Populasi target Populasi terjangkau Pencatatan Data Dasar Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah VEGF Dibedakan Berdasarkan Jenis Kelamin

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang cross sectional

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

1. Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014, bertempat di Poliklinik Divisi Alergi DepSMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan. 2. Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilakukan di SMF Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi target

Pasien-pasien yang menderita psoriasis vulgaris.

3.3.2 Populasi terjangkau

Pasien-pasien penderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik Divisi Alergi DepSMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014 Universitas Sumatera Utara

3.3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi : 1 Pasien yang telah didiagnosis dengan psoriasis vulgaris 2 Penderita psoriasis vulgaris yang telah menandatangani informed consent

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi : 1 Penderita psoriasis vulgaris yang sedang hamil atau menyusui 2 Penderita psoriasis vulgaris yang sedang mengkonsumsi obat- obatan yang bersifat imunosupresi dalam kurun waktu 4 minggu terakhir seperti : retinoid, siklosporin, kortikosteroid, ataupun obat- obatan lainnya seperti obat antiinflamasi dan antihistamin. 3 Penderita psoriasis vulgaris yang menggunakan obat kortikosteroid atau imunomodulator topikal dalam kurun waktu 2 minggu terakhir 4 Penderita psoriasis vulgaris yang menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis, keganasan. Universitas Sumatera Utara

3.4 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Pada penelitian ini akan digunakan pengambilan sampel secara total sampling.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Pencatatan Data Dasar

Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik Divisi Alergi DepSMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan. Pencatatan data dasar meliputi identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis yang meliputi fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz. Kemudian diagnosis klinis ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Divisi Alergi DepSMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.5.2 Pengumpulan dan Penyimpanan Sampel Darah

Sampel darah akan diambil oleh petugas di Instalasi Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan. Cara pengambilan darah adalah dari vena mediana cubiti dengan menggunakan alat suntik steril ukuran 10 cc sesuai dengan prosedur phlebotomi yang telah baku. Darah diambil sebanyak sekitar 6 cc. Setelah sampel darah diambil, sampel tersebut segera diberi kode sesuai urutannya, dan dipersiapkan untuk diproses menjadi serum. Setelah sampel mengalami penggumpalan, sampel kemudian akan disentrifugasi dengan kekuatan 2.500 rpm selama 15 menit, dan supernatan dipindahkan ke dalam tabung aliquot dan disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -25 o C. Universitas Sumatera Utara

3.5.3 Pengolahan Sampel Darah

Serum yang tersimpan akan dicairkan pada suhu ruangan sekitar lima menit dan akan dilakukan pemeriksaan assay VEGF. Pemeriksaan tersebut adalah suatu pemeriksaan kuantitatif dengan menggunakan teknik Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA. Sebuah antibodi monoklonal spesifik terhadap VEGF telah dilekatkan pada sumur-sumur dalam microplate. Standar dan sampel dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang tersedia dengan menggunakan pipet mikro dan keberadaan VEGF akan diikat dengan antibodi imobilisasi. Setelah dilakukan teknik pencucian untuk membuang substrat- substrat yang tidak berikatan, sebuah antibodi poliklonal VEGF yang berikatan dengan enzim ditambahkan pada sumur-sumur tersebut. Setelah dilakukan pencucian kembali, untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan, sebuah larutan substrat ditambahkan pada sumur-sumur sehingga menimbulkan reaksi yang mengeluarkan warna. Warna yang muncul akan sesuai dengan proporsi keberadaan VEGF yang terikat pada tahap awal. Perkembangan warna dihentikan dan intensitas warna tersebut diukur dengan menggunakan alat pembaca spektrofotometri. Universitas Sumatera Utara

