Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Obyek Penelitian

mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 2. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 3. PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Pasal 1 ayat 6 menyebutkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Disebutkan lebih lanjut pada pasal 22, pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Disebutkan dalam pasal 33 ayat 1 bahwa obyek pajak pengambilan dan pemanfaatan air air bawah tanah dan air permukaan adalah pengambilan air bawah tanah danatau air permukaan; pemanfaatan air bawah tanah danatau air permukaan; pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah danatau air permukaan. Pasal 34 menyebutkan subyek dan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah danatau air permukaan.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP

Darusman 1993, menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyartahun atau setara dengan Rp 280 jutaha taman nasionaltahun. USAID 2006 menyatakan bahwa keberadaan TNGGP memiliki peranan penting bukan hanya untuk wilayah hulu tetapi juga bagi wilayah hilir seperti Jakarta dan sekitarnya. Manfaat kawasan ini sebagai daerah tangkapan air yang penting bagi kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor dan DKI Jakarta; penyerap dan penyimpan karbon; penyeimbang iklim mikro; pengatur tata air; wisata alam; penelitian dan pendidikan. Jasa ekosistem kawasan hutan ini secara terus menerus menopang kehidupan manusia dan pembangunan. USAID 2006 lebih lanjut menjelaskan, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan TNGGP. Pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air. 2.5 Penelitian Terdahulu 2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP Karya ilmiah mengenai peningkatan kualitas jasa lingkungan TNGGP melalui Payment for Environmental Services PES, pernah dilakukan oleh Sudrajat et al. 2009. Sudrajat et al. 2009 menyebutkan bahwa pemilik villa, perkebunan teh dan instansi pembangkit listrik pun harus turut membayar jasa air dari TNGGP yang dimanfaatkan. Dana yang diperoleh dari hasil pembayaran jasa lingkungan tersebut dikelola oleh suatu badanlembaga yang dibentuk khusus untuk mengatasi masalah lingkungan. Dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk pengelolaan TNGGP untuk penjagaan kualitas lingkungan di kawasan. Lebih lanjut lagi, Sudrajat et al. 2009 menyebutkan pembayaran jasa lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk biaya reboisasi, manajemen pengelolaan, biaya informasi, dan biaya promosi. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kualitas lingkungan TNGGP tetap terjaga. Selain itu, manfaat jasa yang dihasilkan oleh TNGGP dapat terus ditingkatkan. Artinya, pembayaran jasa lingkungan berkorelasi positif dengan peningkatan jasa lingkungan. Penelitian lainnya mengenai pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut adalah Sutopo 2011. Penelitian ini ditekankan pada pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang mengambil lokasi studi di DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini menyebutkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mencapai 54,3 dan sebanyak 61,1 perusahaan pemanfaat air minum bersedia membayar jasa lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga mengasilkan rataan kesediaan perusahaan membayar WTP sebesar Rp 1.538,65m 3 dan kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan WTA sebesar Rp 1.589,29m 3 . Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97m 3 .

2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia studi kasus di beberapa DAS

Budhi et al. 2008 melakukan penelitian mengenai konsep dan penerapan dari program pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir. Mekanisme ini diagggap penting diterapkan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, penerapan dari program tersebut tidak mudah. PT KTI sebagai perusahaan air kemudian siap mendanai penerapan tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Budhi et al. 2007 Gambar 3 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Penerapan mekanisme ini telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Industri PDAM Kelompok Tani PT KTI Sektor Swasta FKDC PLN K eterangan : : Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan penerapan pembayaran jasa lingkungan. Namun, penerapan tersebut menemui beberapa hambatan. Hambatan tersebut yaitu konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru. Hal ini dikarenan adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan. Penerapan yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran. Hak dan kewajiban tiap para pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat diuji coba pada skala nasional. Lokasi lain yang menjadi penerapan mekanisme ini adalah DAS Wai Besai Sumberjaya, Lampung. Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES 2010. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai deforestasi yang tidak terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996. Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara Suyanto Khususiyah 2006. Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pemdapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan land right akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani. LPM Equator 2011 menyatakan proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus dipenuhi dalam pengembangannya. Mekanisme yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu contoh penerapan pembayaran jasa lingkungan yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung Gambar 4. Gambar 4 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung. Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro PLTA Pembayaran jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat kepemilikan lahan Masyarakat hulu DAS Way Besai Masyarakat peduli sungai RUPES intermediary Pelaksanaan kontrak dimana masyarakat hulu berhasil menurunkan sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan di beberapa lokasi yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP. Lokasi-lokasi penelitian antara lain Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BB TNGGP, Forum Peduli Air Forpela TNGGP, ESP-USAID, Sekretariat Mapala UI, PT Rejosari Bumi unit Tapos, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara, Pusdiklat Karya Nyata serta desa Tangkil dan Cinagara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2011. Lokasi-lokasi penelitian tersaji pada Lampiran 6.

3.2 Alat dan Obyek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perekam suara, kamera, panduan wawancara, serta alat tulis. Sedangkan obyek penelitian yang dikaji antara lain para pihak serta peranan masing-masing pihak yang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP.

3.3 Metode Pengumpulan Data