sungai. Sedang penanganan
terhadap genangan banjir yang direkomendasikan adalah dengan membuat storage area.
Kondisi bankfull capacity yang kecil terjadi karena tingginya sedimentasi disepanjang alur sungai akibat erosi alur dan longsoran tebing sungai. Selain itu,
banjir sungai juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pasang. Hal ini sesuai dengan penelitian Nanlohy et al. 2008 yang mengkaji ruas-ruas kritis banjir pada Sungai
Tondano. Hasil penelitiannnya menunjukkan bahwa banjir di Sungai Tondano diakibatkan oleh bankfull capacity yang kecil serta pengaruh backwater akibat
pasang naik dan lateral inflow. Alternatif terbaik yang disarankan dalam penanggulangan banjir adalah pembangunan tanggul sungai
Karakteristik daerah aliran sungai juga mempengaruhi kondisi banjir yang terjadi. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang relatif curam dan bukit yang
terjal, maka banjir dengan waktu datang sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan datang dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan
waktu berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi sehingga air banjir dengan mudah mencari alur keluar.
Untuk daerah tengah banjir yang terjadi datangnya tidak secepat pada daerah hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan
keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada daerah hilir, kemiringan dasar sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan relatif
datar. Biasanya waktu datang banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan juga mengalami kesulitan. Hal ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah
kecil, sehingga air genangan tidak mungkin diatuskan dengan gaya berat. Jika kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada kondisi tinggi, maka
pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini, penanganan banjir harus menginteraksikan pengaruh aliran banjir di sungai
dengan hidrodinamika gerakan pasang surut di laut. Dalam pengelolaan banjir debit sungai merupakan parameter penentu yaitu
besarnya volume aliran di sungai. Besarnya debit atau limpasan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu elemen meteorologi dan sifat fisik daerah pengaliran. Elemen
meteorologi menyangkut jenis presipitasi, intensitas curah hujan, lamanya curah hujan, distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, arah pergerakan curah
hujan, curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah. Sedang elemen daerah pengaliran mencakup kondisi penggunaan tanah landuse, daerah pengaliran,
kondisi topografi dalam daerah pengaliran, jenis tanah dan beberapa faktor lain Sosrodarsono dan Takeda, 2006.
Data curah hujan terlebih dahulu harus dihitung probabilitasnya sehingga memenuhi standar dengan tingkat ketelitian yang dapat diterima. Probabilitas
curah hujan dihitung dengan Metode Gumbel dan Metode Log Pearson Type III serta Uji Chi Square.
Metode Gumbell adalah metode distribusi eksponensial yang sekaligus telah menggunakan kurva asimetris kerapatan dan dihitung dengan persamaan
sebagai berikut: = X + S . K…………………………………………………………………1
K = Yt – YnSn…………………………………………………………… 2 Keterangan:
= Harga rata-rata dari data curah hujan mm X = Besarnya curah hujan rata-rata rencana mm
S = Simpangan baku K = Faktor frekuensi
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data n Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
Yt = Reduced variate Metode Log Pearson Type III menggunakan parameter harga rata-rata,
standar deviasi dan koefisien kepencengan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Harga rata – rata :
………………………………………………3 Standar Deviasi :
………………………………… ……4 Koefisien kepencengan :
…………………………………………5 Keterangan:
Log X = Logaritma data yang dicari = Logaritma rata-rata data
Log Xi = Logaritma data tahun ke-i K
= Konstanta Log Pearson Type III, berdasarkan Cs S
= Simpangan baku Cs
= Koefisien kepencengan n
= Jumlah data Uji kesesuaian Chi Square
…………………………………………………6 Keterangan:
= Harga uji statistik Ei
= Frekuensi yang diharapkan Oi
= Frekuensi pengamatan
Besarnya intensitas hujan dapat ditentukan dengan rumus empiris Talbot, Sherman dan Ishiguro dengan Metode Van Breen, Metode Bell Tanimoto
Soemarto : 1986 yang diuraikan sebagai berikut: Metode Van Breen menggunakan persamaan sebagai berikut:
……………………………………………7 Keterangan
= Intensitas Hujan mmjam pada PUH T pada waktu konsentrasi tc Tc
= Waktu konsentrasi menit R
T
Metode Bell Tanimoto menggunakan persamaan : = Curah hujan harian maksimum PUH T mmjam
………………………………………….………8 Keterangan
R = Curah hujan mm
T = Periode ulang Tahun
T = durasi hujan menit
R
1
R = besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
2
Persamaan Talbot: = besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2 menurut Tanimoto
b t
a I
+ =
………………………………………………………………9
2 2
2 2
. .