a. Langkah-langkah Pengolahan Sampel Darah: 1

Persiapan Buffer, Biotin, Streptaviridin, Standar VEGF-A Konsentrat buffer sebaiknya berada dalam temperatur ruangan dan sebaiknya dilarutkan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan. Jika terbentuk kristal di dalam konsentrat buffer, dapat dihangatkan sedikit hingga terlarut secara menyeluruh. Buffer pencuci Dituangkan 50 ml konsentrat buffer pencuci 20x ke dalam tabung 1000 ml. Dilarutkan hingga mencapai volume 1000 ml dengan air de- ionisasi atau akuades, dicampurkan perlahan untuk menghindari pembentukan busa. Kemudian dipindahkan ke dalam botol pencuci dan disimpan pada temperatur 2 o hingga 25 o C. Larutan buffer pencuci ini 1x stabil selama 30 hari. Buffer penguji Dituangkan semua isi 5 ml kosentrat buffer penguji 20x ke dalam tabung 100 ml, dan dilarutkan hingga mencapai volume 100 ml dengan akuades. Kemudian dicampurkan perlahan untuk menghindari pembentukan busa dan disimpan pada temperatur 2 o hingga 8 o C. Larutan buffer pencuci ini 1x stabil selama 30 hari Universitas Sumatera Utara Konjugat Biotin Larutan konjugat Biotin harus digunakan dalam waktu 30 menit setelah dilakukan pengenceran. Dibuatlah larutan 1:100 dari konsentrat konjugat Biotin dengan Buffer penguji 1x dalam tabung plastik bersih. 0,06 ml konsentrat ditambahkan 5,94 ml buffer penguji atau 0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88 ml buffer penguji. Streptavidin-HRP Larutan Streptavidin HRP harus digunakan dalam waktu 30 menit setelah dilakukan pengenceran. Kemudian dibuat larutan 1:100 dari konsentrat Streptavidin-HRP dengan Buffer penguji 1x dalam tabung plastik bersih. 0,06 ml konsentrat ditambahkan 5,94 ml buffer penguji atau 0,12 ml konsentrat ditambahkan 11,88 ml buffer penguji. Standar VEGF-A manusia Rekonstitusi VEGF-A manusia standar dengan menambahkan akuades. Volume rekonstitusi ditentukan dari label tabung standar. Digoyangkan atau dicampurkan perlahan untuk memastikan proses pelarutan yang homogen konsentrasi standar rekonstitusi = 2 ngml. Rekonstitusikan standar selama 30 menit, dan dicampurkan dengan baik sebelum melakukan pelarutan berikutnya. Setelah digunakan, larutan standar yang tersisa tidak dapat disimpan dan harus dibuang. Pelarutan standar dapat dilakukan secara langsung pada plat sumur Universitas Sumatera Utara mikro atau secara alternatif pada tabung lain. Kemudian diambil dengan menggunakan pipet sejumlah 225 µl pengencer sampel pada setiap tabung. Setelah itu ambil sebanyak 225 µl standar ter- rekonstitusi 2ngml dengan menggunakan pipet ke dalam tabung pertama, berikan tanda S1 dan kemudian dicampurkan konsentrasi 1ngml, kemudian dengan pipet sejumlah 225 µl larutan S1 ke dalam tabung kedua, berikan label S2 dan kemudian dicampurkan. Selanjutnya dilakukan dilusi serial lima kali lagi sehingga dapat membentuk kurva standar.Pengencer standar digunakan sebagai blanko. Universitas Sumatera Utara 2 Prosedur pengujian: a Ditentukan jumlah sumur yang akan dibutuhkan untuk melakukan pengujian jumlah sampel ditambahkan dengan blanko dan standar. Setiap sampel, standar, blanko, dan sampel kontrol sebaiknya diuji sebagai duplo. Dilepaskan sumur-sumur yang tidak dipakai dari pemegang dan simpan dalam kantong aluminium dengan pengering yang telah disediakan pada temperatur 2 o -8 o dengan pengemasan ketat. b Sumur mikro dicuci dua kali dengan sekitar 400 µl, buffer pencuci pada setiap sumur dengan aspirasi berulang di antara pencucian. Didiamkan buffer pencuci selama sekitar 10-15 detik sebelum aspirasi. Perhatikan ujung pipet agar tidak menggores permukaan sumur mikro. Dikosongkan sumur dan ketukkan perlahan sumur mikro pada handuk kertas kertas penghisap untuk menghilangkan buffer pencuci yang berlebihan. Digunakan sumur mikro segera setelah pencucian. Cara lain: sumur mikro dapat diletakkan terbalik pada handuk kertastissue penghisap tidak lebih dari 15 menit. Sumur mikro tidak boleh mengalami pengeringan. c Pengenceran standar: Ditambahkan 100 µl pengencer sampel duplo terhadap semua sumur standar. Pipetkan 100 µl larutan standar 2000 pgml duplo pada sumur A1 dan A2. Dicampurkan kandungan sumur A1 dan A2 dengan aspirasi dan ejeksi berulang konsentrasi standar 1, S1 Universitas Sumatera Utara = 1000 pgml, dan pindahkan 100 µl ke dalam tabung B1 dan B2. Dilakukan proses pengenceran serial sebanyak lima kali, membentuk dua baris standar VEGF-A standar dengan konsentrasi 1000 hingga 15,6 pgml. d Ditambahkan 100 µl pengencer sampel duplo pada sumur kosong blanko. e Ditambahkan 50 µl pengencer sampel pada sumur sampel. f Ditambahkan 50 µl sampel-sampel secara duplo pada sumur sampel. g Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur ruangan 18-25 o C selama dua jam pada pengaduk plat mikro dengan 100 rpm. h Dipersiapkan konjugat biotin. i Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam kali seperti pada tahap kedua dari protokol pengujian. j Ditambahkan 100 µl konjugat biotin. k Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur ruangan 18-25 o C selama satu jam pada pengaduk plat mikro dengan 100 rpm. l Dipersiapkan Streptavidin-HRP. m Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam kali seperti pada tahap kedua dari protokol pengujian. Universitas Sumatera Utara n Ditambahkan 100 µl Streptavidin-HRP yang telah diencerkan pada semua sumur, termasuk sumur blanko. o Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur ruangan 18-25 o C selama satu jam pada pengaduk plat mikro dengan 100 rpm. p Dilepaskan lapisan penutup. Cucilah sumur mikro sebanyak enam kali seperti pada tahap kedua dari protokol pengujian. q Dimasukkan dengan menggunakan pipet sebanyak 100 µl larutan substrat TMB pada semua sumur. r Ditutup dengan lapisan penutup dan inkubasikan pada temperatur ruangan 18-25 o C selama 30 menit. Dihindari paparan terhadap cahaya. s Pengembangan warna pada plat sebaiknya terus diperhatikan dan reaksi substrat distop sebelum tidak dapat diukur lagi. Penentuan waktu yang ideal untuk setiap pengembangan warna harus dilakukan secara individual terhadap setiap pengujian. t Direkomendasikan untuk menambahkan larutan stop ketika standar tertinggi telah berwarna biru gelap. Cara lain dengan menggunakan reader ELISA pada 620 nm. Reaksi substrat sebaiknya distop ketika standar 1 mencapai OD 0,9 – 0,95. u Stop reaksi enzimatik dengan memberikan 100 µl larutan stop secara cepat pada setiap sumur. Hasil harus dibaca segera setelah Universitas Sumatera Utara larutan stop diberikan atau dalam satu jam jika disimpan pada suhu 2-8 o C dalam keadaan gelap. v Pembacaan absorbansi dilakukan di setiap sumur mikro pada spektrofotometer dengan menggunakan 450 nm sebagai gelombang cahaya primer dapat juga menggunakan 610 - 650nm. Alat Ukur : Pengukuran dilakukan dengan menggunakan ELISA analyser Chemwell 2910 Awareness Technology, Inc. Hasil Ukur : Hasil ukur akan didapat dalam satuan pgml. 3 Prinsip Pengujian : Coating antibody anti-VEGF-A manusia ditempelkan pada sumur- sumur mikro. Keberadaan VEGF-A manusia pada sampel atau standar akan berikatan dengan antibodi yang telah ditempelkan pada sumur- sumur mikro. Universitas Sumatera Utara Setelah dilakukan inkubasi, komponen-komponen biologis dibuang dengan melakukan tahap pencucian. Antibodi terhadap VEGF-A manusia yang telah dikonjugasikan dengan biotin ditambahkan dan akan berikatan dengan VEGF-A yang telah ditangkap oleh antibodi yang telah ditambahkan pertama kali. Setelah dilakukan inkubasi, antibodi anti-VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin yang tidak berikatan akan dibuang dengan tahap pencucian. Streptavidin-HRP ditambahkan dan berikatan pada antibodi anti- VEGF-A manusia yang terkonjugasi dengan biotin. Setelah dilakukan inkubasi, streptavidin-HRP yang tidak berikatan dibuang dengan tahap pencucian, kemudian larutan substrat reaktif terhadap HRP ditambahkan pada sumur-sumur Universitas Sumatera Utara pemeriksaan. Reaksi antara substrat reaktif yang berikatan dengan HRP akan menghasilkan produk berwarna berhubungan dengan proporsinya terhadap keberadaan VEGF-A manusia yang terkandung dalam sampel atau standar. Reaksi ini dihentikan dengan menambahkan larutan bersifat asam. Kandungan VEGF-A didapat dengan mengukur absorbansi pada 450 nm. Kurva standar dibuat dari 7 standar VEGF-A dengan beberapa pengenceran, sehingga kadar VEGF-A sampel dapat ditentukan.

