308
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
analysis untuk menggali data lebih mendalam agar hasil yang diperoleh dalam sebuah penelitian benar-benar maksimal.
Data penelitian ini merupakan unsur intrinsik pada karya sastra maka untuk mengumpulkannya digunakan teknik analisis struktural lanjut, yakni teori dekontruksi.
Dekontruksi berarti pengurangan intensitas kontruksi itu sendiri Kutha Ratna, 2007: 245. Artinya bahwa dalam mendekonsruksi strukturalisme adalah dengan cara
pembacaan berulang-ulang dengan cara mengurangi proporsi oposisi binner sehingga unsur dominan tidak melulu mendominasi unsur yang lain. Jelasnya, semua unsur yang
ada dalam teks; baik yang tersaji secara eksplisit maupun implisit diberikan perhatian secara imbang dan proporsional.
Pembacaan dekonstruktif membuka masuknya “kemungkinan lain” untuk menerjemahkan ulang epistimologi yang dibangun oleh teks. Artinya, konsep-konsep
pemikiran dalam tataran kultural simbolik selalu bisa didekonstruksi, karena mereka manifest dalam bahasa teks Audifax, 2007: 49. Dasar analisis dekonstruktif adalah
pandangan bahwa dalam ilmu-ilmu bahasa, sosial, dan filsafat akan dikepung oleh kontradiksi kategori pemikiran dan kategori bahasa pada hampir semua teks mati yang
dibaca Derrida, 2002: 41.
Analisis dekontruksi digunakan untuk melihat posisi kekuatan politik Jawa dan Kompeni Belanda dalam proporsi yang sama dan setara dengan jalan penundaan
pemberian makna konvensional dan pembedaan motif politik secara bersamaan untuk memberi kemungkinan tafsir lain terhadap teks.
HASI L DAN PEMBAHASAN A. Analisis Dekontruksi
Informasi awal tentang keberadaan orang Belanda di Jayakarta BTJ-S: 176 ditanggapi oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma dengan memerintahkan prajuritnya untuk
memperingatkan posisistatus Kompeni Belanda di Jawa dengan kekuatan militer. Menurut keterangan teks, pasukan bantuan yang dikirim Sultan Agung bukannya kalah,
melainkan memang mendapat perintah untuk menarik diri kembali ke Mataram. Naskah BTJ-S memberikan informasi bahwa Kompeni Belanda mulai ikut campur dalam
percaturan politik Jawa sejak pemerintahan cucu Sultan Agung, yaitu Susuhunan Amangkurat II yang kemudian bertahta di Istana Kartasaura. Bahkan Amangkurat II
terkenal sebagai anak Kompeni. Isu tersebut muncul karena Amangkurat menyandang gelar sebagai “Amangkurat Amral” dan suka berbusana layaknya para Kompeni. Kata
“Amral” merujuk pada kata “admiral”.
Terhitung sejak pemerintahan Amangkurat II inilah Kompeni mulai memainkan peranan penting dalam setiap kebijakan tata pemerintahan kerajaan Jawa Mataram.
Pembacaan teks secara apa adanya hanya akan sampai pada simpulan kebesaran Kompeni di hadapan Raja dan para bupati, adipati se-Jawa. Dalam analisis naskah BTJ-S,
hipogram dituntun oleh episode-episode yang tampil dalam teks. Satuan teks BTJ-S mewujudkan tema besar yang dibangun atas beberapa motif. Motif yang ditampilkan oleh
BTJ-S dalam batasan masalah kajian ini saja.
1. Motif Nujum
Motif nujum dalam BTJ-S ditampilkan dalam bentuk firasat. Firasat dalam pemahaman Jawa mengarah pada kebenaran tunggal, yakni sesuatu yang telah menjadi
309
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
kodratnya atau dengan kata lain “demikianlah yang sudah ditakdirkan” Jawa: Jangka, dan bukan dalam kategori ramalan. Jika diperhatikan, apa alasan Sultan Agung
Hanyakrakusuma untuk menarik mundur pasukan Mataram? Diceritakan bahwa pasukan Belanda di Jayakarta tinggal satu kompi saja ketika menghadapi serangan pasukan
Mataram. Sesungguhnya, apabila informasi ini benar, pasukan Mataram akan dengan mudah menumpas habis orang-orang Belanda yang juga dianggap sebagai orang kafir.
