156
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Uraian di atas menunjukkan bahwa Putri adalah ada yang dihapus yang kemudian dimunculkan kembali. Dengan keadaan serupa itu, Putri adalah sosok ada yang berkedip
antara ada dan tiada. Dalam cerpen ”Kolam Merah” diceritakan bahwa Ayah adalah seorang pengusaha
yang memiliki banyak sekali perusahaan di Jakarta. Suatu ketika Ayah meminta ijin kepada ibu untuk menikah lagi dengan seorang pramugari yang masih muda. Ketika Ayah
dan istri mudanya masuk ke dalam rumah dan kemudian masuk ke dalam kamar, anak- anak istri pertamanya berusaha melabraknya dan kemudian mendobrak pintu kamar itu.
Namun, ketika pintu didobrak, Ayah dan istri mudanya sudah tidak ada di kamar padahal semua jendelanya masih terkunci dengan rapi. Ketika saya membuntuti Ayah yang naik
mobil, mobilnya berhenti tetapi Ayah tidak turun-turun. Ketika saya bertanya pada sopirnya, sopirnya bilang Ayah sudah masuk ke kantornya sejak tadi. Demikianlah, ketika
saya mengejar ke manapun pergi, ternyata Ayah selalu menghilang dan tidak bisa ditemukan. Ayah selalu berada dalam penghapusan terus-menerus.
Dalam cerpen ”Percintaan dengan Pohon” Danarto, 2001: 66—72 diceritakan tentang sebuah pohon yang ada lubangnya di sebuah desa. Lubang itu bisa melahap apa
saja yang masuk ke dalamnya. Bahkan, lubang pohon itu juga pernah menyedot manusia dan orang itu lenyap tak kembali lagi. ”... seorang tersedot ke dalam lubang pohon yang
menganga di akar pohon itu, dan lenyap tak pernah kembali Danarto, 2001: 67. Yang lebih mengerikan lagi, lubang pohon itu juga telah digunakan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk melakukan pelenyapan orang lain.
Keanehan pohon itu telah menimbulkan kegemparan pada warga. Banyak orang berduyun-duyun datang ke desa itu. Desa tempat pohon itu berada pun kemudian
menjadi tempat wisata. Desa itu menjadi ramai dalam setiap harinya. Bahkan, di desa itu juga berdiri sebuah pondok pesantren. Namun, suatu saat ketika Bapak Gubernur berniat
menengok pohon ajaib itu tak ada satu pun orang di sekitar pohon itu. Orang-orang itu lenyap entah ke mana. Tersedotnya semua benda, dan bahkan juga manusia oleh lubang
pohon di desa itu merupakan wujud ada yang dihapus.
Dalam cerpen ”Garasi” Danarto, 2001: 79—91 diceritakan mengenai lenyapnya orang-orang dan barang-barang yang masuk dalam garasi rumah. Orang-orang itu adalah
Ayah, sopir Ayah, dua orang polisi, sopir ibu, ibu. Barang-barangnya meliputi tiga mobil, kursi, dan sebuah benda lain. Misteri itu berusaha disingkap oleh aku, tetapi tidak
berhasil. Namun, di akhir cerpen diceritakan, ketika tiba-tiba diangkat oleh malaikat untuk meninggalkan dunia ini, aku melihat orang-orang yang ada di dalam garasi itu sedang
berpesta pora dan garasi itu telah dibangun menjadi ruang yang mewah dan baunya wangi.
Lenyapnya orang-orang dan benda-benda yang masuk ke dalam garasi dan dari sudut aku yang dituntun malaikat orang-orang dan benda-benda itu tidak lenyap,
menunjukkan terjadinya kedipan ontologis antara ada dan tiada.
4. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Danarto cukup kuat mengeksplorasi dua strategi penghapusan diri, yaitu penghapusan peristiwa dan
penghapusan ada. Penggunaan dua strategi penghapusan diri itu telah menandai cerpen- cerpen Danarto sebagai cerpen pascamodern.
157
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Danarto. 1982. Adam Ma’rifat, Jakarta: Balai Pustaka. ______. 1987. Berhala, Jakarta: Pustaka Firdaus.