3.6 Definisi Operasional

1. Psoriasis vulgaris Definisi : Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kulit kronis yang ditandai dengan adanya gambaran berupa plak yang berbatas tegas, merah, dan menebal disertai sisik yang berwarna putih keperakan Universitas Sumatera Utara Diagnosis : Diagnosis psoriasis ditegakkan bila dijumpai gejala klinis yaitu adanya plak eritematosa yang ditutupi skuama tebal dan berwarna putih keperakan, dibantu dengan pemeriksaan tambahan berupa fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz yang positif. • Fenomena tetesan lilin : Adanya gambaran perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin pada lesi yamg digoreskan dengan pinggir gelas obyek • Tanda Auspitz : Adanya gambaran bintik-bintik perdarahan pada lesi, ketika dilakukan penggoresan dengan menggunakan gelas obyek 2. VEGF Vascular Endothelial Growth Factor Definisi : VEGF adalah suatu faktor pertumbuhan dengan aktivitas mitogenik spesifik terhadap endotel, berbentuk protein terglikosilasi berbentuk dimer dengan ikatan disulfida, berukuran 34 – 46 kD. Terdapat beberapa jenis dari VEGF, dimana VEGF-A merupakan jenis dari VEGF yang akan diperiksa. Cara Ukur : Kadar VEGF akan diukur dengan cara Sandwich ELISA Enzyme-Linked Immunosorbent Assay dengan perangkat pemeriksaan VEGFA Human ELISA kit, Abnova, Taiwan. Universitas Sumatera Utara Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan ELISA analyser Chemwell 2910 Awareness Technology, Inc.. 3. Hamil Merupakan keadaan dimana seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. Diagnosis kehamilan dilakukan oleh dokter ahli kandungan dengan adanya pemeriksaan test pack yang positif pada urin. 4. Menyusui Proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu ASI dari payudara ibu. 5. Obat imunosupresif Obat-obatan yang memiliki sifat penekanan terhadap respon alami sistem kekebalan tubuh. 6. Retinoid Obat yang secara kimia berikatan dengan vitamin A, dan bekerja dengan mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Retinoid juga memiliki aksi imunomodulator, dan dalam sediaan oral dapat digunakan untuk terapi psoriasis. Universitas Sumatera Utara 7. Siklosporin Peptida siklik dari ekstrak jamur tanah yang selektif menghambat fungsi sel T, digunakan sebagai imunosupresan untuk mencegah penolakan pada penerima transplantasi organ dan untuk mengobati psoriasis berat serta arthritis yang parah. 8. Kortikosteroid Obat yang memiliki efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya. Termasuk di dalamnya, hidrokortison, metilprednison, prednison, dan deksametason oral ataupun topikal. 9. Antiinflamasi Obat-obatan yang mengurangi tanda-tanda dan gejala peradangan. Termasuk didalamnya, aspirin, celecoxib, meloxicam, diclofenac, ibuprofen, piroxicam, ketorolac, asam mefenamat. 10. Antihistamin Obat-obatan yang menghambat efek histamin, suatu kimiawi yang dilepaskan dalam tubuh selama reaksi alergi. Termasuk di dalamnya, golongan antagonis reseptor-H1: cetirizin, klorfeniramin, loratadin, fexofenadin Universitas Sumatera Utara 11. Obat Imunomodulator Pengobatan penyakit dengan merangsang, meningkatkan, atau menekan respon imun. Immunoterapi yang dirancang untuk memperkuat respon imun diklasifikasikan sebagai aktivasi immunoterapi sedangkan immunoterapi yang mengurangi atau menekan diklasifikasikan sebagai reduksi immunoterapi. 12. Penyakit fibrosis Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan dalam suatu organ atau jaringan baik dalam proses reparatif atau reaktif. Termasuk di dalamnya, keloid, skar, skleroderma. Penyakit fibrosis ditegakkan oleh dokter spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 13. Penyakit inflamasi kronis Inflamasi yang berdurasi panjang berminggu-minggu hingga bertahun- tahun dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Termasuk di dalamnya adalah dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak iritan, dermatitis atopi. Penyakit inflamasi kronis ditegakkan oleh dokter spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 14. Penyakit keganasan Penyakit yang ditandai dengan suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami Universitas Sumatera Utara pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Termasuk di dalamnya adalah tumor-tumor ganas. Penyakit keganasan didiagnosis oleh dokter ahli onkologi. 15. BSA Body Surface Area Pengukuran BSA menggunakan telapak tangan pasien telapak tangan, jari dan ibu jari. Dimana telapak tangan digunakan untuk mengukur seberapa banyak kulit yang terlibat psoriasis, satu telapak tangan menggambarkan 1 dari area permukaan tubuh. Psoriasis ringan: melibatkan sampai dengan 3 permukaan tubuh, sedang : melibatkan 3 sampai 10 permukaan tubuh, berat: melibatkan lebih dari 10 permukaan tubuh. Universitas Sumatera Utara

