207
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
otentik authentic values. Baginya, di mana suatu masyarakat terdegradasikan, di sana akan lahir karya atau novel, yang novel itu sendiri diciptakan dalam rangka pencarian
nilai-nilai otentik.
Dalam novel-novel Toer dapat diketahui betapa banyaknya kekerasan kemanusiaan terjadi di lingkungan di mana ia hidup. Kekerasan ini disebabkan oleh banyak
kepentingan, yang menurut Toer seharusnya tak terjadi di tengah bangsa ini. Namun, kekerasan kemanusiaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa justru
melanggar hak-hak individu, sipil, sehingga rakyat menderita di tengah bangsanya sendiri Manuaba, 2003. Dikatakan demikian, karena dengan kekuasaan orang melakukan
perampasan atas hak-hak sipil warga bangsa.
Pencarian nilai-nilai kemanusiaan otentik inilah yang senantiasa mewarnai karya- karya Toer, yang dituliskannya secara konsisten sebagai kekuatan dalam karya-karyanya.
Dalam bingkai aliran realisme, yang oleh Toer dipadukan dengan latar sejarah yang amat kuat, Toer bertutut tentang segala ketimpangan dan kebejatan penguasa. Di dalam
karya-karya yang ditulisnya, Toer mencoba mengungkap dan mengeskspresikan segala kejadian yang dialaminya sebagai bagian dari pengalaman bangsanya. Dengan demikian,
karya-karya Toer juga merupakan pengalaman sejarah yang dialaminya sendiri yang merupakan bagian dari potret sejarah bangsa Indonesia. Ia mencoba mengungkap segala
apa pun yang dianggapnya sebagai kejadian yang harus diketahui generasi bangsanya.
Refleksi Nilai- nilai Kemanusiaan dalam Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
1. Refleksi melalui Peristiw a Tokoh dalam Gadis Pantai
Gadis Pantai merupakan salah satu karya Toer yang berupa roman keluarga, yakni tentang nenek dari garis ibunya. Gadis Pantai dengan Sang Pemula dulu pernah
diberangus karena dinilai menyebarluaskan ajaran marxisme dan lelinisme yang terlarang terutama ketika rezim Orde Baru. Kendati karya ini baru diterbitkan setelah karya
tetraloginya, namun sesungguhnya karya ini sudah ada sebelum karya-karyanya yang lain seperti Bumi Manusia dn beberapa novel lainnya. Toer sendiri selaku pengarangnya ketika
menyerahkan naskahnya kepada penyunting menjelaskan bahwa Gadis Pantai sebenarnya merupakan kisah hasil imajinasi dirinya tentang neneknya dari pihak ibu, seorang nenek
yang mandiri yang sangat dihormati dan dicintainya. Sekalipun Toer mengatakan karya- karyanya adalah fiksi atau imajinasi, namun karya-karya Toer selalu berkait dan
berangkat dari kenyataan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia Indonesia.
Karya Gadis Pantai merupakan satu roman keluarga yang sebenarnya belum selesai. Dikatakan demikian, karena semestinya ada dua buku berikutnya lagi yang
merupakan seri dari Gadis Pantai. Namun, ketika terjadi vandalisme politik tahun 1965, semua naskah lainnya itu dibawa oleh penguasa dan kemudian hilang. Naskah yang
kemudian terbaca dengan judul Gadis Pantai ini merupakan satu-satunya naskah yang berhasil terselamatkan. Naskah ini terekam dalam bentuk fotokopi mikrofilm yang
diterima dari bagian dokumentasi perpustakaan A.N.U., Australia, dengan kondisi yang juga tak lengkap dan hasil mikrofilmnya banyak yang tak jelas. Kisah ini berhasil
dimikrofilmkan karena dulunya pernah disiarkan melalui cerita bersambung. Kisah Gadis Pantai ini berkait dengan keluarga Toer sendiri, sehingga karya ini disebut sebagai roman
208
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
keluarga. Namun, di dalamnya sarat mempersoalkan tentang penindasa kaum priyayi kepada orang-orang desa ketika tinggal di kota, di rumah Bendoro.
Roman Gadis Pantai berkisah tentang seorang gadis 14 belasan tahun yang kemudian tanpa disangka harus menjadi Nyonya Bendoro. Kehidupannya pun berubah
total, dari kehidupan yang serba minus di pantai ke kehidupan orang kota yang serba ada. Toer memulai gambaran dari keberadaan sang gadis pantai dengan penuh suasana
anak pantai: “Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal
pantai keresidenan Jepara Rembang” Toer, 2000:1. Namun, ketika ia kemudian diserahkan dan diminta menjadi salah satu istri Bendoro, Gadis Pantai harus mengubah
total kehidupannya. Sejak kecil ia hidup sebagai gadis pantai, dalam kondisi kehidupan yang keras, namun di dalam kehidupan itu ia seperti mendapatkan dirinya yang dihargai
sebagai manusia. Sebaliknya, ketika menjadi istri Bendoro, sebagai orang yang memiliki kedudukan, sebagai seorang bangsawan, seorang ningrat, ia justru tak mendapatkan
kebebasan asasinya sebagai manusia. Ia sering dicurigai macam-macam, dituduh macam- macam, direndahkan, sambil menyebut dan mengumpat keberadaan dirinya sebagai anak
pantai, anak ndeso.
