Variabel-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan- tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat
perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan komunikasi antar organisasi terkait
beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok
sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantar kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasional
program di lapangan.
2.2.4. Evaluasi Kebijakan
Bagian akhir dari sebuah proses kebijakan yang dipandang sebagai pola aktivitas yang berurutan adalah evaluasi kebijakan . Sebuah
kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme kebijakan tersebut adalah evaluasi. Evaluasi
biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Oleh karena
itu beberapa pakar mendefinisikan mengenai evaluasi kebijakan, sebagai berikut :
Jones dalam Islamy 1997 : 112 mengartikan evaluasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program
pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting
dalam spesifikasi obyeknya ; teknik-teknik pengukurannya dan metode analisanya.
Menurut Dunn dalam Agustino 2006 : 187 mengemukakan secara sederhana bahwa evaluasi kebijakan adalah berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil kebijakan. Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Agustino 2006 :
185 evaluasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak
yang diinginkan. Kemudian Jones dalam Hessel 2003 : 25 mendefinisikan evaluasi
kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.
Firman dan Sirait dalam Hessel 2003 : 26 mengemukakan evaluasi kebijakan merupakan usaha untuk mengukur dan memberikan
nilai secara obyektif mengenai pencapaian hasil yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah pemberian nilai atau pengukuran terhadap apa yang
telah dilaksanakan yang senyatanya sesuai dengan yang diinginkan dan memberikan perbaikan terhadap dampak yang tak diinginkan.
2.2.5. Pengawasan Kebijakan
2.2.5.1. Pengertian Pengawasan
Menurut Sujamto 1995 : 18 Mengemukakan bahwa pengertian pengawasan adalah segala usaha-usaha atau kegiatan untuk mengetahui
dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai sasaran yang diperiksa.
Pendapat lain, yaitu Siagian 1994 : 135 menyatakan pengawasan sebagai proses pengamatan dari pelaksanan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar semua pekerjaa yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Sejalan dengan
pendapat di atas Handoko 1992 : 359 juga berpendapat bahwa pengawasan juga diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-
tujuan organisasi dan manajemen dapat tercapai. Sarwoto 1994 : 145 berpendapat, bahwa pengawasan adalah tugas
untuk mencocokkan sampai dimana program atau rencana yang telah digariskan itu dilaksanakan.
Pendapat terakhir adalah dari Tjitrosidojo 1996 : 8, yang mengartikan pengawasan sebagai suatu bentuk pengamatan yang pada
umumnya dilakukan secara menyeluruh dengan jalan mengadakan pemeriksaan yang ketat secara teratur.
Berdasarkan berbagai pengertian pengawasan diatas dapat disimpulkan, bahwa pengawasan adalah sebagai suatu tindakan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya, serta mengarahkan
agar pelaksanaan tugas dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
2.2.5.2. Tujuan dan Fungsi Pengawasan
Menurut Wursanto 1993 : 158, Pengawasan pada umumnya bertujuan, untuk :
1. Menemukan dan menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan
kemacetan. 2.
Mengadakan pencegahan dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang timbul.
3. Mencegah penyimpangan-penyimpangan.
4. Mendidik pegawai agar mempertebal rasa tanggung jawab.
5. Memperbaiki efisiensi dan efektifitas.
Sedangkan Manullang 1992:173 Mengatakan tujuan pengawasan untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan, sudah berjalan sesuai instruksi serta prinsip- prinsip yang telah ditetapkan , apakah ada kelemahan, kesulitan dan
kegagalannya sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah, apakah segala sesuatu
berjalan efisien dan apakah mungkin mengadakan perbaikan. Di dalam Instruksi Presiden nomot 15 tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan, yang dikutip oleh Sujamto 1995:337, disebutkan bahwa tujuan pengawasan adalah agar sejauh mungkin
mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang, dan perlengkapan milik negara,
sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasil guna dan berdaya guna.
