Pengaruh Jenis Substrat Terhadap Kemampuan Memproduksi

mengubah senyawa kompleks menjadi gula sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan dan pembentukan produk. Pertumbuhan isolat diukur melalui jumlah sel hidup sedangkan pembentukan produk melalui pengujian jumlah spora dan nilai LC 50 yang menggambarkan potensi kristal protein yang terbentuk. Jumlah spora pada umumnya berpengaruh terhadap tingkat toksisitas bioinsektisida. Semakin banyak jumlah spora maka semakin banyak pula kristal protein yang dihasilkan sehingga akan mempengaruhi toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan. Selama masa sporulasi pada akhir pertumbuhan eksponensial, Bacillus thuringiensis membentuk suatu bahan inklusi yang terdiri atas protein yang dikenal sebagai Insecticidal Crystal Proteins ICPs, protein Cry atau δ- endotoksin yang sangat beracun pada berbagai hama pertanian yang penting. Kristal protein terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung toksin δ-endotoksin yang terbentuk di dalam sel selama 2 – 3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95 dari keseluruhan komponen kristal terdiri atas protein dengan asam amino umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin, sedangkan 5 sisanya terdiri atas karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa Bulla et al. 1977. Tabel 3.3 Pengaruh Substrat Sumber Karbon Terhadap Kinerja Fermentasi Bacillus thuringiensis Menggunakan Urea sebagai Substrat Sumber Nitrogen dengan CN rasio 7 Karakteristik Substrat Sumber Karbon Onggok Kulit Kopi Fraksi Pati Iles-Iles Ampas Sagu Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Jumlah Sel Hiduplog CFUg 11.3 a 11.2 a 11.0 a 10.0 b Jumlah Spora log CFUg 10.8 a 10.4 a 10.2 a 7.7 b LC 50 µgml 0.09 a 0.18 a 3.54 b 3.07 c Susut Bobot 1.7 a 1.4 a 4.1 b 2.1 a Penurunan Kadar Serat 7.3 a 5.8 b 6.2 ab 5.2 b Potensi Bioinsektisida IUmg 8889 a 4444 a 226 b 261 c Bacillus thuringiensis subsp. berliner Jumlah sel hidup log CFUg 11.6 ab 12.3 b 10.7 a 11.1 a Jumlah spora log CFUg 9.2 a 10.1 b 9.1 a 8.5 a LC 50 µgml 0.46 a 0.07 b 0.74 c 1.29 d Susut Bobot 2.5 a 1.8 a 3.7 a 2.3 a Penurunan Kadar Serat 4.5 a 5.3 b 4.4 a 4.4 a Potensi Bioinsektisida IUmg 1739 a 11429 b 1081 c 620 d Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Jumlah Sel Hidup log CFUg 11.8 a 12.2 a 10.6 b 9.9 b Jumlah Spora log CFUg 8.1 a 9.1 b 7.2 c 7.6 ac LC 50 µgml 0.60 a 0.05 b 5.00 c 1.08 d Susut Bobot 0.9 a 1.5 a 2.7 a 2.2 a Penurunan Kadar Serat 17.2 a 38.6 b 10.4 c 9.9 c Potensi Bioinsektisida IUmg 1333 a 16000 b 160 c 741 d Keterangan: Huruf yang berbeda a,b,c,d pada baris yang sama menandakan berbeda nyata Hasil pengujian pengaruh substrat sumber karbon terhadap kinerja fermentasi Bacillus thuringiensis disajikan pada Tabel 3.3. Berdasarkan analisis ragam yang didukung oleh hasil uji lanjut pada tingkat kepercayaan 95 menunjukkan bahwa perlakuan jumlah sel hidup, jumlah spora, bioasai LC 50 , dan penurunan kadar serat berpengaruh secara nyata terhadap pemilihan substrat sumber karbon. Secara umum pertumbuhan ketiga galur isolat Bacillus thuringiensis dalam keempat substrat sumber karbon dapat berkembang dengan baik. Kultivasi bioinsektisida menggunakan isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Tabel 3.3 menghasilkan jumlah sel hidup yang tinggi 10.0 - 11.3 log CFUg, namun jumlah sel yang tertinggi dihasilkan pada substrat onggok 11.3 log CFUg. Kultivasi menggunakan isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner Tabel 3.3 dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Tabel 3.3 juga menghasilkan jumlah sel yang tinggi 9.0 – 12.3 log CFUg. Pada kedua kultivasi tersebut, jumlah sel yang tertinggi dihasilkan pada substrat kulit kopi 12.2 – 12.3 log CFUg. Berbedanya jumlah sel hidup pada masing-masing substrat ini disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien pada media tersebut. Menurut Putrina dan Fardadi 2007, salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan Bacillus thuringiensis selain kondisi untuk pertumbuhan suhu, pH, kadar air, aerasi dan agitasi adalah kandungan nutrisi yang terdapat pada substrat. Pada fase awal pertumbuhannya, isolat akan memanfaatkan gula sederhana yang cukup besar 10 – 30 dalam substrat Tabel 3.1 untuk pertumbuhan sel karena pada fase ini amilase belum terbentuk. Pada fase stasioner, gula sederhana yang terdapat pada substrat mulai berkurang. Rehm dan Reed 1999 menyatakan bahwa pada kondisi ini substrat sederhana telah mulai habis sehingga akan terjadi penguraian sumber karbon dan nitrogen yang lebih kompleks seperti pati dan protein menjadi gula-gula sederhana dan asam amino. Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan enzim amilase Zahidah dan Shovitri 2013; Naiola 2008; Sivaramakrishnan et al. 2006; Rehm dan Reed 1999; Benhard dan Utz dalam Enwistle et al. 1993 dan enzim selulase Zahidah dan Shovitri 2013. Bacillus thuringiensis memiliki enzim amilase yang mampu memecah pati menjadi gula sederhana tanpa harus dihidrolisis terlebih dahulu. Selain pati, Bacillus thuringiensis juga akan memanfaatkan selulosa yang terdapat pada substrat sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Selulosa merupakan bio polimer dari glukosa dengan rantai lurus yang dihubungkan dengan ikatan β- 1,4 glikosida. Selulosa yang terdapat pada substrat berupa serat yang dapat dikonsumsi langsung tanpa harus dihidrolisis terlebih dahulu. Hal ini karena Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana. Sel akan terus melakukan perbanyakan diri sampai salah satu atau lebih jenis nutrisi dalam media mengalami pengurangan untuk pertumbuhan bakteri. Bideshi et al. 2010 menyatakan bahwa dalam kondisi seperti ini spora dan badan spora yang mengandung satu atau lebih kristal protein akan diproduksi. Pada kondisi kultivasi standar seperti kultivasi pada NB, pembentukan badan spora akan sempurna dalam waktu 24 jam setelah inokulasi Rahayuningsih 2003. Sukmadi et al. 1996 menyatakan bahwa pembentukan spora mulai terlihat nyata pada saat fase eksponensial akan berakhir yaitu pada saat dimulainya fase stasioner. Ketika nutrisi dan kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan bakteri, spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak dengan cara membelah diri hingga satu atau lebih jenis faktor pada media mulai berkurang, baik itu gula-gula sederhana, asam amino, kadar oksigen, serta pH dan suhu yang ekstrim. Jumlah sel hidup menunjukkan total jumlah sel vegetatif dan jumlah spora yang dihasilkan, sehingga jumlah sel hidup akan lebih besar dibandingkan jumlah