Ketika pada suatu saat di rumah Bendoro Mas Nganten kehilangan uang misalnya, orang-orang ribut-ribut, dan hilangnya uang itu dituduhkan pada Gadis Pantai. Pelayan
wanita tua yang menyayangi merasakan ketakutan yang dialami Gadis Pantai: “Dengan mata berapi-api pemuda kerabat-kerabat Bendoro itu menentang mata Gadis Pantai. Dan
wanita tua itu merasai tangannya mengigil, wajahnya lesu. Dikencangkan pegangannya untuk memberanikan wanita utama itu. Dengan mata berapi-api karena merasa di hina,
seorang pemuda angkat bicara: ‘Kau pikir apa kami ini? Orang Kampng? Orang dusun? Orang pantai yang tidak pernah lhat duit? Toer, 2000:90.
Di kota di rumah Bendoro, Gadis Pantai dan juga orang-orang yang berasal dari desa, harus memiliki sikap yang berbeda dengan keluarga priyayi. Sikap, cara duduk,
posisi, tidak sama, harus berada di bawah, yang tercermin dari petikan teks berikut: “’Ampun Bendoro’, perempuan tua itu memelas setelah menggelosot di lantai. Juga Gadis
Pantai duduk menggelosot di lantai” Toer, 2000:92. Selain itu, tampak juga reflleksi ketertekanan Gadis Pantai: “’Ampun, Gadis Pantai menjawab sambil semakin
menundukkan kepala, dengan kedua tangan menjagangkan di lantai”. ....”’Ampun
Bendoro,”sekali lagi Gadis Pantai bersuara semakin perlahan” Toer, 2000:93. Gadis Pantai merasakan hidup yang penuh dengan ketegangan, bukan kedamaian. Bahkan
jiwanya sering terguncang, karena ia begitu sulit menerima kehidupan yang sebenarnya bukan menjadi dunianya. Awal tujuannya mengabdi di rumah Bendoro, berbuah
kesakitan: “Untuk kedua kalinya Gadis Pantai terguncang. Ketakutan menjamah seluruh batinnya. I a mencoba memberanikan diri” Toer, 2000:102.
Kejadian-kejadian seperti itulah yang selama ia tinggal di rumah Bendoro selalu dialaminya. Kontras kehidupan desa-kota begitu dirasakannya. Dalam kehidupan desa
yang lugu, alami, jujur, dan penuh kedamaian hanya dirasakan Gadis Pantai di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, yakni di sebuah desa pinggir pantai. Ketika ia menjadi orang
desa di pinggir pantai, ia merasakan sebagai manusia yang dihargai keberadaannya. Namun, sangat jauh sekali dengan apa yang ia sebelumnya bayangkan dengan kehidupan
kota. Walaupun cara mendidik bapaknya keras, tetapi kini ia rasakan sebenarnya di situ
209
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
terdapat cinta yang tulus dari bapaknya. Ia merindukan bapaknya, tetapi ia juga sering tidak menerima perlakuan bapaknya yang terlalu mengatur hidupnya. Di rumah Bendoro,
dalam kehidupan kota, ia merasakan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan dirinya sebagai manusia. Di kota ini ia justru tak mendapatkan kebahagiaan, walau harta
melimpah, tetapi harta dirinya sebagai manusia telah lenyap dan ia tidak ubahnya disetarakan dengan barang. Apalagi Gadis Pantai berasal dari desa, semakin membuat
orang-orang priyayi merendahkan derajatnya sebagai manusia.
Di akhir-akhir kisah Gadis Pantai ini terjadi penolakan pada kehidupan priyayi yang digambarkannya tidak memberikan ruang bagi kemanusiaan: “Ah, tidak. Aku tak suka
pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan, Tak ada mau dengarkan tangisnya.” Toer, 2000:229. Ketika dalam akhir cerita ini
dikisahkan Gadis Pantai mengunjungi rumahnya di desa, disambut oleh orang-orang desa dan Emak dan Bapaknya, namun ia juga tak memutuskan tinggal di desanya kendatipun
kedua orang tuanya mengharapkannya kembali, juga tak akan kembali ke rumah ke kota yang berlimpah harta tetapi memberangus kemanusiaannya. Gadis Pantai tak kuasa
menatap emak dan bersimpuh mencium kaki bapak, ia sudah berjanji tak akan kembali ke kota, tetapi ia justru pergi mau menuju arah ke pelayan perempuan yang sudah diusir
dari kota, seorang pelayan tua yang menyayanginya, ia mau pergi ke Blora.
2. Refleksi melalui Peristiw a Tokoh dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu