Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng Usus, Hati, dan Ginjal

perbedaan jenis pakan. Habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan penyerapan mineral yang berbeda terhadap organisme akuatik di dalamnya. Setiap jenis organisme memiliki kemampuan untuk meregulasi dan mengabsorbsi mineral yang berbeda-beda, sehingga hal tersebut akan memberikan pengaruh pada kadar abu jeroan masing-masing organisme. Hasil penelitian Bechtel dan Oliveira 2006 menunjukkan bahwa beberapa ikan cod di Alaska dengan spesies yang berbeda memiliki kadar abu yang berbeda pada jeroannya. Karbohidrat memegang peranan penting di alam karena merupakan sumber energi utama. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat pada jeroan ikan bandeng dihitung dengan metode by difference. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode tersebut menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng mengandung karbohidrat sebesar 13,61. Kadar karbohidrat yang terhitung diduga polisakarida yaitu glikogen. Hal ini disebabkan karena jeroan, seperti hati, menyerap glukosa dalam usus sesudah makan. Proses ini dilakukan oleh sel hepatosit dan dikonversi menjadi glikogen. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna di dalam pencernaan hingga menjadi glukosa. Glukosa akan diserap oleh dinding usus dan kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dibawa dalam darah akan diambil oleh sel-sel pada tubuh organisme untuk meng-hasilkan energi melalui proses oksidasi Hadim et al. 2003. Glikogen terdapat dalam jumlah yang paling banyak dari karbohidrat yang terdapat pada ikan. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah Cormack 1994.

4.2 Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng Usus, Hati, dan Ginjal

Penentuan derajat kesegaran ikan bandeng dan terjadinya tahapan-tahapan kemunduran mutu dilakukan menggunakan metode penilaian sensori, yaitu uji organoleptik. Selama proses kemunduran mutu, ikan mengalami perubahan- perubahan organoleptik yang dapat diamati dengan menilai derajat kesegarannya. Kesegaran ikan dinilai dari 1-9, angka 9 merupakan nilai terbaik, angka satu merupakan nilai terburuk, dan sebagai batas baik dan buruk diambil angka 5 sebagai garis batas Ilyas 1983. Ikan yang masih segar memiliki nilai organoleptik 9 dengan penampilan menarik, permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat, dan utuh. Mata ikan cerah, putih jernih. Insang tampak cerah dan tidak berlendir. Ikan masih lentur dan tekstur daging pejal, apabila ditekan cepat kembali. Ikan pada fase busuk memiliki nilai organoleptik 3-1 dengan ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning, insang berwarna merah coklat, lendir tebal. Bau busuk, tekstur daging lunak, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. Sumber-sumber pembusukan pada ikan terpusat pada tiga tempat, yaitu lendir pada jeroan, kulit, dan insang. Tiga daerah pusat pembusukan tersebut akan menyerang seluruh bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Jeroan mengandung jumlah bakteri dan enzim pembusuk lebih banyak dibandingkan insang dan kulit Kim dan Mendis 2006. Nilai rata-rata organoleptik jeroan ikan bandeng disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan ikan bandeng Chanos chanos; : 0 jam; : 80 jam; : 228 jam; : 396 jam. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi postmortem sampel jeroan ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling diperoleh empat titik analisis pola kemunduran mutu jeroan ikan bandeng yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu penyimpanan. Kondisi prerigor terjadi pada penyimpanan jam ke-0, rigormortis pada penyimpanan jam ke-80, postrigor pada penyimpanan jam ke-228, dan fase busuk pada penyimpanan jam ke-396. Fase prerigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 9 dengan ciri-ciri susunan organ-organ jeroan masih teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilat, lekat erat, dinding perut berwarna merah muda cemerlang. Fase rigormortis jeroan ikan bandeng dengan nilai organoleptik 7-8. Pada kondisi ini susunan jeroan masih teratur, belum ada kerusakan yang berarti namun mulai mengalami penurunan mutu seperti mulai munculnya lendir. Fase postrigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 5 dengan ciri-ciri susunan jeroan sudah tidak teratur, dinding lembek dan terjadi perubahan warna menjadi pucat. Fase busuk ditunjukkan dengan nilai organoleptik 3. Pada fase ini susunan organ berantakan, dinding perut lembek dan mudah rusak, bau amis sangat kuat, serta warna yang pucat. Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel jeroan yang disimpan pada suhu chilling masih layak digunakan sampai penyimpanan 17 hari 396 jam. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Wibowo dan Yunizal 1998, yang menyatakan bahwa ikan bandeng utuh yang disimpan dalam es pada kondisi kenyang mampu bertahan selama 11 hari.

4.3 Histologi Jeroan Ikan Bandeng Usus, Hati, dan Ginjal selama Periode