Permasalahan Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

selaku pengelola kawasan TNGGP. Di lokasi penerapan PJL lainnya misal: Cidanau dan Sumberjaya, kegiatan pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi wilayah hulu dilakukan secara bersamaan. Adanya kerjasama antara BB TNGGP dengan masyarakat desa penyangga dalam melakukan upaya konservasi akan membuat penerapan mekanisme ini lebih baik. Waage dan Stewart 2007, menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu: jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya; informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun transparan dan akuntabel; kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel; selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik. Apabila keempat hal tersebut dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam mekanisme ini, maka mekanisme ini akan berjalan lebih baik.

5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

5.4.1 Permasalahan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya: 1. Payung hukum yang diacu Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP mengacu pada surat edaran Dirjen PJLKKHL. Selain aturan tersebut, belum terdapat payung hukum yang jelas mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Selanjutnya, aturan yang dijadikan acuan dalam mekanisme ini adalah surat edaran dirjen PHKA, perjanjian-perjanian kerjasama, naskah kesepahaman, serta peraturan perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum. Terdapat beberapa hal yang saling bersinggungan dalam perjanjian kerjasama antara BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan BB TNGGP dengan pemanfaat air. BB TNGGP membuat MoU kerjasama pemanfaatan air dari kawasan kepada pemanfaat dengan proses tertentu. Di sisi lain, BB TNGGP juga membuat MoU kemitraan dengan Forpela TNGGP. Hal ini kemudian menjadi masalah ketika pemanfaat air tersebut belum menjadi anggota Forpela TNGGP. Pemanfaat air harus membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP terlebih dahulu. Apabila pemanfaat kemudian menjadi anggota Forpela TNGGP, maka kesepakatan mana yang harus diacu oleh pemanfaat menjadi suatu hal yang saling bersinggungan. 2. Kinerja Forpela TNGGP Kinerja Forpela TNGGP dinilai beberapa pihak belum optimal. Forpela TNGGP yang terdiri dari para pemanfaat air dirasakan kurang dapat merangkul komitmen dari para pemanfaat air untuk berkontribusi. Selain itu, sistem keuangan Forpela TNGGP juga menjadi suatu permasalahan dalam penerapannya. Beberapa pihak menilai belum adanya transparansi keuangan dari Forpela TNGGP itu sendiri. Hal ini berdampak pada pemanfaat yang berkomitmen memberikan kontribusi pada akhirnya mempertanyakan kinerja Forpela TNGGP. 3. Peranan masing-masing pihak yang belum dijalankan Para pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung belum sepenuhnya menyadari peranannya dalam mekanisme yang ada. Hal ini kemudian berdampak bagi kinerja masing-masing pihak dalam mekanisme yang ada. Contohnya, anggota kelompok tani, mereka belum menyadari perannya sebagai penyedia jasa lingkungan yang kemudian seharusnya menjaga wilayah mereka agar jasa lingkungan air dapat terus tersedia. Mereka hanya mengetahui untuk tidak melakukan penebangan di dalam kawsan konservasi. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan seperti agroforestri atau kebun multistrata. Selain itu, peranan dari pihak yang seharusnya melakukan pendampingan terhadap anggota kelompok tani juga belum dijalankan dengan baik. Akibat yang terjadi adalah tidak berjalannya program maupun kelompok tani yang ada. Contohnya terjadi pada KT Saluyu antara tahun 2008-2009. Pendampingan terhadap kelompok dirasakan baru setengah perjalanan. Selanjutnya, kelompok ditinggal begitu saja tanpa pendampingan. Hal ini berdampak pada kehancuran kelompok dan program yang ada. 4. Komitmen para pemanfaat Berdasarkan hasil wawancara, dua dari lima pemanfaat belum ingin berkomitmen untuk mengikuti mekanisme PJL ini. Selain itu, para pemanfaat juga menganggap kontribusi yang dikeluarkan cukup pada awal mula keanggotaan Forpela TNGGP. 5. Pemilihan lokasi penerapan mekanisme PJL Pemilihan lokasi penerapan seharusnya berkaitan dengan keadaan masyarakat sebagai penyedia jasa dan jasa lingkungan yang didefinisikan itu sendiri. Lokasi penerapan seharusnya mampu mengakomodasi ketersediaan jasa lingkungan yang ada melalui pengelolaan dari kelompok tani. Pemilihan lokasi penerapan menjadi suatu permasalahan ketika penguatan kapasitas kelompok masyarakat di lokasi tersebut belum dilakukan. Kelompok tani dirasakan belum siap menerima bantuan dan menjalankan mekanisme yang ada. Selain itu, adanya konflik diantara masyarakat itu sendiri menjadi salah satu hambatan. Hal ini kemudian berdampak kepada pengelolaan bantuan yang diberikan dan pemahaman masyarakat mengenai program yang berjalan. 6. Pemilihan bantuan yang diberikan kepada masyarakat Bantuan yang diberikan tepat sasaran apabila disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Anggota kelompok tani di kedua desa mayoritas merupakan petani sawah dan ladang. Bantuan yang diberikan seharusnya tidak jauh dari sektor pertanian sehingga mereka dapat mengelola bantuan tersebut dengan baik. Namun, bantuan yang diberikan berupa domba dan kelinci. Anggota kelompok tani banyak yang tidak mengetahui bagaimana beternak domba dan kelinci. Pada akhinyra domba-domba yang diberikan belum mencapai panen maksimal dan kelinci banyak yang terserang penyakit hingga mati. Selain itu, bantuan berupa mesin mikrohidro yang diberikan kepada warga kampung Gunung Batu KT Garuda Ngupuk juga menjadi permasalahan. Warga kampung Gunung Batu merasa bantuan mesin mikrohidro yang diberikan tidak dapat berfungsi untuk warga. Warga sebenarnya menginginkan untuk dibuatkan jaringan PLN saja daripada mengahabiskan dana yang besar untuk PLTMH tetapi alat tersebut tidak dapat digunakan warga. PLTMH hanya mampu mengaliri listrik untuk 20 KK sedangkan warga kampung Gunung Batu berjumlah 80 KK. Pelatihan usaha yang diberikan kepada anggota kelompok tani juga dirasakan kurang sesuai. Anggota kelompok tani Saluyu diberikan pelatihan untuk membuat kerupuk wortel. Jika dilihat dari bahan baku, usaha ini nantinya tidak bisa dijalankan oleh warga. Warga cukup kesulitan untuk memperoleh bahan baku untuk usaha tersebut. Adanya hal-hal yang bertentangan antara pihak yang menerima bantuan dengan pihak yang menyalurkan bantuan menjadikan bantuan yang diberikan kurang tepat sasaran. Hal yang terjadi kemudian adalah pengelolaan bantuan yang kurang maksimal. 7. Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak juga dinilai kurang maksimal. Banyak pihak yang belum memahami mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP. BB TNGGP 2011, menyebutkan salah satu kendala yang dihadapi oleh BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan pemanfaat air sebagai mitra adalah kurangnya komunikasi antara BB TNGGP dengan para mitra. Penyampaian informasi mengenai mekanisme yang dijalankan juga tidak sampai ke masyarakat. Mayoritas anggota kelompok tani yang diwawancarai mayoritas asing dengan istilah pembayaran jasa lingkungan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok tani, sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Responden tidak mengetahui secara rinci mengenai mekanisme ini. Responden hanya mengetahui adanya bantuan yang diberikan dan kewajiban membayar iuran yang harus dijalankan. Konsep pembayaran jasa lingkungan air mulai dari awal proses hingga penerapan tidak dipahami responden. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai pun menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Proses penyampaian informasi yang kurang baik kemudian menjadikan konflik diantara para pihak. Hal ini kemudian membuat para pemanfaat belum ingin berkomitmen melakukan kontribusi, adanya konflik antar kelompok tani karena adanya pelimpahan bantuan dan program ke kelompok lain, serta banyak pihak yang tidak mengetahui perkembangan mekanisme yang dijalankan. 8. Monitoring dan evaluasi yang kurang berjalan baik Monitoring dan evaluasi monev yang kurang berjalan dengan baik menjadi salah satu hambatan terhadap mekanisme itu sendiri. Adanya monev yang baik memungkinkan keberlanjutan mekanisme ke arah yang lebih baik. Melalui monev, keterlibatan para pihak dalam mekanisme serta perkembangan yang terjadi dapat terus terpantau. Dalam mekanisme ini, hal tersebut terlihat masih kurang dilakukan. Hal ini berdampak pada keterlibatan para pihak yang kurang terkontrol dan perkembangan mekanisme yang dipertanyakan banyak pihak.

5.3.4 Solusi yang ditawarkan