______. 1993. Gergasi, Jakarta: Pustaka Firdaus. ______. 2001. Setangkai Melati di Sayap Jibril, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction, Oxford: Basil Blackwell. Ingarden, Roman. 1973. The Literary Work of Art An Investigation on the Borderlines of
Ontology, Logic, and Theory of Literature, diterjemahkan dari Das Literarische Kunswerk oleh George G. Grabowich, Evanston: Northwestern University Press.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Jakobson, Roman. 1994. “The Dominant”, Language in Literature, Krystyna Pomorska, ed., cet. ke-5, United States of America: The Jacobson Trust.
McHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction, London and New York: Routledge. ______. 1992. Constructing Postmodernism, London and New York: Routledge.
Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism,
second edition, Athens: The University of Georgia Press. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, diterjemahkan dari A
Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory oleh Rachmat Djoko Pradopo dan disunting oleh Imran T. Abdullah, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature, fourth printed, New York: A
Harvest Book Harcourt, Brace and Company.
158
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
SASTRA I NDONESI A DAN PERSOALAN BANGSA: MEMPERTI MBANGKAN
PENULI SAN ULANG SEJARAH SASTRA
44
Oleh Yoseph Yapi Taum
Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Abstract
Kesusastraan bukanlah sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga ekspresi dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.
Kesusastraan adalah saksi zaman dan menjadi bagian terpenting dari formasi kebudayaan. Akan tetapi, sejarah kesusastraan Indonesia yang ditulis selama ini merupakan sejarah sastra yang telah
diseleksi agar sesuai dengan ideologi kesenian tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan ideologi kekuasaan yang sedang berlaku. Pakar sejarah sastra seperti H. B. Jassin 1953, Nugroho
Notosusanto 1963, Ajib Rosidi 1973, Rachmat Djoko Pradopo 1995, Jacob Sumardjo 1992, dan Yudiono KS 2007 belum mempertimbangkan domain-domain kesusastraan Indonesia yang
bertentangan dengan hasrat kekuasaan.
Selama bertahun-tahun, sejak kemerdekaan bangsa kita, sejarah kesusastraan Indonesia menyisihkan diri dari persoalan historis bangsanya dan menempati wilayah nyaman dalam domain
estetika humanisme universal yang ahistoris. Sebagai ilustrasi, ada dua kelompok sastra yang disisihkan dari sejarah kesusastraan Indonesia, yaitu kelompok sastra “Batjaan Liar” dan “Sastra
Lekra”. Kalaupun disebutkan, selalu diduplikasi pernyatan bahwa kedua jenis kesusatraan itu tidak memiliki ‘estetika’ sehingga tidak dapat dimasukkan dalam kanon sastra Indonesia. Akibatnya,
kontribusi kesusastraan pada kehidupan berbangsa tidak terlihat dan para sastrawan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari cendekiawan Indonesia yang terlihat dalam persoalan-persoalan
hidup bangsa. Makalah ini bertujuan mengajukan sebuah alternatif penulisan sejarah sastra Indonesia yang baru, yang mempertimbangkan domain diskursif kesusastraan dalam formasi-formasi
diskursif zamannya. Dengan demikian, sastra Indonesia terlibat dalam persoalan-persoalan bangsa.
Kata Kunci
: sejarah sastra, formasi diskursif, new historicism.
1. Pengantar
Dalam Rethinking Literary History: A Dialogue on Theory 2002, Valdes dan Hutcheon menegaskan perlunya memikirkan ulang sejarah sastra karena dua hal, yaitu
munculnya paradigma metodologis yang baru dalam memandang kesusastraan serta terbukanya kemungkinan baru karena berubahnya konteks sosial masyarakat. Perubahan
paradigma dapat berakibat berubahnya penulisan sejarah sastra secara sangat signifikan.
45
Memikirkan ulang to rethink bukan hanya sekadar merevisi, mengoreksi,
44
Makalah dibawakan dalam Konferensi I nternasional Kesusastraan XXI I, tanggal 7 – 9 November 2012 di Universitas Negeri Yogyakarta UNY, bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan
I ndonesia HI SKI.
