Berdasarkan  pengertian  Wunder  2005  tersebut,  mekanisme  yang  berjalan di kawasan TNGGP memenuhi empat dari lima kriteria. Lebih lanjut lagi, Wunder
2008  menyebutkan  bahwa  mekanisme  yang  memenuhi  hampir  semua  kriteria termasuk pada mekanisme
“PES-like”. Wunder  2008  lebih  lanjut  menyebutkan,  skema  “PES-like”  lainnya
dijalankan  oleh  lembaga  pemerintah,  yang  berperan  sebagai  pembeli  atas  nama pengguna  jasa  lingkungan.  Dalam  mekanisme  ini,  terdapat  dua  instansi
pemerintah yang berperan sebagai pembeli jasa lingkungan. Selain itu, ekosistem kawasan TNGGP juga dikelola oleh pemerintah BB TNGGP.
Wunder  2008  menyebutkan,  skema  tersebut  memiliki  cakupan  wilayah yang  lebih  luas  dan  cenderung  menggabungkan  beberapa  jasa  lainnya,  serta
mengutamakan berbagai tujuan lainnya pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral  dan  regional.  Hal  ini  yang  coba  dijalankan  di  TNGGP.  USAID  2009
menyatakan  bahwa  Forpela  TNGGP  memiliki  skema  yang  berbeda,  yaitu  skema yang  melakukan  upaya  konservasi  taman  nasional  serta  memperbaiki
kesejahteraan  masyarakat  daerah  penyangga.  Skema  ini  dijalankan  melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat
berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff 2009 menyebutkan bahwa konteks PES
yang  dilakukan  di  kawasan  konservasi  dapat  disesuaikan  pada  beberapa  kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus.
5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme
Evaluasi  terhadap  mekanisme  pembayaran  jasa  lingkungan  air  di  kawasan TNGGP dilihat dari beberapa aspek berdasarkan perkembangannya. Aspek-aspek
tersebut antara lain: kenggotaan Forpela, pendanaan, skema, program kerja, serta manfaat bagi masing-masing pihak.
Keanggotaan Forpela terdiri dari pemanfaat-pemanfaat air yang mengambil air  langsung  dari  kawasan  TNGGP.  Pasal  12  ADART  Forpela  menyebutkan
bahwa  pemanfaat-pemanfaat  tersebut  terdiri  dari  lembaga,  perusahaan,  lapisan masyarakat  yang  berkepentingan  terhadap  pemanfataan  jasa  lingkungan  air  di
kawasan  TNGGP  Forpela  TNGGP  2006.  Berdasarkan  rekapitulasi  anggota Forpela  tahun  2009,  di  sekitar  resort  Tapos,  Cimande,  dan  Bodogol  terdapat  28
pemanfaat  air  Forpela  TNGGP  2009.  Namun,  ketika  diambil  sampel  sebanyak lima  pemanfaat  dari  28  pemanfaat  di  ketiga  lokasi  tersebut,  dua  pemanfaat
menyebutkan  bahwa  mereka  belum  menjadi  anggota  Forpela.  Berdasarkan  hasil wawancara, dua pemanfaat tersebut juga mengaku belum memberikan kontribusi
berupa iuran kepada Forpela TNGGP. Rekapitulasi  keanggotaan  Forpela  TNGGP  seharusnya  dapat  dilakukan
setiap  tahun.  Hal  ini  menyangkut  kondisi  para  pemanfaat  dan  kontribusi  yang diberikan.  Pemanfaat  air  yang  sudah  bangkrut  atau  tidak  mau  memberikan
kontribusi  akan  mempengaruhi  manajemen  dan  pendanaan  Forpela  TNGGP  itu sendiri.
Pasal 12 ADART Forpela TNGGP juga menyebutkan bahwa pemanfaat air di wilayah TNGGP wajib menjadi anggota Forpela TNGGP. Pada pasal ini tidak
dijelaskan lebih lanjut apakah pemanfaat air yang mengambil air melalui mata air di  daerah  penyangga  TNGGP  wajib  menjadi  anggota  Forpela.  Sutopo  2011
menyebutkan potensi air bersih yang bersumber dari mata air di daerah penyangga TNGGP,  kuantitas  dan  kualitas  airnya  sangat  dipengaruhi  oleh  curah  hujan,
morfologi,  dan  tumbuhan  penutupnya.  Oleh  karena  itu,  pemanfaat-pemanfaat yang  mengambil  air  dari  mata  air  di  daerah  penyangga  kawasan  seharusnya
berkontribusi  dalam  upaya  konservasi  kawasan.  Berdasarkan  penelitian  Sutopo 2011, terdapat tujuh perusahaan AMDK yang memanfaatkan air dari mata air di
sekitar  kecamatan  Caringin.  Perusahaan-perusahaan  ini  bersedia  memberikan kontribusi melalui mekanisme PJL.