spora yang dihasilkan. Pertumbuhan spora Bacillus thuringiensis pada keempat substrat sumber karbon secara umum berkembang dengan baik 7.2 – 10.8 log CFUg. Pada umumnya, jumlah spora akan sebanding dengan jumlah sel hidup. Apabila jumlah sel hidup yang dihasilkan banyak, maka diharapkan jumlah spora yang dihasilkan juga akan banyak. Demikian pula sebaliknya, apabila jumlah sel hidup yang dihasilkan sedikit, maka jumlah spora yang dihasilkan juga akan sedikit. Akan tetapi, jumlah sel hidup yang dihasilkan lebih banyak daripada jumlah spora yang dihasilkan. Jumlah spora hidup pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang terbanyak terdapat pada substrat onggok 10.8 log CFUg. Pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner 10.1 log CFUg dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 9.1 log CFUg, jumlah spora hidup yang terbanyak terdapat pada substrat kulit kopi. Secara umum, pertumbuhan ketiga isolat dalam media NB lebih banyak dibandingkan pada media hasil samping agroindustri. Pada jam ke-36, jumlah sel hidup telah terbentuk cukup banyak 10 – 13 log CFUg sedangkan pada kultivasi media padat, jumlah sel hidup yang terbentuk pada jam ke-96 lebih sedikit 11-12 log CFUg. Hal ini karena NB merupakan media yang mengandung semua senyawa esensial untuk pertumbuhan mikroba. NB dibuat dari ekstrak daging sapi yang mengandung pepton yaitu produk hidrolisis protein hewani seperti otot, liver, darah, susu, casein, gelatin dan kedelai. Selain itu terdapat pula yeast extract yang kaya akan vitamin, mineral dan asam nukleat. Komponen yang terdapat dalam NB sangat mencukupi untuk pertumbuhan sel vegetatif Bacillus thuringiensis. Pengaruh jenis galur terhadap jumlah spora juga dapat diamati dengan jelas. Pada substrat yang sama yaitu kulit kopi, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan jumlah spora yang lebih banyak 10.1 log CFUg dibandingkan jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 9.1 log CFUg. Hal ini karena kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner pada substrat kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup yang lebih besar 12.3 log CFUg dibandingkan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 12.2 log CFUg. Bacillus thuringiensis subsp. berliner memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar dibandingkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis sehingga Bacillus thuringiensis subsp. berliner mampu menghidrolisis pati lebih banyak dibandingkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada substrat onggok menghasilkan jumlah sel hidup yang lebih rendah 11.3 log CFUg dibandingkan dengan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner 12.3 log CFUg dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 12.2 log CFUg menggunakan substrat kulit kopi. Walaupun demikian, spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan substrat onggok lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini diduga karena kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada substrat onggok menghasilkan spora yang lebih banyak dibandingkan jumlah sel vegetatifnya. Jumlah sel hidup terdiri dari jumlah spora dan sel vegetatif. Akan tetapi belum dapat dipastikan perbandingan antara jumlah spora dan sel vegetatif yang dihasilkan. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan substrat kulit kopi diduga menghasilkan jumlah sel vegetatif yang lebih banyak dibandingkan jumlah sporanya. Pertumbuhan spora merupakan indikasi pembentukan δ-endotoksin sebagai produk aktif bioinsektisida. Informasi yang diperoleh dari tahap ini dapat digunakan untuk masa pemanenan dan uji daya toksisitas produk. Semakin besar jumlah spora yang dihasilkan diharapkan semakin besar pula pembentukan δ- endotoksin. Toksin δ-endotoksin terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada akhir pertumbuhan eksponensial. Kristal protein yang dihasilkan bersifat insektisidal. Akan tetapi bioinsektisida yang dihasilkan tersebut tergolong ke dalam insektisida yang bekerja sebagai racun perut stomatch poison sehingga bioinsektisida akan membunuh serangga target apabila termakan dan masuk ke dalam organ pencernaan serangga Dono et al. 2010; Rahayuningsih et al. 2007. Pada umumnya kristal protein di alam bersifat protoksin. Namun karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga sehingga dapat mengubahnya menjadi bersifat toksin. Toksin akan terhidrolisis oleh enzim protease yang terdapat di dalam usus serangga menjadi toksin yang berukuran lebih kecil dan mudah menyisip ke dalam dinding usus. Setelah penyisipan terjadi, dinding usus serangga menjadi rusak, serangga menjadi tidak mampu makan dan akhirnya mati Rahayuningsih et al. 2007; Swadener 1994; Hofte dan Whiteley 1989. Swadener 1994 menyatakan bahwa apabila serangga target tidak rentan secara langsung oleh kristal protein, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga akan menyebabkan kematian serangga tersebut. Hal ini karena spora akan berkecambah germinasi dan menyebabkan membran usus serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian serangga. Serangga yang telah terinfeksi, saluran pencernaannya akan mengalami kelumpuhan 1 – 3 jam setelah terinfeksi walaupun kematian akan terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi. Kerusakan pada sistem pencernaan akan menghentikan aktivitas makan serangga. Kristal protein Bacillus thuringiensis mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang flat rectangular pada Bacillus thuringiensis subsp. tenebriosis yang toksis terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera Shieh 1994. Berdasarkan tipe patogenitasnya, Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 3.4. Pada penelitian ini digunakan tiga galur Bacillus thuringiensis yang menghasilkan kristal protein yang berbeda satu sama lain. Galur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menghasilkan kristal protein Cry II. Galur Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan kristal protein Cry I. Kristal protein Cry I dan Cry II bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera, sedangkan galur Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan kristal protein Cry IV yang bersifat toksik terhadap serangga Diptera. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai sangat efektif dalam mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera karena menghasilkan gen Cry II sedangkan Bacillus thuringiensis subsp. berliner membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut δ-endotoksin. Menurut Crespo et al. 2011 gen Cry yang dimiliki Bacillus thuringiensis subsp. berliner meliputi CryI ab, Cry I ac, dan Cry IF yang bersifat toksin terhadap serangga ordo Lepidoptera. Tabel 3.4 Tipe Patogenitas dari Bacillus thuringiensis Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki Cry I Spesifik untuk ordo Lepidoptera Contoh : 1. Kupu-kupu 2. Ngengat 1. Dipel Abbott 2. Bactospeine Philips Duphar 3. Thuricide 4. Javelin Sandoz Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Cry II Spesifik untuk ordo Lepidoptera dan Diptera Contoh : 1. Ulat kubis 2. Ulat grayak Certan Sandoz Bacillus thuringiensis subsp. sandiego Cry III Spesifik untuk ordo Coleoptera Contoh : 1. Kumbang 1. Trident Sandoz 2. M-One Mycogen Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Cry IV Spesifik untuk ordo Diptera Contoh : 1. Nyamuk 2. Lalat rumah 1. Vectobac Abbott 2. Bactimos Philips Duphar 4. Teknar Sandoz Sumber : Ellar et al. 1986 Bacillus thuringiensis subsp. israelensis merupakan bakteri yang secara efektif dapat membunuh larva nyamuk di air secara alami. Bacillus thuringiensis subsp. israelensis bersifat spesifik untuk nyamuk, lalat hitam dan ke arah dipterans termasuk sejenis serangga yang kecil. Lacey dan Siegel 2000 mengemukakan bahwa Bacillus thuringiensis subsp. israelensis terutama digunakan untuk mengendalikan nyamuk karena mempunyai sifat meracuni yang rendah pada serangga bukan target, tetapi akan menjadi lebih efektif dan aplikatif di lapangan tanpa menimbulkan efek yang buruk bagi manusia. Penelitian ini menggunakan Croccidolomia binotalis ulat kubis untuk menguji tingkat toksisitas bioinsektisida dari galur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner, serta nyamuk Aedes aegepty untuk menguji tingkat toksisitas bioinsektisida dari galur Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1 – 2.7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5 – 6.1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1 – 1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3 hari. Pada penelitian ini digunakan larva C. Binotalis instar II karena pada tahap ini larva sedang mengalami nafsu makan yang besar sehingga kemungkinan untuk memakan bioinsektisida yang menempel pada daun juga akan semakin besar. Larva C. binotalis yang mati akibat perlakuan, tubuhnya akan menjadi keriput, kering, dan beruba warna menjadi coklat kehitaman. Selain itu, sisa larva yang tidak mati bukan berarti tetap sehat, melainkan larva-larva tersebut menunjukkan gejala-gejala tidak normal, seperti kurang aktif bergerak, tubuh menjadi kecil atau kurus, serta lambat atau tidak dapat berkembang ke instar berikutnya. Nyamuk Aedes aegepty dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Larva nyamuk Aedes aegepty juga melewati empat instar. Pada penelitian ini digunakan larva nyamuk Aedes aegepty instar III. Hal ini dilakukan karena larva instar III bersifat lebih stabil dibandingkan larva instar I dan II yang masih rentan. Hasil pengujian hayati menghasilkan nilai LC 50 yang bervariasi 0.05 – 5.00 µgml Tabel 3.3. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menghasilkan nilai LC 50 dengan rentang nilai yang cukup jauh 0.09 – 3.54 µgml. Demikian pula dengan potensi produk yang dihasilkan 226 – 8889 IUmg. Berdasarkan perhitungan, nilai LC 50 terkecil 0.09 µgml yang terdapat pada substrat onggok akan menghasilkan potensi bioinsektisida sebesar 8889 IUmg. Apabila dibandingkan dengan produk Bactospein produk komersial bioinsektisida untuk membasmi larva ulat yang memiliki nilai LC 50 0.05 µgml dan potensi 16000 IUmg, bioinsektisida yang dihasilkan dari kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai memiliki potensi yang masih lebih rendah dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial16000 IUmg. Kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan nilai LC 50 yang kecil 0.07 – 1.30 µgml dan potensi produk yang besar 620 – 11429 IUmg. Nilai LC 50 yang terkecil terdapat pada substrat kulit kopi yaitu 0.07 µgml dengan potensi bioinsektisida sebesar 11429 IUmg. Seperti halnya kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, produk yang dihasilkan pada kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. berliner juga memiliki potensi yang lebih rendah dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial 16000 IUmg. Kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan spora lebih kecil dari isolat lainnya, tetapi pada kultivasi ini dihasilkan nilai LC 50 yang kecil 0.05 – 1.08 µgml dan potensi produk bioinsektisida yang besar 160 - 16000 IUmg. Hal ini dikarenakan kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linier dengan jumlah spora yang dihasilkan Morris et al. 1996. Rendemen delta endotoksin per sel yang bersporulasi dipengaruhi sangat kuat oleh kondisi kultivasi dan seleksi media. Komponen dari medium harus seimbang untuk memperoleh aktivitas toksik terbaik per volume medium Scherrer et al. 1972. Selain kondisi kultivasi, konsentrasi glukosa pada media juga memegang peranan penting dalam menentukan ukuran delta endotoksin yang dihasilkan. Hal ini juga sejalan dengan Dulmage et al. 1990 bahwa jika konsentrasi glukosa dalam medium meningkat, maka kristal delta endotoksin akan meningkat ukuran dan potensinya. Seperti halnya kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner, nilai LC 50 yang terkecil pada kultivasi ini juga terdapat pada substrat kulit kopi yaitu 0.05 µgml dengan potensi bioinsektisida sebesar 16000 IUmg. Apabila dibandingkan dengan Bactivec produk komersial bioinsektisida untuk membasmi larva nyamuk yang memiliki nilai LC 50 0.02 µgml dan potensi 40000 IUmg, produk yang dihasilkan pada kultivasi menggunakan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis memiliki potensi yang lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang terdapat pada produk bioinsektisida komersial 40000 IUmg. Produk bioinsektisida yang efektif akan memiliki nilai LC 50 yang kecil dan potensi produk bioinsektisida yang besar. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai LC 50 yang kecil, maka dipilih media kultivasi yang mampu menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora yang terbesar. Onggok dipilih sebagai substrat sumber karbon pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai karena pada kutivasi ini dihasilkan jumlah sel hidup 11.3 log CFUg dan jumlah spora 10.8 log CFUg yang terbesar serta nilai LC 50 yang terkecil 0.09 µgml sehingga berdasarkan perhitungan, pada kultivasi ini dihasilkan potensi produk bioinsektisida yang terbesar 8889 IUmg Kulit kopi dipilih sebagai substrat sumber karbon pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner pada media kultivasi kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup 12.3 log CFUg dan jumlah spora 10.1 log CFUg yang terbesar serta nilai LC 50 yang terkecil 0.07 µgml. Demikian pula pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan media kultivasi kulit kopi yang menghasilkan jumlah sel hidup 12.2 log CFUg dan jumlah spora 9.1 log CFUg yang terbesar serta nilai LC 50 yang terkecil 0.05 µgml. Onggok yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar karbohidrat 77.9 , total gula sederhana 29.5 , dan kadar serat 16.8 Tabel 3.1. Kadar karbohidrat, total gula sederhana dan kadar serat yang tinggi pada onggok dapat digunakan oleh Bacillus thuringiensis subsp. aizawai sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Hasil pengujian kemampuan amilolitik menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis subsp. aizawai memiliki indeks potensial yang tertinggi yaitu 4.0 Tabel 3.2, sehingga mampu menghasilkan enzim amilase dalam jumlah yang besar. Enzim amilase tersebut digunakan untuk menghidrolisis pati dalam substrat menjadi gula sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan isolat. Hal ini terlihat dari jumlah sel hidup 11.3 log CFUg dan jumlah spora 10.8 log CFUg yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Selain Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, kedua galur yang digunakan pada penelitian ini juga memiliki kemampuan amilolitik, yaitu sebesar 2 – 2.4 Tabel 3.2. Oleh karena itu, Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mampu menghidrolisis pati yang terdapat pada onggok. Pada kultivasi menggunakan substrat onggok sebagai sumber karbon, Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan jumlah sel hidup sebesar 11.6 log CFUg dan jumlah spora sebesar 9.2 log CFUg, sedangkan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan jumlah sel hidup sebesar 11.8 log CFUg dan jumlah spora sebesar 8.1 log CFUg. Walaupun demikian, jumlah sel hidup dan jumlah spora yang dihasilkan Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis terdapat pada kultivasi menggunakan substrat kulit kopi. Kulit kopi mengandung kadar karbohidrat yang paling kecil 50.7 di antara substrat sumber karbon yang lain Tabel 3.1. Akan tetapi kultivasi menggunakan substrat kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup yang terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner 12.3 log CFUg dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis12.2 log CFUg. Hal ini dimungkinkan karena isolat lebih suka mengkonsumsi gula-gula sederhana dibandingkan substrat yang lebih kompleks seperti pati dan serat. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kulit kopi mengandung total gula sederhana yang paling besar 30.5 dibandingkan substrat sumber karbon yang lainnya Tabel 3.1. Isolat akan mengkonsumsi substrat yang lebih kompleks ketika substrat yang sederhana telah habis. Selain itu, Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mempunyai kemampuan selulolitik yang tinggi 3.0 dibandingkan dua isolat lainnya Tabel 3.2 sehingga dapat menguraikan selulosa yang terdapat pada kulit kopi menjadi gula sederhana. Gula sederhana yang terdapat pada substrat digunakan oleh isolat untuk pertumbuhan sel dan pembentukan produk spora dan kristal protein. Pada kultivasi menggunakan substrat kulit kopi sebagai sumber karbonnya, Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan jumlah spora yang terbanyak 9 – 10 log CFUg. Konsumsi substrat oleh isolat dapat dilihat dari susut bobot dan penurunan kadar serat. Susut bobot pada substrat mengindikasikan isolat telah mengkonsumsi substrat untuk pertumbuhannya sehingga ada beberapa komponen substrat karbon, nitrogen, air, oksigen, dan mineral yang berkurang. Kultivasi Bacillus thuringiensis mengalami penyusutan dalam jumlah yang kecil 0.9 – 4.1 . Berdasarkan hasil pengujian, susut bobot tidak terlalu mempengaruhi jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan selama pertumbuhan. Susut bobot pada kultivasi Bacillus thuringiensis menggunakan substrat sumber karbon secara umum menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Serat merupakan komponen yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam komposisi media fermentasi padat. Selain sebagai salah satu sumber selulosa, serat yang terdapat dalam bahan erat kaitannya dengan porositas. Porositas menggambarkan keberadaan ruang yang ditempati oleh cairan atau gas. Keberadaan serat dalam bahan dapat memberikan pori pada media sehingga isolat tetap dapat mendapatkan suplai oksigen dan air dari lingkungan meskipun media fermentasi berbentuk padat. Kulit kopi memiliki kadar serat yang besar Tabel 3.1 sehingga kulit kopi memiliki porositas yang cukup untuk mendapatkan suplai oksigen dan air dari lingkungan. Kultivasi menggunakan substrat kulit kopi pada Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora yang terbesar Tabel 3.3. Porositas dari suatu bahan dapat dilihat dari nilai densitas kamba dan water holding capacity. Nilai densitas kamba yang semakin besar menunjukkan bahan tersebut semakin padat dan sulit meneruskan air. Semakin rendah densitas kamba, maka semakin tinggi porositas sehingga kemampuan mengikat airnya menjadi semakin tinggi. Bahan yang memiliki nilai water holding capacity yang besar juga memiliki kandungan polisakarida pati, selulosa, pektin, dan sebagainya besar sehingga kemampuan mengikat airnya akan meningkat dan porositas bahannya menjadi berkurang. Ampas sagu memiliki nilai water holding capacity yang terbesar. Kandungan polisakarida yang tinggi mengakibatkan ampas sagu memiliki water holding capacity yang besar dan porositas yang kecil sehingga akan menghambat suplai oksigen yang diperlukan untuk pertumbuhan isolat. Kultivasi menggunakan substrat ampas sagu menghasilkan jumlah sel hidup dan spora yang sedikit Tabel 3.3. Secara kualitatif, keberadaan enzim selulase pada isolat Bacillus thuringiensis dapat dibuktikan dengan pengukuran indeks potensial pada zona bening yang terbentuk pada isolat. Secara kuantitatif, keberadaan enzim selulase dapat dibuktikan dengan penurunan kadar serat. Penurunan kadar serat tersebut terjadi karena enzim selulase yang dihasilkan oleh isolat akan menghidrolisis selulosa pada media menjadi komponen yang lebih sederhana yang mudah dicerna dan digunakan oleh isolat untuk pertumbuhannya. Kultivasi Bacillus thuringiensis menggunakan substrat sumber karbon menghasilkan penurunan kadar serat yang bervariasi 5.2 – 7.3. Hal ini dikarenakan kedua isolat tersebut memiliki kemampuan selulolitik yang berbeda- beda Tabel 3.2 sehingga enzim selulase yang dihasilkan berbeda jumlahnya dan serat yang dipecah menjadi gula sederhana juga akan berbeda-beda. Penurunan kadar serat yang terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai terdapat pada substrat onggok 7.3 sedangkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner terdapat pada kulit kopi 5.3 . Berdasarkan Tabel 3.3, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan onggok dan kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kulit kopi menghasilkan jumlah sel hidup dan spora yang terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa serat yang telah dipecah menjadi gula sederhana telah digunakan oleh isolat untuk pertumbuhan dan pembentukan produk. Kemampuan selulolitik yang terbesar terdapat pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Tabel 3.2 sehingga pada kultivasi menggunakan isolat ini dihasilkan penurunan kadar serat yang besar 9.9 - 38.6 . Penurunan kadar serat yang terbesar terdapat pada substrat kulit kopi 38.6 . Pada kultivasi ini dihasilkan jumlah sel hidup dan spora yang terbesar Tabel 3.3. Walaupun kulit kopi mengandung kadar karbohidrat yang rendah Tabel 3.1 tetapi pada kulit kopi terdapat total gula sederhana dan kadar serat yang tinggi Tabel 3.1. Karbon merupakan bahan utama untuk penyediaan energi Dulmage dan Rhodes 1971. Selain karbon, isolat juga membutuhkan sumber nitrogen untuk pembentukan biomassa Stanbury dan Whitaker 1984 dan mineral yang digunakan untuk pertumbuhan spora dan produksi δ-endotoksin Sikdar et al. 1993. Substrat sumber nitrogen yang digunakan pada penelitian ini adalah ampas tahu, bungkil kacang tanah, bungkil inti sawit dan ampok jagung. Analisis ragam terhadap data pemilihan substrat sumber nitrogen dengan isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan onggok sebagai sumber karbon yang didukung oleh hasil uji lanjut pada tingkat kepercayaan 95 menunjukkan bahwa jumlah spora, bioasai LC 50 , susut bobot, dan penurunan kadar serat berpengaruh nyata terhadap pemilihan substrat sumber nitrogen. Hasil pengujian pengaruh substrat sumber nitrogen terhadap kinerja fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai disajikan pada Tabel 3.5. Hasil pengujian pengaruh substrat sumber nitrogen terhadap kinerja fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis disajikan pada Tabel 3.6. Analisis ragam terhadap data pemilihan substrat sumber nitrogen dengan isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner yang didukung oleh hasil uji lanjut pada tingkat kepercayaan 95 menunjukkan bahwa jumlah sel hidup, bioasai LC 50 , susut bobot, dan penurunan kadar serat berpengaruh nyata terhadap pemilihan substrat sumber nitrogen sedangkan analisis sidik ragam terhadap pengaruh substrat sumber nitrogen terhadap kinerja fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang didukung oleh hasil uji lanjut pada tingkat kepercayaan 95 menunjukkan bahwa jumlah sel hidup, bioasai LC 50 , susut bobot, dan penurunan kadar serat berpengaruh nyata terhadap pemilihan substrat sumber nitrogen. Parameter utama yang digunakan pada pemilihan substrat sumber nitrogen adalah LC 50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC 50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi produk bioinsektisida dinyatakan dalam satuan internasional SI berupa IUmg. Potensi bioinsektisida dalam satuan internasional SI diperoleh dari perhitungan nilai LC 50 produk dengan nilai LC 50 produk komersial. Nilai LC 50 yang terkecil untuk kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai terdapat pada kombinasi onggok sumber karbon dan bungkil inti sawit sumber nitrogen sebesar 0.04 µgml dan potensi bioinsektisida sebesar 20000 IUmg. Hal ini menunjukkan bahwa produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi onggok sumber karbon dan bungkil inti sawit sumber nitrogen paling efektif membunuh serangga dibandingkan produk bioinsektisida yang menggunakan substrat sumber nitrogen yang lain. Nilai LC 50 yang terkecil untuk kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner terdapat pada kombinasi kulit kopi sumber karbon dengan bungkil inti sawit sumber nitrogen sebesar 0.02µgml dan potensi sebesar 40000 IUmg. Nilai LC 50 tersebut berbanding terbalik dengan jumlah spora yang dihasilkan. Pada perhitungan jumlah spora, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi kulit kopi substrat sumber karbon dengan bungkil inti sawit substrat sumber nitrogen menghasilkan jumlah spora yang terbesar 8.5 log CFU g. Hal yang sama juga terjadi pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Pada perhitungan jumlah spora, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan kombinasi kulit kopi dengan bungkil kacang tanah menghasilkan jumlah spora yang terbesar 8.6 log CFUg. Sehingga pada pengujian bioasai, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dengan bungkil kacang tanah menghasilkan nilai LC 50 yang terkecil, yaitu 0.02 log CFUg dan potensi sebesar 40000 IUmg . Tabel 3.5 Pengaruh Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kinerja Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Onggok sebagai Substrat Sumber Karbon dengan CN rasio 7 Karakteristik Substrat Sumber Nitrogen Ampas Tahu Bungkil Kacang Tanah Bungkil Inti Sawit Ampok Jagung Jumlah Sel Hidup log CFUg 11.3 a 11.1 a 11.2 a 10.8 a Jumlah Spora log CFUg 8.4 a 8.6 ab 8.9 b 8.7 ab LC 50 µgml 13.10 a 0.28 b 0.04 c 0.20 b Susut Bobot 1.4 a 1.1 b 1.8 c 0.3 d Penurunan Kadar Serat 15.9 a 47.4 b 51.4 b 27.4 c Potensi Bioinsektisida IUmg 61 a 2857 b 20000 c 4000 b Keterangan: Huruf yang berbeda a,b,c,d pada baris yang sama menandakan berbeda nyata Tabel 3.6 Pengaruh Substrat Sumber Nitrogen Terhadap Kinerja Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Kulit Kopi sebagai Substrat Sumber Karbon dengan CN rasio 7 Karakteristik Substrat Sumber Nitrogen Ampas Tahu Bungkil Kacang Tanah Bungkil Inti Sawit Ampok Jagung Bacillus thuringiensis subsp. berliner Jumlah Sel Hidup log CFUg 10.6 a 11.0 a 11.4 a 10.9 a Jumlah Spora log CFUg 8.2 a 8.3 a 8.5 a 8.0 a LC 50 µgml 0.20 a 3.03 b 0.02 c 0.24 a Susut Bobot 1.6 a 1.6 a 1.6 a 0.9 b Penurunan Kadar Serat 7.3 a 69.4 b 71.5 b 45.2 c Potensi Bioinsektisida IUmg 4000 a 264 b 40000 c 3333 a Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Jumlah Sel Hidup log CFUg 11.3 ab 11.5 a 11.4 a 10.9 b Jumlah Spora log CFUg 8.2 ab 8.6 a 8.3 ab 7.9 b LC 50 µgml 15.90 a 0.02 b 0.87 c 0.20 d Susut Bobot 1.2 a 1.8 b 1.5 c 1.1 a Penurunan Kadar Serat 58.5 ac 61.9 a 12. 