Penumpasan Kompeni oleh prajurit Jawa memiliki dua alasan, yakni 1 Belanda dianggap meresahkan teritorial Mataram, 2 sebagai orang yang dianggap kafir, orang-orang
Belanda sudah semestinya tidak diterima keberadaannya, mengingat Sultan sendiri adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin agama Islam.
Peristiwa penarikan pasukan perang Mataram yang dilukiskan oleh penulis Babad Tanah Jawi tersebut memberi wawasan bahwa Sultan Agung merupakan sosok bijak
sekaligus waskitha atau mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Setelah kejadian tersebut Belanda mengumpulkan orang-orangnya untuk pergi Ke Mataram memberikan hadiah-
hadiah kepada Sultan karena mendapat pengampunan BTJ-S:180. Setiap raja Jawa yang diceritakan dalam BTJ-S selalu memiliki kemampuan melihat masa yang akan
datang. Selepas pertempuran menggempur Jayakarta, Sultan Agung berkata kepada Pangeran Purbaya:
“Uwa, memang betul paduka bahwa kedatangan Belanda ke Jayakarta hanya untuk berdagang. Memang sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa
orang-orang Belanda itu kelak akan membantu pada anak turun saya, yang bertahta lestari sebagai raja. Jika kelak keturunan saya ada yang kalah
dalam peperangan, mereka akan ditolong oleh orang-orang Belanda” BTJ- S:179-180.
Penulis BTJ secara tidak langsung mengemukakan bahwa keberadaan Belanda di Jawa sangat dibutuhkan oleh para raja Mataram berikutnya untuk mempertahankan
kedaulatannya, maka sengaja oleh Sultan Agung dibiarkan tetap tinggal di Jayakarta Jakarta. Artinya bahwa keberadaan orang-orang Belanda di Jayakarta waktu itu tidak
dianggap sebagai ancaman bagi Mataram. Raja dianggap sebagai utusan Tuhan langsung, sehingga raja-raja Jawa ini memiliki kemampuan melihat masa depan, selain
juga para pertapa yang memiliki wawasan kodrati.
Penganti Sultan Agung adalah putranya yang bergelar “Kanjeng Susuhunan Mangkurat Senapati Inggalaga Ngabdurrahman Sayidinpanatagama” Mangkurat I. Awal
pemerintahannya semua masih berjalan lancar, namun setelah masa tuanya, putra mahkota bekerjasama dengan pemberontak Trunajaya untuk menggulingkan sang raja.
Pemberontakan Trunajaya berhasil membobol Mataram, namun pada akhirnya Trunajaya ingin menguasai Mataram sendirian. Menjelang wafatnya di pelarian daerah Banyumas,
Amangkurat I menyampaikan ‘nujumnya’ kepada putra mahkota sebagai berikut:
“…karena saya sudah tidak diizinkan oleh Allah untuk menjadi raja lagi…” BTJ-S: 223, “kelak setelah saya tiada, pergilah engkau meminta bantuan
orang Belanda…orang Belanda akan menang perangnya, semua anak
cucuku kelak, jik berteman dengan orang Belanda tentu akan menang perangnya…jangan lupa membawa teman orang Belanda” BJT-S: 224.
Bagi orang Jawa, semua yang terjadi adalah “kehendak Allah”. Artinya bahwa orang Jawa pasca Hinduisme masih menganut faham jangka, yakni kehendak terpusat dari Allah yang
310
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
telah diisyaratkan kepada beberapa orang linuwih. Dengan kata lain, keberadaan VOC di Jawa merupakan rencana besar cosmic untuk merintis berdirinya NKRI. Perkara terkait
termasuk dalam faham kosmologi Jawa.
Motif nujum seperti di atas sering ditampilkan dalam tiap-tiap episode dalam teks BTJ-S, mulai dari episode pertama sampai pada episode-episode terakhir. Pada masa
pemerintahan Amangkurat II sampai pada keturunannya, Belanda memang memegang peranan penting dalam kebijakan yang diambil oleh kerajaan. Geanologi dengan motif
nujum tersebut harus difahami dalam kerangka sastra, bukan kerangka sejarah, mengingat bahwa dalam sastra sejarah babad menampilkan keunikan-keunikan budaya
dalam ketiga aspeknya, yaitu benda hasil karya, perilaku sosial, dan cara berfikir masyarakat Koentjaraningrat, 1984:5-6.
2. Motif Politik Mutualisme