Pola Penyebaran Keruing Gunung

infeksi pada kulit. Manfaat ini akan mendorong masyarakat sekitar hutan TNGR untuk melakukan aksi konservasi secara suka rela. Pembuktian secara ilmiah potensi bioprospeksi keruing gunung sebagai obat luka yang telah dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak memiliki korelasi yang kuat. Masyarakat adat suku Dayak memanfaatkan kulit batang keruing gunung sebagai obat luka secara turun temurun. Luka atau infeksi pada kulit disebabkan oleh bakteri S. aureus . Potensi yang terbukti ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitat hutan TNGR dalam mengobat penyakit luka atau infeksi pada kulit. Pengungkapan manfaatpotensi keruing gunung yang sudah terbukti merupakan penstimulus kerelaan masyarakat dalam melakukan konservasi. Pengungkapan manfaat keruing gunung memiliki prospek yang baik kedepan sebagai obat antiluka atau infeksi pada kulit. Aksi konservasi dapat diwujudkan dalam bentuk pembudidayaan keruing gunung. 4.2 Potensi Bioprospeksi 4.2.1 Kadar Air Simplisia Penetepan kadar air merupakan parameter penting yang perlu diketahui sebelum melakukan isolasi. Besarnya crude extract dan bioaktivitas dari kelompok senyawa metabolit sekunder hasil ekstraksi ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia. Pengukuran kadar air penting dilakukan sebagai koreksi hasil, karena sampel yang sama dengan kadar air yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Kadar air diperoleh dari serbuk kulit batang dan daun secara berurutan adalah 7,01 dan 8,33. Pengukuran kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang berhubungan dengan hilangnya air dari suatu bahan pada suhu 105 ÂșC. Kadar air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia.

4.2.2 Rendemen Ekstraksi

Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen ekstraksi daun keruing gunung dengan etanol menghasilkan ekstrak etanol daun 6 lebih tinggi dibandingkan ekstraksi bagian batangnya 2. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sari 2011 yang menunjukkan bahwa ekstraksi daun surian dalam etanol menghasilkan ekstrak daun yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit dan kayunya. Hal ini disebabkan oleh senyawa klorofil daun yang ikut terekstraksi oleh etanol. Harborne 2006 menyatakan bahwa klorofil dapat larut dalam pelarut organik seperti etanol. Tabel 7 Nilai rendemen ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung dan hasil fraksinasinya Jenis ekstrak Rendemen bb Kulit Daun Ekstrak etanol 2,00 6,28 Fraksi n-heksana 0,57 2,12 Fraksi kloroform 0,45 1,85 Fraksi etil asetat 0,34 1,35 Fraksi residu 0,64 0,96 Partisi ekstrak etanol daun keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana tertinggi dibandingkan fraksi lainnya Tabel 7. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun mengandung senyawa non polar yang lebih tinggi. Senyawa tersebut non polar yang terekstrak etanol adalah klorofil, lilin, dan lemak. Hal ini dipertegas oleh Houghton dan Raman 1998 menyatakan bahwa untuk menghilangkan senyawa pengotor seperti klorofil, lilin, dan lemak dalam ekstraksi senyawa bioaktif dalam ekstrak etanol daun, maka ekstrak etanol tersebut dipartisi dengan n-heksana. Partisi ekstrak etanol kulit keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana yang jauh lebih rendah dibandingkan partisi ekstrak etanol daunnya Tabel 7. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Syafii 2014 yang menunjukkan bahwa fraksi n- heksana daun mindi lebih tinggi dibandingkan kulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis dan komposisi zat ekstraksi yang terkandung di dalam daun berbeda dengan di dalam kulit.

4.2.3 Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dan kulit batang keruing gunung serta fraksinya tidak memiliki aktivitas antibakteri S. typhi , tetapi bersifat antibakteri S. Aureus Tabel 8. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 6 bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak hingga 20.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. typhi. Akan tetapi, pemberian ekstrak pada komsentrasi 10.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. aureus. Akan tetapi peningkatan konsentrasi ekstrak menjadi 20.000 ppm mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan daya hambat yang bervariasi. Hal ini membuktikan kearifan lokal suku Dayak yang menggunakan kulit batang keruing gunung untuk penyembuhan luka kulit karena bakteri S. aureus penyebab infeksi pada kulit dapat dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak kulit keruing gunung Warsa 2011. Kemampuan senyawa masing-masing senyawa antibakteri yang dimiliki berbeda-beda walaupun berasal dari sumber yang sama. Hal ini tergantung dari polaritas senyawa dan tipe mekanisme aktivitas senyawa antibakteri. Ada dua tipe mekanisme aktivitas senyawa antibakteri, yaitu dengan cara menghambat pertumbuhan populasi bakteri uji yang ditandai dengan warna sekitar sumuran terlihat jelas bening. Aktivitas antibkteri juga dengan membunuh populasi bakteri uji yang ditandai dengan warna seluruh cawan petri terlihat bening. Berdasarkan efek kerjanya, senyawa antibakteri ada yang bekerja secara antagonis dan sinergis. Dalam penelitian ini aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung memiliki efek sinergis yang ditandai dengan zona hambat yaitu 13 mm dan 9 mm. Pada fraksi daun dan kulit batang keruing gunung memberikan daya hambat yang bervariasi. Fraksi daun yang paling besar daya hambatnya pada fraksi kloroform dan daya hambat paling tinggi pada fraksi kulit terdapat pada etil asetat. Senyawa antibakteri yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda tidak memberikan efek yang terlalu besar pada pertumbuhan bakteri uji jika berada dalam keadaan ekstrak. Daya hambat yang tinggi diberikan oleh senyawa antibakteri jika berada dalam keadaan tidak tercampur dalam ekstrak.