Strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

Disusun Oleh : Fariz Ihsan N. NPM. 0541010008

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

JAWA TIMUR

2010


(2)

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian skripsi dengan judul “Strategi Satuan Lalu Lintas Polisi Wilayah Kota Besar

Surabaya Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di Jalan”.

Penelitian skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum pada Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam tersusunnya penelitian skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Ananta Pratama, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

Disamping itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra.Ec.Hj.Suparwati,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Dr. Lukman Arif, MSi selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara. 3. Ibu Dra. Diana Hertati, MSi selaku sekertaris Program Studi Administrasi

Negara.

4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Administrasi Negara yang telah memberikan bekal dalam proses perkuliahan di Program Studi Administrasi Negara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(3)

v

6. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.

Dalam penyusunan penelitian skripsi ini penulis sangat menyadari masih ada kekurangan-kekurangan, baik dari segi teknis maupun materiil penyusunannya. Oleh karena itu, penulis senantiasa bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik dari semua pihak yang dapat menambah kesempurnaan penelitian ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surabaya, Juni 2010


(4)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ii HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

ABSTRAK ... ... xi

BAB I. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Praktek Magang ... 12

BAB II. Kajian Pustaka ... 14

2.1 Penelitian Terdahulu ... 14

2.2Landasan Teori ... 16

2.2.1 Strategi Kebijakan... 16

2.2.1.1 Pengertian Strategi... 16

2.2.1.2 Manajemen Strategik... 18

2.2.1.3 Strategi Lawan Taktik ... 19


(5)

2.2.2.3 Tujuan Kebijakan... 23

2.2.3 Implementasi Kebijakan ... 24

2.2.3.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 24

2.2.3.2 Sukses dan Gagalnya Pelaksanaan Kebijakan ... 26

2.2.3.3 Model - Model Implementasi Kebijakan ... 28

2.2.4 Evaluasi Kebijakan ... 31

2.2.5 Pengawasan Kebijakan ... 33

2.2.5.1 Pengertian Pengawasan... 33

2.2.5.2 Tujuan dan Fungsi Pengawasan... 34

2.2.5.3 Macam Pengawasan... 37

2.2.5.4 Proses Pengawasan ... 39

2.2.6 Reward ... 42

2.2.7 Punishment... 45

2.2.8 Lalu Lintas ... 48

2.2.8.1 Dasar Hukum Mengenai Program Keamanan Dan Keselamatan Lalu Lintas ... 48

2.2.8.2 Strategi Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Surabaya.. 50

2.3 Kerangka Berpikir... 51

BAB III Metode Penelitian ... 52

3.1 Jenis Penelitian... 52


(6)

3.5 Pengumpulan Data ... 56

3.6 Analisis Data ... 59

3.7 Keabsahan Data ... 61

BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 65

4.1 Gambaran Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 65

4.1.1 Sejarah Satuan Polisi Lalu Lintas... 65

4.1.2 Lokasi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 73

4.1.3 Visi dan Misi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 73

4.1.4 Struktur Organisasi, Deskripsi Jabatan dan Tugas Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 75

4.1.5 Komposisi Petugas Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 84

4.2 Hasil Penelitian ... 86

4.2.1 Strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya... 87

4.2.1.1 Pengaturan Arus Lalu Lintas ... 91

4.2.1.2 Reward (Penghargaan)... 96

4.2.1.3 Punishment (Sanksi) ... 101

4.3 Pembahasan ... 104

4.3.1 Strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya... 104

4.3.1.1 Pengaturan Arus Lalu Lintas ... 105


(7)

5.1 Kesimpulan ... 120 5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

Tabel 1.1

Pertumbuhan Kendaraan Di Kota Surabaya ... 8

Table 1.2

Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Surabaya ... 9

Tabel 1.3

Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan ... 9

Tabel 4.1

Kuat Personil Polri Satlantas Polwiltabes Surabaya ... 84

Tabel 4.2

Data Personil Organisasi Satlantas Polwiltabes Surabaya... 85

Tabel 4.3

Data Kecelakaan di Kota Surabaya Tahun 2007-2009 ... 89


(9)

x

Model Proses Implementasi Kebijaksanaan ... 30

Gambar 2

Kerangka Berpikir ... 51

Gambar 3

Analisis Interaktif Menurut Miles dan Hubermen ... 61

Gambar 4


(10)

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada adanya fenomena tentang jumlah kecelakaan pengendara roda dua (2) di kota Surabaya yang relatif tinggi dan faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat pengguna jalan khususnya pengendara roda dua. Dan fokus dari penelitian ini ada 3 yaitu pengaturan arus lalub lintas, reward dan punishment.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk strategi yang diterapkan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan dan untuk mengetahui keberhasilan strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun di jalan.

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana sumber datanya berasal dari key person dan informan yang ditentukan dengan teknik snow ball selain itu data juga diperoleh dari sumber tertulis. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Dimana analisis datanya menggunakan analisis kualitatif yakni meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Dengan teknik keabsahan datanya meliputi derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian.

Hasil dari penelitian ini antara lain adalah dalam pelaksanaan pengaturan arus lalu lintas, Satlantas Polwiltabes kota Surabaya sudah cukup baik namun kendala yang terjadi di lapangan pada saat ini adalah kurangnya jumlah personil dan alat komunikasi yang ada, sehingga di dalam pengaturan arus lalu lintas kurang adanya koordinasi yang jelas antara personil satu dengan lainnya, namun dengan komitmen yang ada pihak polisi lalu lintas tetap konsisten dan bekomitmen untuk menjaga kualitas yang ada guna menuju cita-cita yang diinginkan yaitu menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan. Dan untuk pelaksanaan reward berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa kegiatan reward berjalan cukup efektif, namun dampak yang diberikan hanya sebagian kecil guna menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan. Dan untuk pelaksanaan punishment seharusnya cukup efektif namun kekurangannya berada ditangan petugas Satlantas Polwiltabes kota Surabaya yang kurang tegas di dalam menegakkan aturan yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan strategi oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya harus lebih dievaluasi kembali dan hasilnya jika ditinjau sudah cukup baik walaupun masih ada kekurangan-kekurangan.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 menggariskan delapan sasaran pokok sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil. Salah satu sasaran pokok tersebut adalah terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional yang ditandai antara lain oleh terbangunnya jaringan sarana dan prasarana transportasi sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia. Sementara itu salah satu dari delapan arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaya saing tinggi antara lain hanya dapat direalisasikan melalui pembangunan transportasi yang mampu mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Transportasi seperti itu hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan jaringan infrastruktur dan pelayanan multimoda dan antar moda dengan pendekatan pengembangan wilayah sehingga tercapai pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Transportasi jalan raya sebagai salah satu moda transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang, barang dan jasa dari dan ke seluruh wilayah dan daerah. Untuk itu


(12)

dikembangkan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, serta peraturan-peraturan, prosedur dan metode sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna dan berhasilguna.

Pembangunan menuju kesejahteraan untuk seluruh rakyat keberhasilannya ditentukan berbagai faktor dan bukan semata-mata karena tersedianya dana. Lingkup permasalahan kesejahteraan ini semakin kompleks baik karena adanya faktor-faktor struktur penduduk, maupun faktor-faktor yang ditumbuhkan oleh intervensi dan inovasi pembangunan. Salah satu faktor dominannya adalah pembenahan di dalam sektor lalu lintas.

Lalu Lintas mempunyai peran strategis dalam mendukung

pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional. Lalu Lintas harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.


(13)

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pembinaan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) sebagai berikut:

1) Urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

2) Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

3) Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang industri;

4) Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang teknologi; dan

5) Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan tanggung jawab setiap pembina bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terlihat transparan dan kondusif sehingga penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat terlaksana dengan efektif dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan.


(14)

Salah satu misi yang diperjuangkan oleh pemerintah melalui salah satu aparatur negara yaitu Kepolisian Republik Indonesia yang tertuang di dalam Undang - Undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 3 adalah

a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia juga bertanggung jawab atas pengembangan potensi dan peran untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 200 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum.

Untuk menjamin terpenuhinya standart nilai indikator-indikator diatas, maka Kepolisian Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan ketertiban berlalu lintas agar tetap memenuhi ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan data yang diperoleh dan dari berbagai publikasi resmi secara umum diungkapkan bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas di Indonesia masih terbilang tinggi. Salah satu di antaranya adalah hasil penelitian yang


(15)

dilakukan oleh Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum, Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Naufal Yahya pada tahun 2003 menemukan bahwa pelanggaran lalu lintas yang dilakukan (khususnya perilaku) pengendara sepeda motor dan kendaraan roda empat saat berada di garis depan lampu lalu lintas (behavior the lead vehicle at stoplines) pada sepuluh perempatan jalan di ibu kota Jakarta, di mana 30 persen pengendara mobil berhenti melewati stopline atau berada di luar garis jalan, sedangkan pengendara roda dua yang melanggar mencapai 57 persen. Ironisnya, kondisi penelitian dilakukan ketika ada polisi, di mana seharusnya mereka bisa lebih menaati peraturan (Kompas, 28-03-2005).