4 b 56.2 c Potensi Bioinsektisida IUmg 50 a 40000 b 920 c 4000 d Keterangan: Huruf yang berbeda a,b,c,d pada baris yang sama menandakan berbeda nyata Secara umum, kultivasi ketiga isolat menggunakan berbagai substrat sumber nitrogen menghasilkan pertumbuhan sel yang bagus Tabel 3.5 dan Tabel 3.6. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan substrat sumber nitrogen dan onggok sebagai substrat sumber karbon menghasilkan jumlah sel hidup yang besar 10.8 – 11.3 log CFUg. Jumlah sel hidup yang terbesar terdapat pada kultivasi menggunakan kombinasi onggok sebagai substrat sumber karbon dan ampas tahu sebagai substrat sumber nitrogen 11.3 . Ampas tahu merupakan limbah padat yang dihasilkan dari tahap pembuatan susu kedelai pada proses pembuatan tahu. Ampas tahu mengandung bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan sel seperti karbon dan nitrogen. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menghasilkan jumlah sel hidup yang besar 10.6 – 11.4 log CFUg, demikian pula pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis 10.9 – 11.5 log CFUg. Jumlah sel hidup pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner yang terbesar terdapat pada kultivasi menggunakan kombinasi kulit kopi sebagai substrat sumber karbon dan bungkil inti sawit sebagai substrat sumber nitrogen 11.4 log CFUg sedangkan jumlah sel hidup yang terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis terdapat pada kultivasi menggunakan kombinasi kulit kopi sebagai substrat sumber karbon dan bungkil kacang tanah sebagai substrat sumber nitrogen 11.5 log CFUg. Jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi tahap ini tidak sebesar jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi tahap pemilihan substrat karbon. Hal ini terjadi karena pada kultivasi tahap pemilihan substrat sumber karbon menggunakan urea sebagai sumber nitrogennya. Urea merupakan salah satu sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena urea mudah dikonsumsi oleh mikroorganisme dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan pH. Urea dipilih karena memiliki jumlah nittrogen yang relatif tinggi dengan harga yang murah, mudah didapat dan tidak banyak pengotornya. Pada umumnya spora akan terbentuk jika lingkungan kurang sesuai untuk pertumbuhan sel seperti suhu dan pH yang ekstrim, kurangnya jumlah makanan bagi sel dan kondisi lain yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang baik. Spora yang dihasilkan pada fermentasi Bacillus thuringiensis berkembang dengan baik 7.9 – 8.6 log CFUg. Jumlah spora terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai terdapat pada kultivasi menggunakan kombinasi onggok sebagai substrat sumber karbon dan bungkil inti sawit sebagai substrat sumber nitrogen 8.9 log CFUg. Walaupun jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi ini lebih rendah dibandingkan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan ampas tahu, tetapi jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan bungkil inti sawit lebih besar. Hal ini dimungkinkan karena pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan ampas tahu dihasilkan sel vegetatif yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah sporanya. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi kulit kopi sebagai substrat sumber karbon dan bungkil inti sawit sebagai substrat sumber nitrogen menghasilkan jumlah spora yang terbesar 8.5 log CFUg. Jumlah spora terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis terdapat pada kultivasi menggunakan kombinasi kulit kopi sebagai substrat sumber karbon dan bungkil kacang tanah sebagai substrat sumber nitrogen 8.6 log CFUg. Jumlah spora yang dihasilkan tersebut sebanding dengan jumlah sel hidup yang dihasilkan. Jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan pada pemilihan substrat sumber nitrogen lebih kecil dibandingkan dengan jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan pada pemilihan substrat sumber karbon. Akan tetapi nilai LC 50 yang dihasilkan pada tahap pemilihan substrat sumber nitrogen lebih kecil dan potensi yang lebih besar dibandingkantahap pemilihan substrat sumber nitrogen. Hal ini dikarenakan kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linier dengan jumlah spora yang dihasilkan Morris et al. 1996. Rendemen δ-endotoksin per sel yang bersporulasi dipengaruhi sangat kuat oleh kondisi kultivasi dan seleksi media. Komponen dan medium harus seimbang untuk memperoleh aktivitas toksin terbaik. Dulmage et al. 1990 menyatakan bahwa jika konsentrasi glukosa dalam medium menigkat, maka ukuran dan potensi kristal endotoksin akan meningkat. Selain itu, menurut Dulmage dan Rhodes di dalam Burges dan Hussey 1971, toksisitas spora Bacillus thuringiensis terhadap serangga target dipengaruhi oleh galur bakteri dan keadaan serangga target tersebut. Struktur kristal yang berbeda untuk setiap galur Bt berpengaruh pada toksisitas spora yang dihasilkan oleh sel Bacillus thuringiensis. Selain itu, ukuran molekul protein yang menyusun kristal protein dan kondisi pH di dalam usus besar serangga target akan berpengaruh pada kelarutan kristal protein Budgenjon dan Martouret di dalam Burges dan Hussey, 1971 serta struktur dan susunan molekul asam amino di dalam kristal protein Schnepf et al. 1998 juga mempengaruhi tingkat toksisitas dari produk bioinsektisida yang dihasilkan. Potensi yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan bungkil inti sawit 20000 IUmg, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil inti sawit 40000 IUmg lebih besar dibandingkan potensi yang dimiliki produk bioinsektisida komersial 16000 IUmg, sedangkan kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil kacang tanah 40000 IUmg memiliki potensi yang sama dengan potensi yang dimiliki produk bioinsektisida komersial 16000 IUmg sehingga menghasilkan produk bioinsektisida yang lebih efektif dibandingkan produk bioinsektisida komersial. Penurunan kadar serat pada substrat sumber nitrogen dengan isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai disajikan pada Tabel 3.5. Berdasarkan data pada Tabel 3.5, penurunan kadar serat yang terbesar terdapat pada kombinasi antara onggok dan bungkil inti sawit 51.4 . Besarnya penurunan kadar serat tersebut menunjukkan adanya selulosa pada onggok dan bungkil inti sawit yang telah dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Hal ini ditunjukkan dari jumlah sel hidup dan jumlah spora yang dihasilkan dari kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi onggok dan bungkil inti sawit. Jumlah sel hidup yang dihasilkan sebesar 