Tujuan utama dari pengawasan Saleh, 1991:3 adalah untuk memperlancar pola pembangunan serta mengamankan hasil-hasil
pembangunan, pengawasan pembangunan berupaya agar tidak terjadi penyelewengan dalam melaksanakan suatu rencana dan segera
mengambil jalan keluar dari kemelut yang mungkin muncul serta akhirnya mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai.
Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tujuan dari semua kegiatan pengawasan yang
dilakukan adalah guna menjamin dan merealisasikan apa yang direncanakan menjadi sebuah kenyataan. Dalam hal ini dapat diketahui
bahwa kedudukan peran pengawasan dalam manajemen adalah sebagai alat untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan oleh organisasi
dalam setiap kegiatan manajemennya, mulai dari merencanakan mengorganisasikan sampai dengan mengkoordinasikannya dalam rangka
mencari tujuan sesuai dengan rencana. Pengawasan ditujukan terutama untuk mencegah jangan sampai
terjadi kesalahan-kesalahan yang merugikan dan kalau terjadi penyimpangan dan kekeliruan dapat segera ditanggulangi dengan
memberikan koreksi dan pembinaan agar pelaksanaan tugas dapat terselenggara secara efektif.
Untuk mewujudkan tujuan pengawasan dalam melaksanakan tugas, pimpinan unit kerja melakukan tidakan atau kegiatan untuk mengatasi
bawahannya sesuai dengan fungsinya. Menurut pendapat Abdurachman 1989:99 fungsi pengawasan
pada umumnya adalah, untuk : 1.
Mencegah penyimpangan-penyimpangan. 2.
Memperbaiki kesalahan-kesalahan. 3.
Mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan manajemen yang lainnya.
4. Mempertebal rasa tanggung jawab.
5. Mendidik tenaga kerja.
Sedangkan menurut pendapat Nawawi 1994:4 fungsi pengawasan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh aparatu pemerintah di
bidang pengawasan dalam membantu Presiden sebagai Administrator Pemerintahan yang tertinggi dalam mengendalikan Sistem
Administrasi Negara. Dengan kata lain, fungsi-fungsi pengawasan dilaksanakan oleh badan unit kerja organisasi yang volume dan
beban kerja atau tugas pokoknya dibidang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh badan ini terhadap aparatur pemerintah dalam
melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan, disebut juga sebagai pengawasan dari luar.
2. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh setiap atasan langsung
terhadap bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat dilingkungan organisasi unit kerja masing-masing. Pengawasan ini
disebut juga pengawasan atasan langsung sebagai wujud pelaksanaan fungsi pengawsan melekat. Untuk melaksanakan tugas pengawasan
ini, setiap atasan langsung dapat melakukannya sendiri dan dapat pula menunjuk sejumlah pembantu, misalnya berupa tim tetap atau berkala.
2.2.5.3. Macam Pengawasan
Untuk mengantisipasi setiap permasalahan dalam melaksanakan tugas pegawai pada unit kerja, diperlukan pengawasan yang tepat yakni
berbagai macam pengawasan. Irmansyah 1996:99 membedakan macam-macam pengawasan sebagai berikut :
1. Pengawasan Intern
Pengawasan ini kalau dalam instansi atau lembaga biasanya ditakutkan oleh kepala bagian seksi terhadap kolega-kolega yang ada
dibawah pimpinannya. 2.
Pengawasan Ekstern Pengawasan yang dilakukan oleh pihak luar, misalnya kepala urusan
kepegawaian melakukan pengawasan terhadap seseorang pegawai disalah satu seksi pada organisasi tersebut.
3. Pengawasan formal
Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan dapat dilakukan dengan cara mendadak inspeksi mendadak.
4. Pengawasan informal
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui surat kabar, majalah, dan
media massa lainnya. Dan berdasarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 ditegaskan
mengenai macam-macam pengawasan yaitu : 1.
Pengawasan Melekat Merupakan
serangkaian kegiatan
yang bersifat sebagai pengendali terus menerus secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas
berjalan secara berdaya guna sesuai dengan rencana yang ditetapkan oleh atasan langsung masing-masing.
2. Pengawasan Fungsional
Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern maupun ekstern pemerintah yang
dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 3.
Pengawasan Legislatif Politik
Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintah dan pembangunan. Menurut pendapat Handoko 1992 : 362, ada tiga tipe dasar
pengawasan yaitu : 1.
Pengawasan Pendahuluan Merupakan pengawasan yang dirancang untuk mengantisipasi
masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standart atau tujuan yang memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap
kegiatan diselesaikan. 2.
Pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan Merupakan pengawasan dimana aspek tertentu dari suatu prosedur
harus lebih disetujui terlebih dahulu atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan bisa dilanjutkan.
3. Pengawasan Umpan balik
Merupakan pengawasan untuk mengatur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah direncanakan.
2.2.5.4. Proses Pengawasan
Proses pengawasan merupakan suatu tindakan tertentu dan bersifat. Fundamental hal ini sesuai dengan pendapat Sarwoto 1994:100, bahwa
”Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan atau langkah pokok
tertentu yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan, langkah- langkah tersebut adalah :
a. Penentuan ukuran, pedoman baku atau standart
b. Perbandingan antara tugas atau pekerjaan dengan ukuran pedoman
yang telah ditentukan untuk mengetahui penyimpangan - penyimpangan yang terjadi.
c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi sehingga pekerjaan tugas tadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
d. Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah dikerjakan.
Secara ringkas, Manullang 1992:183 mengatakan bahwa proses pengawasan tersiri dari fase-fase atau tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penetapan alat pengukur atau standart.
b. Mengadakan penilaian atau evaluasi.
c. Mengadakan tindakan atau perbaikan.
Pada fase pertama, kata menetapkan bukan diidentikkan dengan menyusun atau menciptakan, namun pengawas tinggal mengambil atau
menemukan diantara materi yang sudah ada, karena standart tersebut memang tidak dibuat oleh pengawas. Yang dimaksud menetapkan
standart adalah tindakan pengawasan dalam menentukan suatu alat pengukur yang dipergunakan sebagi ukuran atau patokan bagi pengawas
untuk menilai efektivitas dari suatu pelaksanaan tugas atau untuk
mengetahui apakah objek yang diawasi dapat berjalan sesuai dengan semestinya atau tidak.
Kemudian dalam menetapkan alat pengukur atau standart ini, dapat terwujud dalam tiga aspek, yaitu rencana yang telah ditetapkan,
ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku, berikutnya juga penting untuk diperhatikan adalah adanya prinsip daya guna dan hasil guna.
Pada fase kedua, setiap organisasi ingin mencapai tujuan sesuai dengan rencananya. Dalam proses mencapai tujuan tersebut, seringkali
dijumpai hambatan-hambatan, maka dari itu perlu diadakan penilaian evaluasi.
Pada fase ketiga, tindakan koreksi diperlukan apabila terjadi adanya penyimpangan atau kesalahan, maka tindakan koreksi dilakukan
untuk menyelaraskan penyimpangan atau kesalahan tersebut agar sesuai dengan rencana atau tujuan yang telah ditetapkan.
Upaya tindakan koreksi perlu memperhatikan adanya keseimbangan, kejelasan serta bersifat edukatif dan konstruktif. Hal ini
untuk menghindari ketidak obyektifan. Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas, maka proses
pengawasan dapat dikatakan sebagai langkah-langkah, fase-fase, urutan- urutan kegiatan dalam, melakukan pengawasan, yaitu pelaksanaan secara
bertahap, tertib dan berkesinambungan.
2.2.6. Reward Penghargaan
Menurut Mahsun 2006 : 112 Penilaian kinerja seseorang harus disertai reward penghargaan yang bisa memotivasi dan memicu
peningkatan kinerja. Reward ini tidak mesti diwujudkan dalam bentuk finansial, misalnya gaji atau bonus. Reward bisa berbentuk pujian atau
sanjungan sebagai ungkapan penghargaan dan pengakuan atas prestasi yang dicapai.
Pada dasarnya ada dua tipe reward yaitu social reward dan psychic reward. Yang termasuk social reward adalah pujian dan pengakuan dari
dalam dan luar organisasi. Sedangkan psychic reward datang dari self satisfaction kepuasan diri dan kebanggaan atas hasil yang tercapai. Social
reward merupakan extrinsic reward yang diperoleh dari lingkungannya, seperti finansial, material, dan piagam penghargaan.