3.7 Kerangka Operasional

Karakteristik psoriasis vulgaris: sosiodemografik dan penyakit Kriteria eksklusi Pasien Psoriasis vulgaris Sampel Kriteria inklusi Kadar VEGF serum Universitas Sumatera Utara

3.8 Pengolahan Data

Data yang didapat akan diolah dan selanjutnya dinyatakan dalam tabel distribusi frekuensi. Profil kadar VEGF serum serta karakteristik penderita dan penyakit psoriasis vulgaris ditampilkan dengan menggunakan diagram batang dan kue. Kadar VEGF serum akan dideskripsikan sebagai Mean, Standar Deviasi, Minimum-Maksimum. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak statistik.

3.9 Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran USU, Nomor: 510KOMETFK USU2013. Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014. Dalam kurun waktu tersebut didapatkan sebanyak dua puluh lima penderita psoriasis vulgaris yang didiagnosis melalui pemeriksaan klinis.

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan karakteristik sosiodemografik yaitu jenis kelamin, kelompok umur, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan. Sedangkan karakteristik penyakit terdiri dari durasi penyakit, onset penyakit, riwayat keluarga dengan psoriasis, dan BSA. Universitas Sumatera Utara

4.1.1 Karakteristik Sosiodemografik

Tabel 4.1. Karakteristik sosiodemografik penderita psoriasis vulgaris n=25 Karakteristik sosiodemografik Jenis Kelamin n Pria 17 68.0 Wanita 8 32.0 Kelompok Usia n 40 14 56.0 40-60 8 32.0 60 3 12.0 Mean SD, Min-Max 42.8 14.8, 20 - 88 Suku n Batak 12

48.0 Jawa

7 28.0 Lainnya 6

24.0 Pendidikan

n SD 1 4.0 SMP 2 8.0 SMA 5 20.0 Perguruan Tinggi 17 68.0 Pekerjaan n Dokter umum 2 8.0 Pegawai swasta 2 8.0 PNS 5 20.0 Tidak bekerja 8 32.0 Wiraswasta 8 32.0

a. Jenis Kelamin

Setelah dilakukan pendataan dan memasukkan data tersebut ke dalam tabel, didapatkan sampel berjenis kelamin pria lebih banyak dibandingkan dengan sampel wanita, yaitu sampel pria sebanyak tujuh belas orang 68 dan wanita sebanyak delapan orang 32. Universitas Sumatera Utara Diagram 4.1. Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Secara umum diyakini bahwa kejadian psoriasis secara umum sama baik pada pria dan wanita. 32 Namun, studi sebelumnya yang dilakukan di Taiwan meyakini bahwa psoriasis lebih sedikit ditemukan pada wanita. 33-35 Studi yang dilakukan oleh Chen et al menunjukkan dari 5864 pasien psoriasis yang berobat ke klinik mereka, 3243 adalah pria dan 2621 wanita. Rata-rata angka prevalensi satu tahun adalah 0.19; 0.23 untuk pria dan 0.16 wanita. Terdapat perbedaan jenis kelamin yang signifikan pada prevalensi psoriasis di Taiwan. Prevalensi pasien usia dibawah 30 tahun adalah sama pada kedua jenis kelamin, namun meningkat lebih cepat pada pasien pria usia 30 tahun atau lebih. 35 Studi lain yang dilakukan oleh Sinniah et al, bahwa dari total 5607 pasien yang berobat ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah, Klang, Malaysia dari Januari 2003 sampai dengan Desember 2005, terdapat 9.5 pasien dengan Jenis Kelamin P W Universitas Sumatera Utara psoriasis. Dimana jumlah pasien pria sebesar 11.6 3162613 dan wanita 7.2 2152994. 36 Studi lain melaporkan prevalensi yang sedikit lebih tinggi pada pasien psoriasis anak-anak wanita dibandingkan pria di Swedia 0.5 vs 0.1 dan di Jerman 0.76 vs 0.66; di Amerika Serikat 2.5 vs 1.9. 37-39 Sedangkan psoriasis ditemukan lebih sering pada pria dibandingkan wanita pada populasi di Denmark 4.2 vs 3.3. dan di Australia, dimana dilaporkan pria dua kali lebih banyak dibandingkan wanita 8.9 vs 4.5, dan pada individu semua usia di Swedia 2.3 vs 1.5 dan Tiongkok 0.17 vs 0.12. 40-42 Adam melaporkan terdapat lebih dari dua kali jumlah pria 145203 dibandingkan wanita 58203 dengan psoriasis, yang bertolak belakang dengan studi lainnya yang menyatakan bahwa angka kejadian psoriasis adalah sama pada pria maupun wanita. 43-47 Belum ditemukan adanya kata sepakat apakah prevalensi psoriasis berbeda pada jenis kelamin pria dan wanita. Dikatakan tidak ditemukannya perbedaaan frekuensi antar jenis kelamin pada anak-anak dengan psoriasis di Taiwan, pada orang dewasa di Amerika Serikat dan Norwegia dan juga pada segala kombinasi usia para penderita psoriasis di Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Spanyol, Skotland, dan Taiwan. 47,48

b. Usia

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap usia diperoleh bahwa mean adalah 40.84 dengan nilai minimal 18 tahun dan maksimal 67 tahun. Terhadap sampel dilakukan pengelompokkan berdasarkan usia. Kejadian psoriasis vulgaris memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok usia Universitas Sumatera Utara kurang dari 40 tahun sebanyak empat belas orang 56. Diikuti kelompok usia 40-60 tahun sebanyak delapan orang 32, dan 60 tahun sebanyak tiga orang 12. Diagram 4.2. Frekuensi Berdasarkan Grup Usia Psoriasis dapat terjadi pada segala usia, namun dikatakan insidensinya tidak umum pada anak-anak 0.71 dan mayoritas dari kasus terjadi sebelum usia 35 tahun. 49 Pada penelitian kami hal serupa terlihat, dimana insidensi terbanyak pada kelompok usia dibawah 40 tahun. Sedangkan pada populasi psoriasis di Arab Saudi yang dilakukan oleh Fortune at al, dilaporkan insidensi psoriasis berat pada usia 22 sampai dengan 26 tahun. 50 Kundakci et al melaporkan kasus pada anak-anak yang jarang ditemukan 10 tahun; 5.7. 51 14 8 3 40 40-60 60 Grup Usia Frekuensi Universitas Sumatera Utara Studi pertama mengenai insidensi psoriasis pertama kali dilakukan di Olmsted County, Minnesota, pada tahun 1980. Dikatakan bahwa insidensi psoriasis meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia pada pria, dimana insidensi tertinggi untuk wanita terjadi pada kelompok usia 60-69 tahun. 52 Di Norwegia, tingkat insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pria usia 24-27 tahun 300100.000 dan pada kelompok wanita usia 16-19 tahun 290100.000. 53 Suatu studi yang dilakukan di unit Dermatologi Rumah Sakit Universitas Treichville, menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 39.6 tahun dengan minimal 4 tahun dan maksimal 77 tahun. Terdapat 3 anak-anak 5.3 dan 53 dewasa 94.7. Dimana pada kelompok dewasa, 38 pasien 67 berada pada usia antara 30 sampai 50 tahun. 54 Sinniah et al melaporkan insidensi tertinggi pada grup pasien usia 40-60 tahun 17.2. 36 Studi lainnya, mendemonstrasikan penurunan prevalensi dari psoriasis pada grup usia yang lebih lanjut terutama pada usia diatas 70 tahun. 5,47,48 Penurunan prevalensi psoriasis dikatakan sebesar 28 pada pasien usia 70 sampai 79 tahun, dan 60 pada usia 80 sampai 89 tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa psoriasis dapat mengalami remisisi pada pasien lansia atau pasien tidak cukup peduli untuk mencari pengobatan medis. Studi di Spanyol juga mendemonstrasikan penurunan prevalensi dari psoriasis pada individu yang lebih tua, khususnya diatas usia 70 tahun. 48 Namun studi-studi tersebut bertolak belakang dengan studi yang dilakukan pada populasi di Taiwan. Chang et al menunjukan bahwa rata-rata prevalensi psoriasis selama satu tahun mencapai puncaknya pada usia 70 tahun dan usia lebih Universitas Sumatera Utara lanjut. Prevalensi psoriasis meningkat lebih dari 50 pada pasien usia 70 tahun dan usia lanjut, dibandingkan dengan pasien grup usia 60-69 tahun. Hal ini mungkin terjadi karena adanya sistem asuransi kesehatan yang baik pada para lansia asal Taiwan. 55 Diperlukan adanya sistem penanganan yang lebih jelas agar dapat menyimpulkan prevalensi psoriasis yang tepat. Studi sebelumnya yang dilakukan pada data asuransi kesehatan di Inggris diambil berdasarkan pasien psoriasis yang dirawat oleh dokter umum. Sedangkan studi yang dilakukan di Taiwan menunjukan bahwa pasien dapat berobat ke spesialis langsung tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan dokter umum. Hal-hal seperti itu dapat menyebabkan estimasi berlebih prevalensi suatu studi. 55

c. Suku

Berdasarkan suku, diperoleh Suku terbanyak adalah suku Batak, dengan frekuensi sebesar dua belas orang 48, diikuti oleh suku Jawa tujuh orang 28, suku lainnya sebesar enam orang yang terdiri dari suku Aceh, Minang, Melayu dan Tionghoa 24. Universitas Sumatera Utara Diagram 4.3. Frekuensi Berdasarkan Suku Studi yang dilakukan diantara Indian di Amerika Selatan menyimpulkan bahwa tidak ada satupun kasus psoriasis yang dilaporkan diantara populasi studi, yang mengindikasikan baik genetik maupun lingkungan memiliki peranan dalam kejadian psoriasis. Psoriasis dikatakan lebih jarang ditemukan pada negara Asia dengan prevalensi di Tiongkok sebesar 0.4, di Jepang 0.3 dan India 0.8. 56 Frekuensi di Afrika, Afro Amerika dan Asia adalah 0.4 sampai 0.7 yang menunjukkan adanya variasi geografik antar ras dalam distribusi penyakit. 57 Suatu studi yang dilakukan di Singapura mengestimasikan bahwa 40,000 orang dengan psoriasis dan 10 diantaranya dengan inflamasi pada sendi yang dikenal dengan psoriasis arthritis. 58 Limitasi pada studi kami adalah dikarenakan ini adalah studi yang dilakukan di Sumatera Utara, perbedaan ras tidak muncul pada studi ini. Hanya saja tercatat suku yang terlibat pada studi adalah di dominasi oleh suku Batak. 48 28 24 Suku Batak Jawa Lainnya Universitas Sumatera Utara

d. Pendidikan

Berdasarkan pendidikan, diperoleh bahwa rata-rata sampel memiliki pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebanyak tujuh belas orang 68, SMA sebanyak lima orang 20, SMP sebanyak dua orang 8, SD satu orang 4. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata sampel pada penelitian ini memiliki segi intelektual yang baik. Hal ini mungkin disebabkan dari sedikitnya prevalensi penderita pada anak-anak. Diagram 4.4. Frekuensi Berdasarkan Pendidikan

e. Pekerjaan

Berdasarkan pekerjaan, diperoleh bahwa sampel bekerja sebagai wiraswasta sebanyak delapan orang 32, Dokter umum dua orang 8, PNS lima orang 20, pegawai swasta dua orang 8, dan yang tidak bekerja sebanyak delapan orang 32 SD SMP SMA Perguruan Tinggi 1 2 5 17 Pendidikan Frekuensi Universitas Sumatera Utara Diagram 4.5. Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan

4.1.2 Karakteristik Penyakit

Tabel 4.2 Karakteristik penyakit penderita psoriasis vulgaris n=25 Karakteristik penyakit Durasi Penyakit tahun n 5 17 68.0 5 – 10 3 12.0 10 - 15 2 8.0 15 3 12.0 Mean SD, Min-Max 6.59 5.64, 0.67- 20.00 Onset Penyakit tahun n 15 - 30 11 44.0 30 - 45 8 32.0 45 - 60 6 24.0 Mean SD, Min-Max 34.28 12.48, 15-57 Riwayat keluarga dengan psoriasis Ada 1 4.0 Tidak ada 24 96.0 BSA n 3 2 8.0 3 – 10 11 44.0 10 12 48.0 Mean SD, Min-Max 10.60 6.70, 2-24 Dokter umum Pegawai swasta PNS Tidak bekerja Wiraswasta 2 2 5 8 8 Pekerjaan Frekuensi Universitas Sumatera Utara

a. Durasi Penyakit

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap durasi penyakit, diperoleh bahwa mean adalah 6.59 dengan nilai minimal 0.67 dan maksimal 20.00. Kejadian psoriasis vulgaris memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada kelompok durasi 5 tahun dengan nilai sebesar tujuh belas orang 68. Diikuti kelompok durasi penyakit 5-10 tahun dan 15 tahun sebesar tiga orang 12, dan 10-15 tahun sebesar dua orang 8. Diagram 4.6. Frekuensi Berdasarkan Durasi Penyakit Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al melaporkan dari 480 pasien, 175 pasien sudah menderita penyakit psoriasis lebih dari 10 tahun 38.6, diikuti durasi penyakit 1-5 tahun yaitu sebanyak 124 pasien 27.4, 6-10 tahun sebanyak 121 pasien 26.7, dan durasi 1 tahun hanya 33 pasien 7.3. 59 5 5 - 10 10-15 15 17 3 2 3 Durasi Penyakit Frekuensi Universitas Sumatera Utara

b. Onset Penyakit

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap onset penyakit, diperoleh bahwa mean adalah 34.28 dengan nilai minimal 15 tahun dan maksimal 57 tahun. Berdasarkan onset penyakit, kelompok onset 15-30 tahun merupakan yang terbanyak dengan frekuensi sebesar sebelas orang 44. Diikuti dengan kelompok onset 35-40 tahun 32, dan 45-60 24. Diagram 4.7. Frekuensi Berdasarkan Onset Penyakit Data dari kepustakaan menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien dengan psoriasis bervariasi dari 10-30 tahun, namun penyakit dapat dimulai pada berbagai onset usia termasuk saat balita. 48,60 Farber dan Nall menemukan bahwa rata-rata onset usia psoriasis adalah 27.8 tahun dan 10 terjadi sebelum usia 10 tahun. Ia juga melaporkan bahwa pasien wanita memiliki onset lebih awal dibandingkan 15-30 30-45 45-60 11 8 6 Onset Penyakit Frekuensi Universitas Sumatera Utara pria. Penemuan ini menunjukkan adanya interaksi antara jenis kelamin dengan perkembangan fenotipe pasien psoriasis. Psoriasis dikatakan sebagai penyakit autoimun yang dimediasi sel T helper 1Th1 yang menjelaskan kerentanan perkembangan fenotipe psoriasis pada pasien wanita di usia lebih dini. Observasi ini juga serupa pada penyakit autoimun lainnya yang dimediasi Th1 seperti lupus eritematosus, sklerosis multipel, dan rheumatoid artritis, yang mendemonstrasikan predisposisinya pada pasien wanita. 46 Pada studi kami tercatat bahwa terdapat kejadian psoriasis baik pada pria dan wanita di onset usia yang awal. Hal ini bertolak belakang dengan studi lainnya dimana wanita dilaporkan memilki onset usia awal untuk terjadinya psoriasis dibandingkan pria. 3,4,7 Penelitian yang dilakukan Neimann et al menyatakan bahwa onset psoriasis memiliki puncak usia yang bimodal. Mereka menyatakan bahwa distribusi bimodal pada onset psoriasis menunjukkan adanya dua bentuk presentasi klinis psoriasis, yaitu tipe 1 dan tipe 2. 5 Tipe 1 dikatakan terjadi pada pasien sebelum usia 40 tahun dan merupakan 75 dari seluruh kasus dan merupakan bentuk yang lebih berat. Sedangkan tipe 2 terjadi pada pasien setelah usia 40 tahun. 3,4 Studi kami tidak menunjukkan adanya distribusi bimodal dari onset psoriasis. Hanya terdapat satu puncak yaitu pada grup usia 15-30 tahun. Universitas Sumatera Utara