Di Kota Surabaya menurut Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) R Nurhadi Yuwono (Kompas, 21-07-2005), sejak Januari sampai Juni 2005 tercatat 172.197 kasus pelanggaran lalu lintas, atau rata-rata sekitar 28.699 kasus setiap bulannya. Dari total jumlah kasus pelanggaran tersebut, 132.739 kasus pelanggaran atau sekitar 77,08 persen dilakukan oleh pengendara sepeda motor. Dari sekitar 22,92 persen sisanya, tercatat sekitar 11,65 persen kasus pelanggaran dilakukan oleh pengendara mobil pribadi dan sekitar 11,27 persen selebihnya terdiri dari pengendara bus (720 kasus); truk (6.511 kasus); angkutan kota (6.698 kasus); taksi (1.797 kasus); dan pikap (3.673 kasus). Meski demikian, menurut Nurhadi jumlah tersebut bukanlah angka riil dari seluruh kasus pelanggaran lalu lintas di Kota Surabaya, sebab pelanggaran


(16)

yang terjadi kerap lepas dari pantauan polisi karena keterbatasan jumlah personel.

Hasil penelitian Naufal Yahya di atas juga mengindikasikan hal ini. Naufal menunjukkan data tentang kecelakaan lalu lintas di Jakarta selama enam tahun terakhir (1999-2004). Dari data itu terungkap kenyataan yang mengejutkan. Misalnya, pada tahun 1999-2003, jumlah kasus kecelakaan tidak pernah lebih dari 1.300 kasus. Kisarannya 1.023-1.300 kasus. Baru pada tahun 2004 (ketika Naufal mulai menjabat sebagai Kepala Subditgakum Ditlantas Polda) data jumlah kecelakaan mencapai 4.695 kasus. Sebanyak 1.138 orang meninggal dunia, 2.672 luka berat, dan 2.024 luka ringan.

Begitu juga dengan jumlah pelanggaran lalu lintas pada tahun-tahun ketika Naufal menjabat mengalami peningkatan menjadi 318.462 kasus (2003) dan 534.247 kasus (2004). Tahun-tahun sebelumnya kisaran jumlah pelanggaran hanya 11.000-12.000 kasus. Sementara dari sisi angka kecelakaan lalu lintas di wilayah Provinsi Jawa Timur, PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur melaporkan bahwa sampai dengan bulan September tahun 2004 korban kecelakaan lalu lintas di Jawa Timur mencapai 13.320 orang, dan sebanyak 3.703 orang di antaranya meninggal dunia. Menurut publikasi resmi Kepolisian Daerah Jawa Timur, pada umumnya kecelakaan itu disebabkan oleh kesalahan manusia dalam hal ini pemakai atau pengguna jalan. Masyarakat para pemakai atau pengguna jalan ditengarai masih kurang menghormati sesama pemakai jalan, kurang sabar, berdisiplin rendah, dan kurang memahami peraturan lalu lintas.


(17)

Berdasarkan data DITLANTAS MABES POLRI, pada masa angkutan lebaran tahun 2009, jumlah kejadian kecelakaan mencapai 1.567 kejadian atau meningkat 9% dari tahun lalu dengan korban meninggal dunia sebanyak 675 orang, luka berat 801 orang, dan luka ringan sebanyak 1.595 orang sehingga total korban meningkat 30% dari tahun lalu. Hal ini berarti bahwa masa angkutan lebaran tahun 2009 rata-rata 112 orang meninggal dunia per hari karena kecelakaan lalu lintas. (sumber: http://www.bisnis.com)

Sedangkan menurut data yang dihimpun oleh PT. Jasa Raharja masalah keselamatan berlalu lintas dan angkutan jalan banyak berkaitan dengan perilaku manusia. Data menunjukkan lebih dari 85% penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan adalah faktor manusia. Jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di Indonesia 5 (lima) tahun terakhir dari tahun 2005 - 2009 mencapai rata-rata 14.604 kejadian pertahun dengan korban dengan rata-rata pertahun meninggal dunia mencapai rata-rata 10.696 jiwa/tahun, luka berat 1.242 jiwa/tahun dan luka ringan 2666 jiwa/tahun, yang berarti jumlah orang yang meninggal dunia akibat kecelakaan selama 5 tahun terakhir rata-rata 29 jiwa/hari. (sumber: http://www.jasaraharja.co.id)

Salah satu kota metropolitan kedua di Indonesia setelah Jakarta yaitu kota Surabaya, dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk kota Surabaya yang semakin padat dan pertambahan jumlah kendaraan yang semakin pesat yang tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana lalu lintas jalan yang memadai, maka akan semakin menambah kemacetan dan kepadatan arus lalu lintas. Menurut data


(18)

yang dihimpun oleh Lantas Polwiltabes Kota Surabaya bahwa pertumbuhan kendaraan di kota Surabaya pada tahun 2008-2009 sebagai berikut :

Tabel 1.1 Pertumbuhan Kendaraan Di Kota Surabaya Tahun 2008-2009

Sumber : Satlantas Polwiltabes Surabaya.

Periode Mo pen Bus Truck Spd mtr Alat

berat Jumlah Tahun 2008 506.173 6.463 200.223 2.813,222 361 3.526.471 S/d Jan 2009 507.380 6.533 201.724 2.866.900 361 3.586.552 S/d Feb. 2009 508.588 6.498 200.974 2.840.061 361 3.556.512 S/d Mar 2009 509.795 6.516 201.349 2.853.480 361 3.571.532 S/d Apr 2009 511.003 6.533 201.724 2.866.900 361 3.586.552 S/d Mei 2009 512.172 6.542 202.050 2.876.388 361 3.597.544 S/d Juni 2009 513.466 6.557 202.494 2.887.360 361 3.610.269 S/d Juli 2009 515.244 6.569 203.070 2.909.106 361 3.634.350 S/d Agust 2009 517.836 6.593 203.842 2.928.501 361 3.657.133 S/d Sept 2009 521.317 6.623 204.902 2.958.769 361 3.691.972

Dilihat dari tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa pertambahan rata-rata jumlah kendaraan bermotor di kota Surabaya sebesar 18.389 unit per bulan. Sedangkan untuk jumlah kecelakaan yang terjadi adalah sebagai berikut :


(19)

Tabel 1.2 Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Surabaya Tahun 2007-2009

Tahun dan Bulan Jumlah Keadian Meninggal Dunia Luka Berat Luka Ringan Kerugian Materil

Jan – Des 2007 767 250 88 668 Rp 902.550.000

Jan – Des 2008 670 218 77 601 Rp 700.303.000

Jan – Okt 2009 732 204 149 627 Rp 849.530.000

Sumber : Satlantas Polwiltabes Surabaya Bagian Unit Kecelakaan.

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di Surabaya 3 (tiga) tahun terakhir dari tahun 2007 - 2009 mencapai rata-rata 2169 kejadian pertahun dengan korban dengan rata-rata pertahun meninggal dunia mencapai rata-rata 250 jiwa/tahun, luka berat 149 jiwa/tahun dan luka ringan 668 jiwa/tahun.

Jika dilihat dari faktor lainnya yaitu faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas, di Surabaya pada tahun 2008 tercatat adalah faktor manusia 91% (dimana diantaranya 89% akibat pengemudi dan 2% akibat pejalan kaki), faktor kendaraan 6%, faktor jalan 2%, dan faktor lingkungan sebesar 1%.

Tabel 1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Tahun 2008

Berdasarkan Tingkat Severitas Korban Kecelakaan Yang Terberat Faktor Penyebab

Kecelakaan

Berdasarkan Kejadian

Kecelakaan Meninggal Dunia

Luka Berat

Luka Ringan

Manusia 91% 92% 90% 90%

Kendaraan 6% 5% 6% 7%

Lingkungan Jalan 3% 3% 4% 3%


(20)

Data menunjukkan lebih dari 90% faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan adalah manusia, yang sangat berkaitan erat dengan perilaku manusia dalam tertib dan disiplin berlalu lintas di jalan. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya suatu alternatif pemecahan masalah keselamatan dan keamanan berlalu lintas dan angkutan jalan. Salah satu alternatif adalah peningkatan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas melalui penerapan undang – undang lalu lintas. Melalui penerapan peraturan perundangan lalu lintas secara efektif, ketertiban lalu lintas sebagai suatu sistem hubungan atau komunikasi antar pemakai atau pengguna jalan dapat berlangsung secara efektif pula. Sebaliknya, pelanggaran terhadap peraturan perundangan lalu lintas selain menimbulkan ketidaktertiban dalam berlalu lintas, pada tingkat tertentu dapat menimbulkan kemacetan bahkan kecelakaan yang berdampak terhadap keselamatan dan kepentingan para pemakai atau pengguna jalan itu sendiri.

