Latar .1 Latar Waktu TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL

30 daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang dan monyetnya. Ya, ingin sekali Toer, 1999:15. Tokoh Aku beberapa kali mencoba untuk mencairkan hati istrinya, namun beberapa usahanya tidak membuat situasi hati istrinya berubah. Sang istri tetap belum menunjukkan ketertarikannya akan perjalanan itu. Kupandang isteriku. Berkata “Lihatlah, betapa cantiknya hutan itu.” Diam-diam isteriku menjengukkan kepalanya ke luar jendela. Kemudian kepalanya ditariknya lagi dan ia bersandaran di pojok bangku kereta Toer, 1999:15. Sesampainya di Blora dia beberapa kali membicarakan topik untuk kembali ke Jakarta. Namun, ia akhirnya tetap tinggal di Blora sampai akhirnya Ayah meninggal. 2.2 Latar 2.2.1 Latar Waktu Latar waktu yang ada dalam tokoh ini adalah Indonesia pada pasca kemerdekaan Indonesia. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika melihat surat di awal cerita tertanggal 17 Desember 1949, itu artinya cerita ini mengambil latar waktu sekitar empat tahun sesudah Indonesia merdeka. Dengan demikian cerita ini berlatar sekitar zaman Revolusi. Secara lebih khusus Indonesia memasuki masa Revolusi pada tahun 1945- 1950. Itu artinya tahun 1949 yang menjadi latar novel ini berada di tahun-tahun penghujung Revolusi. Jika lebih lanjut kita melihat perjalanan Aku ke Blora dan kenanganannya tentang perang maka bisa disimpulkan pula latar waktu novel ini adalah masa perjuangan Revolusi. Ricklefs 2010,428 menyebutkan bahwa ada kelompok yang mengangkat senjata untuk mempetahankan kemerdekaan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 Sekilas melela kenangan lama. Dulu – empat tahun yang lalu Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung oleh berkas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari Rebahkan badan Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingung Toer,1999:8-9. Kutipan di atas menunjukan kenangan Aku tentang masa perang. Perang ini adalah perang revolusi antara Belanda yang kembali setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Perang itu pun sampai menimbulkan trauma dalam diri Aku. Peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman dan kepada ayah Toer, 1999:9 Kutipan di atas semakin menguatkan bahwa latar waktu Revolusi merupakan peristiwa yang melatari ceritera novel Bukan Pasar Malam. Situasinya lebih banyak berupa perang dan keadaan yang mencekam.

B. Latar Tempat

Dua latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam adalah kota Jakarta dan kota Blora. Dua kota ini sebenarnya merupakan sebuah kontras keadaan zaman pada masa Indonesia setelah merdeka. Jakarta menjadi simbol kemajuan dan kemegahan sebuah kota pasca-kemerdekaan. Sementara itu, Blora menjadi simbol kemiskinan dan belum meratanya kemakmuran Indonesia sesaat setelah Indonesia merdeka. 32 Dari sudut pandang tokoh Aku dia melihat Jakarta sebagai tempat yang sangat mewah. Terutama ketika dia menggambarkan Istana Negara dan mengkontraskannya dengan keadaannya yang melarat. Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu – mandi cahaya lampu listrik. Entah beberapa puluh ratus waatt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan : listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan Toer,1999:4. Blora adalah kebalikan dari Jakarta. Orang-orang di sana masih sangat sederhana kalau tidak ingin mengatakan masih jauh dari kemapanan. Lebih lagi, listrik adalah hal yang masih sangat mewah di sana. Jika di Jakarta bisa dijumpai ribuan mobil, satu mobil saja di Blora adalah hal yang sangat langka. Latar tempat yang digunakan oleh Pram untuk membungkus cerita ini adalah situasi yang timpang antara kota dan desa, antara pusat dan daerah pinggiran. Situasi tempat tinggal yang tidak kunjung membaik berbanding seimbang dengan situasi ekonomi. Aku mengangguk berat, diberati oleh perhitungan harga kayu, semen dan paku. Dan aku lihat orang tua itu mengerti juga beratnya anggukanku Toer, 1999:40 Blora merupakan latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam. Lebih dari separuh peristiwa terjadi di Blora. Sejak kedatangan tokoh Aku dan istrinya di Blora, seluruh peristiwa terjadi di sana. Latar sempit yang ada di Blora adalah rumah sakit dan rumah. Rumah sakit adalah tempat Ayah dirawat. Sementara rumah adalah rumah masa kecil tokoh Aku. Rumah menjadi tempat Ayah dibawa pulang menjelang kematiannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 Latar tempat lain yang perlu dicatat meskipun tidak menghadirkan banyak peristiwa adalah Semarang. Tokoh Aku dan istrinya mengunjungi Semarang dalam perjalanan dari Jakarta ke Blora. Hal ini penting untuk mengetahui bahwa pada masa itu perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Blora bukanlah perjalanan sekali sampai. Penumpang harus singgah di Semarang untuk menunggu kereta berikutnya ke Blora. Untuk melanjutkan perjalanan, mereka berdua harus pergi ke stasiun dan mencegat kereta yang paling pagi. Setelah dari Semarang latar tempat berfokus di dalam kereta dengan pemandangan perjalanan mulai dari pemandangan pantai utara. Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun. Antre beli karcis. Dan kereta kami berpacu dengan mobil, dan memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh mobil – debu yang bercapur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manuisa, reaknya, ludahnya – mengepul dan menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak- anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya mengemis. ..... Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa makanan mereka berebutan Toer,1999:14. Perjalanan kereta itu kemudian sampai di Rembang. Tidak banyak yang diceritakan di tempat ini. Hanya saja, Aku ingat tentang kota kelahirannya. Dia teringat akan kota kelahirannya dengan jalan-jalan yang sempit dan penduduknya yang miskin. Kereta berjalan terus dan berjalan terus. Sampai di Rembang, dia mulai membelok ke selatan dan melintasi hutan jati dan sawah. Kian dekat dengan kota kelahiran kian nyata terbayang-bayang jalan-jalan yang sempit, penduduknya yang miskin, dan ayah Toer, 1999:14. Latar tempat berikutnya sebelum Blora adalah batas kota Blora. Meski sedikit ada informasi yang penting dicatat di sini Blora juga merupakan kota yang 34 tidak lepas dari peperangan. Dalam ingatan Aku, daerah itu merupakan tempat berdirinya gedung-gedung. Namun, perang membuatnya tinggal tanah lapang saja. Waktu kereta memasuki batas kota Blora, nampak olehku, tanah lapang – dan dulu gedung-gedung yang berdiri di tanah lapang itu. Sekaligus terpikir olehku: peperangan yang meruntuhkan bangunan-bangunan itu Toer, 1999:15 Melihat bermacam-macam latar tempat yang dipakai dalam novel ini, bisa diambil kesimpulan bahwa ada latar tempat yang merupakan tempat kejadian atau peristiwa. Sementara, ada pula latar yang merupakan tempat tokoh Aku mengenang kejadian lalu ketika dia di dalam kereta dalam perjalanan dari Jakarta menuju Blora.