c. Riwayat Keluarga dengan Psoriasis

Berdasarkan anamnesis didapatkan hanya satu pasien dengan riwayat keluarga yang juga menderita psoriasis. Sehingga tidak dapat dilakukan analisis deskriptif lebih lanjut. Psoriasis adalah penyakit yang kompleks dan multifaktorial, banyak studi yang menunjukkan kaitan penyakit dengan genetik. Dikatakan 40 dari penderita psoriasis memiliki riwayat keluarga positif terhadap psoriasis. Adanya insidensi psoriasis pada studi kembar menunjukkan dasar kekeluargaan dari penyakit ini. Konkordasi sebesar 35-75 telah didemonstrasikan pada kembar monozigot, dibandingkan konkordasi sebesar 12-30 pada kembar dizigotik. Penemuan tersebut juga disertai dengan onset, distribusi penyakit, tingkat keparahan, dan klinis yang sama. 61 Studi lain yang dilakukan di Korea oleh Kwon et al menunjukkan diantara 129 pasien lansia, 12 pasien 9.3 memiliki riwayat keluarga dengan psoriasis: delapan yaitu kerabat tingkat pertama dan empat kerabat tingkat kedua. Dikatakan juga bahwa pasien dengan onset lanjut ≥60 tahun memiliki insidensi yang lebih rendah dari riwayat keluarga dibandingkan dengan pasien onset lebih dini 30 tahun atau 30-60 tahun. 62 Penelitian kami menunjukkan bahwa dari 25 sampel yang ada, hanya satu sampel yang menunjukkan adanya riwayat keluarga dengan psoriasis. Dimana riwayat keluarga pasien tersebut merupakan hubungan kerabat tingkat pertama adik kandung, dan onset penyakit pada usia 41 tahun. Universitas Sumatera Utara

d. Body Surface Area BSA

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap nilai BSA, diperoleh bahwa mean adalah 10.60 dengan nilai minimal 2 dan maksimal 24. Berdasarkan pengukuran BSA, didapatkan frekuensi yang hampir sama banyaknya, yaitu pada BSA 3-10 sebanyak sebelas orang 44 dan BSA 10 sebanyak dua belas orang 48. Diikuti BSA 3 sebanyak dua orang 8. Diagram 4.8. Frekuensi Berdasarkan BSA Studi yang dilakukan di klinik kulit di Sarawak, Malaysia menunjukkan dari total 520 pasien, mayoritas memiliki BSA kurang dari 10. Enam puluh satu pasien 44.2 memiliki BSA 2 dan 59 pasien 42.7 dengan BSA 2-10. Sebelas pasien 8 memiliki BSA 11-90, sedangkan hanya tujuh 5.1 dengan BSA 90. 63 BSA 3 BSA 3 - 10 BSA 10 2 11 12 BSA Frekuensi Universitas Sumatera Utara Sedangkan studi yang dilakukan oleh Kwon et al menunjukkan dominasi pasien dengan luas keterlibatan psoriasis yang lebih ringan BSA5 pada grup onset lanjut 1202 pasien dibandingkan grup onset dini dan menengah 63 pasien dan 521 pasien . Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas psoriasis lebih ringan pada pasien onset lanjut. 62 Penelitian lain pada populasi di Kanada menunjukkan insidensi psoriasis sedang ke berat. Dimana dari 514 sampel, 62 dengann keterlibatan BSA 3. 64 4.2.Vascular Endothelial Growth Factor VEGF Setelah melakukan proses sampel serum dengan menggunakan alat ELISA analyzer sesuai protokol yang telah ditentukan akan diperoleh kumpulan micro- wells standar dan uji yang telah diberikan larutan STOP. Kumpulan micro-wells tersebut kemudian diukur absorbansi-nya pada gelombang cahaya 450nm. Hasil absorbansi kemudian diplot secara otomatis oleh komputer serta perangkat lunaknya menjadi kurva standar. Dari kurva standar akan diperoleh nilai konversi konsentrasi VEGF serum. Berdasarkan komputerisasi pada alat pemeriksaan, koefisien intra-assay memiliki nilai 6,2, dan inter-assay bernilai 4,3. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.1. Tampilan Micro-Wells sebelum Pengukuran Absorbansi dengan ELISA Analyzer. Kurva 4.1. Kurva Standar untuk Menentukan Konsentrasi VEGF. Nilai absorbansi VEGF dan konsentrasi VEGF yang diperoleh dari pemeriksaan tertera pada lampiran. VEGF dideskripsikan sebagai Mean 393.53 pgmL, SD 415.62 pgmL. Tabel 4.3 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Box Plot, dapat dilihat informasi bahwa nilai Median VEGF serum sebesar 270.6 pgmL, Min-Max, 11.23 - 1596.7 pgmL. Juga terdapat informasi adanya beberapa outliers pada nilai VEGF. Terdapat dua nilai outliers pada VEGF dengan nilai outliers sampel nomor 11 sebesar: 1596.7 pgmL, dan sampel nomor 12 sebesar: 1370.23 pgmL. Gambar 4.2 Outliers atau penyimpangan kadar yang berlebihan dari mean mungkin diakibatkan oleh adanya hipersekresi VEGF akibat polimorfisme genetik VEGF. Tabel 4.3. Analisis Deskriptif VEGF Nilai VEGF Mean 393.53 Std. Deviasi 415.62 Gambar 4.2. Box Plot Distribusi VEGF. Universitas Sumatera Utara Untuk membuktikan apakah outliers pada penelitian ini disebabkan karena adanya polimorfisme perlu dilakukan gene sequencing, namun hal tersebut bukan merupakan cakupan dalam penelitian ini. Hal lain yang mungkin menyebabkan timbulnya outliers, dikarenakan pada sampel penelitian ini terdapat berbagai penderita psoriasis dengan variasi derajat keparahan dari ringan sampai berat. Dimana studi yang sudah ada biasanya menyimpulkan adanya peranan dari tingkat keparahan psoriasis dalam sekresi dari VEGF serum. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nofal et al. dilaporkan bahwa Mean VEGF serum pada 30 pasien psoriasis vulgaris derajat sedang sampai berat adalah sebesar 327 pgmL. Penelitian tersebut juga membuktikan adanya peranan VEGF dalam patogenesis psoriasis, dimana terdapat penurunan kadar VEGF serum pada pasien sesudah terapi. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok dan diberi terapi PUVA dua kali tiap minggu 10 pasien kelompok I, acitretin 50 mg per hari 10 pasien kelompok II, kombinasi PUVA dua kali tiap minggu dan acitretin 25 mg per hari 10 pasien kelompok III. Dikatakan bahwa kadar Mean VEGF serum kelompok I sebelum terapi adalah 323.2 pgmL, setelah terapi 182.9 pgml, kelompok II Mean serum sebelum terapi 311.9 pgmL dan setelah terapi 191.4 pgmL. Sedangkan pada kelompok III, kadar Mean VEGF serum sebelum terapi 337.6 pgmL dan setelah terapi 179.5 pgmL. 65 Hasil yang didapat pada penelitian 122 pasien psoriasis vulgaris di Jepang oleh Takahashi et al menunjukan jumlah VEGF serum sebesar 221 pgml, sedangkan oleh Zablotna et al melaporkan dari 47 pasien psoriasis populasi Universitas Sumatera Utara Northern Polish, Mean VEGF serum yang didapat adalah sebesar 368.43 pgmL. 66,67 Penelitian yang dilakukan Shimauchi et al menunjukkan VEGF serum pasien psoriasis sebesar 545 pgmL, lebih lanjut penelitian tersebut menyatakan faktor angiogenik VEGF tidak hanya menjadi biomarker penting pada psoriasis vulgaris, penelitian yang dilakukan oleh Shimauchi et al ingin membuktikan peran VEGF sebagai prediktor respon terhadap terapi biologik. Pada penelitian tersebut dikatakan 28 pasien psoriasis yang menerima terapi ustekinumab n=16, infliximab n=6 dan adalimumab n= 6, dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok dengan respon baik, respon sedang dan tidak berespon berdasarkan skor PASI setelah pemberian terapi biologi. Lebih lanjut diamati perubahan biomarker VEGF sebelum dan sesudah pengobatan. Pada kelompok respon tinggi terjadi penurunan yang sinifikan dari VEGF serum, pada kelompok respon sedang tidak ditemukan adanya perubahan biomarker yang berarti. Sedangkan pada kelompok yang tidak berespon terlihat adanya peningkatan dari kadar VEGF serum. Namun tidak ditemukannya perbedaan yang signifikan diantaranya, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa VEGF merupakan suatu biomarker yang informatif, namun tidak sebagai prediktor terhadap respon terapi. 68 Kuantitas yang bervarisi dari kadar VEGF serum menunjukkan masih belum adanya jumlah yang dianggap dapat mewakili semua populasi psoriasis vulgaris. Sehingga menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dilaporkan pada berbagai populasi di tiap negara. Selain pada penyakit psoriasis vulgaris, peran dari faktor angiogenik VEGF Universitas Sumatera Utara telah banyak dibuktikan pada penyakit-penyakit kulit lainnya. Seperti yang dilaporkan oleh Fink et al, yang membuktikan peranan VEGF pada penyakit psoriasis arthritis, dimana pasien dengan psoriasis arthritis yang aktif memiliki kadar VEGF serum yang lebih tinggi dibandingkan psoriasis arthritis yang tidak aktif. Pasien dengan psoriasis arthritis memiliki Mean VEGF serum 394.4 pgmL, sedangkan psoriasis arthritis yang tidak aktif sebesar 200.4 pgmL. 69 Peran dari VEGF juga terlihat pada penyakit karsinoma sel skuamosa, dimana VEGF dikatakan dapat menjadi suatu prediktor terhadap tingkat rekurensi dan prognostik penyakit. Dikatakan mean VEGF serum dilaporkan lebih tinggi pada kelompok pasien dengan rekurensi 731 pgmL dibandingkan yang tidak dengan rekurensi 327.69 pgmL. 70 Universitas Sumatera Utara