Dengan melihat uraian latar belakang di atas mengindikasikan bahwa jumlah kecelakaan pengendara roda dua (2) di kota Surabaya relatif tinggi dan faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia karena kurangnya pengetahuan dari pengendara tersebut. Oleh karena itu Lantas Polwiltabes Surabaya beserta jajarannya harus melakukan upaya konkrit berkesinambungan disertai dengan kebijakan-kebijakan yang tepat.

Di dalam suatu upaya yang akan dilaksanakan perlu perencanaan strategi yang dimana nantinya dapat membantu di dalam pencapaian tujuan


(21)

yang telah ditentukan. Strategi – strategi yang dilaksanakan harus sejalan dan berkesinambungan sehingga tidak ada ketimpangan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Ada tiga strategi yang telah dilaksanakan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya yang bertujuan menekan angka kecelakaan di kota surabaya dan meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam berlalu lintas. Pertama, pengaturan lalu lintas dimana didalam kegiatan ini perlu adanya ketanggapan dari personil yang ada di lapangan. Kedua, pemberian reward kepada pemakai jalan yang santun berlalu lintas. Ketiga, pemberian sanksi kepada pemakai jalan yang melanggar aturan yang berlaku.

Dengan melihat ketiga strategi diatas maka penulis tertarik untuk meneliti sampai sejauh mana keberhasilan strategi tersebut. Oleh Karena itu penulis tertarik untuk mengambil judul ”Strategi Satlantas Polwiltabes

Kota Surabaya Di Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di jalan”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk Strategi yang dilakukan oleh Lantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan?.


(22)

2. Sejauh mana keberhasilan Strategi yang dilakukan oleh Lantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan?.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk strategi yang diterapkan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan.

2. Untuk mengetahui keberhasilan strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun di jalan.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi Penulis

Dapat menambah pengetahuan dalam menganalisa suatu masalah dengan menerapkan teori yang diperoleh dari literatur serta membandingkannya dengan keadaan yang nyata dilapangan.

2. Bagi Universitas

Untuk menambah perbendaharaan perpustakaan guna kepentingan ilmiah serta menambah wawasan baru bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik khusunya mahasiswa Program Studi Administrasi Negara.


(23)

3. Bagi Instansi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam mengatasi masalah yang terjadi serta menambah pemahaman lebih kepada Polwiltabes Surabaya terhadap kredibilitas yang dilakukan dan memberikan dukungan dalam pembangunan manusia indonesia seutuhnya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh pihak lain dapat di pakai dalam pengkajian yang berkaitan dengan program – program untuk tertib lalu lintas yang dilakukan oleh Satlantas Polwiltabes Surabaya antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Nani Pudji Sundari (2009), Jurusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, dengan judul “Perilaku Pengendara Sepeda Motor Pada Remaja Terhadap Risiko Kecelakaan Lalu Lintas”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku berkendara sepeda motor pada pelajar yang berisiko menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan pada 15 pelajar yang terdiri dari 5 pelajar yang belum pernah mengalami kecelakaan lau lintas, 6 pelajar yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas dan 4 pelajar yang sedang mengalami kecelakaan lau lintas. Penentuan pelajar dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling .Variabel-variabel yang diteliti adalah karakteristik pelajar, pengetahuan, sikap, personal reference, dan upaya pencegahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia pertama kali pelajar bisa berkendara dengan sepeda motor


(25)

yaitu pada kelompok umur 15 sampai dengan 16 tahun, ada yang bisa berkendara dengan sepeda motor sejak umur 12 tahun. Kebanyakan pelajar tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) saat berkendara. Pelanggaran yang pernah dilakukan oleh pelajar adalah memotong marka berupa garis putih utuh, tidak memakai helm dan menerobos lampu merah. Pengetahuan pelajar tentang aturan lalu lintas kurang, meskipun sering melihat jenis marka berupa garis putih utuh dan putus namun sebagian pelajar tidak paham arti dari jenis marka tersebut. Tidak adanya petugas kepolisian yang mengawasi menjadi penyebab umum pelajar berani menerobos lampu merah dan melanggar rambu larangan membelok.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai tata cara berlalu lintas menyebabkan mereka berisiko lebih tinggi mengalami kecelakaan lalu lintas. Di harapakan kesadaran pelajar untuk berperilaku santun dalam berlalu-lintas sehingga dapat meminimalkan jumlah kasus terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah di lakukan seperti yang di jelaskan di atas, terdapat perbedaan dan persamaan antara penelitian yang dilakukan sekarang dengan yang terdahulu, persamaannya adalah sama – sama meneliti tentang program yang di keluarkan oleh sat lantas polwil tabes dalam mengurangi terjadinya kecelakaan saat berkendara di jalan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam bertata tertib lalulintas di jalan, perbedaanya terdapat pada fokus penelitian yang diteliti.


(26)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Strategi Kebijakan

2.2.1.1. Pengertian Strategi (Strategies)

Menurut Hofer dan Schendel (1978) dalam Steiner (1982 : 18) Strategi berasal dari kata yunani Strategos, yang berarti jenderal. Oleh karena itu, kata strategi secara harfiah berarti seni para jenderal. Kata ini mengacu pada apa yang merupakan perhatian dari sebuah manajemen puncak organisasi. Secara khusus, strategi adalah penempaan misi organisasi, penetapan sasaran organisasi dengan mengingat kekuatan internal dan eksternal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat, sehingga tujuan dan sasaran utama organisasi akan tercapai.

Menurut Mahsun (2006 : 3) Strategi adalah teknik atau cara-cara yang digunakan organisasi untuk mencapai visi yang tela dirumuskan. Suatu strategi memuat serangkaian petunjuk yang menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai misi dan mengarahkannya pada visi.

Ibarat seseorang yang mempunyai yang mempunyai cita-cita luhur menjadi dokter professional dan berjiwa mulia, maka dia akan melakukan berbagai cara untuk mencapainya, misalnya dengan belajar serius, bertindak disiplin, taat beribadah dan sebagainya.

Uraian tentang cara-cara untuk mencapai cita-cita inilah yang disebut strategi. Dengan mendeskripsikan sebuah strategi maka dapat


(27)

membantu organisasi meluruskan dan memfokuskan arah pencapaian visi dengan panduan dan petunjuk yang jelas dan dipahami bersama.

Di dalam strategi diperlukan sebuah visi dan misi yang akan dicapai dan disita-citkan oleh suatu organisasi. Menurut Mahsun (2006 : 2) pengertian visi adalah pernyataan cita-cita yang menggambarkan suatu keadaan tertentu dan harus diperjuangkan organisasi untuk dicapai di masa depan. Keadaan yang dideskripsikan dalam visi ini bersifat umum, namun dapat memberikan pemahaman logis mengenai apa yang akan dilakukan organisasi dan bagaimana melakukannya untuk mencapai suatu kondisi yang sempurna dan ideal.

Jadi, visi merupakan gambaran umum tentang masa depan yang diyakini oleh semua anggota organisasi. Penetapan visi bagi organisasi, memberikan arah dan fokus strategi yang jelas, menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan strategis, serta memiliki orientasi terhadap masa depan, menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan organisasi, menjain kesinambungan kepemimpinan organisasi.

Sedangkan misi menurut Mahsun (2006 : 2) adalah pernyataan yang sangat umum dari organisasi untuk mendeskripsikan apa yang dilakukan organisasi, bagaimana melakukannya dan untuk siapa dilakukannya. Pernyataan umum ini dimaksudkan untuk mengarahkan organisasi dalam pencapaian nilai tertentu yang dihaapkan dapat dicapai organisasi. Misi ini membawa suatu organisasi bias memusatkan diri dan fokus terhadap kegiatan-kegiatan organisasi.


(28)

Pada umumnya dalam pernyataan visi juga memaparkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai organisasi sehingga anggota organisasi menjadi jelas apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Jadi, misi secara tegas memuat pernyataan tentang cita-cita yang merupakan landasan kerja bersama sehingga misi harus ditetapkan dan tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit.

2.2.1.2. Manajemen Strategik

Menurut Steiner (1982 : 30) manajemen strategik terutama berkenaan dengan menghubungkan organisasi dengan lingkungannya, merumuskan strategi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, dan memastikan bahwa implementasi strategi berjalan dengan baik. Inilah suatu proses yang diantara hal-hal lain, meliputi:

1. Perumusan misi dan sasaran

2. Identifikasi strategi untuk mencapai tujuan organisasi

3. Evaluasi strategi dan pilihan strategi yang diimplementasikan

4. Penetapan dan pemantauan proses untuk meyakinkan bahwa strategi diimplementasikan dengan tepat.

Oleh karena itu, manajemen strategik tentu saja meliputi penetapan kerangka kerja untuk mewujudkan / menambahkan semua prinsip dan praktek manajemen umum yang dicurahkan pada upaya perumusan strategi dan implementasinya dalam organisasi.


(29)

2.2.1.3. Strategi Lawan Taktik

Menurut Steiner (1982 : 18) Keputusan organisasi bergerak sepanjang spectrum yang mempunyai suatu strategi induk yang luas pada ujung yang satu dan taktik yang terinci pada ujung yang lain. Adalah berfaedah untuk membedakan kedua jenis keputusan ini, karena cara merumuskan dan menerapkannya sangat berbeda. Dan dibawah ini dalah beberapa perbedaan yang dilihat didalam strategi meliputi :

1. Tingkat Perilaku (level conduct) 2. Keteraturan (regularity)

3. Nilai-nilai subyaktif (subjective value) 4. Jajaran pilihan (range of alternatives) 5. Ketidakpastian (uncertainly)

6. Sifat permasalahan (nature of problems) 7. Kebutuhan informasi (Information needs) 8. Horizon waktu (time horizons)

9. Referensi 10. Rincian

11. Jenis Personil yang terlibat

12. Mudahnya penilaian (easy of evaluation) 13. Sudut pandang (point of view)


(30)

2.2.2. Kebijakan Publik

2.2.2.1. Pengertian Kebijakan Publik

Pengertian Kebijakan Publik menurut Chandler & Plano (1988) dalam Hessel (2003 : 1) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah public atau pemerintah.

Dye dalam Islamy (1997 : 18) mendefinisikan kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Menurut Anderson dalam Agustino (2006 : 7) memberikan pengertian tentang kebijakan publik yaitu serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau sesuatu hal yang diperhatikan.

Sedangkan menurut Woll (1996) dalam Hessel (2003 : 2) kebijakan publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Nugroho (2003 : 54) mendefinisikan kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal-hal-hal yang diputuskan pemeirntah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.


(31)

Pengertian kebijakan public menurut Easton dalam Islamy (1997 : 19) adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa (syah) kepada seluruh anggota masyarakat.

Kemudian definisi kebijakan public menurut Frederich dalam Soenarko (2000 : 42) adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatan,yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut didalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.

Atas dasar pengertian di atas, maka dapat ditemukan elemen yang terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Anderson dalam islamy yang antara lain mencakup:

1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu .

2. Kebijakan berisikan tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.

3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan.

4. Kebijakan Publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif ( keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).


(32)

5. kebijakan Publik (positif), selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif )

Dari beberapa pengertian di atas dan mengikuti paham bahwa kebijakan publik itu harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

2.2.2.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik

Menurut Agustino (2006 : 22) proses pembuatan kebijakan merupakan serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu. Oleh karena itu kebijakan publik dilakukan ke dalam beberapa tahap proses pembuatan kebijakan sebagai berikut : 1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif.


(33)

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

5. Tahap penilaian kebijakan

Unit-unit pemeriksaan dan akutansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

2.2.2.3. Tujuan Kebijakan

Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Soenarko (2000 : 82 ), yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator)

b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (negara sebagai perangsang, stimulator)

c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (negara sebagi koordinator)

d. Memperuntukkan dan membagi berbagai materi (negara sebagai pembagi, alokator)


(34)

Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan-antara guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan negara Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :

a. Memajukan kesejahteraan umum b. Mencerdaskan kehidupan bangsa c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia

Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

2.2.3. Impementasi Kebijakan

2.2.3.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2003) istilah implementasi atau pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti (i) sifat, laku, tanda yang baik, (ii) seperti, sebagai. Sedangkan pelaksanaan didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, dan sebagainya).

Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky dalam Hessel (2003 : 17) mendefinisikan implementasi adalah sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2006 : 139) adalah pelaksanaan keputusan


(35)

kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasi.

Sedangkan Meter dan Horn dalam Agustino (2006 : 139) Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik individu- individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Nakamura dan Smallwood dalam Hessel (2003:17) mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menterjemehkan kedalam keputusan yang bersifat khusus.

Menurut Nugroho (2003 : 158) mengatakan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan.

Dari tiga definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu ; (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan ; (2) adanya aktivitas dan pencapaian tujuan ; (3) adanya hasil kegiatan.


(36)

Berdasakan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan sebuah proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

2.2.3.2. Sukses dan Gagalnya Pelaksanaan Kebijakan

Semua kebijakan yang telah ditetapkan diharapkan sukses dilaksanakan. Tetapi dalam kenyataannya banyak kebijakan yang gagal dilaksanakan. Untuk itu, menurut Nurcholis (2002 : 7.11) agar kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka kebijakan hendaknya: a. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat. b. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya. c. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan

kebijakan sehingga proses implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik.

d. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang dapat diterapkan sampai organisasi pelaksana tingkat terbawah (street level bureaucracy). e. Dilakukan pemantauan secara terus menerus (Monitoring).

f. Diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan implementasinya.


(37)

Disamping itu, sukses tidaknya implementasi kebijakan menurut Nurcholis (2002 : 7.11) juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :

a. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga eksternal mendukung maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil. Sebaliknya jika menolak maka pelaksanaan kebijakan akan gagal. b. Ketersediaan waktu dan sumberdaya yang cukup.

c. Dukungan dari berbagai macam sumberdaya yang ada.

d. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas terhadap persoalan yang timbul dari pelaksanaan kebijakan.

e. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan yang telah ditetapkan dalam koordinasi.

Meskipun kebijakan pemerintah sudah dirancang sedemikian rupa tapi masih juga terdapat kemungkinan gagal dalam pelaksanaannya. Adapun hal-hal yang membuat suatu kebijakan pelaksanaan kebijakan gagal menurut Nurcholis (2002 : 7.11) adalah sebagai berikut :

a. Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap.

Maksudnya, kebijakan yang dibuat tidak dirinci spesifikasinya secara lengkap. Akibatnya para pelaksananya bingung dan membuat penafsiran sendiri-sendiri.


(38)

Misalnya, kebijakan tentang pemberantsan buta huruf diserahkan kepada pemerintah desa.

c. Adanya tujuan yang saling berlawanan. d. Insentif yang tidak memadai.

Maksudnya, para pelaksana kebijakan merasa bahwa upah tambahan atau insentif untuk melaksanakan kebijakan tidak seimbang dengan jerih payahnya. Oleh karena itu mereka tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya.

e. Ketidakjelasan arah antara kebijakan dasar dengan kebijakan implementasinya.

f. Keterbatasan keahlian.

Para pelakana kebijakan harus mempunyai keahlian tertentu. tanpa memiliki keahlian pelaksanaan kebijakan akan gagal.

g. Sumber administrasi yang terbatas.

Misal, kebijakan tentang wajib belajar tanpa didukung oleh sumberdaya yang memadai : tenaga, waktu, biaya, sarana dan prasarana, dan organisasi pendukung.

h. Kegagalan komunikasi.

2.2.3.3. Model-model Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi yang dikenal. Model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.


(39)

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2005 : 71) mengemukakan model ” Top Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect impelementation) ada 10 (sepuluh) persyaratan :

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu

hubungan kausalitas yang andal.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit rantai penghubungnya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan yang sempurna.

Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2005 : 78) yang mengemukakan “a model of the policy implementation process” ( model proses implementasi kebijakan). Dimana ada enam variable yng digunakan yaitu :


(40)

a. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan. b. Sumber-sumber kebijaksanaan.

c. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana.

d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

e. Sikap para pelaksana, dan

f. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Van Meter dan Van Horn dalam terorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan.

Gambar 1.

Model Proses implementasi Kebijaksanaan

Komunikasi antar organisasi dan Kegiatan Pelaksanaan

Ukuran dan tujuan kebijaksanaan

Sumber-sumber kebijaksanaan

Ciri Badan Pelaksana

Sikap Para Pelaksana

Lingkungan Ekonomi, Sosial

dan Politik

Prestasi Kerja


(41)

Variabel-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantar kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasional program di lapangan.

2.2.4. Evaluasi Kebijakan

Bagian akhir dari sebuah proses kebijakan yang dipandang sebagai pola aktivitas yang berurutan adalah evaluasi kebijakan . Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme kebijakan tersebut adalah evaluasi. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Oleh karena itu beberapa pakar mendefinisikan mengenai evaluasi kebijakan, sebagai berikut :

Jones dalam Islamy (1997 : 112) mengartikan evaluasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting


(42)

dalam spesifikasi obyeknya ; teknik-teknik pengukurannya dan metode analisanya.

Menurut Dunn dalam Agustino (2006 : 187) mengemukakan secara sederhana bahwa evaluasi kebijakan adalah berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil kebijakan.

Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2006 : 185) evaluasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan.

Kemudian Jones dalam Hessel (2003 : 25) mendefinisikan evaluasi kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.

Firman dan Sirait dalam Hessel (2003 : 26 ) mengemukakan evaluasi kebijakan merupakan usaha untuk mengukur dan memberikan nilai secara obyektif mengenai pencapaian hasil yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah pemberian nilai atau pengukuran terhadap apa yang telah dilaksanakan yang senyatanya sesuai dengan yang diinginkan dan memberikan perbaikan terhadap dampak yang tak diinginkan.


(43)

2.2.5. Pengawasan Kebijakan 2.2.5.1. Pengertian Pengawasan

Menurut Sujamto (1995 : 18) Mengemukakan bahwa pengertian pengawasan adalah segala usaha-usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai sasaran yang diperiksa.

Pendapat lain, yaitu Siagian (1994 : 135) menyatakan pengawasan sebagai proses pengamatan dari pelaksanan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaa yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Sejalan dengan pendapat di atas Handoko (1992 : 359) juga berpendapat bahwa pengawasan juga diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen dapat tercapai.

Sarwoto (1994 : 145) berpendapat, bahwa pengawasan adalah tugas untuk mencocokkan sampai dimana program atau rencana yang telah digariskan itu dilaksanakan.

Pendapat terakhir adalah dari Tjitrosidojo (1996 : 8), yang mengartikan pengawasan sebagai suatu bentuk pengamatan yang pada umumnya dilakukan secara menyeluruh dengan jalan mengadakan pemeriksaan yang ketat secara teratur.

Berdasarkan berbagai pengertian pengawasan diatas dapat disimpulkan, bahwa pengawasan adalah sebagai suatu tindakan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya, serta mengarahkan


(44)

agar pelaksanaan tugas dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

2.2.5.2. Tujuan dan Fungsi Pengawasan

Menurut Wursanto (1993 : 158), Pengawasan pada umumnya bertujuan, untuk :

1. Menemukan dan menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan kemacetan.

2. Mengadakan pencegahan dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang timbul.

3. Mencegah penyimpangan-penyimpangan.

4. Mendidik pegawai agar mempertebal rasa tanggung jawab. 5. Memperbaiki efisiensi dan efektifitas.

Sedangkan Manullang (1992:173) Mengatakan tujuan pengawasan untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, sudah berjalan sesuai instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan , apakah ada kelemahan, kesulitan dan kegagalannya sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah, apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah mungkin mengadakan perbaikan.

Di dalam Instruksi Presiden nomot 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, yang dikutip oleh Sujamto (1995:337), disebutkan bahwa tujuan pengawasan adalah agar sejauh mungkin


(45)

mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang, dan perlengkapan milik negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasil guna dan berdaya guna.

Tujuan utama dari pengawasan (Saleh, 1991:3) adalah untuk memperlancar pola pembangunan serta mengamankan hasil-hasil pembangunan, pengawasan pembangunan berupaya agar tidak terjadi penyelewengan dalam melaksanakan suatu rencana dan segera mengambil jalan keluar dari kemelut yang mungkin muncul serta akhirnya mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai.

Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tujuan dari semua kegiatan pengawasan yang dilakukan adalah guna menjamin dan merealisasikan apa yang direncanakan menjadi sebuah kenyataan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa kedudukan peran pengawasan dalam manajemen adalah sebagai alat untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan oleh organisasi dalam setiap kegiatan manajemennya, mulai dari merencanakan mengorganisasikan sampai dengan mengkoordinasikannya dalam rangka mencari tujuan sesuai dengan rencana.

Pengawasan ditujukan terutama untuk mencegah jangan sampai terjadi kesalahan-kesalahan yang merugikan dan kalau terjadi penyimpangan dan kekeliruan dapat segera ditanggulangi dengan


(46)

memberikan koreksi dan pembinaan agar pelaksanaan tugas dapat terselenggara secara efektif.

Untuk mewujudkan tujuan pengawasan dalam melaksanakan tugas, pimpinan unit kerja melakukan tidakan atau kegiatan untuk mengatasi bawahannya sesuai dengan fungsinya.

Menurut pendapat Abdurachman (1989:99) fungsi pengawasan pada umumnya adalah, untuk :

1. Mencegah penyimpangan-penyimpangan. 2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan.

3. Mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan manajemen yang lainnya.

4. Mempertebal rasa tanggung jawab. 5. Mendidik tenaga kerja.

Sedangkan menurut pendapat Nawawi (1994:4) fungsi pengawasan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :

1. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh aparatu pemerintah di bidang pengawasan dalam membantu Presiden sebagai Administrator Pemerintahan yang tertinggi dalam mengendalikan Sistem Administrasi Negara. Dengan kata lain, fungsi-fungsi pengawasan dilaksanakan oleh badan / unit kerja / organisasi yang volume dan beban kerja atau tugas pokoknya dibidang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh badan ini terhadap aparatur pemerintah dalam


(47)

melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan, disebut juga sebagai pengawasan dari luar.

2. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh setiap atasan langsung terhadap bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat dilingkungan organisasi / unit kerja masing-masing. Pengawasan ini disebut juga pengawasan atasan langsung sebagai wujud pelaksanaan fungsi pengawsan melekat. Untuk melaksanakan tugas pengawasan ini, setiap atasan langsung dapat melakukannya sendiri dan dapat pula menunjuk sejumlah pembantu, misalnya berupa tim tetap atau berkala.

2.2.5.3. Macam Pengawasan

Untuk mengantisipasi setiap permasalahan dalam melaksanakan tugas pegawai pada unit kerja, diperlukan pengawasan yang tepat yakni berbagai macam pengawasan. Irmansyah (1996:99) membedakan macam-macam pengawasan sebagai berikut :

1. Pengawasan Intern

Pengawasan ini kalau dalam instansi atau lembaga biasanya ditakutkan oleh kepala bagian / seksi terhadap kolega-kolega yang ada dibawah pimpinannya.

2. Pengawasan Ekstern

Pengawasan yang dilakukan oleh pihak luar, misalnya kepala urusan kepegawaian melakukan pengawasan terhadap seseorang pegawai disalah satu seksi pada organisasi tersebut.


(48)

3. Pengawasan formal

Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan dapat dilakukan dengan cara mendadak / inspeksi mendadak.

4. Pengawasan informal

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui surat kabar, majalah, dan media massa lainnya.

Dan berdasarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 ditegaskan mengenai macam-macam pengawasan yaitu :

1. Pengawasan Melekat

Merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendali terus menerus secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas berjalan secara berdaya guna sesuai dengan rencana yang ditetapkan oleh atasan langsung masing-masing.

2. Pengawasan Fungsional

Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern maupun ekstern pemerintah yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(49)

Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan.

Menurut pendapat Handoko (1992 : 362), ada tiga tipe dasar pengawasan yaitu :

1. Pengawasan Pendahuluan

Merupakan pengawasan yang dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standart atau tujuan yang memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan diselesaikan.

2. Pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan Merupakan pengawasan dimana aspek tertentu dari suatu prosedur

harus lebih disetujui terlebih dahulu atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan bisa dilanjutkan.

3. Pengawasan Umpan balik

Merupakan pengawasan untuk mengatur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah direncanakan.

2.2.5.4. Proses Pengawasan

Proses pengawasan merupakan suatu tindakan tertentu dan bersifat. Fundamental hal ini sesuai dengan pendapat Sarwoto (1994:100), bahwa ”Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan atau langkah pokok


(50)

tertentu yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan, langkah-langkah tersebut adalah :

a. Penentuan ukuran, pedoman baku atau standart

b. Perbandingan antara tugas atau pekerjaan dengan ukuran (pedoman) yang telah ditentukan untuk mengetahui penyimpangan -penyimpangan yang terjadi.

c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sehingga pekerjaan tugas tadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

d. Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah dikerjakan. Secara ringkas, Manullang (1992:183) mengatakan bahwa proses pengawasan tersiri dari fase-fase atau tahap-tahap sebagai berikut:

a. Penetapan alat pengukur atau standart. b. Mengadakan penilaian atau evaluasi. c. Mengadakan tindakan atau perbaikan.