45
Dalam sejarah sastra Barat, sejarah sastra pernah ditulis berdasarkan gerakan internasional romantisisme, simbolisme, ekspresionisme, avant-garde, dan postmodernisme; berdasarkan wilayah
geografis linguistik bahasa-bahasa Eropa, bahasa-bahas Afrika, atau periodisasi historis kultural periode renaisans, periode barok, periode modern, dan periode postmodern.
159
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
dan mengajukan alternatif yang lain. Memikirkan ulang adalah secara serius merefleksikan kembali sejarah sastra dengan perhitungan yang lebih cermat.
Alasan utama perlunya dikaji dan ditulis ulang sejarah sastra Indonesia. Pertama, asumsi mengenai sastra dalam ilmu sastra telah mengalami kemajuan yang signifikan.
Greenblatt 2005: 6-7 dalam “The Touch of the Real” menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara
mengintensifkan dunia tunggal single realm yang kita huni ini. Sastra, menurut Greenblatt, tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik pada
sebuah periode yang sama karena sastra menjadi bagian di dalamnya.
46
Hal ini demikian karena sastra berkaitan erat dengan jaringan praktik material.
Tulisan ini memiliki dua tujuan, yakni 1 memberikan sebuah evaluasi terhadap penulisan sejarah sastra yang sudah dilakukan selama ini, dan 2 mengusulkan sebuah
ikhtisar sejarah sastra yang baru, yang mempertimbangkan sastra sebagai domain diskursif yang memebntuk totalitas diskursus bangsa.
Dalam tulisan ini, sastra dipandang sebagai produk budaya yang menjadi bagian dari formasi-formasi diskursif yang bersama-sama membentuk formasi diskursif pada
sebuah fase historis tertentu. Penempatan teks-teks sastra dalam formasi diskursif zaman merupakan persoalan penting dalam perspektif pendekatan ‘arkeologi’ dan ‘diskursus’
Foucault. Formasi-formasi diskursif, menurut Foucault, adalah kelompok-kelompok pernyataan yang memiliki aturan, korelasi, posisi, atau fungsi sebagai penentu
keragaman. Sebuah formasi diskursif merupakan sebuah sistem keragaman system of disperse.
Diskursus-diskursus dan sifatnya yang penuh dengan diskontinuitas dan dispersif itu disatukan oleh sebuah praktik diskursif yang memunculkan episteme yang mengatur
totalitas hubungan interconnection dalam sebuah periode. Episteme bisa ditemukan di antara berbagai ilmu pengetahuan ketika orang menganalisis formasi-formasi diskursif
untuk menemukan regularitas diskursus Foucault, 1972: 191-192. Regularitas itu ditentukan terutama oleh pemangku kekuasaan yang merupakan regim kebenaran: apa
yang boleh dan tidak boleh diungkapkan dalam batas-batas diskursus tertentu.
2. Penulisan Sejarah Sastra Terdahulu
Beberapa pakar sejarah sastra yang pernah mengajukan pandangannya tentang periodisasi sastra Indonesia adalah: H. B. Jassin 1953, Nugroho Notosusanto 1963,
Ajib Rosidi 1973, Rachmat Djoko Pradopo 1995, Jacob Sumardjo 1992, dan Yudiono KS 2007.
47
Periodisasi sejarah sastra Indonesia yang dilakukan H. B. Jassin 1953 dan 1967 adalah sebagai berikut.
A. Sastra Melayu Lama
B. Sastra Indonesia Modern:
1. Angkatan 20
46
Dalam kata-kata Stephen Greenblatt 2005: 6-7 sendiri, “Such a statement appears to welcome the collapse of the working distinction between the aesthetic and the real; the aesthetic is not an alternative
realm but a way of intensifying the single realm we all inhabit.
47
Perjalanan sejarah sastra, antara sejarah prosa dan sejarah puisi seringkali dapat beriringan tetapi seringkali pula berbeda bahkan berseberangan. Karena itu, menurut hemat saya, lebih baik jika sejarah sastra
dipisahkan antara sejarah puisi dan sejarah prosa.