4.2.1 VEGF Dibedakan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jika data dibedakan berdasarkan jenis kelamin, akan didapatkan bahwa nilai dari VEGF Pria Mean 323.29 pgmL, SD 286.22 pgmL; Nilai VEGF Wanita Mean 542.81 pgmL, SD 606.26 pgmL.Tabel 4.4. Tabel 4.4. VEGF berdasarkan karakteristik penderita psoriasis vulgaris n=25 Jenis Kelamin n Mean SD Pria 17 323.29 286.22 Wanita 8 542.81 606.26 Usia tahun n Mean SD 40 40-60 60 14 8 3 281.13 685.92 138.37 277.57 543.81 94.68 Suku n Mean SD Batak Jawa Lainnya 12 7 6 277.57 578.10 410.15 237.54 483.33 586.85 Durasi Penyakit tahun n Mean SD 5 5-10 10-15 15 17 3 2 3 325.25 293.93 110.34 1068.85 287.88 249.89 18.41 726.97 Onset Penyakit n Mean SD 15-30 30-45 45-60 11 8 6 380.79 461.81 325.84 453.26 498.67 238.31 BSA n Mean SD 3 3-10 10 2 11 12 324.24 226.31 558.36 320.91 182.74 527.91 Universitas Sumatera Utara Gambar 4.3. Box Plot Distribusi VEGF Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Box Plot didapatkan nilai VEGF serum pria Median 270.6 pgmL, Min-Max, 11.23 – 1044.8 pgmL; Nilai VEGF Wanita Median 269.36 pgmL, Min-Max, 52.08 – 1596.7 pgmL Gambar 4.3. Sehingga pada penelitian dapat disimpulkan bahwa mean VEGF serum lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Tidak banyak penelitian yang membahas mengenai kadar VEGF terhadap jenis kelamin. Suatu penelitian menyatakan tidak adanya hubungan yang signifikan dari kadar VEGF serum jika dibandingkan antar jenis kelamin. 64

4.2.2. VEGF Dibedakan Berdasarkan Kelompok Usia

Dokumen yang terkait

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Dengan Peritumoral Edema Index (PTEI) Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

2 105 66

Hubungan Kadar Nitric Oxide Serum Pasien Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

3 92 76

Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

3 83 88

Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris

1 37 77

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 2

Hubungan Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum dengan Skor Psoriasis Area And Severity Index (PASI) pada penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 30