II I
n I
t I
I t
I a
∑ −
∑ ∑
∑ −
∑ ∑
= …………………………………….10
2 2
2
. .
II I
n t
I n
t I
I b
∑ −
∑ ∑
− ∑
∑ =
……………………………………………11 Persamaan Sherman:
n
t a
I =
…………………………………………………………………12
[ ]
[ ]
2 2
log .
log .
. log
. log
. .
log .
log .
log log
t t
n t
I t
t I
a −
− =
………………………13
[ ]
[ ]
2 2
log .
log .
. log
. .
log .
log .
log t
t n
I t
n t
I n
− −
= ………………………………..14
Persamaan Ishiguro: b
t a
I +
= ……………………………………………………..……15
2 2
5 .
2 2
5 .
. .
I I
n I
t I
I t
I a
− −
= ………………………………………16
2 2
5 .
2 5
. 2
. .
. .
I I
n t
I n
t I
I b
− −
= ……………………..…………………..17
Keterangan: I = Intensitas hujan mmjam
t = waktu durasi hujan menit a,b = konstanta
= jumlah angka-angka dari tiap suku. Curah hujan efektif merupakan parameter curah hujan yang dipengaruhi
oleh koefisien limpasankoefisien pengaliran. Koefisien tersebut merupakan perbandingan antara banyaknya limpasan dengan banyaknya curah hujan.
Koefisien limpasan ditetapkan berdasarkan tabel koefisien limpasan yang disajikan pada Tabel 2. Besarnya curah hujan efektif adalah hasil perkalian antara
intensitas hujan dengan koefisien limpasan permukaan. Tabel 2. Koefisien limpasan
Kondisi daerah pengaliran dan sungai f
Daerah pegunungan yang curam 0.75 – 0.90
Daerah pegunungan tersier 0.70 – 0.80
Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75
Tanah dataran yang ditanami 0.45 – 0.60
Persawahan yang diairi 0.70 – 0,80
Sungai di daerah pegunungan 0.75 – 0.85
Sungai kecil di dataran 0.45 – 0.75
Sungai besar yang lebih dari setengah daerah pengalirannya terdiri dari dataran
0.50 – 0.75 Sumber : Sosrodarsono dan Takeda, 2006.
Selanjutnya untuk menggambarkan variasi debit atau permukaan air menurut waktu dibuat hidrograf satuan. Hidrograf satuan adalah hidrograf
limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif merata di DAS dengan intensitas tetap diambil 1 mmjam dalam satu satuan waktu yang ditetapkan
diambil 1 jam. Hidrograf satuan ini dianggap tetap selama faktor fisik DAS tidak mengalami perubahan. Upaya ini bisa digunakan untuk menghitung debit
sungai Priyantoro, 2009. Diagram ini dapat dibuat berdasarkan hasil pembacaan di lapangan. Namun jika data tersebut tidak tersedia, maka dapat dibuat hidrograf
sintetik antara lain dalam bentuk hidrograf Nakayashu. Hidrograf Nakayasu digunakan untuk menganalisis debit banjir yaitu
berdasarkan Gambar 8.
Gambar 8. Hidrograf Nakayashu Besarnya debit puncak dihitung dengan persamaan:
Qp = 3
. 6
. 3
.
3 .
T Tp
R CA
+ …………………………………………18
Keterangan: Q
p
= Besarnya debit puncak banjir m
3
CA = Catchment Area = Luas daerah aliran km dt
2
R Tp = Waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir jam
= Curah hujan satuan 1 mm
T
0.3
= Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak sampai menjadi 30 dari debit puncak jam.
