Tidak Ada Perencanaan Kebutuhan di Luar Kebutuhan Primer

47 Selain itu jika berpegang pada apa yang dikatakan Marx tentang kelas proletariat, tokoh aku temasuk dalam kelas tersebut. Hal ini dikarenakan Aku tidak mendapat akses langsung terhadap alat produksi. Dia adalah pekerja atau buruh yang setiap harinya bergulat dengan kebutuhan dasarnya. Selain tokoh utama, beberapa reaksi dari Ayah sebagai tokoh utama tambahan dan beberapa dari tokoh tambahan akan dianalisis untuk melihat bagaimana kaum proletar berpikir dan memandang sekelilingnya.

4.1 Tidak Ada Perencanaan Kebutuhan di Luar Kebutuhan Primer

Dalam kehidupan manusia memiliki kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer berkaitan dengan sandang, pangan dan papan. Bagi masyarakat proletar tentunya kebutuhan primer ini akan selalu menghantui karena akses mereka terhadap alat produksi sangat terbatas. Hal ini semakin menyesakkan ketika mereka harus berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan primer. Kaum proletar adalah kelas sosial bawah yang lemah secara ekonomi. Dalam Marxisme yang menentukan kelas sosial adalah alat produksi. Kaum borjuis atau kelas atas adalah mereka yang mempunyai akses langsung terhadap alat produksi. Tidak hanya itu mereka adalah pemilik alat produksi. Ini sangat berbeda dengan kaum proletar atau kelas bawah. Kaum proletar tidak punya akses terhadap alat produksi. Bahkan yang paling ekstrem bisa dikatakan mereka adalah bagian dari alat produksi. Karl Marx dalam Manifesto Komunis menulis demikian : Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar- pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Ia telah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan . Marx, 1848: 3 Berdasarkan apa yang dimaksud Karl Marx di atas semakin jelas bahwa yang menciptakan jurang yang dalam antara borjuis dengan proletariat adalah keberadaan alat produksi. Dengan berbagai cara alat-alat produksi itu telah menjadi milik beberapa tangan saja. Karena tidak memiliki akses terhadap alat produksi, maka kaum proletar hanya bisa menggantungkan hidup dengan bekerja sesuai dengan apa yang telah diatur oleh masyarakat kapitalis. Lebih lagi, hasil kerja dan keringat kaum proletar kembali lebih banyak dinikmati oleh kaum borjuis. Sementara itu, kaum proletar hanya menikmati sebagian kecil saja. Keterbatasan akses terhadap alat produksi ini pula yang membuat mereka akan selalu di bawah secara ekonomi. Kaum proletar menghabiskan hidupnya untuk bekerja dan mendapatkan kebutuhan ekonomi primer seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian. Namun, pada kenyataannya ada kebutuhan ekonomi di luar kebutuhan primer. Dalam novel Bukan Pasar Malam, Aku sebagai bagian kaum proletar harus mengalami kebingungan ketika ia ingin pergi ke kampung halamannya. Dia tinggal di Jakarta sementara ia mendapat surat bahwa Ayahnya sakit dan memintanya untuk pulang ke Blora. Kebutuhan yang muncul dalam situasi ini adalah kebutuhan transportasi. Kebutuhan transportasi menjadi kebutuhan yang tidak termasuk dalam agenda sehari-hari tokoh Aku. Oleh karena itu, tidak aneh jika Aku menjadi bingung dan terkejut. Demikian ungkapan kegelisahan dan kebingungannya : 49 Mula-mula aku terkejut. Sesak di dada. Kegugupan datang menyusul. Dalam kepalaku terbayang: ayah. Kemudian: uang. Dari mana aku dapat uang untuk ongkos pergi? Dan ini membuat aku mengedari Jakarta – mencari kawan-kawan – dan hutang Toer, 1999:2. Soal uang memang disebutkan belakangan, namun hampir seluruh pikiran Aku kemudian dicurahkan untuk mencari uang. Terlihat bagaimana Aku tidak punya sisa uang selain untuk makan dan kebutuhan hidup. Dari sini juga bisa dilihat bagaimana kebutuhan ekonomi membuat dia sangat gelisah. Tokoh Aku mengekspresikannya dengan kata-kata seperti terkejut, sesak di dada, dan kegugupan. Kebutuhan transportasi tidak pernah masuk dalam agenda pengeluaran Aku sebagai bagian dari kaum proletar. Dalam situasi seperti itu tidak lain pilihan yang ia ambil adalah mencari hutang. Ini memberikan situasi yang ironis karena berhutang di saat tidak punya uang sama seperti menggali lubang tanpa punya tanah lagi untuk menutupnya. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain. Reaksi tokoh Aku yang gugup dan sesak di dada menambah bukti bahwa kegelisahan kaum proletar terhadap kebutuhan ekonomi mencapai tataran biologis. Efek dari kegagalannya memenuhi kebutuhan ekonomi ini adalah hujatan terhadap kaum borjuis. Wajar saja jika kemudian Aku menghujat kaum borjuis. Perjalanan dari Jakarta ke Blora tidak selesai dalam satu waktu kala itu. Perjalanan dengan kereta harus berhenti di Semarang untuk transit. Tokoh Aku dan istrinya menghabiskan malam di Semarang untuk menunggu kereta ke Blora keesokan harinya. Dan mereka sebagai kaum proletar menginap di hotel yang kotor. Aku sempat mengeluh namun bisa tetap tidur dengan senang. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 Kereta jalan terus. Jalan terus. Jalan terus - - Semarang. Kami menginap di hotel. Dan hotel itu bukan main kotornya. Tapi kami bisa beristirahat dengan senang. Toer, 1999: 13 Ideologi proletar yang nampak dari paparan di atas adalah kaum proletar yang merasa gelisah ketika ada kebutuhan ekonomi -di luar kebutuhan primer - yang muncul di luar agenda mereka. Kegelisahan itu membuat kaum proletar kesulitan, namun pada akhirnya mereka tetap bisa menikmati kesusahan itu. Mereka bisa tetap tidur dengan senang di hotel yang sangat kotor. Kaum proletar yang hanya sibuk untuk memenuhi kebutuhan primer sulit untuk memiliki tenaga dan biaya untuk membangun rumah lebih bagus. Kebutuhan tinggal tentunya hanya secukupnya saja. Artinya memiliki rumah yang penting bisa ditinggali. Blora menunjukkan kebutuhan membangun rumah berada di luar kemampuan mereka. Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah- rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah yang dulu sudah miring-miring. Aku menengok ke arah rumah. Meneruskan, “Dan rumah kami pun sudah begitu rusak.” Toer, 1999:38

4.2 Borjuisme adalah Musuh