Kemampuan Amilolitik Karakteristik Isolat

sehingga pati yang telah terdegradasi tidak dapat berikatan dengan iodium dan menghasilkan zona bening di sekeliling koloni bakteri. Daerah yang patinya belum terhidrolisis akan berwarna biru ungu dikarenakan adanya ikatan antara pati dengan iodium. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai memiliki indeks potensial yang terbesar 4.0 sehingga isolat tersebut memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar dibandingkan dengan dua isolat lainnya.

3.2.2 Kemampuan Selulolitik

Zahidah dan Shovitri 2013 mengemukakan bahwa selain menghasilkan enzim amilase, isolat Bacillus thuringiensis juga menghasilkan enzim selulase. Menurut Crueger dan Crueger 1984, selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks endo- β-1,4-glukonase CMCase, C x selulase endoselulase, atau carboxymethyl cellulase, kompleks ekso- β-1,4-glukonase aviselase, selobiohidrolase, C 1 selulase, dan β-1,4-glukosidase atau selobiase. Enzim ini digunakan untuk menguraikan komponen selulosa pada suatu bahan. Hasil pengujian indeks potensial ketiga isolat Bacillus thuringiensis terhadap kemampuan selulolitiknya disajikan pada Tabel 3.2. Berdasarkan hasil pengujian, Bacillus thuringiensis memiliki kemampuan amilolitik yang lebih besar 2.0 – 4.0 daripada kemampuan selulolitiknya 0.2 – 3.0. Selain itu, terdapat perbedaan nilai indeks potensial selulolitik yang cukup besar dari ketiga isolat tersebut Tabel 3.2. Menurut Meryandini et al. 2009, setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks enzim selulase yang berbeda- beda, tergantung dari gen yang dimiliki dan sumber karbon yang digunakan. Bacillus thuringiensis subsp. israelensis memiliki indeks potensial yang terbesar 3.0 sehingga isolat tersebut memiliki kemampuan selulolitik yang lebih besar dibandingkan dengan dua isolat lainnya.

3.2.3 Kemampuan Pembentukan Sel

3.2.3.1 Jumlah Sel Hidup

Produksi sel hidup, spora dan kristal protein pada proses kultivasi Bacillus thuringiensis dipengaruhi oleh ketersediaan sumber karbon dan nitrogen Tirado- Montiel et al., 2001. Menurut Bideshi et al. 2010, ketika nutrisi dan kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan bakteri, spora tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak dengan cara membelah diri. Jumlah sel hidup menunjukkan total sel vegetatif, spora yang sedang tumbuh dan jumlah spora, seperti disajikan pada Gambar 3.1. Menurut Wang et al. 1978, pertumbuhan mikroorganisme pada media tertentu mempunyai empat fase dalam kurva pertumbuhannya, yaitu fase awal atau fase lag yang diikuti dengan fase eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan fase kematian. Pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menunjukkan fase awal dimulai pada jam ke-0 dan diikuti dengan fase eksponensial sampai jam ke-36. Pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. berliner mengalami fase awal diikuti fase eksponensial dimulai pada jam ke-0 sampai jam ke-36 dan masih mengalami fase stasioner sampai dengan jam ke-72 sedangkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis mengalami fase awal yang diikuti fase eksponensial pada jam ke-0 sampai dengan jam ke-24. Fase stasioner terjadi setelah jam ke-24 dan terus berlangsung sampai dengan jam ke-60, kemudian mulai mengalami fase penurunan pada jam ke-72. Ketiga galur Bacillus thuringiensis tidak mengalami fase awal fase adaptasi. Hal ini terlihat dari jumlah sel hidup yang dihasilkan pada jam ke-0. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa pada jam ke-0 jumlah sel hidup dari tiga galur tersebut sudah mencapai 4 log CFUg, sehingga dapat diperoleh informasi bahwa pada saat kultivasi ketiga galur Bacillus thuringiensis dalam keadaan aktif. Secara umum, ketiga galur Bacillus thuringiensis mengalami fase stasioner antara jam ke-24 sampai jam ke-36. Fase stasioner ini mengindikasikan terbentuknya spora pada saat kultivasi, sehingga dapat diperoleh informasi bahwa spora pada ketiga galur Bacillus thuringiensis akan mulai terbentuk antara jam ke- 24 sampai jam ke-36. Gambar 3.1 Kurva Pertumbuhan Bacillus thuringiensis pada Media Nutrient Broth

3.2.3.2 Jumlah Spora Hidup

Jumlah spora hidup dihitung berdasarkan VSC Viable Spore Count. Cepat lambatnya pembentukan spora bergantung pada lingkungan kultur. Pada umumnya spora akan terbentuk pada lingkungan yang kurang sesuai bagi sel misalnya nilai pH dan suhu ekstrim, kurangnya suplai makanan bagi sel serta kemungkinan lain yang menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai. Selain itu, jumlah mineral yang ditambahkan ke dalam media kultivasi sangat mempengaruhi faktor jumlah spora yang terbentuk Sukmadi et al. 1996. 2 4 6 8 10 12 14 16 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Ʃ Se l h id up l og C FU g Waktu Inkubasi Jam Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Bacillus thuringiensis subsp. berliner Bacillus thuringiensis subsp. israelensis