50
Kereta jalan terus. Jalan terus. Jalan terus - - Semarang. Kami menginap di hotel. Dan hotel itu bukan main
kotornya. Tapi kami bisa beristirahat dengan senang. Toer, 1999: 13
Ideologi proletar yang nampak dari paparan di atas adalah kaum proletar yang merasa gelisah ketika ada kebutuhan ekonomi -di luar kebutuhan primer -
yang muncul di luar agenda mereka. Kegelisahan itu membuat kaum proletar kesulitan, namun pada akhirnya mereka tetap bisa menikmati kesusahan itu.
Mereka bisa tetap tidur dengan senang di hotel yang sangat kotor. Kaum proletar yang hanya sibuk untuk memenuhi kebutuhan primer sulit
untuk memiliki tenaga dan biaya untuk membangun rumah lebih bagus. Kebutuhan tinggal tentunya hanya secukupnya saja. Artinya memiliki rumah yang penting bisa
ditinggali. Blora menunjukkan kebutuhan membangun rumah berada di luar kemampuan mereka.
Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah- rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah yang dulu
sudah miring-miring. Aku menengok ke arah rumah. Meneruskan, “Dan rumah kami pun sudah begitu rusak.”
Toer, 1999:38
4.2 Borjuisme adalah Musuh
Dalam novel ini kelas borjuis digambarkan secara masif melalui kota Jakarta. Tokoh Aku melihat Jakarta sebagai tempat yang dipenuhi dengan banyak
mobil dan polusi. Selain itu, ada istana negara yang menjadi simbol kemegahan di Jakarta.
Pertama-tama tokoh Aku memandang Jakarta dengan sedikit rasa kagum dan berandai-andai bahwa ia juga bisa punya mobil. Dalam permenungannya Aku
51
tahu bahwa dengan menjadi orang kaya ia tak perlu bersusah payah untuk mencari pinjaman uang demi bisa kembali ke kampung halamannya.
Akan tetapi, tokoh Aku kemudian memandang borjuisme sebagai musuhnya. Dia pun akhirnya mengumpat terhadap kaum borjuis. Secara eksplisit
dia mengatakan:
Ya, sekiranya aku punya mobil – sekiranya, kataku – semua
ini mungkin takkan terjadi. Di kala itu juga aku berpendapat: bahwa orang yang punya itu menimbulkan kesusahan pada
yang tidak punya. Dan mereka tidak merasai ini Pram, 1999:3.
Tidak hanya berhenti di sana, tokoh Aku juga melanjutkan dengan nada satire menghadapi keberadaan kaum borjuis. Demikian dia berkata dalam hati :
Istana itu – mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa
puluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit
lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat
tambahan Pram, 1999:4.
Pemikiran tokoh Aku melihat kenyataan hidup mewah yang ada di istana negara ini bisa tentu menjadi perbandingan yang sangat timpang antara hidup di
bawah dan hidup di atas. Para penghuni istana negara adalah golongan borju yang hidup dalam segala kenikmatan dan kemudahannya.
Presiden memang orang praktis – tidak seperti mereka yang
memperjuangkan hidupnyaa di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan menteri, dan
engkau ingin mendapat tambahan listrik tiga puluh atau lima puluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tiga ratus
rupiah. Ini sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau berangkat ke A atau ke B, semua sudah sedia
– pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya, dan uangnya. Dan untuk ke
52
Blora ini, aku harus mengedari Jakarta dulu dan mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.
” Toer, 1999:4.
Aku secara eksplisit menyebut kalau selain presiden dan menteri tidak mungkin bisa mendapatkan listrik dengan mudah. Pernyataan ini menempatkan
orang yang punya jabatan tinggi sebagai lawan yang tidak seimbang. Lebih lagi, orang-orang yang punya kuasa untuk memberikan listrik bukanlah orang yang
mudah memberikan perhatian. Ini dikarenakan agar bisa menambah tiga puluh atau lima puluh watt peru menyogok dua atau tiga ratus rupiah.
4.3 Akses Kesehatan adalah Hal yang Tidak Mungkin