160
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
2. Angkatan 33 Pujangga Baru
3. Angkatan 45
4. Angkatan 66
Tampak dalam pembagian itu bahwa Jassin tidak secara jelas menyebutkan periode kesusastraan, tetapi langsung menyebutkan “angkatan” kemudian memberikan
gambaran mengenai ciri-ciri angkatan itu. Istilah “angkatan” adalah istilah yang hanya digunakan oleh H.B. Jassin. Para pakar lainnya lebih menggunakan istilah ‘periode.’
Nugroho Notosusanto 1963 mengemukakan periodisasi sastra Indonesia yang tidak jauh berbeda dari periodisasi yang dibuat H. B. Jassin. Secara umum dia membagi
sejarah sastra Indonesia atas dua bagian besar, yaitu sastra lama dan sastra modern. Perbedaannya, Nugroho Notosusanto lebih memperinci sastra Indonesia modern atas dua
bagian, yakni masa kebangkitan dan masa perkembangan, yang masing-masingnya dibedakan lagi atas beberapa periode. Selengkapnya pembagian Nugroho Notosusanto
sebagai berikut.
I. Sastra Melayu Lama
II. Sastra Indonesia Modern:
A. Masa Kebangkitan 1920-1945
1. Periode ‘20
2. Periode ‘33
3. Periode ‘42
B. Masa Perkembangan 1945 – sekarang
1. Periode ‘45
2. Periode ‘50
Nugroho Notosusanto menggunakan istilah “periode” tetapi sebenarnya dia mengacu kepada pengertian “angkatan” seperti yang telah dikemukakan oleh H.B. Jassin.
Periode waktu seharusnya menunjukkan secara jelas kurun waktu tertentu di mana hidup dan berkembang karya-karya sastra yang memiliki ciri-ciri intrinsik yang sama. Nugroho
Notosusanto hanya menyebutkan periode yang ditandai oleh sebuah angka tahun. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah ciri-ciri sebuah ‘angkatan’.
Ajib Rosidi tidak melakukan pembaharuan yang penting dan signifikan. Ia tidak membedakan antara ‘sastra lama’ dan ‘sastra modern’. Bagi Ajib Rosidi, pembabakan
sejarah sastra lebih dipandang sebagai suatu kontinuitas. Atas dasar itulah, ia membaginya sebagai berikut.
I. Masa Kelahiran Kebangkitan 1900-1945
1. Periode awal hingga 1933
2. Periode 1933 – 1942
3. Periode 1942 - 1945
II. Masa Perkembangan 1945-sekarang
1. Periode 1945 – 1953
2. Periode 1953 – 1961
3. Periode 1961 – sekarang
Ajib Rosidi menggunakan istilah periode dalam pengertian sebagai sebuah kurun waktu tertentu yang dibatasi dengan cukup jelas. Hal yang menarik dari pembagian Ajib
Rosidi adalah konsistensinya dalam menyebut periodisasi sastra sebagai sebuah kurun waktu tertentu tanpa menyebut adanya angkatan-angkatan sebagai pengelompokkan
161
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
sastrawan-sastrawan yang memiliki kesamaan ciri intriksik dalam karya-karya mereka. Hal yang terakhir ini menjadi kelemahan dalam pembagian yang dilakukan Ajib Rosidi.
Periodisasi yang dilakukan oleh Rachmat Djoko Pradopo didasarkan pada ciri-ciri intrinsik yang terdapat dalam setiap periode. Berdasarkan hal itu, ia mengusulkan
periodisasi sebagai berikut. 1.
Periode Balai Pustaka 1920 – 1940 2.
Periode Pujangga Baru 1930 – 1945 3.
Periode Angkatan 45 1940 – 1955 4.
Periode Angkatan 50 1950 – 1970 5.