Untuk menghitung Tp dan T
0.3
Tp = Tg + 0.8 Tr ………………………………………………19 digunakan rumus:
T
0,3
Tr = 0.75 . Tg …………………………………………………..21 =
α . Tg ……………………………………………………...20
a. Jika panjang sungai 15 km : Tg = 0.4 + 0.058 L ………………………………………22
b. Jika panjang sungai 15 km : Tg = 0.21 . L
0.7
Keterangan: ………………………………….………….23
Tg = Time lag, yaitu waktu antara permulaan hujan sampai puncak banjir jam Tr = Satuan waktu hujan jam
α = Parameter hidrograf L = Panjang alur sungai km.
Bagian lengkung Model Nak
ayasu
mempunyai persamaan sebagai berikut: Waktu naik : 0
≤ t Tp
Q
n
= Q
p
4 .
2
Tp t
. ……………………………………………24
Waktu turun : Tp
≤ t Tp + T
0.3
Q :
t
−
. 3
.
3 .
T T
t
p
= Qp . ……………………………………25
Tp + T
0.3
≤ t Tp + T
0.3
+ 1.5 T
0.3
Q
t
= Q
p
− +
−
3 .
3 .
5 ,
1 5
.
3 .
T T
Tp t
. ……………………………………26
t Tp + T
0.3
+ 1.5 T
0.3
Q
t
= Q
p
+ −
3 .
3 .
2 5
. 1
3 .
T T
Tp t
. …………………….………………27
Penentuan terjadinya banjir didasarkan pada perbedaan tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul. Tinggi muka air banjir dihitung berdasarkan
persamaan hidrolika. Karakteristik tersebut adalah kekasaran saluran, debit sungai Q dan tinggi muka air banjir h. Parameter tersebut diperoleh berdasarkan
persamaan sebagai berikut Maryono, 2005: Perhitungan drag koefisien berdasarkan kecepatan air dan ketinggian air
aktual.
…………………………………………….28 Keterangan:
λ = drag koefisien Vm = kecepatan aktual lapangan ms
h = ketinggian air m I
E
Persamaan 1 √λ dan RK
= garis energi
s
diperoleh dengan memasukkan nilai Ks duga secara berulang hingga diperoleh beberapa nilai 1
√λ yang pada persamaan:
………………………………29 Keterangan:
R = jari-jari hidrolis saluran Jari –jari hidrolis saluran diperoleh dengan rumus:
R = PA……………………………………………………….30 Keterangan:
P = Keliling basah saluran m A = Luas penampang basah m
2
Persamaan kecepatan air:
………………………………..………31 Keterangan :
V = kecepatan air ms
Persamaan debit:
VxA Q
=
……………………………………..………..32 Keterangan:
Q = debit aliran m
3
A = luas penampang basah m s
2
2.4. Pengelolaan Sungai
Pengelolaan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air.
Dalam Undang Undang No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 1 diuraikan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Selanjutnya dalam Pasal 25 diuraikan bahwa konservasi sumber daya air dilaksanakan pada
sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan
pantai. Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai Pasal 18
diuraikan bahwa pengelolaan sungai meliputi konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai. Tahapan kegiatan dalam
pengelolaan sungai adalah penyusunan program dan kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan dan evaluasi.
Salah satu bagian pengelolaan sungai adalah upaya pengendalian banjir atau pengendalian daya rusak air. Pengendalian banjir dapat dilaksanakan dengan dua
metode yaitu metode struktur dan metode non struktur. Metode struktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: a perbaikan dan pengaturan sistem sungai
berupa sistem jaringan sungai, normalisasi sungai, perlindungan tanggul, tanggul banjir, sudetan, dan floodway dan b bangunan pengendali banjir berupa
bendungan, kolam retensi, pembuatan check dam, bangunan penguras, kemiringan sungai, groundsill, retarding basin dan polder. Sedang metode non strukutural
antara lain adalah pengelolaan DAS, pengaturan tataguna lahan, pengendalian erosi. Pengembangan daerah banjir, pengaturan daerah banjir, penanganan kondisi
darurat, peramalan banjir, peringatan bahaya banjir, asuransi dan penegakan
hukun. Kodoatie dan Sugianto, 2002. Sedang dalam Undang Undang No.7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 21 diuraikan bahwa upaya
perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif danatau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Upaya tersebut
merupakan dasar dalam penatagunaan lahan. Uraian ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan sungai dapat dilakukan secara struktural sipil teknis dan non
struktural vegetatif. Namun demikian, secara umum upaya pengelolaan sungai dilakukan secara sturktural.
