Relasi antara Penjajah dan Terjajah

216 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 realitas Barat; kebiasaannya, warna kulitnya yang eksotik, kenangan dan pengalaman yang indah. Timur harus dipahami memiliki keterbatasan dan kelemahan sehingga membutuhkan kekuatan dan pengetahuan Barat. Oleh karena itu, Timur siap untuk diatur kembali, diperintah, dikuasai, dan direkonstruksi. Akibat perlakuan Barat penjajah yang mensistematisasi, perlawanan-perlawanan resistensi muncul dari pihak bangsa terjajah Timur. Ashcroft 2001: 19-20 menyatakan bahwa resistensi memiliki dua bentuk, yakni bentuk pasif dan bentuk radikal. Resistensi yang berbentuk pasif dapat dilakukan dengan melakukan mimikri dalam upaya untuk melebarkan harapan dan cita-cita pihak terjajah Ashcroft: 2001: 3. Mimikri dalam konsepnya Bhabha 2006: 122-123 sebagai sebuah strategi bagi pihak terjajah dengan cara menyesuaikan diri dengan “yang lain” karena mimikri itu memvisualisasikan kekuatan dan mimikri itu memberi efek yang dalam dan bersifat mengganggu terhadap kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, mimikri mengandung mockery Lo and Gilbert, 1998: 12. Sementara itu, resistensi radikal sebagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah terhadap kekuasaann kolonial. Bentuk resistensi radikal ini dicirikan oleh adanya rencana-rencana pergerakan yang terorganisasi, yang dilakukan dengan menyerang secara langsung melalui peperangan atau dengan memproduksi teks bacaan ibid. Adanya perlawanan-perlawanan dari kaum terjajah dan dominasi atas kekuasaan kolonial, keambiguan sifat pada diri kaum terjajah muncul Bhabha, 2006: 122-123, termasuk dalam karya sastranya. Hasil penelitian Faruk 2007 terhadap beberapa novel Indonesia menunjukkan data bahwa novel-novel Indonesia, seperti Siti Nurbaya, Hikayat Kadiroen, dan lain-lain, memperlihatkan keambiguan. Penelitian Liliani 2005 terhadap drama 9 Oktober 1740 juga menunjukkan sifat tersebut. Berkaitan dengan keambiguan ini, sifat novel SdRAS sangat perlu diteliti. Oleh karena itu, penerapan teori poskolonial pada novel SdRAS dilakukan dengan menggunakan teknik dekonstruksi. 2. PEMBAHASAN Sebagai mana disampaikan sebelumnya, makalah ini berupaya mendeskripsikan 1 relasi antara penjajah dan terjajah, 2 resistensi budak dan majikan, dan 3 sifat novel SdRAS. Pembahasan dari permasalahan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.

2.1. Relasi antara Penjajah dan Terjajah

Penjajah dan pihak terjajah memiliki relasi yang tidak setara. Ketidaksetaraan itu ditandai dengan dominasi penjajah atas kaum terjajah. Dominasi itu tampak pada kaum majikan, yakni Tuan edeleer Moor dan Suzanne terhadap si Untung, Robert terhadap Untung Surapati, masyarakat Belanda terhadap Robert, dan kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Ketidaksetaraan perlakuan Tuan edeleer Moor kepada si Untung tampak pada peristiwa tenggelamnya Suzanne di laut, walaupun ia akhirnya dapat diselamatkan oleh si Untung. Tuan edeleer Moor menyalahkan si Untung. Dalam konteks itu, si Untung adalah pihak subaltern, pihak yang tidak dapat menentukan pilihan dan menyatakan bahwa dirinya benar. Sebagai seorang budak, ia memang menyerahkan diri sepenuhnya kepada majikannya karena seutuh dirinya menjadi hak milik majikannya Nooij, dkk., 1996: 90. 217 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Berdasarkan pandangan Ashcroft 2002: 102, Tuan edeleer Moor telah mengklaim dirinya sebagai kelas superior yang memiliki hak-hak istimewa jika dibandingkan si Untung. Perilaku itulah yang telah memunculkan pemarjinalisasian Ashcroft, 1998: 135. Relasi dominasi lain majikan terhadap budak adalah perlakuan Tuan edeleer Moor terhadap si Untung dan perlakuan Nyonya Voorneman dan Nyonya Dammers kepada budaknya. Kaum majikan itu melakukan penyiksaan kepada budak, bahkan penyiksaan itu dilakukan dengan membayar para petugas kepolisian agar mereka dapat menyiksa budak. “Nyonja Voorneman jang meninggal, tahu benar tjara apa ia bergaul dengan segala budaknya. Tiap-tiap mereke berbuat salah, haruslah dirotan 20 sampai 40 kali. Asal kita suka membajar 10 atau 12 ketip, budak itu boleh dihukum dihadapan pulisi dengan pukulan rotan. Tak usah kita menghadapi teriakannya tak usah pula kita dengarkan. Perkaaranya tidak diperiksa asal kita mengadu dan membajar, hukumannja sudah boleh dijalankan. Saja sendiri kemarin dulu telah menghukum budak 40 rotan Moeis, 1953: 53. Penyiksaan majikan kepada budak memposisikan budak bukan sebagai manusia, melainkan sebagai binatang. Budak tidak lagi didengar suara-suranya. Dalam penemuan Breman 1997: 213 di daerah Deli Sumatera, pembinatangan ini sebagai cara-cara majikan untuk menghilangkan identitas kemanusiaan dan mengingkari sifat-sifat manusia yang paling dasar dan setiap perlakuan terhadap mereka dapat dianggap legal dan sama sekali tidak perlu dipertanggungjawabkan. Fanon 2000: 269 memandang hal itu sebagai upaya penolakan secara sistematis terhadap orang lain dan adanya tekad untuk mengakui segala atribut kemanusiaan orang lain. Selain menyiksa budak secara fisik, majikan juga tidak mengakui pemikiran- pemikiran budak. Suzanne tidak mengakui bahwa si Untung bisa berpikir karena ia adalah budak. Sebagai mana budak, ia adalah bodoh dan tidak beradab. Pandangan seperti ini juga muncul pada diri Robert yang memandang Untung Surapati, pandangan Belanda kepada pribumi secara menyeluruh, hanyalah sebagai budak Djawa. Mereka tidak memiliki peradaban sebagaimana Belanda. Dalam pandangan Gouda 1995: 215, pandangan seperti itu adalah cara-cara Belanda yang memandang pribumi sebagai spesies yang belum berkembang atau sebagai reinkarnasi dari “diri’ orang Eropa Abad Pertengahan. Dalam pandangan Ashcroft 1998: 198, pandangan kolonial serupa itu bertolak dari ras. Dalam pandangan kolonial, kulit putihlah yang memiliki kedudukan yang paling tinggi. Oleh karena itu, ia mengakui dirinya sebagai kelas yang superior dan warna kulit lainnya adalah kelas inferior. Jean Chetian Baud dalam Houben, 2009: 71 menyatakan bahwa pertemuan antara kulit putih dan kulit berwarna selalu memunculkan peristiwa penaklukan. Dalam penaklukan, kulit putih selalu sebagai pemenang. Rasisme sebagai alat untuk mengukuhkan keunggulan diri penjajah Fritsch, 2001: 3. 2.2. Resistensi Budak terhadap Majikan Resistensi atau perlawanan dapat dilakukan dalam bentuk pasif dan radikal Ashcroft, 2001: 20. Resistensi dalam bentuk pasif sebagaimana disampaikan oleh Ashcroft dapat melebarkan cita-cita atau harapan, dan resistensi pasif ini dilakukan 218 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 dengan cara mimikri atau melakukan peniuruan. Peniruan yang dilakukan oleh pribumi seringkali ada dalam upaya mockery. Perilaku mimikri yang sekaligus mockery itu tampak pada diri si Untung. Ia belajar dari diri Suzanne sehingga ia menjadi sadar terhadap diri dan kaumnya sebagai kuam yang terjajah atau tertindas. Nasib budak-budak di kota Jakarta tak asing lagi baginya. Mendengar mereka disiksa oleh tuannya masing-masing, naiklah darahnya, dan ia pun tahu bahwa mereka itu menjadi budak, bukan karena menjual diri, melainkan telah jatuh menjadi korban daripada keganasan saudagar- saudagar budak, dan sebagai akibat dari peperangan- peperangan yang ditimbulkan oleh Kompeni di segala daerah yang hendak dikuasainya Moeis, 1965: 1 Penyadaran dirinya sebagai kaum yang tertindas membuat si Untung melawan. Ia menikahi Suzanne tanpa sepengetahuan Tuan edeleer Moor. Dalam pernikahan itu, si Untung melawan Tuan edeleer Moor dengan menikahi Suzanne. Dari perlawanan itu, Tuan edeleer Moor diruntuhkan kekuasaannya oleh si Untung. Tuan edeleer Moor kehilangan harapan untuk menikahkan anaknya dengan lelaki Belanda asli bernama Herman de Wilde. Sesuai dengan pernyataan Sharpe 1995: 99, si Untung dapat dikatakan sebagai mimic man yakni pihak yang menolak pribumi sebagai kelas subaltern. Ia melakukan peniruan terhadap cara-cara Belanda, misalnya menggunakan pangkat letnan ketika ia ingin ditangkap oleh pasukan kompeni di tengah Hutan. Dalam upaya menjaga diri dan hak miliknya, yakni Pangeran Purbaya, dan kawan-kawan seperjuangannya, ia mengakui bahwa dirinya sebagai tentara kompeni dengan berpangkat letnan. Si Untung melakukan itu dalam upaya untuk menjaga hak miliknya. Ashcroft 2001: 20 menyampaikan bahwa resistensi pasif seperti peniruan itu, dalam upaya mempertahankan identitas dan hak miliknya. Selain melakukan resistensi pasif, Si Untung melakukan resistensi radikal. ia melakukan perlawanan dengan melakukan pembunuhan terhadap tentara-tentara Belanda. Sebagaimana disampaikan oleh Lo and Gilbert 1998: 12, resistensi dilakukan secara terorganisir dalam upaya membebaskan diri dari penjajah. Dalam novel SdRAS, pengorganisasian itu dilakukan oleh si Untung bersama dengan Ki Ebun, dan Wirayuda di dalam sebuah penjara. Mereka menggalang persatuan kepada para budak dan para tahanan lainnya untuk menghancurkan kompeni. Setelah itu, mereka bergerak menuju kerajaan Kartasura, dan si Untung diberikan hak untuk memimpin sebuah kerajaan di Pasuruan. Sebagai seorang raja, si Untung sangat berani dan ditakuti kompeni. Akhirnya, ia mampu mempertahankan kekuasaannya dan mengalahkan kompeni pada saat mereka diserang oleh serdadu Belanda.

2.3. Sifat novel SdRAS