Aktivitas Antibakteri Potensi Bioprospeksi .1 Kadar Air Simplisia

Tabel 8 Diameter zona hambat bakteri uji Ekstrak etanol Konsen trasi ppm Diameter zona hambat mm Staphylococcus aureus Salmonella typhi Ulangan I Ulangan II Rata -rata Ulangan I Ulangan II Rata -rata Kontrol Ampisilin 10.000 20.000 20 20 20 20 20 EED 10.000 14 12 13 20.000 15 14 14,5 FEAD 10.000 11 12 11,5 20.000 15 14 14,5 FKD 10.000 15 13 14 20.000 20 15 17,5 FHD 10.000 20.000 FEK 10.000 8 10 9 20.000 12 12 12 FEAK 10.000 16 13 14,5 20.000 17 17 17 FKK 10.000 20.000 FHK 10.000 12 12 12 20.000 13 14 13,5 FR 10.000 8 9 8,5 20.000 9 9 9 Keterangan: EED Ekstrak Etanol Daun, FEAD Fraksi Etil Asetat Daun, FKD Fraksi Kloroform Daun, FHD Fraksi Heksan Daun, FEK Fraksi Etanol Kulit, FEAK Fraksi Etil Asetat Kulit, FKK Fraksi Kloroform Kulit, FHK Fraksi Heksan Kulit dan Fraksi Residu FR Bila mengacu pada klasifikasi kekuatan antibakteri menurut Davis dan Stout 1971, pemberian ekstrak atau fraksinya pada konsentrasi 20.000 ppm memiliki daya hambat yang tergolong kuat terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus dengan zona hambat lebih besar dari 10 mm, kecuali fraksi n-heksana daun dan fraksi kloroform kulit Tabel 5. Menurut Warsa 2011 pada fraksi n-heksana daun diduga mengandung banyak klorofil, lilin, dan lemak yang tidak bersifat antibakteri. Fraksi kloroform daun menunjukkan zona hambat tertinggi dibandingkan fraksi daun lainnya, yaitu 17,5 mm pada konsentrasi 20.000 ppm. Demikian pula halnya dengan fraksi etil asetat kulit yang menunjukkan zona hambat tertinggi dibandingkan fraksi kulit lainnya, yaitu 17 mm. Hal ini menunjukkan senyawa yang terkandung di dalam kedua fraksi tersebut dapat berinteraksi dengan dinding sel bakteri Gram positif karena senyawa yang terkandung dalam kedua fraksi bersifat semipolar sehingga memiliki afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel. Oleh karena itu, kedua fraksi lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus Maryuni 2008. Kedua fraksi tersebut tidak bersifat antibakteri S. typhi karena bakteri Gram negatif umumnnya sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya, bakteri Gram positif, lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar Wassenaar et al. 2004. Sensitivitas bakteri Gram posi disebabkan komponen dasar yang salah satu penyusunn Ajizah 2004. Senyawa ant membran sel sehingga menga sensitivitas antara bakteri perbedaan morfologi struktur Gambar 6 Hasil uji daya ham keruing gunung Gambar 7 Hasil uji daya ham keruing gunung Pembuktian secara ilm memberikan pengaruh yan konservasi dilakukan melal pemanfaatan. Kegiatan pe konservasi harus secara ari konservasi bahwa faktor yan adalah pemanfaatan secara seperti kimia dan biologi. Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I positif terhadap senyawa antibakteri yang ber sar penyusun dinding sel Gram positif, yaitu pe unnya adalah asam amino alanina yang bersif antibakteri dapat bereaksi dengan komponene f engakibatkan lisis sel Branen Davidson 2009 ri Gram positif dan Gram negatif diduga ktur keduanya. hambat tertinggi antibakteri S. aureus fraksi etil a g hambat tertinggi antibakteri S. aureus fraksi klor g ilmiah terhadap pengetahuan tumbuhan sebaga yang besar dalam mendorong aksi konserv lalui tiga kegiatan, yaitu: perlindungan, pen pemanfaatan secara berkelanjutan yang me arif dan bijaksana. Berdsarakan teori tri stimul yang memengaruhi konservasi keruing gunung ra berkelanjutan dengan melibatkan berbagai Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I bersifat nonpolar u peptidoglikan, rsifat hidrofobik ne fosfolipid dari 2009. Perbedaan ga berasal dari til asetat kulit kloroform daun bagai bahan obat konservasi. Strategi engawetan, dan merupakan aksi mulus amar pro unung salah satunya ai disiplin ilmu Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I Berdasarkan konsep tri stumulus amar pro konservasi Zuhud et al. 2007 disusun berdasarkan faktor yang memengaruhi masyarakat sekitar TNGR dalam mengkonservasi keruing gunung adalah faktor bioekologi, pemanfaatan sosial- ekonomi serta budaya kepercayaan. Dalam konteks pemanfaatan berkelanjutan keruing gunung di TNGR oleh masyarakat selama ini belum mengarah kepada pemanfaatan sebagai sumber obat-obatan. Sehingga eksplorasi nilai guna keruing gunung mampu menstimulus masyarakat untuk melakukan budidaya keruing gunung. Dorongan dan motivasi untuk melakukan budidaya secara suka rela apabila masyarakat memiliki empat prasyarat yang harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah: 1. adanya ketersediaan lahan, 2. ketersediaan bibit dan IPTEK dalam budidaya keruing gunung, 3. adanya jaminan rasa aman, 4 adanya sanksi atau finalty terhadap masyarakat jika tidak melakukan pembudidayaan. Konstribusi ilmu pengetahuan sebagai inisiator dalam mengembangakan potensi keruing gunung sebagai sediaan obat selama ini masih kurang. Kontrribusi ilmu pengetahuan seperti kimia dan biologi memiliki peran penting dalam mengeksplorasi senyawa aktif yang memiliki prospeksi sebagai sediaan obat. Sehingga pemanfaatan potensi tumbuhan sebagai sediaan obat memiliki peluang yang baik dimasa yang akan datang.

