Strategi Penghapusan Diri dalam Cerpen-Cerpen Danarto

151 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 secara eksplisit ditempatkan sous rature, dan 4 penghapusan pengakhiran. Tulisan ini hanya membahas strategi penghapusan diri yang 1 dan 2.

3. Strategi Penghapusan Diri dalam Cerpen-Cerpen Danarto

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tulisan ini akan membahas cerpen- cerpen Danarto. Hal itu karena cerpen-cerpen Danarto cukup kuat mengedepankan strategi penghapusan diri. 3.1 Penghapusan Peristiw a Sesuatu Terjadi Penghapusan peristiwa yang terjadi something happened mengedepan dalam cerpen ”Lahirnya Sebuah Kota Suci” Danarto, 1982: 62—65 dan “Panggung” Danarto, 1987: 13—21. Dalam cerpen “Lahirnya Sebuah Kota Suci” diceritakan bahwa di Kotagede, sebuah wilayah yang berada lima kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta ada sebuah rumah milik tukang jam. Di dalam rumah itu terdapat sebuah kamar yang di atas papan nama bergantung lonceng tua, lonceng saku berantai yang besar yang merupakan hasil karya tukang jam itu. Orang-orang yang masuk ke dalam kamar itu merasakan keajaiban. Mereka yang memasuki kamar yang di dinding bagian atasnya ada lonceng tua itu juga mengalami keajaiban. Keajaiban itu mengacu pada terhapusnya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pikiran yang baru saja dialami yang kemudian digantikan oleh peristiwa lain. Kami juga melihatnya. Tapi entahlah. Seperti ... o, hiya aku ingat, seperti ... jelas sekali. Seperti ... Ah, sulit kami menyebutnya. Apa itu? Aku melihatnya. Aku telah melihatnya. Nanti dulu. Pikiran kami saling berebut dengan perasaan kami. Lihatlah seribu, o, bukan, lebih banyak lagi, puluhan ribu jantung layang-melayang saling sergap melawan puluhan ribu gerombolan otak. O, bukan. Bukan semuanya. Bukan itu. Bukan itu. Ya, bongkahan-bongkahan bermunculan. Semuanya melihat bongkahan itu. Ia seperti ... Ah, bukan juga. Bukan itu. Danarto, 1982: 62 Pada paragraf pertama disebutkan bahwa ’aku’ telah melihat suatu peristiwa. Peristiwa itu, seperti disebutkan pada paragraf kedua, adalah seribu jantung layang-melayang saling sergap melawan seribu gerombolan otak. Namun, peristiwa itu kemudian dihapus dengan pernyataan bahwa jumlahnya bukan seribu, tetapi puluhan ribu. Pernyataan yang terakhir itu pun dihapus lagi dengan pernyataan bahwa semuanya itu ’bukan’; yang terlihat bukan peristiwa puluhan ribu jantung saling sergap melawan puluhan ribu gerombolan otak, tetapi bongkahan-bongkahan, suatu ada. Terjadi penghapusan peristiwa yang kemudian digantikan dengan objek. Ternyata objek itu juga dihapus dengan pernyataan bukan. Peristiwa dan objek yang dihapus yang berlangsung terus-menerus seperti terurai di atas terus berlanjut pada paragraf berikutnya. Bila uraian di atas menggambarkan penghapusan peristiwa dan objek, kutipan di bawah ini menggambarkan penghapusan lokasi, yang kemudian diikuti dengan penghapusan peristiwa. 152 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 ”Aku kenal tempat ini,” begitu teriak kami tiba-tiba secara serempak. Tapi secepatnya kami teriak kenal, secepat itu pula kami tak mengenalnya kembali. Secepat kami sadar, secepat itu pula kami tak sadar. Kami melingkar bersama. Melingkari lonceng itu. Tapi kami sebenarnya tak melingkarinya. Kami tersebar. Kami berjalan, meskipun kami sebenarnya bukan berjalan. Kami melayang agaknya ini lebih tepat. Ternyata atas dan bawah sama saja: tidak ada. Danarto, 1982:62 Masing-masing dari kami, yaitu aku, mengatakan secara bersama-sama, ”Aku kenal tempat ini.” ”Tempat ini”, yang menunjuk pada lokal tertentu kemudian dihapus dengan pernyataan ”kami tak mengenalnya kembali”. Kata ’mengenal’ yang prosesnya berkenaan dengan indra penglihatan, yang berarti pula ”kami melihat tempat itu” kemudian dinaikkan ke level yang lebih