Periode Angkatan 70 1965 – sekarang. Jelas terlihat bahwa pembagian yang dilakukan Rachmat Djoko Pradopo kembali
menggabungkan antara periodisasi dengan angkatan. Ia bahkan menyebutkan nama sebuah periode dengan angkatan tertentu, yang belum tentu menjadi satu-satunya wakil
dari periode tersebut. Rachmat Djoko Pradopo menggabungkan istilah periode dan angkatan, misalnya dengan menyebut ‘Periode Angkatan 45’.
Periodisasi yang dilakukan Jacob Sumardjo 1992 secara langsung menyebut nama ‘angkatan’ tanpa mengacu pada periode waktu tertentu. Hal yang menarik dari
pembagian Jacob Sumardjo adalah uraiannya yang cukup luas mengenai konteks sejarah yang melingkupi lahirnya sebuah ‘angkatan’. Jacob Sumardjo tidak menyebut istilah
periode, angkatan, ataupun masa. Ia langsung menyebutkan, misalnya sastra Balai Pustaka. Pembagian yang dilakukannya sebagai berikut.
1. Sastra Awal termasuk sastra Melayu Rendah, Melayu Rendah Tionghoa
2. Sastra Balai Pustaka
3. Sastra Pujangga Baru
4. Sastra Angkatan 45
5. Sastra Generasi Kisah.
Periodisasi yang paling baru dilakukan oleh Yudiono K.S 2007. Yudiono membagi periode sastra Indonesia atas empat masa, yaitu:
1. Masa Pertumbuhan 1900 – 1945: Balai Pustaka dan Pujangga Baru
termasuk dalam masa pertumbuhan. 2.
Masa Pergolakan 1945-1965: Sastra Lekra dan Majalah Kisah termasuk dalam masa pergolakan.
3. Masa Pemapanan 1965 – 1998: Sastra Majalah Horison.
4. Masa Pembebasan 1998 – sekarang: Sastra Pembebasan.
Periodisasi yang dilakukan oleh Yudiono K. S merupakan sebuah pembabakan sejarah sastra yang cukup menarik. Di dalam periode waktu yang dipatiknya, terdapat
angkatan-angkatan yang merupakan pengelompokkan sastrawan berdasarkan kemiripan ciri-ciri intrinsik karya-karaya mereka. Keberatan utama terhadap model pembagian
Yudiono K.S adalah pemberian nama pada periode atau masa menjadi Masa Pertumbuhan 1900 – 1945, Masa Pergolakan 1945-1965, Masa Pemapanan 1965 – 1998, dan
Masa Pembebasan 1998 – sekarang.
3. Penulisan Ulang Sejarah Sastra I ndonesia
Pembagian yang dilakukan Yudiono KS merupakan sebuah model pembagian yang baru, yang tidak mengikuti model-model pembagian terdahulu. Idenya benar-benar
162
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
orisinal dan kreatif. Sayang sekali upanya yang seperti memaksakan kehendak dengan memberikan sebuah masa atau periode dengan nama tertentu seperti orang
memberikan cap pada sebuah angkatan mengaburkan makna pembagian yang sudah dengan baik dilakukannya.
Penamaan ‘masa pemapanan’ dan ‘masa pembebasan’, misalnya, akan menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, karya-karya sastra pada tahun 1966 – 1970
yang dalam pembagian Yudiono termasuk dalam masa pergolakan banyak memiliki ciri sebagai sastra pembebasan, yaitu sebuah upaya membebaskan manusia dari berbagai
pengekangan kekuasaan yang sewenang-wenang. Apakah semua jenis sastra yang terbit pada tahun 1966 – 1970 harus memikul beban penamaan sebagai sastra pergolakan?
Bukanlah tidak lebih baik jika sebuah periode itu ditandai hanya oleh sebuah kurun waktu tertentu, dan jika ada kelompok karya sastra yang memiliki kemiripan cara berekspresi
dan isinya dapat dikategorikan ke dalam angkatan tertentu?
Di dalam melakukan penulisan terhadap sejarah sastra, seringkali digunakan istilah “angkatan” misalnya Angkatan 65 dan “periode” misalnya Periode Balai Pustaka.