11.3 log CFUg, sedangkan jumlah spora yang dihasilkan sebesar 8.9 log CFUg. Pada tahap pemilihan substrat sumber nitrogen pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis, digunakan kombinasi antara kulit kopi dan substrat sumber nitrogen. Hasil analisis kadar serat awal pada keempat kombinasi bahan tersebut, dapat diketahui bahwa kombinasi antara kulit kopi dan bungkil inti sawit memiliki kadar serat awal yang terbesar yaitu 57.16. Penurunan kadar serat yang terbesar pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner terdapat pada kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil inti sawit 71.5 . Hal ini terjadi karena pada kultivasi menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil inti sawit dihasilkan pertumbuhan sel yang bagus yaitu jumlah sel hidup sebesar 11.4 log CFUg. Jumlah sel hidup yang besar ini mampu menghasilkan enzim selulase yang besar pula. Sehingga mampu menguraikan komponen selulosa lebih banyak. Penurunan kadar serat yang terbesar terdapat pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil kacang tanah 61.9 . Pada kultivasi ini dihasilkan pertumbuhan sel yang bagus. Pertumbuhan sel yang bagus dapat dilihat dari jumlah sel hidup yang dihasilkan yaitu sebesar 11.5 log CFUg dan jumlah spora yang dihasilkan sebesar 8.6 log CFUg. Jumlah sel hidup yang besar ini mampu menghasilkan enzim selulase yang besar pula. Sehingga mampu menguraikan komponen selulosa lebih banyak. Pada umumnya, jumlah sel hidup yang dihasilkan akan sebanding dengan jumlah spora yang dihasilkan. Hubungan antara jumlah sel hidup dengan jumlah spora pada kultivasi Bacillus thuringiensis disajikan pada Gambar 3.3. Berdasarkan Gambar 3.3, jumlah sel hidup berkorelasi dengan jumlah spora yang dihasilkan. Jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan berkorelasi linier pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai y = 1.677x – 9,298 dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner y = 1,555x – 9,149, sedangkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis, jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan berkorelasi logaritmik y = 8,8555 ln x – 13,24. Gambar 3.3 menunjukkan bahwa selama pertumbuhan, isolat masih memperoleh sumber karbon dan nitrogen dari substrat yang digunakan sehingga selama kultivasi, jumlah sel hidup yang dihasilkan masih banyak. Hal ini diperkuat dengan susut bobot dan penurunan kadar serat yang digunakan. Pada penelitian ini isolat belum menggunakan seluruh serat sebagai substrat sumber karbon untuk pertumbuhannya. Korelasi antara jumlah sel hidup dan spora yang dihasilkan pada ketiga galur Bacillus thuringiensis memiliki nilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spora berbanding lurus dengan jumlah sel hidup yang dihasilkan. Apabila jumlah sel hidup yang dihasilkan banyak, maka jumlah spora yang dihasilkan juga akan banyak, demikian pula sebaliknya. Pembentukan produk diukur melalui jumlah spora dan nilai LC 50 yang menggambarkan potensi kristal protein yang dibentuk. Semakin besar jumlah spora yang diharapkan semakin besar pula kristal protein yang dihasilkan. Jumlah spora pada kultivasi Bacillus thuringiensis akan berkorelasi dengan nilai LC 50 yang dihasilkan. Hubungan antara LC 50 dengan jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis dengan CN rasio 7 disajikan pada Gambar 3.4. Berdasarkan informasi pada Gambar 3.4, LC 50 berkorelasi linear dengan jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai y = -1.135x + 10.14 dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner y = -1.320x + 9.577. Nilai LC 50 dan jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis berkorelasi logaritmik y = -0.27 ln x + 7.956. Hal ini menunjukkan bahwa kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linear dengan jumlah spora yang dihasilkan. Pada penelitian ini, kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis pada pemilihan substrat sumber karbon dihasilkan nilai LC 50 yang kecil 0.05 – 1.08 µgml dan potensi produk bioinsektisida yang besar 160 – 16000 IUmg, walaupun jumlah spora yang dihasilkan lebih kecil dari galur lainnya. Menurut Thiery dan Frachon 1997, pada umumnya sel – sel bakteri Bacillus thuringiensis menghasilkan kristal protein tetapi tidak dapat diyakini apakah masing-masing sel menghasilkan kristal protein satu, dua atau bahkan tiga, sehingga perhitungan jumlah spora terkadang kurang menggambarkan dengan tepat jumlah kristal protein yang dihasilkan. Korelasi antara nilai LC 50 dan jumlah spora yang dihasilkan pada ketiga galur Bacillus thuringiensis memiliki nilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spora yang dihasilkan berbanding terbalik dengan nilai LC 50 . Semakin besar jumlah spora yang dihasilkan maka semakin kecil nilai LC 50 yang menunjukkan bahwa produk bioinsektisida yang dihasilkan efektif untuk membunuh serangga. Apabila nilai LC 50 kecil maka produk bioinsektisida yang digunakan untuk membunuh 50 serangga target juga akan semakin sedikit. Apabila jumlah spora yang dihasilkan berbanding terbalik dengan nilai LC 50 , maka jumlah sel hidup yang dihasilkan dimungkinkan berbanding terbalik dengan nilai LC 50 . Sebab jumlah spora yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah sel hidup. Hubungan antara LC 50 dengan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis dengan CN rasio 7 disajikan pada Gambar 3.5. Gambar 3.3 Hubungan antara Jumlah Sel Hidup dengan Jumlah Spora yang Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus thuringiensis dengan CN Rasio 7 Gambar 3.5 menunjukkan bahwa LC 50 berkorelasi linear dengan jumlah sel hidup pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai y = -0.478x + 11.40 dan Bacillus thuringiensis subsp. berliner y = -0.507x + 11.71. Nilai LC 50 dan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis berkorelasi logaritmik y = -0.20 ln x + 11.05. Hal ini menunjukkan bahwa kristal protein yang dihasilkan tidak selalu berkorelasi linear dengan jumlah sel hidup. Pada pertumbuhan sel, tidak dapat dipastikan berapa sel vegetatif dan spora yang dihasilkan. Hal ini tergantung dari kondisi lingkungan selama kultivasi berlangsung. Selain itu, belum dapat dipastikan berapa kristal protein yang diperoleh dari setiap spora yang dihasilkan. Gambar 3.4 Hubungan antara LC 50 dengan Jumlah Spora yang Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus thuringiensis dengan CN Rasio 7 Gambar 3.5 Hubungan antara LC 50 dengan Jumlah Sel Hidup yang Dihasilkan pada Kultivasi Bacillus thuringiensis dengan CN Rasio 7 y = -1.135x + 10.14 R² = 0.649 y = -1.320x + 9.577 R² = 0.688 y = -0.27lnx + 7.956 R² = 0.621 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 14 16 Ʃ sp or a log C FU g µgml Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Bacillus thuringiensis subsp. berliner Bacillus thuringiensis subsp. israelensis LC 50 y = -0.478x + 11.40 R² = 0.592 y = -0.507x + 11.71 R² = 0.466 y = -0.20lnx + 11.05 R² = 0.377 9 10 11 12 13 14 2 4 6 8 10 12 14 16 Ʃsel h id up l og C FU g µgml Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Bacillus thuringiensis subsp. Berliner Bacillus thuringiensis subsp. israelensis LC 50