C. Latar Sosial

Latar sosial novel Bukan Pasar Malam adalah situasi masyarakat ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Situasi sosial yang ditonjolkan dalam novel ini adalah kesenjangan sosial antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Pemenuhan kebutuhan tidak merata di antara masyarakat. Hanya segelintir orang terutama yang punya jabatan yang bisa menikmati kemewahan. Kalau engkau bukan residen, dan juga bukan menteri, dan engkau ingin mendapat tambahan listrik tiga puluh atau lima puluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tiga ratus rupiah. Ini sungguh tidak praktis Toer, 1999:4 Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan listrik belum merata di setiap daerah. Bahkan untuk mendapat akses listrik yang memadai orang harus punya jabatan dan posisi yang memungkinkan. Tanpa jabatan dan posisi yang memadai orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak. Kondisi masyarakat Indonesia yang baru saja merasakan kemerdekaan masih menunjukan ketidakstabilan. Situasi yang mungkin wajar untuk sebuah 35 negara yang baru saja merdeka. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumah-rumah orang yang tidak membaik tetapi malah semakin buruk. Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah-rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah yang dulu sudah miring-miring. Aku menegok ke arah rumah. Meneruskan. Dan rumah kami pun sudah begitu rusak Toer, 1999:38. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel karya Pram ini terjadi di Jakarta dan dalam perjalanan ke Blora, serta kota Blora. Oleh karena itu, adat dan kebiasaan tokoh-tokohnya berasal dari Jawa. Mereka menunjukkan stereotipe orang Jawa yang berbicara kepada orang lain dengan gaya memperhalus ucapan. Misalnya ketika tetangga Aku yang tukang potong kambing ingin menyuruh Aku memperbaiki rumah, dia menggunakan kata sehalus mungkin. Kalau bisa Gus, kalau bisa – harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua- tua dulu : Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak Toer, 1999:38. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36

BAB III KONTEKS SOSIAL

KEPENGARANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Dalam bagian ini akan dipaparkan situasi sosial Indonesia pada sekitar zaman Revolusi. M.C. Ricklefs 2010,428-470 mengkategorikan tahun 1945-1950 sebagai masa Revolusi. Penelitian ini melihat situasi pada masa ini karena latar waktu novel Bukan Pasar Malam berada di sekitar zaman Revolusi. Ini bisa dilihat dari surat dari Ayah yang ada di awal novel, yaitu tanggal 17 Desember 1949. Agaknya, Pramoedya tidak sembarangan dengan menjadikan tahun 1949 sebagai latar waktu. Tahun 1949 menuju 1950 adalah saat Revolusi mencapai titik akhir. Perjuangan melawan Belanda dan antek-anteknya untuk kembali merebut Indonesia telah usai. Kemudian, Indonesia memasuk masa yang disebut sebagai masa percobaan demokrasi Ricklefs, 2005:471 Ada dua konteks sosial yang akan dipaparkan dalam bagian ini. Pertama, konteks sosial di Indonesia yang berisi beberapa peristiwa penting dalam pejalanan Revolusi Indonesia. Kedua, konteks sosial yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam. Untuk membantu pemahaman lebih dalam mengenai ideologi kaum proletar penting untuk melihat bagaimana situasi masyarakat dalam cerita yang ditulis oleh Pramoedya ini.

3. 1 Konteks Sosial Indonesia

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan memanfaatkan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, situasi kemerdekaan tidak secara instan membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI