Bioprospeksi Antibakteri Karakteristik Populasi Dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus Retusus Bl.) Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi Ntb.

Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya Cowan 1999. Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lama inkubasi dan aktivitas metabolisme bakteri. Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibakteri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membran sel atau menghambat pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang menghambat sintesis protein, dan antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas bakteriostatik menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh bakteri patogen dan aktivitas bakterisidal dapat membunuh bakteri patogen Lay 1994. Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial, alkaloid, pektin, dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil. Brock dan Madigan 1991 menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal kerusakan bersifat tetap atau mikrostatik kerusakan yang dapat pulih kembali. Menurut Pelczar dan Chan 2008, penghambatan aktivitas bakteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah S. aureus Gram positif dan S. typhi Gram negatif. Perbandingan karakteristik kedua bakteri tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 Pelezar Chan 2008. Tabel 2 Perbandingan karakteristik dua jenis bakteri uji Spesifikasi S. aureus S. typhi Golongan Gram positif Gram negatif Bentuk Kokus Batang Ukuran 0,5-3 µm 0,5-3 µm Penyakit yang ditimbulkan Infeksi saluran kemih, infeksi luka Radang usus, meningitis, Infeksi sistem syaraf Habitat Kulit manusia Dalam usus manusia dan hewan vertebrata lain 2.4 Aspek Pemanfaatan Keruing Gunung 2.4.1 Kayu Sejak tahun 2005-2015 kebutuhan ekspor kayu olahan keruing termasuk keruing gunung mencapai US 4.426.954 BPS 2015. Tahun 2001 populasi keruing gunung di Indonesia sekitar 1,2 juta ha dan tahun 2011 populasi turun hingga 589.421 ha Salan 2000. Aspek yang dimanfaatkan dari keruing gunung adalah kayu yang memiliki kualitas yang cukup baik yaitu berada pada kelas awet III dan kelas kuat II dengan berat jenis 0,70 LIPI 1983. Kayu keruing gunung cocok untuk konstruksi bangunan, lantai, karoseri kerangka, lantai, dan dinding, bangunan pelabuhan dan bantalan kereta api. Kayu ini banyak juga digunakan untuk perkapalan dek dan kulit tongkang dan bagian perumahan balok, tiang, papan, dan kerangka atap. Jika digunakan di tempat yang terdapat serangan jamur, serangga atau binatang laut perusak kayu, maka kayu keruing gunung harus diawetkan dengan bahan pengawet yang sesuai. Kayu yang telah diawetkan baik digunakan sebagai bantalan kereta api dan tiang listrik Tantra 1982.

2.4.2 Minyak Keruing

Keruing gunung juga menghasilkan semacam oleoresin yang dikenal sebagai minyak keruing atau minyak lagan, akan tetapi hanya beberapa jenis saja yang mampu berproduksi dalam jumlah yang banyak untuk diperdagangkan Cotton 2002. Secara lokal minyak ini digunakan untuk memakal mendempul perahu, sebagai pernis perabotan rumah atau dinding, serta obat luka atau sakit kulit tertentu. Minyak keruing banyak diproduksi oleh Thailand, yang pada tahun 1984 menghasilkan hingga 1,7 juta liter resin yang lebih kental dari keruing dikenal dengan nama umum damar Boer Ella 2001. Untuk memperoleh damar, batang keruing dilubangi hingga mencapai kayu terasnya dan mengeluarkan cairan resin yang akan berkumpul di sudut-sudut lubang itu, yang dalam beberapa hari akan mengeras menjadi damar. Setelah gumpalan damar diambil, secara berkala lubang-lubang itu dibakar untuk merangsang kembali keluarnya resin. Beberapa jenis yang menghasilkan damar bermutu baik, di antaranya D. cornutus tampudau, D. crinitus tampurau, D. grandiflorus keruing gajah, dan D. hasseltii palahlar Saridan et al. 2011.

2.4.3 Etnobotani Keruing Gunung

Secara tradisional kulit batang keruing gunung dapat memulihkan infeksi pada kulit Tjay Kirana 2002. Etnis Dayak dari beberapa kabupaten di Kalimantan Barat yang telah lama memanfaatkan keruing sebagai obat luka, antara lain dari Kabupaten Pontianak, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Pemanfaatan keruing gunung sebagai obat luka juga dilakukan oleh etnis Dayak di Sabah Malaysia Soendjoto Wahyu 2007. Pemanfaatan kulit batang sebagai obat luka masih dapat dijumpai terutama oleh warga yang tinggal di daerah pedalaman. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari kulit batang keruing gunung ini merupakan warisan nenek moyang Kintoko 2006. Dalam pemanfaatannya, pohon tua atau muda dapat dipakai, tetapi lebih berkhasiat apabila diambil dari pohon yang sudah tua atau yang sudah berbuah. Cara pemanfaatannya adalah: 1. Kulit batang yang baru dikupas dari pohon dikikis kulit luarnya untuk mendapatkan kulit bagian dalam kurang lebih 350 g. 2. Kulit batang bagian dalam dicuci dengan air hingga bersih. 3. Kulit batang kemudian dimasukkan dalam kain bersih, ditumbuk dan diperas untuk diambil airnya lalu diteteskan ke bagian tubuh yang luka tiga kali dalam sehari dan seterusnya sampai sembuh. 4. Pengambilan kulit batang keruing gunung dari pohonnya dilakukan kembali apabila dalam dua hari penyakit belum sembuh benar.