Penokohan Ayah Tokoh Utama Tambahan .1 Ayah

26 tetap menjadi fokus penceritaan. Bahkan konflik utama yang harus dihadapi oleh Aku adalah sakit yang diderita oleh Ayah. Pada akhirnya cerita mulai menemui antiklimaks ketika Ayah meninggal.

2.1.2.2 Penokohan Ayah

Ayah adalah seorang nasionalis. Dia adalah orang yang begitu berjiwa besar untuk memberikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan. Dengan profesinya sebagai guru dan kemudian pengawas sekolah, dia ingin memberikan seluruh dirinya kepada pengabdian negara. Salah satunya adalah apa yang dikenang oleh mantan muridnya berikut ini : Pada hari pembukaan pertama murid yang masuk tiga kali lipat banyaknya daripada di zaman Belanda dulu. Kami di sekolahan kurang tenaga. Dan tiga hari sesudah pembukaan itu rumahku didatangi pasukan dari batas kota. Kalau Bapak meneruskan pembukaan sekolahan itu, sekolahan itu akan kubakar. ..... Sekalipun di masa perang sekolahan harus dibuka Toer, 1999:47 Ada hal berbeda yang bisa dirasakan dari karakter Aku dan Ayah. Aku dalam kepribadiannya nampak begitu radikal dengan pendiriannya terhadap penjajah. Namun, Ayah nampak lebih kompromis dengan lingkungan di sekitarnya. Ini nampak dari sikapnya yang tetap mau membuka sekolah dengan biaya dari pemerintah Belanda. Pembukaan sekolahan ini, sekalipun atas ongkos pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga yang mengecap hasilnya. Dan pasukan itu menerima alasan itu. Sekolah tak jadi di bakar. Ya, tak sampai dibakar sampai sekarang Toer, 1999:47. Pada masa Revolusi, Ayah adalah sosok yang disegani. Dia dihormati karena semangat nasionalisme yang tinggi. Mengenai masa 27 lalunya ketika menjadi guru dan pengawas sekolah, Ayah termasuk dalam pasukan gerilya. Penjelasan ini bisa diperoleh dari dukun yang dulu sempat bekerja sama dengan Ayah ketika berbicara dengan Aku. Akhirnya kelak aku tahu juga, bahwa Ayah Tuan itu tidak lain daripada salah seorang pemimpin pemerintahan gerilya – sekalipun jadi pengawas sekolah angkatan Belanda Toer,1999:47 Dukun itu ternyata adalah juga guru. Dan sosok Ayah di matanya adalah tokoh yang sangat kuat. Begini dukun itu melanjutkan : Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru – untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid- muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap jadi guru. Dalam dinasku itu pernah juga aku kena penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru- paru sesudah dinas tiga puluh tahun – itu suatu tanda kekuatan. Beliau sangat kuat Toer, 1999:47. Jadi meskipun kini mengidap sakit paru-paru, menurut duku itu, hal ini menunjukkan betapa kuatnya Ayah. Menjadi guru kala itu tidak mudah. Bahkan menurut dukun itu, dia sendiri yang 18 tahun sudah merasa berat. Sementara Ayah menjadi guru selama 30 tahun. Status dan posisi ini bergeser setelah kemerdekaan didapat. Heroisme atau kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Ayah membuatnya menjadi orang yang disegani dalam masa perjuangan. Namun, ketika kemerdekaan sudah didapat, respek itu sudah tidak nampak lagi. Heroisme dan semangat nasionalisme itu tak membantu Ayah bisa menikmati masa tuanya. 28 Di masa tuanya, Ayah mengidap sakit paru-paru. Dia harus dirawat di rumah sakit sederhana yang tidak terlalu baik perawatannya. Ayah menghabiskan masa tuanya di tempat tidur. Kedatangan anak sulungnya dari Jakarta membuatnya cukup senang. Meskipun tetap saja kesehatannya tidak kunjung membaik. Setiap hari anak-anaknya, termasuk tokoh Aku, menjenguknya ke rumah sakit dan membawakan apa-apa yang diinginkan oleh Ayah. Meskipun mengalami kemerdekaan, namun Ayah tidak mendapatkan kenikmatan hidup sebagaimana yang diimpikan oleh negara yang merdeka. Tokoh Ayah adalah tokoh yang berpendirian teguh. Menjelang kematiannya, Ayah tetap membanggakan dirinya sebagai seorang nasionalis. Ini terlihat dari percakapan terakhirnya dengan tokoh Aku. Aku tak mau jadi ulama. Aku mau jadi nasionalis. Karena itu aku jadi guru. Membukakan pintu hati anak- anak untuk pergi ke taman patriotisme. .... Karena itu aku jadi nasionalis. Sungguh berat menjadi nasionalis. Karena tiu aku memilih menjadi guru. Tapi aku rela jadi nasionalis. Aku rela jadi korban semua ini Toer,1999:82 Dalam perkataan Ayah terebut tersirat semangat dan kebanggaannya sebagai seorang nasionalis. Meskipun perjuangan sebagai seorang nasionalis tidak membuatnya mendapat penghargaan yang sepadan. Namun, bagaimana pun Ayah tetap merasa bangga sebagai seorang nasionalis yang berjuang untuk bangsanya.

2.1.3 Tokoh Tambahan