Minat Baca Sastra Masyarakat Rendah
114
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
tersebut dilandasi paling tidak oleh dua alasan. Pertama, film adalah karya bersama kolektif. Artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memimpin sekelompok
seniman dan teknisi dalam berbagai bidang. Dalam proses kerja, sutradara tidak dapat menghindar dari mengakomodasikan sumbangan pendapat dari berbagai pihak. Kedua,
film dibuat untuk orang banyak. Karena memperhitungkan selera massa itulah maka film tidak dapat jauh dari masyarakat penontonnya. Rasanya tidak mungkin seorang pemilik
modal berminat mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk memproduksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang hebat sekali pun jika secara logika teoretis tidak akan
diminati khalayak penonton atau masyarakat.
Kebanyakan sinema Indonesia belum dapat menjadi tontonan yang mampu memberikan hiburan sekaligus bermanfaat bagi pembangunan kultural. Mayoritas sinema
kita telah kehilangan daya teatrikalnya sebagai sebuah tontonan yang dramatik kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku karya
Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Karya, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno,
Naga Bonar dan Qiyamat Sudah Dekat karya Deddy Mizwar, Laskar Pelangi karya Riri Reza, Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo, Pengemis dan Tukang Becak, Pasir
Berbisik, dan Tiga Orang Perempuan.
Sebagai sarana komunikasi kultural, mayoritas sinema kita belum mampu menawarkan permasalahan-permasalahan yang inovatif, yang khas Indonesia, dan yang
sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikanintelektualitasnya terlebih dengan berlangsungnya
globalisasi. Inilah salah satu sebab mengapa sinema Indonesia banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat penontonnya yang kritis.
Dalam posisi film sebagai media pembangunan budaya bangsa, cukup banyak fenomena yang memprihatinkan. Membanjirnya film-film asing yang notabene sering
bertentangan dengan nilai budaya bangsa dan minimnya perfilman nasional yang memiliki nilai edukatif kultural, terlebih film anak-anak terakhir baru film Petualangan Sherina
2000 dan Yoshua Oh Yoshua 2000, merupakan realitas memprihatinkan sekaligus mencerminkan keterpurukan perfilman nasional. Seiring dengan itu, makin banyaknya
televisi swasta di Indonesia di samping TVRI membuat televisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan.
Sudah saatnya kita memikirkan film sastra yang memiliki nilai strategis sebagai media revitalisasi budaya bangsa, baik di institusi pendidikan sekolah, kampus maupun
di masyarakat tanpa harus memberi khutbah, menggurui dan mengindoktrinasi masyarakat. Permasalahannya adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan fungsi
kulturalnya; dan bagaimana peran kalangan sastrawan dan pendidik bekerja sama dengan para sineas untuk menciptakan film sastra dalam rangka pembangunan budaya
bangsa.