Pendanaan  Forpela TNGGP berasal dari iuran pokok dan iuran wajib  yang dibayarkan  anggota  Forpela.  Selain  itu,  sumber  dana  juga  dapat  berasal  dari
sumbangan  sukarela  atau  hibah.  Berdasarkan  pernyataan  keuangan  Forpela TNGGP  2010  disebutkan  bahwa  jumlah  dana  kompensasi  yang  terkumpul
sampai  tahun  2010,  tercatat  Rp  8.000.000  dan  saldo  keuangan  Forpela  TNGGP sebesar Rp 17.000.000. Apabila dikurangi dengan pengeluaran tahun sebelumnya
seharusnya  jumlah  tersebut  menjadi  Rp  17.500.000.    Tidak  terdapat  keterangan mengenai  hal  ini.  Hal  ini  dikarenakan  dalam  pernyataan  keuangan  yang  diacu,
tidak  terdapat  rincian  pengeluaran  untuk  pembiayaan  kegiatan  maupun  program kerja  Forpela.  Apabila  dihitung  berdasarkan  bantuan  yang  diberikan  kepada
kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, dana yang dikeluarkan menjadi lebih besar dibandingkan dengan apa yang tercantum pada pernyataan keuangan.
Selain itu, tidak terdapat rincian cost-sharing dengan pihak lain seperti ESP- USAID  dan  YBUL  dalam  pemberian  bantuan  terkait  PJL  di  desa  Tangkil  dan
Cinagara. ESP-USAID selaku partner sharing Forpela TNGGP dalam pemberian bantuan,  tidak  menyebutkan  besaran  cost-sharing  yang  dikeluarkan  untuk
membiayai  program  tersebut.  Mereka  hanya  menyebutkan  bahwa  mereka memberikan sharing lebih kepada hal teknis. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam
bentuk teknis seperti apa sharing tersebut diberikan. Hal-hal  tersebut  juga  dipertanyakan  para  pemanfaat  yang  memberikan
kontribusi  kepada  Forpela  TNGGP.  Mereka  mengeluhkan  transparansi  keuangan Forpela  TNGGP.  Tidak  terdapat  catatan  keuangan  untuk  para  pemanfaat  yang
telah memberikan kontribusi maupun yang belum berkontribusi. Selain itu, bukti pembayaran  tidak  diberikan  kepada  para  pemanfaat  air  yang  telah  berkontribusi.
Hal  ini  seharusnya  tidak  terjadi  apabila  Forpela  TNGGP  merupakan lembagaforum yang memiliki akuntabilitas yang baik.
Skema  pembayaran  jasa  lingkungan  air  yang  dibuat  dalam  mekanisme  ini masih menyangkut skema yang umum. Pada skema, hal-hal menyangkut teknis di
lapang  ketika  penerapan  belum  terlihat.  Misalnya:  program  rehabilitasi  yang dilakukan  sepeti  apa,  dilakukan  dimana,  berapa  luasan  tempat  dilakukan
rehabilitasi  tersebut,  dsb.  Hak  dan  kewajiban  para  pihak  khususnya  pembeli, penyedia dan perantara diantara keduanya tidak  terlihat dalam skema. Selain itu,
aliran  dana  dari  pemanfaat  dan  ditujukan  untuk  apa  saja  dana  tersebut  tidak terlihat pada skema.
Skema  juga  tidak  mengakomodasi  aliran  dana  dari  pemanfaat  kepada pemerintah daerah, khususnya yang melalui pajak air. Pemanfaat air dari mata air
air  permukaan  yang  berada  di  luar  kawasan  tetapi  berada  di  desa  penyangga seharusnya membayarkan pajak air melalui pemerintah daerah.  Aliran air tersebut
pada  dasarnya  juga  berasal  dari  fungsi  ekosistem  TNGGP.  Skema  tidak memperlihatkan  aliran  dana  dari  pemerintah  daerah  kepada  BB  TNGGP  selaku
pengelola kawasan maupun kepada masyarakat desa penyangga. Bersdasarkan PP 65  tahun  2001  tentang  Pajak  Daerah,  pasal  77  disebutkan  bahwa  pemerintah
daerah menerima 70 dari pajak air permukaan dan air tanah dari propinsi DPR RI  2001.  Pasal  78  menyebutkan  bahwa  desa  masyarakat  menerima  10  dari
pemerintah  kabupaten  atas  hasil  penerimaan  pajak  kabupaten.  Pajak  air  yang dibayarkan  pemanfaat  ke  pemerintah  daerah  seharusnya  dapat  disalurkan  ke
masyarakat  melalui  Forpela.  Forpela  seharusnya  dapat  mengelola  hasil penerimaan  pajak  air  yang  diperuntukkan  untuk  pemberdayaan  masyarakat  desa
penyangga  kawasan  yang  menjadi  mitra  Forpela.  Hal  ini  dilakukan  agar  aliran dana  dari  pemerintah  daerah  melalui  pajak  daerah  pajak  air  dikelola  dengan
jelas.