3.4 Produksi Bioinsektisida Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Nitrogen yang Terpilih

Hasil pengujian pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih disajikan pada Tabel 3.7. Kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok sumber karbon dan bungkil inti sawit sumber nitrogen. Kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi substrat kulit kopi sumber karbon dan bungkil inti sawit sumber nitrogen, sedangkan kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis menggunakan kombinasi substrat kulit kopi sumber karbon dan bungkil kacang tanah sumber nitrogen. Perbanyakan produksi bioinsektisida dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari produk yang dihasilkan. Tabel 3.7 Hasil Pengujian pada Produksi Bioinsektisida Menggunakan Substrat Sumber Karbon dan Nitrogen yang Terpilih pada Rasio CN 7 pada Skala Produksi 2 kg Karakteristik Galur Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis subsp .aizawai Onggok+Bungkil Inti Sawit Bacillus thuringiensis subsp .berliner Kulit Kopi+Bungkil Inti Sawit Bacillus thuringiensis subsp .israelensis Kulit Kopi+Bungkil Kacang Tanah Jumlah Sel Hidup log CFUg 9.9 10.7 9.9 Jumlah Spora log CFUg 8.1 7.7 8.1 LC 50 µgml 2.63 1.28 0.67 Susut Bobot 1.7 1.0 1.8 Penurunan Kadar Serat 16.9 13.1 51.0 Potensi Bioinsektisida 304 625 1194 Jumlah sel hidup pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai tahap ini 9.9 log CFUg lebih kecil dibandingkan kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada tahap pemilihan substrat sumber nitrogen 11.3 log CFUg. Jumlah sel hidup tersebut mengalami penurunan sebanyak 11.81. Hal yang sama juga terjadi pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Sebelum dilakukan perbanyakan produksi tahap pemilihan substrat sumber nitrogen, jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner sebesar 11.4 log CFUg mengalami penurunan sebanyak 6.1, sedangkan jumlah sel hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis sebesar 11.5 log CFUg mengalami penurunan 14.3. Penurunan jumlah sel tersebut diduga terjadi karena jumlah substrat yang diberikan terlalu banyak sehingga menghasilkan media dengan ketebalan yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat kerapatan komponen media yang sebagian besar berupa pati sangat tinggi. Kondisi demikian menyebabkan isolat Bacillus thuringiensis mengalami kekurangan suplai oksigen dan kesulitan untuk mengkonsumsi substrat. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah spora yang dihasilkan. Jumlah spora pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih pada ketiga isolat mengalami penurunan. Jumlah spora yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai mengalami penurunan sebesar 9.7 dari jumlah spora yang dihasilkan pada tahap pemilihan substrat sumber nitrogen. Demikian juga dengan jumlah spora hidup yang dihasilkan pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. berliner penurunan 9.4 dan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis penurunan 5.5. Penurunan jumlah spora pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih ini terjadi karena jumlah sel hidup yang dihasilkan menurun. Pola pertumbuhan jumlah sel hidup sebanding dengan jumlah spora. Sehingga apabila jumlah sel hidupnya berkurang, maka jumlah spora juga akan berkurang. Pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih, nilai LC 50 mengalami kenaikan. Nilai LC 50 untuk kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan kombinasi substrat onggok dan bungkil inti sawit sebesar 2.63 µgml, nilai LC 50 kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. berliner menggunakan kombinasi substrat kulit kopi dan bungkil inti sawit sebesar 1.28 µgml, dan nilai LC 50 untuk kultivasi isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis pada kombinsi substrat kulit kopi dan bungkil kacang tanah sebesar 0.67 µgml. Kenaikan nilai LC 50 ini mengindikasikan tingkat toksisitas dari produk bioinsektisida yang dihasilkan tidak konsisten jika diproduksi dalam jumlah yang lebih banyak 2 kg. Semakin kecil nilai LC 50 maka semakin baik produk bioinsektisida tersebut. Sebaliknya, semakin besar nilai LC 50 maka produk bioinsektisida semakin tidak efektif dalam membunuh serangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila nilai LC 50 rendah maka bioinsektisida yang digunakan untuk membunuh 50 serangga target juga semakin sedikit. Pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen yang terpilih, dihasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora yang lebih kecil dibandingkan jumlah spora yang dihasilkan pada tahap pemilihan substrat sumber nitrogen. Apabila jumlah spora yang dihasilkan sedikit maka kristal protein yang dihasilkan juga akan sedikit sehingga tingkat toksisitasnya akan berkurang dan nilai LC 50 akan mengalami kenaikan. Oleh karena itu pada kultivasi skala produksi 2 kg perlu diperhitungkan parameter scale up yang tepat, yaitu ketersediaan air dan oksigen. Penurunan kadar serat pada produksi bioinsektisida menggunakan substrat sumber karbon dan nitrogen terpilih yang terbesar terdapat pada kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yaitu sebesar 51.0 . Hal ini karena isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mempunyai indeks potensial selulolitik yang terbesar. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, isolat Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mampu menghasilkan enzim selulase dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga akan semakin banyak pula selulosa yang dapat dipecah menjadi komponen sederhana. Apabila dibandingkan dengan penurunan kadar serat pada tahap-tahap sebelumnya, penurunan kadar serat pada tahap perbanyakan produksi memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan tahap semula. Hal ini dikarenakan jumlah sel yang dihasilkan pada tahap perbanyakan produksi lebih kecil dari tahap sebelumnya sehingga enzim selulosa yang dihasilkan juga menjadi kecil.