BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jasa Lingkungan
Jasa lingkungan definisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan
lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami Sutopo 2011. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya DPR RI 2007. Leimona et al. 2011 mendefinisikan jasa lingkungan sebagai
penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan
kehidupan. Wunder 2005, membagi produk jasa lingkungan hutan atau kawasan
konservasi dalam empat kategori, yaitu: 1.
Penyerap dan penyimpanan karbon carbon sequestration and storage 2.
Perlindungan keanekaragaman hayati biodiversity protection 3.
Perlindungan daerah aliran sungai watershed protection 4.
Keindahan bentang alam landscape beauty
2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan
Pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi tawar jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan
merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelola penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan,
lahan atau ekosistem Suprayitno 2008. Wunder 2005 menyatakan pembayaran jasa lingkungan Payment for Environmental Services
sebagai “a voluntary transaction where a well-defined ES or land-use likely to secure that service is
being ‘bought’ by a minimum one ES buyer from minimum one ES provider if and only if ES provider secures ES provision conditionally
....” Berdasarkan definisi tersebut, terlihat adanya beberapa pihak yang berkaitan dengan
pembayaran jasa lingkungan, yaitu penyedia jasa, pembeli jasa serta perantara diantara keduanya.
Wunder 2008 membagi skema PES menjadi tiga bagian, yaitu skema PES murni, skema “PES-like”, dan insentif ekonomi lainnya Gambar 2. Skema
“PES-like “ lebih banyak diterapkan dibandingkan dengan skema PES murni. Skema “PES-like” memenuhi kriteria-kriteria PES menurut Wunder 2005 tetapi
tidak semua kriteria.
Sumber: Wunder 2008
Gambar 2 Pembagian skema PES. CIFOR 2008 menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang membuat skema
“PES-like” lebih dominan dibandingkan skema PES murni. Hal-hal tersebut diilustrasikan dengan membahas masing-masing kriteria, yaitu:
1. Pertama, PES memiliki konsep sukarela, kerangka negosiasi, dimana hal ini
membedakan PES dari pendekatan “command and control”. Hal ini mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam
penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus. 2.
Kedua, jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan untuk menyediakan jasa seringkali tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah, dan bahkan kadang tidak mungkin, khususnya ketika hal itu berasal dari proses hidrologi.
3. Ketiga, terdapat minimum satu pembeli jasa
4. Keempat, terdapat minimum satu penyedia jasa. Bagaimanapun, pada
praktiknya beberapa inisiatif dibiayai oleh donor lain daripada pembeli jasa, sementara yang lainnya membayar penyedia jasa tetapi menggunakan
sumberdaya tersebut untuk aktivitas proyek dibandingkan pembayaran kepada penyedia jasa.
5. Kelima, pada skema PES, pembayaran oleh pengguna tergantung pada
keberlanjutan penyediaan jasa. Kriteria persyaratan ini sangat sulit dilakukan, dan di beberapa negara berkembang, bisnis ini seperti fitur PES, dimana hal itu
berarti “anda membayar apa yang anda dapatkan”, meningkatkan substansi resistensi politik.
Wunder 2008 menyebutkan bahwa kelima kriteria PES digunakan di beberapa skema yang sebenarnya, tetapi penerapan dari skema “PES-like”
memenuhi hampir keseluruhan kriteria-lebih banyak jumlahnya. Beberapa skema PES berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa
lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan LSM. Wunder 2008 lebih lanjut menye
butkan, skema “PES-like” lainnya dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama
pengguna jasa lingkungan. Skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan
berbagai tujuan lainnya pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional. Hal ini didukung oleh dukungan politik, tetapi mungkin akan
membahayakan keefektifan dalam mencapai tujuan lingkungan mereka. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff 2009 menyebutkan bahwa konteks PES
yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. Secara pribadi, komunitas
dan masyarakat lokal menyediakan, pilihan-pilihan penggunaan lahan biasanya secara hukum kurang dibatasi, sehingga PES dapat diaplikasikan untuk
mempengaruhi pilihan manajemen sumberdaya secara sukarela. Kawasan konservasi, bagaimanapun, sudah diutamakan untuk dijaga secara ketat, dimana
pada dasarnya membuat PES tidak dapat digunakan. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff 2009 juga menyebutkan, pembayaran di
kawasan konservasi bisa disesuaikan dalam kasus-kasus khusus berikut: a dalam penggunaan kawasan konservasi secara berkelanjutan dimana jarak yang legal
atau toleransi dari pilihan penggunaaan lahan berada pilot PES berada pada pengaturan-pengaturan tertentu; b ketika kawasan konservasi sudah
dideklarasikan “di atas” tanah-tanah pribadi atau komunal sebelumnya, atau c ketika potensi “command and control” secara de facto mendekati nol.
Bagaimanapun, walau dibawah keadaan yang bertentangan, insentif dari konteks PES di kawasan konservasi berpotensi untuk dapat ditingkatkan. Misalnya, aksi
dari pembayaran penghuni liar illegal yang tidak menebang menciptakan dilema keadilan, tuntutan hukunan bagi yang suka menentang mendorong harapan
bahwa menghindari aktivitas-aktivitas ilegal layak mendapat kompensasi dan “magnet” efek demografi pembayaran bahkan menarik lebih banyak penghuni
liar. Penggunaan PES sebagai cara untuk meningkatkan nilai baru bagi
manajemen kawasan konservasi mungkin adalah sebuah pilihan, tetapi hal tersebut tidak jauh berbeda dari ide asli PES sebagai kompensasi penyedia jasa
yang menanggung biaya konservasi. Ketika pendekatan “command and control”
dan PES dapat dikombinasikan di beberapa kasus Wunder Wertz- Kanounnikoff 2009.
Rosa et al. 2003 menekankan bahwa prinsip yang paling penting dalam
menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan. Tujuan
pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif
sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan
lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari Leimona et al. 2011.
Landell-Mills dan Porras 2002 menjelaskan beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di dunia, yaitu:
1. Direct negotiation, yaitu transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa
lingkungan. Pada umumnya, hal ini tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan. Hal ini seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang.
2. Intermediary-based transaction. Dalam proses ini, fasilitator berperan agar
mengurangi biaya transaksi dengan cara mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko
kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada.
3. Pooled transaction, yaitu pendekatan yang mengandung resiko transaksi
dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. 4.
Joint venture, yaitu mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan
imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut. Imbalan tersebut berbentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain.
5. Retail based traders, yaitu imbalan jasa lingkungan yang terdapat pada produk
pasar dan jasa. 6.
Internal traiding, yaitu transaksi antar departemen dalam suatu organisasi. 7.
Over the conter tradersusers fees. Jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu dalam menjalankan mekanisme ini.
Cahyono dan Suyanto 2006 menyatakan, imbal jasa multifungsi DAS mensyaratkan pemanfaat jasa membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia
jasa. Selain itu, jasa yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa harus disepakati terlebih dahulu. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan
bahwa jasa tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa.
Gouyon 2004, membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu :
1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas
pertukaran suatu perubahan tata guna lahan. 2.
Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.
3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar
yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.
Waage dan Stewart 2007, menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu :
1. Jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku
kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya.
2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun transparan
dan akuntabel. 3.
Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel. 4.
Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik.
2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan