Konteks Sosial dalam Novel

41 Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pemuda memilih untuk mengangkat senjata untuk berperang dan berkonfrontasi. Sementara itu generasi tua memilih jalan-jalan diplomatik. Jika dikaitkan dengan tokoh Aku dalam novel Bukan Pasar Malam, sebagai pemuda dia mengangkat senjata. Inilah penjelasan mengapa dia sampai dipenjara. Lebih lagi, memori tentang peperangan dengan bangsa penjajah dia kenang dalam perjalannya ke Blora. Sampai di sini perjuangan pemuda nampak sangat heroik dengan semangat yang berkobar-kobar. Akan tetapi, kisah yang berbeda muncul dalam novel Soerabaja karya Idrus. Novel ini memberi gambaran yang kontradiktif dengan kisah brutal yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya. Pemuda digambarkan dengan revolver terselip di pinggang dan berjalan dengan angkuh serta menembak ke segala arah tanpa tujuan yang jelas Brotoseno, 2014:2 Bahkan tindakan brutal itu sampai pada perbuatan kriminal dengan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang Tionghoa dan Indo yang dianggap sebagai mata-mata Brotoseno, 2014:2. Ini berarti perjuangan revolusi dan peran pemuda yang begitu herois tidak mutlak menjadi satu kisah utama. Ada kekacauan yang juga diciptakan oleh pemuda dalam masa Revolusi ini.

3.2 Konteks Sosial dalam Novel

Konteks sosial merupakan situasi sosial atau masyarakat yang melingkupi dan membungkus sebuah karya. Setelah menganalisis tokoh dan penokohan serta latar yang menjadi unsur instrinsik dalam novel ini, menjadi lebih jelas bagaimana konteks sosial novel Bukan Pasar Malam. 42 Pertama, adalah konteks Indonesia sekitar empat tahun pasca kemerdekaan. Kemerdekaan merupakan sesuatu yang diperjuangkan oleh negara yang terjajah. Perjuangan ini terus dilakukan untuk melepaskan diri dari penjajah. Tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebuah negara. Namun, nyatanya dalam jangka waktu empat tahun setelah merdeka Indonesia belum bisa mencapai kesejahteraan secara menyeluruh di wilayah Indonesia. Penggambaran tentang situasi Blora pada saat Aku sampai bisa memberi penjelasan, kemerdekaan tak membawa perubahan ke arah kemajuan secara cepat. Kami jinjing bawaan kami. Dan dokar yang membawa kami ke rumah yang sudah kutinggalkan selama ini berjalan ayem seperti dulu juga. Dan pak kusir tak henti-hentinya menghalau-halaukan kudanya dengan cambuk dan perkataan. Banyak gedung runtuh di sepanjang jalan. Dan gedung PTT yang jadi kebanggan penduduk kota Blora yang kecil itu kini tinggal beton-beton tiangnya yang bersusun- tindih seperti bantal dan guling. Aku menarik nafas panjang. Tugu peringatan empat puluh tahun pemerintahan Wilhelmina masih berdiri. Tapi keindahannya yang dahulu lenyap. Dan tugu itu kini dicat merah muda. Aku tak mengerti mengapa. Mungkin pasukan merah yang mengecatnya waktu menduduki kota kami Toer,1999:17. Jika melihat apa yang terjadi di dalam novel, situasi masyarakat saat itu cukup gamang. Terutama nasib para pejuang nasionalisme seperti Ayah tidaklah menyenangkan. Ayah dapat menjadi representasi para pejuang nasionalis yang nasibnya tidak membaik setelah kemerdekaan. Konteks sosial berikutnya adalah keberadaan kaum proletar yang masih melihat kesejahteraan sebagai sesuatu yang jauh dari mereka. Bahkan, tokoh Aku malah menghujat kesejahteraan negaranya karena ia tidak bisa ikut menikmati kesejahteraan tersebut. 43 Penting untuk dicatat pula bagaimana kehidupan kaum nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan. Ayah, sebagai pejuang kemerdekaan, tidak bisa menikmati kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Sekalipun ia tetap bangga menjadi seorang nasionalis sampai akhir hidupnya, namun kenyataannya ia tetap mati dalam ketidaksejahteraan. Konteks sosial inilah yang menjadi bungkus cerita novel Bukan Pasar Malam.

3.3 Konteks Sosial Pramoedya Ananta Toer