Pada fase pertama, kata menetapkan bukan diidentikkan dengan menyusun atau menciptakan, namun pengawas tinggal mengambil atau menemukan diantara materi yang sudah ada, karena standart tersebut memang tidak dibuat oleh pengawas. Yang dimaksud menetapkan standart adalah tindakan pengawasan dalam menentukan suatu alat pengukur yang dipergunakan sebagi ukuran atau patokan bagi pengawas untuk menilai efektivitas dari suatu pelaksanaan tugas atau untuk


(51)

mengetahui apakah objek yang diawasi dapat berjalan sesuai dengan semestinya atau tidak.

Kemudian dalam menetapkan alat pengukur atau standart ini, dapat terwujud dalam tiga aspek, yaitu rencana yang telah ditetapkan, ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku, berikutnya juga penting untuk diperhatikan adalah adanya prinsip daya guna dan hasil guna.

Pada fase kedua, setiap organisasi ingin mencapai tujuan sesuai dengan rencananya. Dalam proses mencapai tujuan tersebut, seringkali dijumpai hambatan-hambatan, maka dari itu perlu diadakan penilaian (evaluasi).

Pada fase ketiga, tindakan koreksi diperlukan apabila terjadi adanya penyimpangan atau kesalahan, maka tindakan koreksi dilakukan untuk menyelaraskan penyimpangan atau kesalahan tersebut agar sesuai dengan rencana atau tujuan yang telah ditetapkan.

Upaya tindakan koreksi perlu memperhatikan adanya keseimbangan, kejelasan serta bersifat edukatif dan konstruktif. Hal ini untuk menghindari ketidak obyektifan.

Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas, maka proses pengawasan dapat dikatakan sebagai langkah-langkah, fase-fase, urutan-urutan kegiatan dalam, melakukan pengawasan, yaitu pelaksanaan secara bertahap, tertib dan berkesinambungan.


(52)

2.2.6. Reward (Penghargaan)

Menurut Mahsun (2006 : 112) Penilaian kinerja seseorang harus disertai reward (penghargaan) yang bisa memotivasi dan memicu peningkatan kinerja. Reward ini tidak mesti diwujudkan dalam bentuk finansial, misalnya gaji atau bonus. Reward bisa berbentuk pujian atau sanjungan sebagai ungkapan penghargaan dan pengakuan atas prestasi yang dicapai.

Pada dasarnya ada dua tipe reward yaitu social reward dan psychic reward. Yang termasuk social reward adalah pujian dan pengakuan dari dalam dan luar organisasi. Sedangkan psychic reward datang dari self satisfaction (kepuasan diri) dan kebanggaan atas hasil yang tercapai. Social reward merupakan extrinsic reward yang diperoleh dari lingkungannya, seperti finansial, material, dan piagam penghargaan.

Sedangkan psychic reward instrinsic reward yang datang dari dalam diri seseorang, seperti pujian, sanjungan dan ucapan selamat yang dirasakan pegawai sebagai bentuk pengakuan terhadap dirinya dan mendatangkan kepuasan bagi dirinya sendiri.

Reward dapat mengubah perilaku seseorang dan memicu peningkatan kinerja. Terdapat empat alternatif norma pemberian reward agar dapat digunakan untuk pemicu kinerja pegawai, yaitu :

1. Goal congruence (kesesuaian tujuan). Setiap organisasi publik pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan setiap individu dalam organisasi mempunyai tujuan individual yang sering tidak selaras


(53)

dengan tujuan organisasi. Dengan demikian reward harus diciptakan sebagai jalan tengah agar tujuan organisasi dapat dicapai tanpa mengorbankan tujuan individual, dan sebaliknya tujuan individual dapat tercapai tanpa harus mengorbankan tujuan organisasi.

2. Equity (keadilan). Reward harus dialokasikan secara proporsional dengan memperhatikan besarnya kontribusi setiap individu atau kelompok. Dengan demikian, siapa yang memberi kontribusi tinggi maka rewardnya jaga akan tinggi, sebaliknya siapa yang memberi kontribusi rendah maka rewardnya juga akan rendah.

3. Equality (kemerataan). Reward juga harus didistribusikan secara merata bagi semua puhak individu atau kelompok yang telah menyumbangkan sumberdayanya untuk ketercapaian kinerja.

4. Kebutuhan. Alokasi reward kepada pegawai seharusnya

mempertimbangkan tingkat kebutuhan utama dari pegawai.

Pemberian reward yang berhasil dapat meningkatkan tangible outcomes seperti individual, kelompok, kinerja organisasi, kuantitas dan kualitas kinerja. Selain itu, reward juga dapat mengarahkan tindakan dan perilaku. Sistem reward yang baik dapat memotivasi orang serta organisasi. Namun, sistem reward yang kurang baik justru sering gagal dalam memotivasi dan menumbuhkan semangat peningkatan kinerja. Meskipun motivasi uang dan waktu yang sangat besar untuk sistem reward organisasi, dampak motivasi yang diinginkan sering tidak tercapai. Sedikitnya terdapat


(54)

delapan alasan, mengapa reward justru menurunkan motivasi dan kinerja, antara lain :

1. Terlalu banyak menekankan pada reward moneter. Hal ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu bahwa mereka tidak semuanya merasa puas dengan imbalan berwujud finansial.

2. Rasa menghargai pada penerima reward sangat kurang. Reward sering diberikan dalam bentuk berwujud tetapi tidak disertai penghargaan / pengakuan yang layak.

3. Banyak yang menerima reward. Semakin banyak yang menerima reward dengan nilai yang tidak proporsional akan mengurangi motivasi seseorang.

4. Memberikan reward dengan kriteria yang salah. Misalnya hanya diukur dari waktu kerja sehingga pegawai termotivas hanya untuk mempercepat pekerjaan tanpa mempertimbangkan hasil.

5. Lamanya penangguhan (delay) antara kinerja dan reward. Reward yang tidak segera diberikan membuat seseorang merasa kurang dihargai.

6. Kriteria reward sangat fleksibel. Tidak pernah ada ukuran yang baku dalam pemberian reward membuat kesenjangan antara apa yang diharapkan seseorang dengan apa yang sebenarnya diterima.

7. Sasaran reward hanya untuk motivasi jangka pendek. Reward sering hanya berpengaruh sementara terhadap motivasi dan kinerja pegawai.


(55)

8. Pemberian kompensasi jajaran top manajer yang berlebihan. Hal ini dapat mengurangi motivasi pegawai operasional karena ada pembedaan penghargaan yang sangat mencolok dan tidak adil.

2.2.7. Punishment (Sanksi)

Menurut Mahsun (2006 : 118) pengertian punishment adalah proses melemahkan perilaku melalui hadirnya sesuatu yang tidak menyenangkan secara bersyarat. Di dalam pemberian hukuman harus sesuai dengan aturan yang berlaku dan bersyarat kepada setiap individu / kelompok sesuai aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengurangi terjadinya pelanggaran – pelanggaran dan terjadinya kecelakaan maka pihak Satlantas Polwiltabes Surabaya menetapkan ketentuan pidana bagi pengguna jalan yang melakukan pelanggaran saat mengemudikan kendaraannya di jalan sesuai dengan undang – undang no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 280 yang berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak di pasangi tanda nomor kendaraan bermotor yang sudah di tetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana ditetapkan pada pasal 68 ayat (1) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00.

Pasal 281 berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki surat ijin mengemudi sebagai mana di


(56)

maksud pada pasal 77 ayat (1) di pidana dengan kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 1000.000,00.

Pasal 283 berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lainatau di pengaruhi suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana di maksud pada pasal 106 ayat (1) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00.

Pasal 285 ayat (1) berbunyi: setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman alur ban sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (3) juncto pasal 48 ayat (2 dan ayat (3) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Pasal 287 ayat (1) berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang di nyatakan dengan rambu – rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf a atau marka jalan sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf b di pidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00.