Sedangkan psychic reward instrinsic reward yang datang dari dalam diri seseorang, seperti pujian, sanjungan dan ucapan selamat yang dirasakan
pegawai sebagai bentuk pengakuan terhadap dirinya dan mendatangkan kepuasan bagi dirinya sendiri.
Reward dapat mengubah perilaku seseorang dan memicu peningkatan kinerja. Terdapat empat alternatif norma pemberian reward agar dapat
digunakan untuk pemicu kinerja pegawai, yaitu : 1.
Goal congruence kesesuaian tujuan. Setiap organisasi publik pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan setiap individu
dalam organisasi mempunyai tujuan individual yang sering tidak selaras
dengan tujuan organisasi. Dengan demikian reward harus diciptakan sebagai jalan tengah agar tujuan organisasi dapat dicapai tanpa
mengorbankan tujuan individual, dan sebaliknya tujuan individual dapat tercapai tanpa harus mengorbankan tujuan organisasi.
2. Equity keadilan. Reward harus dialokasikan secara proporsional dengan
memperhatikan besarnya kontribusi setiap individu atau kelompok. Dengan demikian, siapa yang memberi kontribusi tinggi maka rewardnya
jaga akan tinggi, sebaliknya siapa yang memberi kontribusi rendah maka rewardnya juga akan rendah.
3. Equality kemerataan. Reward juga harus didistribusikan secara merata
bagi semua puhak individu atau kelompok yang telah menyumbangkan sumberdayanya untuk ketercapaian kinerja.
4. Kebutuhan. Alokasi reward kepada pegawai seharusnya
mempertimbangkan tingkat kebutuhan utama dari pegawai. Pemberian reward yang berhasil dapat meningkatkan tangible
outcomes seperti individual, kelompok, kinerja organisasi, kuantitas dan kualitas kinerja. Selain itu, reward juga dapat mengarahkan tindakan dan
perilaku. Sistem reward yang baik dapat memotivasi orang serta organisasi. Namun, sistem reward yang kurang baik justru sering gagal dalam
memotivasi dan menumbuhkan semangat peningkatan kinerja. Meskipun motivasi uang dan waktu yang sangat besar untuk sistem reward organisasi,
dampak motivasi yang diinginkan sering tidak tercapai. Sedikitnya terdapat
delapan alasan, mengapa reward justru menurunkan motivasi dan kinerja, antara lain :
1. Terlalu banyak menekankan pada reward moneter. Hal ini sesuai dengan
apa yang dibutuhkan individu bahwa mereka tidak semuanya merasa puas dengan imbalan berwujud finansial.
2. Rasa menghargai pada penerima reward sangat kurang. Reward sering
diberikan dalam bentuk berwujud tetapi tidak disertai penghargaan pengakuan yang layak.
3. Banyak yang menerima reward. Semakin banyak yang menerima reward
dengan nilai yang tidak proporsional akan mengurangi motivasi seseorang.
4. Memberikan reward dengan kriteria yang salah. Misalnya hanya diukur
dari waktu kerja sehingga pegawai termotivas hanya untuk mempercepat pekerjaan tanpa mempertimbangkan hasil.
5. Lamanya penangguhan delay antara kinerja dan reward. Reward yang
tidak segera diberikan membuat seseorang merasa kurang dihargai. 6.
Kriteria reward sangat fleksibel. Tidak pernah ada ukuran yang baku dalam pemberian reward membuat kesenjangan antara apa yang
diharapkan seseorang dengan apa yang sebenarnya diterima. 7.
Sasaran reward hanya untuk motivasi jangka pendek. Reward sering hanya berpengaruh sementara terhadap motivasi dan kinerja pegawai.
8. Pemberian kompensasi jajaran top manajer yang berlebihan. Hal ini
dapat mengurangi motivasi pegawai operasional karena ada pembedaan penghargaan yang sangat mencolok dan tidak adil.
2.2.7. Punishment Sanksi