Pengukuran Kondisi Populasi Berdasarkan Kelas Diameter Batang

yang lain adalah adanya kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat atau pengelola TNGR.

4.1.2 Indeks Kekayaan Jenis MargaleftR

Indeks kekayaan jenis menunjukkan jumlah jenis dalam suatu komunitas. Untuk mencari tingkat kekayaan jenis yang ada dalam suatu komunitas yang dinyatakan dalam kekayaan jenis R. Hasil perhitungan nilai R dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai indeks kekayaan Margalef keruing gunung berbagai tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan Jumlah individu keruing gunung Total jenis Nilai R Semai 50 59 1,96 Pancang 233 368 7,44 Tiang 22 44 4,23 Pohon 60 120 5,85 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai R tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan pancang, yaitu sebesar 7,44 dan nilai R terendah terdapat pada tingkat pertumbuhan tiang, yaitu sebesar 1,96. Semakin banyak jumlah jenis suatu tegakan, maka semakin besar pula nilai R-nya.

4.1.3 Pola Penyebaran Keruing Gunung

Hasil analisis vegetasi keruing gunung di SPTN 1 TNGR Resort Santong menggambarkan pola penyebarannya secara mengelompok untuk semua tingkat pertumbuhan. Secara lengkap disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Indeks Morishita dan pola penyebaran keruing gunung di hutan SPTN 1 TNGR Resort Santong Tingkat pertumbuhan Iδ Pola penyebaran Semai 9,35 Mengelompok pancang 15,02 Mengelompok tiang 4,28 Mengelompok pohon 10,43 Mengelompok Noughton dan Wolf 1990 menjelaskan bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor yang sangat berperan dalam penyebarannya. Apabila di sekitar lokasi induk jenis tumbuhan menyediakan yang cukup untuk pertumbuhan, maka akan cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok. Tabel 9 menunjukkan pola penyebaran keruing gunung secara mengelompok di SPTN 1 TNGR Resort Santong pada setiap tingkat pertumbuhan. Hal ini disebabkan kondisi faktor iklim dan ketersediaan unsur hara yang sangat mendukung sehingga pertumbuhan dan perkembangannya sangat cocok di wilayah tersebut. Konservasi keruing gunung mencakup tiga aspek yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Titik tekan dalam aksi konservasi bertumpu pada aspek pemanfaatan secara berkelanjutan. Keruing gunung yang telah diuji dan terbukti memiliki daya hambat yang kuat sebagai antibakteri S. aureus penyebab penyakit infeksi pada kulit. Manfaat ini akan mendorong masyarakat sekitar hutan TNGR untuk melakukan aksi konservasi secara suka rela. Pembuktian secara ilmiah potensi bioprospeksi keruing gunung sebagai obat luka yang telah dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak memiliki korelasi yang kuat. Masyarakat adat suku Dayak memanfaatkan kulit batang keruing gunung sebagai obat luka secara turun temurun. Luka atau infeksi pada kulit disebabkan oleh bakteri S. aureus . Potensi yang terbukti ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitat hutan TNGR dalam mengobat penyakit luka atau infeksi pada kulit. Pengungkapan manfaatpotensi keruing gunung yang sudah terbukti merupakan penstimulus kerelaan masyarakat dalam melakukan konservasi. Pengungkapan manfaat keruing gunung memiliki prospek yang baik kedepan sebagai obat antiluka atau infeksi pada kulit. Aksi konservasi dapat diwujudkan dalam bentuk pembudidayaan keruing gunung. 4.2 Potensi Bioprospeksi 4.2.1 Kadar Air Simplisia Penetepan kadar air merupakan parameter penting yang perlu diketahui sebelum melakukan isolasi. Besarnya crude extract dan bioaktivitas dari kelompok senyawa metabolit sekunder hasil ekstraksi ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia. Pengukuran kadar air penting dilakukan sebagai koreksi hasil, karena sampel yang sama dengan kadar air yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Kadar air diperoleh dari serbuk kulit batang dan daun secara berurutan adalah 7,01 dan 8,33. Pengukuran kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang berhubungan dengan hilangnya air dari suatu bahan pada suhu 105 ºC. Kadar air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia.

4.2.2 Rendemen Ekstraksi

Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen ekstraksi daun keruing gunung dengan etanol menghasilkan ekstrak etanol daun 6 lebih tinggi dibandingkan ekstraksi bagian batangnya 2. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sari 2011 yang menunjukkan bahwa ekstraksi daun surian dalam etanol menghasilkan ekstrak daun yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit dan kayunya. Hal ini disebabkan oleh senyawa klorofil daun yang ikut terekstraksi oleh etanol. Harborne 2006 menyatakan bahwa klorofil dapat larut dalam pelarut organik seperti etanol. Tabel 7 Nilai rendemen ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung dan hasil fraksinasinya Jenis ekstrak Rendemen bb Kulit Daun Ekstrak etanol 2,00 6,28 Fraksi n-heksana 0,57 2,12 Fraksi kloroform 0,45 1,85 Fraksi etil asetat 0,34 1,35 Fraksi residu 0,64 0,96