Perkembangan Penduduk Perkotaan A Model for environment control of sustainable new town development. (case study: new town development of Bumi Serpong Damai

19 mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 Badan Pusat Statistik Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih 19 Djakapermana, 2004. Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70. Kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir. Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman sebesar 4,99 merupakan 1980 1990 2000 2010 2015 Penduduk Kota 32.85 54.06 85 117.5 150 Penduduk Nasional 147.09 182.1 207.32 228.66 250 50 100 150 200 250 300 Jumlah Penduduk Kota Juta Tahun 20 lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar terjadinya run off . Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun berskala besar Hidayat, 2005. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan permukiman skala besar 500 ha mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta. Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan kawasan perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar 500 Ha di Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3. Aktivitas penduduk perkotaan rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan dan lain-lain menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di perkotaan The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The City of Jakarta, 1990 sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai 70 dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari 12.000m 3 Sutjahjo et al., 2005. Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah materi berupa limbahsampah yang perlu diproses dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan Martin et al., 1985. Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama Riani et al., 2005. Selanjutnya dikatakan bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan. 21 Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001 No. Jenis penggunaan Lahan Tahun 1992 Tahun 2001 Perubahan Ha Ha 1 Lahan terbuka 142.718,90 19,94 169.276,80 23,65 + 3,71 2 Lahan pertanian 104.186,40 14,55 104.108,90 14,54 - 0,01 3 Lahan bervegetasi campuran 179.614,70 24,67 183.534,80 25,64 + 0,97 4 Hutan 197.792,00 27,63 64.084,14 8,95 - 18,68 5 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,10 19,51 + 9,99 6 Lahan lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70 + 4,02 Jumlah 715.832,90 100,00 715.832,90 100,00 Sumber: Djakapermana,2004 Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar 500 Ha di Wilayah Jabotabekjur Keterangan : = tidak ada data. Sumber : Hidayat 2005 No. Nama Luas Ha Lokasi 1 Lipo Cikarang 5000 Kab. Bekasi 2 Cikarang Baru 2000 Kab. Bekasi 3 Kota Legenda Bekasi 2000 2000 Kab Kodya Bekasi 4 Harapan Indah 800 Kab. Bekasi 5 Bukit Jonggol Asri 30000 Kab. Bogor 6 Citra Indah 1000 Kab. Bogor 7 Kota Taman Metropolitan 600 Kab. Bogor 8 Kota Wisata 1000 Kab. Bogor 9 Bukit Sentul 2000 Kab. Bogor 10 Rancamaya 550 Kab. Bogor 11 Kota Cileungsi 2000 Kab.Bogor 12 Resort Danau Lido 1700 Kab. Bogor 13 Taruma Resort 1100 Kab. Bogor 14 Talaga Kahuripan 750 Kab. Bogor 15 Maharani Citra Pertiwi 1679 Kab. Bogor 16 Kotabaru Tigaraksa 3000 Kab. Tangerang 18 Puri Jaya 7145 Kab. Tangerang 19 Citra Raya 3000 Kab. Tangerang 20 Lippo Karawaci 2000 Kab. Tangerang 21 Gading serpong 1500 Kab. Tangerang 22 Bintaro Jaya 2321 Kab. Tangerang 23 Bumi Serpong Damai 6000 Kab. Tangerang 24 Pantai Indah Kapuk 800 DKI Jakarta 25 Bukit Harmoni Cianjur 26 Kota Bunga Cianjur 27 Green Apple Village Cianjur 28 Mutiara Depok Depok 29 Depok Asri Depok 22 Besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Kualitas air dibagi menjadi empat kelas, yaitu: a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum; b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan; c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar; d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan. Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai menjadi beberapa kelas. Sebagai contoh klasifikasi di Sungai Ciliwung berkisar dari kelas II hingga kelas IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 Kompas, 18 November 2005. Tabel 4. Kualitas air Sungai Ciliwung Segmen Lokasi Kualitas air 1 Cisarua kabupaten Bogor Kelas II 2 Kota Bogor Kelas IV 3 Cibinong Kabupaten Bogor Kelas III 4. Kota Depok Kelas IV 5. DKI Jakarta Tidak masuk pada kelas manapun Sumber : KLH Kompas 18 November 2005 Tabel 4 memperlihatkan bahwa kualitas air di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dan Depok buruk kulitas IV, dan hanya layak untuk dipakai mengairi pertamanan, atau tidak layak untuk bahan baku air minum. Bahkan di DKI Jakarta kualitas air Sungai Ciliwung sangat buruk, sehingga tidak layak untuk pertamanan sekalipun. Kualitas air Sungai Ciliwung yang buruk di wilayah perkotaan diduga berkaitan dengan besarnya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan data dari Urban and Regional Development Institute URDI, di wilayah Bodetabek, sampah yang dapat dikelola hanya 20 -30 dari total volume produksi sampah per hari, sisanya dibuang ke sungai, selokan atau kanal URDI, 2000 dalam Djakapermana, 2004.

2.5. Kebijakan

Kebijakan policy adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan 23 tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan perilaku dalam rangka memecahkan persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan Jones, 1984. Dengan demikian, kebijakan bersifat dinamis, sebagai akibat adanya konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum. Menurut Davis et al. 1993 kebijakan tidak berdiri sendiri single decision tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan. Kebijakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Oleh karena itu maka pembuatan