abstrak, yaitu persoalan kesadaran. Muncullah pernyataan ”Secepat kami sadar, secepat itu pula kami tak sadar”. Dalam pernyataan itu, penghapusan yang terjadi bukan berkenaan dengan lokal, tetapi peristiwa, yaitu peristiwa menyadari. Pada paragraf berikutnya terjadi penghapusan lagi, yaitu pada level aktivitas. ”Kami melingkar bersama. Melingkari lonceng itu. Tapi kami sebenarnya tak melingkarinya.” Dalam pernyataan itu terkandung sekaligus dua penghapusan: pertama, penghapusan peristiwa, yaitu kami melingkari; kedua, penghapusan objek, yaitu lonceng. Namun, penghapusan yang terwujud dalam pernyataan ”kami sebenarnya tidak melingkarinya” juga dihapus. Yang terjadi adalah ”Kami tersebar”. Tersebar dimaksud adalah berjalan. Namun, ”Kami berjalan” pun dihapus karena ”Kami sebenarnya bukan berjalan”, tetapi melayang. Narasi penghapusan di atas ternyata masih terus berlanjut. Pada paragraf berikut tergambarkan penghapusan peristiwa. Di dalam kenyamanan inilah memancar keheningan yang mutlak menguasai kita. “Aku tak ingin kembali. Aku tak ingin kembali,” teriak kami serempak, yang lalu disusul teriakan berikutnya: “Aku harus kembali. Aku harus kembali.” Kenapa susah amat mengendalikan semuanya itu. Danarto, 1982: 63 Kami yang tidak ingin kembali dihapus dan kemudian digantikan dengan kami harus kembali. Penghapusan peristiwa, objek, atau lokal yang satu oleh peristiwa, objek, atau lokal yang terjadi secara berulang di atas telah memunculkan kedipan ontologis. Terjadi kegandaan dan bahkan pluralitas ontologis berkenaan dengan peristiwa, objek, dan lokal 43 . Berbeda dengan penghapusan dalam cerpen ”Lahirnya Sebuah Kota Suci” yang dinarasikan dideskripsikan dalam satu atau dua kalimat hingga dalam beberapa paragraf, 43 Sengaja ur aian mengenai penghapusan di atas sekaligus ber kenaan dengan per istiw a, objek, dan lokal kar ena dalam data kutipan yang dianalisis memang ter dapat penghapusan ketiganya dan penghapusan itu saling melintasi: per istiw a dihapus oleh objek atau lokal, dan sebaliknya. Oleh kar ena itu, penghapusan objek dan lokal yang sama tidak dilakukan pada subbagian penghapusan ada. 153 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 penghapusan dalam cerpen “Panggung” Danarto, 1987: 13—21 tergambarkan dalam keseluruhan ceritanya. Pembaca akan mengetahui bahwa di dalamnya pengarang menggunakan strategi penghapusan diri bila sudah membaca keseluruhan cerita. Karena surat-surat kaleng yang diterimanya berisi keburukan Ayah, saya pun kemudian sangat membenci Ayah. Puncak dari kebencian itu saya wujudkan dengan menembak Ayah hingga mati. Saya kemudian dipenjara. Ketika mayat Ayah dikuburkan, saya dengan dikawal dua orang pengawal diberi kesempatan menghadiri upacara pemakaman Ayah. Ternyata, peristiwa pembunuhan itu oleh ibu dikatakan hanya sebuah sandiwara belaka. Pembunuhan yang ’saya’ lakukan itu tidak pernah terjadi. Saya sendiri kemudian mengetahui bahwa Ayah memang belum mati. Sangkaan saya selama ini bahwa Ayah telah mati ternyata tidak benar. Pemakaman Ayah yang saya saksikan sendiri juga tidak pernah terjadi. Semuanya cuma aktor-aktor dan dekor yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan oleh Ibu dengan jempolan. Ibu membimbing saya masuk kamar. Lalu kami berdua saja. “Jadi saya tidak membunuh Ayah?” tanya saya. “Tak pernah. Dan tak akan pernah kamu bisa membunuhnya,” jawab ibu. Danarto, 1987: 19—20 Apa yang pernah saya lakukan, yaitu menembak Ayah yang kemudian saya menyangkanya sudah mati dihapus. Pemakaman Ayah yang saya saksikan sendiri juga dihapus. Semua peristiwa itu sebenarnya tidak pernah terjadi dan hanya merupakan sandiwara belaka. Penghapusan peristiwa-peristiwa itu berdampak pada terjadinya kedipan ontologis: peristiwa-peristiwa itu berada dalam situasi antara terjadi dan tidak terjadi.

3.2 Penghapusan Ada Sesuatu Ada