Kedua istilah itu seringkali digunakan secara bergantian dengan makna yang tumpang tindih untuk menyebutkan persoalan yang sama. Akibatnya banyak orang tidak bisa
membedakan kedua istilah tersebut. Sebaliknya kedua istilah tersebut kadang-kadang dipandang memiliki pengertian yang sama.
Sebaiknya kedua istilah itu dipahami dengan baik dan benar agar dapat dipergunakan secara tepat. Istilah periode sastra merupakan sebuah istilah untuk
menyebut perkembangan sejarah sastra dari sebuah masa ke masa yang lain. Seperti diungkapkan Renne Wellek lihat Pradopo, 1995: 2, periode sastra adalah sebuah ‘kurun
waktu’ yang dikuasai oleh norma-norma sastra atau standar-standar konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat
dirunut. Sedangkan istilah “angkatan” sebenarnya mengacu pada ‘orang’ atau sekumpulan sastrawan yang hidup dalam sebuah kurun waktu tertentu Pradopo, 1995:
2. Para sastrawan itu diklasifikasikan ke dalam sebuah angkatan karena memiliki kesamaan visi, gagasan, semangat, dan ideologi kreatif yang tertuang dalam karya-karya
sastra yang dihasilkannya. Karena itulah, dalam sebuah periode sastra, bisa terdapat lebih dari satu angkatan atau kelompok sastrawan. Seperti halnya di kalangan Angkatan
Bersenjata, terdapat empat angkatan yang masing-masingnya memiliki kesamaan visi, misi, dan strategi kerja, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan
Kepolisian. Mereka hadir dalam sebuah periode waktu yang sama tetapi dengan fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda.
Saya sendiri berpendapat bahwa periodisasi sastra sebaiknya mengacu kepada timeline saja tanpa dibebani dengan nama-nama tertentu yang jelas akan membatasi
periode yang luas itu. Untuk mendapatkan sebuah sejarah sastra yang lebih memadai, diperlukan sebuah projek penelitian yang lebih mendalam dan meluas. Studi ini
memberikan kontribusi yang terbatas, yaitu pada sastra Indonesia Periode 1950-1960. Dapat dikatakan bahwa tulisan ini merupakan sebuah ajakan untuk membuka kembali
sebuah diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia daripada sebuah solusi.
Saya mengusulkan penulisan ulang sejarah sastra Indonesia dengan pembagian sebagai berikut.
163
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Tabel 1 Usulan Nama Periode dan Angkatan dalam Puisi Nama Periode
Nama Angkatan dalam Puisi
. Periode 1900 - 1933
a. Angkatan Balai Pustaka
b. Angkatan Pengarang Liar
. Periode 1933 - 1942
Angkatan Pujangga Baru
. Periode 1942 - 1945
Angkatan Jepang
. Periode 1945 - 1953
a. Angkatan Chairil Anwar
. Periode 1950 - 1965
a. Angkatan Lekra
b. Angkatan Manikebu
. Periode 1966 - 1970
a. Angkatan Sastra Demonstran 66
b. Angkatan Sastra Imajis
. Periode 1970 - 1980
a. Angkatan Sutardji Calzoum Bacri b. Angkatan Penyair Mbeling
. Periode 1980 - 2000
Angkatan yang disebutkan dalam satu periode belum bisa dikatakan sebagai satu- satunya wakil sastra yang sah bagi periode sastranya. Masih diperlukan kajian yang
mendalam sebelum dilakukan pembakuan ‘ilmu sejarah sastra Indonesia’. Pembakuan atau kanonisasi penting artinya bagi kemajuan ilmu sejarah sastra, agar para pakar tidak
hanya berhenti pada satu titik yang sama dan mempersoalkan hal yang sama secara terus-menerus. Jika hal terakhir ini terjadi, maka akan terjadi involusi ilmu pengetahuan.
Mengingat keterbatasan tempat, tulisan ini hanya membahas dua periode sastra, yakni sastra Periode 1900 – 1933 dan Periode 1950-1965.
4. Sejarah Sastra I ndonesia yang Baru: Dua Kasus 4.1 Sastra Periode 1900 – 1933