Pengembangan sungai-sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan pembangunan fisik yang realatif cepat. Pembangunan
fisik tersebut misalnya pembuatan sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul sisi dan pembetonan tebing, baik pada sungai kecil maupun pada sungai besar. Hal ini
menyebabkan terjadinya percepatan aliran menuju hilir dan sungai bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang lebih besar dalam waktu yang lebih
cepat dibandingkan sebelumnya. Maryono, 2005 Sudetan merupakan pengelolaan sungai yang bertujuan untuk
menghilangkan aliran sungai pada meandering dengan cara menyudet sungai di tempat-tempat tertentu sehingga air tidak melewati meander lagi. Pada
pengelolaan tersebut, maka secara ekologi pada daerah meander tidak lagi merupakan suatu ekosistem sungai. Demikian pula pada kegiatan normalisasi
sungai yang menyebabkan adanya anak-anak sungai yang tidak lagi berfungsi karena ditutup pengalirannya. Normalisasi sungai merupakan upaya untuk
mengubah tampang alur memanjang sungai yang semula bermeandering menjadi relatif lurus. Selain itu, pada tampang melintang sungai yang semula tidak teratur
diubah menjadi teratur tampang segiempat atau trapesium. Pengelolaan sungai yang umum dilakukan adalah pembuatan tanggul di kiri
dan kanan sungai. Pembuatan tanggul memanjang sungai damming adalah rekayasa teknik hidro dengan tujuan membatasi limpasan atau luapan air sungai
sehingga banjir di kawasan tersebut dapat dihindari Maryono, 2007. Konstruksi ini dinilai dapat melindungi kawasan sekitar sungai dari banjir. Tanggul dapat
dibuat memanjang pada satu sisi sungai atau kedua sisinya. Tanggul satu sisi biasanya dibangun pada kondisi sungai berbatasan dengan tebing di sisi lainnya.
Namun demikian kegagalan struktur sering dialami berupa jebolnya tanggul akibat daya kinetis air yang besar. Akibat adanya tanggul, maka kecepatan air
pada sungai menjadi lebih cepat. Pembangunan tanggul secara parsial akan menyebabkan terjadinya banjir di hilir, hilangnya vegetasi tebing sungai serta
adanya habitat yang hilang pada daerah genangan. Uraian di atas mengindikasikan bahwa pengelolaan sungai secara struktural
yang masih merupakan pilihan yang utama walaupun berdampak pada kondisi lingkungan biotik dan abiotik. Hal ini terjadi karena pengelolaan tersebut hanya
memperhitungkan karakteristik hidrolika tanpa memperhitungkan karakteristik ekologi dan sosial.
2.5 Konsep Ekohidrolik
Ekohidrolik berasal dari kata ecological hydraulics yaitu konsep yang mengembangkan unsur ekologi atau lingkungan dalam pengelolaan sungai.
Konsep ini merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumber daya air terpadu. Sebagaimana uraian Naiman et al. 2007 bahwa dalam pengelolaan
sumber daya air terpadu IWRM terdapat empat konsep yaitu hydroecology, aquatic ecohydrology, ecohydraulics dan environmental flows. Adapun definisi
ecohydraulic adalah konsep atau kajian yang mengintegrasikan antara proses fisik dan respon ekologi pada sungai, estuaria dan lahan basah.
Herricks dan Suen 2003 menguraikan bahwa ekohidrolik merupakan konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dalam analisa hidrolika
lingkungan yang memperhitungkan keberadaan organisme pada saluran. Selanjutnya Dong 2004 menguraikan bahwa konsep ekohidrolik yang
mengintegrasikan rekayasa hidrolika dengan ekologi. Konsep ini menguraikan tentang pengaruh rekayasa hidrolika pada sistem ekologi sungai, syarat kesehatan
dan keberlanjutan ekosistem akuatik. Dalam penanggulangan banjir secara ekohidrolik, maka komponen-
komponen daerah aliran sungai dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ekologi dan hidrolik secara integral. Berbeda dengan pengelolaan sungai secara
konvensional yang hanya memandang daerah aliran sungai sebagai sistim hidrolik sehingga air diharapkan mengalir secepatnya ke daerah hilir. Konsep ekohidrolik