Pasal 288 ayat 1 berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak di lengkapi dengan surat tanda


(57)

nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor yang di tetapkan oleh kepolisian Negara republic Indonesia sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (5) huruf a di pidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00. Dan ayat 2 berbunyi :Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan surat ijin mengemudi yang sah sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (5) huruf b di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Pasal 291 ayat 1 berbunyi : Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak mengenakan helm standart nasional Indonesia sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (8) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau dendapaling banyak Rp 250.000,00. Dan ayat 2 berbunyi Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (8) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Pasal 293 ayat 1 berbunyi : Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana di maksud dalam pasal 107 ayat (1) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00. Dan ayat 2 berbunyi Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana di maksud dalam pasal 107 ayat (2) di pidana


(58)

dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000,00.

2.2.8. Lalu Lintas

2.2.8.1. Dasar Hukum Mengenai Program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Pengertian Lalu lintas

Resiko kecelakaan lalu lintas senatiasa mengancam pengguna jalan, dan untuk mengurangi resiko yang lebih parah salah satunya ialah dengan cara melakukan upaya-upaya terpadu melalui program keamanan dan keselamatan lalu lintas, sesuai dengan Undang– Undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 208 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

1) Pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan bertanggung jawab membangun dan mewujudkan budaya keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.

2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya keamanan dan

keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud ayat (1) di lakukan melalui:

a) Pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini.

b) Sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan. c) Pemberian penghargaan terhadap tindakan keamanan dan


(59)

d) Penciptaan lingkungan ruang lalu lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib.

e) Penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.

Adapun pengertian lalu lintas menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 1 yaitu Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. Dan Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

2.2.8.2. Strategi Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Surabaya

Lalu Lintas mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional. Lalu Lintas harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

Berdasarkan hal tersebut perlu perencanaan strategi yang dimana nantinya dapat membantu di dalam pencapaian tujuan yang telah


(60)

ditentukan. Strategi – strategi yang dilaksanakan harus sejalan dan berkesinambungan sehingga tidak ada ketimpangan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Strategi yang dimaksud disini menurut Kanit Dikyasa Satlantas Polwiltabes Surabaya AKP Dwi Agung Setyono, SIK adalah upaya / cara bagaimana agar dapat mencapai tujuan yang telah dicita – citakan sebelumnya yaitu menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan, yang didasarkan pada suatu diagnosis yang tepat, meliputi :

1. Pengaturan arus lalu lintas 2. Pemberian reward

3. Pemberian sanksi bagi pelanggar aturan lalu lintas

Adapun tata cara berlalu lintas dalam berkendara untuk mengurangi terjadinya kecelakaan dan mengurangi terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang harus ditaati oleh para pengguna jalan sesuai dengan undang – undang no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan di jalan pasal 105 yang berbunyi:

a. Berperilaku tertib.

b. Mencegah hal – hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau dapat menimbulkan kerusakan jalan.


(61)

2.3. Kerangka Berpikir

Gambar. 2 Kerangka Berpikir

PP NO. 43 TAHUN 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan UU NO. 22 TAHUN 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya

Pengaturan Arus Lalu Lintas

Reward Penindakan

Pelanggaran / Sanksi Strategi Didalam Menciptakan Masyarakat Santun Di

Jalan

Peningkatan Kesadaran berlalu lintas Pengendara Roda 2 Dan Penurunan Angka Kecelakaan


(62)

3.1. Jenis Penelitian

Untuk memperoleh metode yang tepat dalam penelitian maka tergantung dari maksud dan tujuan penelitian. Karena penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain maka penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif.

Penelitian ini termasuk penelitian Deskriptif Kualitatif, penulis bermaksud memperoleh gambaran yang mendalam tentang Strategi Satuan Lalu Lintas Polisi Wilayah Kota Besar Surabaya Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di Jalan.

Hal tersebut sesuai dengan kutipan oleh dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif” Milles dan Huberman (1992:15). Penelitian kualitatif merupakan data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan merupakan angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dengan aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari, dokumentasi, pita rekaman), yang biasanya “diproses” kira-kira sebelum siap digunakan.

Milles dan Huberman (1992:12). Mendefinisikan data kualitatif sebagai sumber dari deskriptif yang luas dan berlandaskan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat.


(63)

peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.

Dan akhirnya seperti yang telah dikemukakan oleh Smith dalam Milles dan Huberman (1992:02). Bahwa penemuan-penemuan dari penelitian kualitatif mempunyai mute yang tidak disangkal kata-kata khususnya bila mans disusun dalam bentuk cerita atau peristiwa, mempunyai kesan yang lebih nyata, hidup dan penuh makna barang kali jauh lebih meyakinkan pembacanya, peneliti lainya, pembuat kebijakan, praktisi dan halaman-halaman }yang penuh dengan angka-angka.

Maka dari itu dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisa serta menginterprestasikan Strategi Satuan Lalu Lintas Polisi Wilayah Kota Besar Surabaya Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di Jalan.

3.2. Fokus Penelitian

Masalah yang akan diteliti, awalnya masih umum dan samar-samar akan bertambah jelas dan mendapat fokus setelah peneliti berada dalam lapangan. Fokus ini masih mungkin akan mengalami perubahan selama berlangsungnya penelitian itu. Fokus dalam penelitian kualitatif merupakan batas yang harus dilalui oleh seorang peneliti dalam melaksanakan penelitian. Berkaitan dalam tersebut bukunya. (1992:30) Miles dan Huberman mengemukakan bahwa memfokuskan dan membatasi data dapat dipandang


(64)

fokus memberikan sebuah aliran pada penulis untuk memusatkan perhatian pada penyederhanaan data yang ada, sehingga penelitian itu membias. Adapun aspek yang menjadi fokus dalam, penelitian ini adalah:

1. Pengaturan Arus Lalu Lintas

a. Mekanisme pengaturan arus lalu lintas b. Waktu pengaturan arus lalu lintas

c. Penentuan Lokasi pengaturan arus lalu lintas

2. Pemberian Reward

a. Mekanisme pemberian reward b. Sasaran penerima reward c. Waktu pemberian reward

3. Penindakan pelanggar marka / Sanksi

a. Mekanisme Penindakan pelanggar marka b. Waktu penindakan pelanggar marka

3.3. Lokasi Penelitian

Obyek penelitian gejala yang menjadi fokus penelitian untuk diamati. Obyek itu sebagai atribut dari kelompok orang atau obyek yang mempunyai variasi antara satu dengan lainnya dalam kelompok itu. Miles dan Haberman (1992:30) Mendiskripsikan obyek sebagai suatu kontek terbatas, dimana seseorang mengkaji peristiwa-peristiwa, proses dan hasilnya. Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk


(65)

data. Adapun alasan penulis memilih dan menetapkan lokasi penelitian ini pada:

1. Surabaya sebagai salah satu kota terbesar setelah Jakarta yang mempunyai jumlah penduduk hampir 3 juta jiwa dimana pemakai kendaraan semakin bertambah setiap tahunnya dan angka kecelakaan di kota Surabaya pun bertambah sesuai dengan data yang dihimpun dari tahun 2007 – 2009 yang mencapai rata-rata 2169 kejadian pertahun dengan korban dengan rata-rata pertahun meninggal dunia mencapai rata-rata 250 jiwa/tahun, luka berat 149 jiwa/tahun dan luka ringan 668 jiwa/tahun.

2. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas, di Surabaya pada tahun 2008 tercatat adalah faktor manusia 91% (dimana diantaranya 89% akibat pengemudi dan 2% akibat pejalan kaki), faktor kendaraan 6%, faktor jalan 2%, dan faktor lingkungan sebesar 1%.

3.4. Sumber Data

Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi batasan dalam penelitian ini maka sumber datanya adalah :

1. Informan

Menurut Moleong ( 2002 : 96 ) Informan kunci adalah orang yang sangat memahami betul tentang permasalahan sosial tentang kajian yang akan diteliti, informan kunci biasanya disebut key person. Penentuan key person dapat dilakukan dengan cara melalui keterangan orang yang berwenang


(66)

maupun informal (pengendara roda dua) melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Adapun informan dari penelitian ini antara lain, meliputi :

a. Kepala Unit Pendidikan dan Rekayasa Lalu Lintas Satlantas Polwiltabes Surabaya yaitu AKP Dwi Agung Setyono, SIK

b. Kepala Unit Patroli Satlantas Polwiltabes Surabaya yaitu IPTU I Gusti M.M

c. Masyarakat pengendara kendaraan roda dua yaitu pengguna jalan raya. 2. Tempat dan Peristiwa

Berbagai peristiwa atau kejadian yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian antara lain pengaturan arus lalu lintas, reward dan Punishment.

3. Dokumen

Berbagai dokumen yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian seperti pengaturan arus lalu lintas, reward dan punishment.