4.2.4 Fitokimia Ekstrak Teraktif

Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat dalam setiap ekstrak kasar keruing gunung. Fitokimia mempunyai peranan penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Kandungan fitokimia pada keruing gunung pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil uji fitokimiafraksi kloroform daun dan etil asetat kulit batang keruing gunung Uji fitokimia Fraksi dari ekstrak etanol Kloroform daun Etil asetat kulit Alkaloid + + + Flavonoid + + + + + + Fenol hidrokuinon + + + + + + Steroid + + + - Triterpenoid + + + + + + Tanin + + + + + + + Saponin + + + + + + Keterangan : - = tidak terdeteksi ++= terdeteksi sedang ++++ = terdeteksi sangat kuat += terdeteksi lemah +++= terdeteksi kuat Berdasarkan hasil analisis fitokimia, kedua jenis fraksi teraktif terdeteksi mengandung senyawa fitokimia dari kelompok alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, triterpenoid, tanin, dan saponin Tabel 9. Senyawa yang berperan terhadap aktivitas antibakteri fraksi kloroform daun dan fraksi etil asetat kulit adalah tanin, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Masfria 2000 melaporkan bahwa senyawa fenolik seperti flavonoid, tanin, dan fenolik lainnya seperti p-hidroquinon terbukti bersifat antibakteri. Terdeteksinya senyawa fenolik dalam fraksi teraktif antibakteri merupakan jawaban adanya aktivitas antibakteri. Mekanisme senyawa fenolik sebagai zat antibakteri adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak, dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba Sugiyono 2003. Komponen fenolik juga dapat mendenaturasi enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Senyawa fenolik mampu memutuskan ikatan peptidoglikan saat menerobos dinding sel Kloucek et al. 2005. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenolik akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel seperti protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran Vilegs et al. 1997. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam metabolisme bakteri Naidu Clemens 2000. 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Keadaan populasi keruing gunung di TNGR tetap terjaga yang dapat digambarkan seperti huruf ā€œJā€ terbalik. Kondisi normal populasi keruing ditandai dengan jumlah regenerasi yang tinggi, yaitu tingkat semai sebanyak 5000 individuha, tingkat pancang keruing gunung sebanyak 3728 individuha, tingkat pertumbuhan tiang keruing gunung sebanyak 88 individuha dan tiangkat pertumbuhan pohon memiliki 60 individuha. Selain kerapatan, INP keruing gunung di SPTN 1 TNGR tergolong relatif normal. INP semai sebanyak 151,41, INP pancang sebanyak 66,88, INP tiang sebanyak 114,25 dan INP pohon 160, serta kondisi populasi setiap pertumbuhan mengelompok. Bagian daun dan kulit batang keruing gunung memiliki potensi bioprospeksi sebagai antibakteri S. aureus yang merupakan bakteri penyebab infeksi kulit atau luka. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan fraksi kloroform kulit dan fraksi etil asetat daun menunjukkan hasil yang cukup besar, yaitu diameter zona hambat rata-rata secara berurutan 17,5 mm dan 17 mm. Bukti dari analisis uji antibakteri dan uji fitokimia memberikan gambaran manfaat keruing gunung sebagai obat luka. Hal ini dapat menjadi stimulus kepada masyarakat sekitat hutan TNGR dalam melakukan aksi konservasi keruing gunung.

5.2 Saran

Diperlukan aksi konservasi keruing gunung melalui penerapan aspek pemanfaatan yang nyata oleh masyarakat sekitar TNGR sebagai bahan obat luka atau infeksi pada kulit. Pemanfaatan dapat dilakukan dengan pengolahan simplisia kulit batang dan daun keruing gunung sebagai obat luka atau infeksi pada kulit. Penelitian lanjutan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa aktif anti bakteri dalam fraksi teraktif perlu dilakukan.