Mekanisme  pembayaran  jasa  lingkungan  air  yang  dilakukan  di  TNGGP memiliki  kelebihan  dan  kekurangan.  Berdasarkan  hasil  identifikasi  di  lapangan
dan literatur yang ada, kelebihan dan kekurangan mekanisme tersebut tersaji pada Tabel 21.
Tabel 21  Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP
Kelebihan Kekurangan
  Dapat mengajak lebih dari satu pemanfaat untuk berkontribusi dalam mekanisme
  Hanya  mengajak  pemanfaat  yang mengambil air langsung dari kawasan
  Bertujuan  juga  untuk  meningkatkan kesejahteraan  masyarakat  desa  penyangga
melalui inkubasi usaha terpadu   Penerapan  program  di  dua  desa  tidak
berjalan baik   Bantuan  yang  diberikan  bersifat  non
finansial dan tidak langsung berupa dana   Pembagian  cost-sharing  dari  pemanfaat
dan lembaga donor tidak jelas   Dapat mengajak peran serta banyak pihak
sebagai  fasilitator  serta  donor  untuk  cost- sharing
  Peranan  para  pihak  dalam  mekanisme belum  terlihat  jelas  pada  penerapan
mekanisme, peran
Forpela terlihat
dominan. Sumber: Data diolah 2011
Berdasarkan  Forpela  TNGGP  2009  terdapat  beberapa  program  kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon Bank Bibit,
Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan  kapasitas  kelembagaan  Forpela  TNGGP,  Program  peningkatan
kerjasama  kemitraan  pengelolaan  sumberdaya  air,  Program  pemberian  susu pasteurisasi  dan  gemar  menanam  untuk  siswa-siswi  Sekolah  Dasar  di  desa
penyangga,  dan  Program  studi  banding  dalam  penerapan  pembiayaan  jasa lingkungan  Forpela  TNGGP  2009.  Berdasarkan  dokumen  tahunan  Forpela
TNGGP  2009,  2010  maupun  hasil  wawancara,  tidak  terdapat  penjelasan
mengenai program kerja apa saja yang terkait dengan mekanisme PJL di TNGGP. Evaluasi  terhadap  program  kerja  Forpela  TNGGP  hanya  sebatas  program  yang
dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Program  yang  dilakukan  di  desa  Tangkil  dan  Cinagara  yaitu  Program
pembangunan  pusat  pembibitan  pohon  Bank  Bibit  dan  Program  peningkatan partisipasi  dan  peluang  usaha  produktif  masyarakat  Forpela  TNGGP  2009.
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi  kegiatan  pelatihan-pelatihan  usaha  dan  sekolah  lapang  serta  pemberian
bantuan  untuk  inkubasi  usaha  masyarakat.  Pelatihan-pelatihan  usaha  bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro
bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas  yang dikelola secara  swadaya  oleh  warga.  Pengembangan  listrik  berbasis  komunitas  ini
diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Pemberian bantuan berupa 2 unit WC umum
di  kapung  Pojok  bertujuan  untuk  mengurangi  aktifitas  MCK  warga  di  sungai Cinagara. Namun, pada akhirnya, bantuan-bantuan tersebut tidak berjalan.
Kinerja  mekanisme  PJL  di  TNGGP  juga  dilihat  berdasarkan  manfaat  yang diterima  masing-masing  pihak,  terutama  penyedia  dan  pembeli  jasa  lingkungan
air. Bagi para pemanfaat air, manfaat mekanisme PJL tidak terlalu dirasakan. Hal ini dikarenakan pemanfaat merasa debit air sebelum dan sesudah mekanisme PJL
stabil,  sehingga  adanya  mekanisme  PJL  tidak  terlalu  berpengaruh  terhadap  debit air  yang  disediakan.  Debit  air  masih  mencukupi  kebutuhan  para  pemanfaat.