3.5. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data dikumpulkan oleh penulis sendiri yang sekaligus bertindak sebagai instrumen dalam pengumpulan data. Data penelitian kualitatif proses pengumpulan data ada tiga macam kegiatan yang dilakukan penulis:


(67)

Pada tahap ini melalui melakukan pendekatan tahap awal secara informal dengan menemui yaitu AKP Dwi Agung Setyono, SIK , selaku Kepala Unit Pendidikan dan Rekayasa Lalu Lintas Satlantas Polwiltabes Surabaya kemudian menemui IPTU I Gusti M.M selaku Kepala Unit Patroli Satlantas Polwiltabes Surabaya secara lisan dan memberikan gambaran secara sekilas apa yang akan diteliti dan melalui jalur formal dengan mengurus surat izin penelitian dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur sebagai tanda bahwa penulis benar-benar melakukan penelitian pada Satlantas Polwiltabes Surabaya.

2. Ketika berada di lokasi penelitian (Getting Along)

Ketika di lokasi penelitian peneliti menjalin hubungan dengan subyek peneliti (Informan) hal ini dilakukan karena merupakan kunci sukses untuk mencapai dan memperoleh akurasi data dan komprehensivitas data penelitian. Selain itu dalam proses ini peneliti berusaha untuk memperoleh informasi selengkapnya dari Satlantas Polwiltabes Surabaya berupaya menangkap makna data yang diperoleh.

3. Teknik pengumpulan data (Logging Data)

Pengumpulan data dalam penelitian akan diperoleh melalui data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:


(68)

a. Wawancara

Pada teknik ini, peneliti mengadakan tatap muka dan berinteraksi tanya jawab langsung dengan pihak responden atau subyek untuk memperoleh data. Wawancara dalam penelitian ini, khususnya dalam taraf permulaan biasanya tak berstruktur. Tujuan ialah memperoleh keterangan yang terinci dan mengadakan mengenai pandangan orang lain.

Pada mulanya belum dapat dipersiapkan sejumlah pertanyaan yang spesifik karena belum dapat diramalkan keterangan yang akan di-berikan oleh responden, belum diketahui secara jelas ke arah mana pembicaraan yang berkembang. Belum mengetahui apa fokus penelitiannya. Karena itu wawancara tak berstruktur artinya responden mendapat kebebasan dan kesempatan untuk mengeluarkan buah pikiran pandangan dan perasaannya tanpa diatur ketat oleh peneliti. Akan tetapi kemudian setelah peneliti memperoleh sejumlah keterangan peneliti dapat mengadakan yang lebih berstruktur yang disusun berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh informan. Dalam penelitian ini, dilakukan interview dengan informan yang terdiri : (1) Kepala Unit Pendidikan dan Rekayasa Lalu Lintas Satlantas Polwiltabes Surabaya, (2) Kepala Unit Patroli Satlantas Polwiltabes Surabaya, (3) Masyarakat pengendara kendaraan roda dua (Mahasiswa, pelajar, Club motor, pegawai, ibu rumah tangga)


(69)

b. Dokumentasi

Pada teknik penelitian menggunakan dokumen sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data yang tepat dimanfaatkan untuk menguji menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. c. Observasi

Penelitian mengadakan pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung atau melihat dari dekat obyek penelitian. Observasi dilakukan terhadap keseharian responden yang ada kaitannya dengan obyek penelitian. Data observasi berupa deskripsi yang faktual, cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan, kegiatan manusia dan situasi sosial serta konteks dimana kegiatan-kegiatan itu terjadi.

3.6. Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif analisa data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Mengingat penelitian ini mendiskripsikan mengenai Strategi Satuan Lalu Lintas Polisi Wilayah Kota Besar Surabaya Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di Jalan. Menurut Milles dan Hubermen (1992:16) yang terdiri dari:

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yaitu data yang dikumpulkan berupa wujud kata-kata bukan rangkaian kata. Dan itu mungkin telah dikumpulkan dengan angka macam cara (observasi, wawancara, dokumen, pita rekaman). Dan yang


(70)

pencatatan, pengetikan atau alas tulis). 2. Reduksi Data

Diartikan sebagai proses pemilihan, perumusan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan informasi data kasar yang muncul dan' catatan tulisan lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisa menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

3. Penyajian Data

Sekumpulan informasi yang disusun secara terpadu dan mullah dipahami yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan mengambil tindakan.

4. Menarik kesimpulan atau verifikasi

Peneliti berusaha untuk menganalisa dan mencari pola, terra, hubungan, persamaan dan hal-hal yang wring timbul yang dituangkan ke dalam kesimpulan (1992:15).


(1)

a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b. Surat Izin Mengemudi;

c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah.

6. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.

7. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

8. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

9. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa penindakan sanksi ini bersifat tegas dan tidak pandang bulu ke pada siapapun pelanggarnya.


(2)

119

Namun jika ditarik perbandingan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan informan dapat disimpulkan bahwa petugas kurang tegas di dalam mendisiplinkan masyarakat pemakai jalan yang melakukan pelanggaran aturan lalu lintas. Sehingga banyak masyarakat pemakai jalan meremehkan petugas yang mengatur jalannya lalu lintas.


(3)

5.1. Kesimpulan

Dari beberapa kegiatan sebagai pelaksanaan strategi yang telah direncanakan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan arus lalu lintas

Dalam pelaksanaan pengaturan arus lalu lintas, Satlantas Polwiltabes kota Surabaya sudah cukup baik namun kendala yang terjadi di lapangan pada saat ini adalah kurangnya jumlah personil dan alat komunikasi yang ada, sehingga di dalam pengaturan arus lalu lintas kurang adanya koordinasi yang jelas antara personil satu dengan lainnya, namun dengan komitmen yang ada pihak polisi lalu lintas tetap konsisten dan bekomitmen untuk menjaga kualitas yang ada guna menuju cita-cita yang diinginkan yaitu menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan.

2. Reward

Berdasarkan pengamatan dari hasil dan pembahasan di bab IV dapat disimpulkan bahwa kegiatan reward berjalan cukup efektif, namun dampak yang diberikan hanya sebagian kecil guna menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan.


(4)

121

3. Punishment

Pada prinsipnya pelaksanaan pemberian sanksi seharusnya cukup efektif namun kekurangannya berada ditangan petugas Satlantas Polwiltabes kota Surabaya yang kurang tegas di dalam menegakkan aturan yang ada.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan data di atas dapat diketahui bahwa peran Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya sudah cukup baik namun diperlukan pembenahan-pembenahan. Maka penulis berusaha akan memberikan saran yang mungkin dapat bermanfaat dan bersifat membangun bagi pihak pada Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya. Adapun saran-saran tersebut yaitu: 1. Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya hendaknya lebih meningkatkan lagi

kordinasi antar personil di dalam bertugas sehingga tidak terjadi miss atau kesalahan di dalam bertugas.

2. Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya harus dapat mengeluarkan terobosan– terobosan baru yang memiliki dampak besar bagi perubahan lalu lintas di kota Surabaya, guna pencapaian cita-cita yang telah ditentukan sebelumnya.

3. Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya hendaknya harus lebih tegas lagi di dalam menindak masyarakat pelanggar aturan lalu lintas sehingga tidak terjadi lagi penyimpangan-penyimpangan di dalam bertugas.


(5)

Mahmun, Mohammad. SE. ,M.Si., Ak., Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta : BPFE Yogyakarta

A.Stiener, George – B.Minner, Jhon, Kebijakan dan Strategi Manajemen, Jakarta: Erlangga

Islmy, Irfan, 2003, Perumusan kebijaksanaan Publik Negara, Jakarta : Bumi Aksara.

Wahab,Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijaksanaan, Jakarta : Drs. Hesel Nogi S, Tangkisilan MSi.

Nawawi, H. Hadari, 2003, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi, , Jakarta : Gajah Mada University Press

Nawawi, H. Hadari, 1990, Administrasi Personalia untuk Meningkatkan

Produktivitas Kerja, , Jakarta : Haji Mas Agung

Nawawi, H. Hadari, 1995, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur

Pemerintah, Jakarta : Erlangga

Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta : Universitas Indonesia.

Manullang, M. 1990, Dasar-dasar Manajemen, Jakarta : Aptik dan PT. Gramedia Pustaka Umum.

Handoko, T. Hani, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Bumi Aksara

Sudarmayanti, 2001, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Jakarta : Mandar Maju

Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Moleong, Lexy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.


(6)

PP Nomor 43 Tahun 1993, Prasarana dan Lalu Lintas Jalan Harian Kompas, 28-03-2005

Harian Kompas, 21-07-2005 http://www.jasaraharja.co.id http://www.bisnis.com