Namun,  manfaat  lain  yang  dapat  dirasakan  para  pemanfaat  adalah  dapat berpartisipasi  dalam  upaya  perbaikan  lingkungan  konservasi  kawasan  TNGGP
dan pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional. BB TNGGP selaku pengelola TNGGP belum merasakan manfaat langsung
dari  mekanisme  PJL.  BB  TNGGP  tidak  berhak  memungut  iuran  kepada  para pengguna  air  dari  dalam  kawasan  selama  belum  ada  peraturan  yang  jelas.  Oleh
karena  itu,    selama  pemanfaat  air  dari  kawasan  memberikan  kontribusi  untuk konservasi, hal itu yang kemudian menjadi manfaat bagi taman nasional. Melalui
PJL, kontribusi hidrologis dari taman nasional agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.  Selain  itu,  mekanisme  ini  dapat  membangun  kesadaran  masyarakat
untuk  mendukung  program-program  pelestarian  kawasan.  BB  TNGGP  juga berharap,  melalui  mekanisme  ini,  gangguan  terhadap  hutan  bisa  diminimalisasi.
Selain itu, diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dan kualitas masyarakat yang ada di sekitar taman nasional.
Kelompok tani Garuda Ngupuk, Saluyu, dan Cinagara Asri selaku penerima bantuan  dalam  mekanisme  ini  mengakui  bahwa  manfaat  yang  dirasakan  lebih
kepada pengetahuan dan pengalaman tentang berorganisasi. Manfaat secara materi peningkatan  kesejahteraan  maupun  modal  usaha  masih  belum  dirasakan.  Dua
dari  tiga  kelompok  tani  mengakui  bahwa  dalam  pelaksanaan  program  di  kedua desa  banyak  penyimpangan  yang  harus  dibenahi,  seperti  adanya  pengalihan
bantuan ke kelompok lain, modal usaha yang tidak turun, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian membuat manfaat dari mekanisme PJL itu sendiri tidak tampak oleh
kelompok tani. Budhi  et  al.  2008  menjelaskan  bahwa  konsep  PJL  berbeda  dengan
pendekatan  konservasi,  yang  bergantung  pada  peraturan  untuk  melindungi kelestarian  lingkungan  tanpa  insentif  ekonomi.  PJL  berbeda  dengan  pendekatan
konservasi  yang  menggabungkan  antara  tujuan  konservasi  dengan  tujuan pengembangan lainnya. Berdasarkan perkembangan mekanisme PJL  yang terjadi
di lapangan, hal-hal  yang berkaitan dengan mekanisme PJL itu sendiri seringkali tidak  muncul.  Penerapan  program  kerja  yang  dilakukan  berbeda  dengan
penerapan  konsep  PJL  di  lokasi  lain.  Di  beberapa  lokasi  penerapan  PJL  seperti Cidanau dan Sumberjaya, kelompok tani sebagi kelompok target diharuskan untuk
melakukan penanaman pada umumnya kopi multistrata untuk mempertahankan kelestarian daerah hulu. Hal ini dilakukan karena suplai air bagi daerah hilir yang
menjadi pembeli jasa tergantung dari kelestarian wilayah hulu. Penerapan  mekanisme  pembayaran  jasa  lingkungan  aiur  yang  dilakukan  di
TNGGP  terlihat  sebagai  upaya  pengelolaan  daerah  penyangga.  Bismark  dan Sawitri 2007 menyatakan bahwa pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk
meningkatkan  potensi  manfaat  jasa  lingkungan  dan  nilai  ekonomi  lahan masyarakat.  Pengelolaan  daerah  penyangga  di  desa  Tangkil  dan  Cinagara
dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan  berbagai  pihak,  sedangkan  upaya  konservasi  dilakukan  BB  TNGGP
selaku  pengelola  kawasan  TNGGP.  Di  lokasi  penerapan  PJL  lainnya  misal: Cidanau  dan  Sumberjaya,  kegiatan  pemberdayaan  masyarakat  dan  upaya
konservasi  wilayah  hulu  dilakukan  secara  bersamaan.  Adanya  kerjasama  antara BB  TNGGP  dengan  masyarakat  desa  penyangga  dalam  melakukan  upaya
konservasi akan membuat penerapan mekanisme ini lebih baik. Waage  dan  Stewart  2007,  menyebutkan  empat  prasyarat  keberhasilan
mekanisme  pembayaran  jasa  lingkungan  yang  berjalan,  yaitu:  jasa  lingkungan yang  benar-benar  dipahami  oleh  seluruh  pemangku  kepentingan  serta  adanya
kemamapuan  teknis  pengelolaannya;  informasi  pasar  yang  mudah  dipahami  dan mudah  diakses  siapapun  transparan  dan  akuntabel;  kerangka  hukum  yang
suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel; selalu bersedia melakukan perbaikan  mekanisme  apabila  ada  keberatan  atau  kritik.  Apabila  keempat  hal
tersebut  dipenuhi  oleh  para  pihak  yang  terlibat  dalam  mekanisme  ini,  maka mekanisme ini akan berjalan lebih baik.
5.4  Permasalahan  dan  Solusi  dalam  Mekanisme  Pembayaran  Jasa Lingkungan Air di TNGGP