168
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
yang terakhir adalah metode yang harus dipakai untuk mencapai jalan berkebudayaan itu, yaitu turun ke bawah atau Turba.
Lekra mendapat kesempatan emas karena Sukarno menerapkan prinsip Demokrasi Terpimpin
54
. Garis perjuangan PKI telah menjadi dasar bagi setiap langkah dalam kebudayaan, di mana sokoguru revolusi adalah buruh, tani, dan prajurit. Hal ini
ditegaskan oleh DN Aidit dalam Konperensi Seni dan Sastra Revolusioner KSSR. Salah satu pernyataan Lekra dan PKI adalah mereka akan membabat dan membasmi musuh-
musuhnya.
Selama kurun waktu 1950-1965, Lekra sangat mendominasi dunia kreatif penciptaan karya sastra di Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa Lekra menguasai
panggung kebudayaan Indonesia. Karya-karya sastra para seniman Lekra dipublikasikan melalui harian-harian beraliran komunis seperti Harian Rakjat, Warta Bakti, Terompet
Masjarakat, Bintang Timur. Harian Bintang Timur memiliki sisipan ruang seni-budava bertajuk Lentera 1963-1965 dengan pemimpin redaksi Pramoedya Ananta Toer. Lentera
adalah terompet yang paling lantang suaranva. Di samping menyiarkan propaganda ideologi, di ruangan ini secara sistematik dilakukan serangan-serangan terhadap seniman-
sastrawan yang berseberangan dengan Lekra PKI, termasuk polemik yang sangat tajam dengan sastrawan Manikebu.
Akan tetapi, sejak Lekra dilarang pada tahun 1966, masyarakat tidak lagi mengenal sosok karya sastra, sastrawan, maupun peranannya di dalam sejarah sastra
Indonesia. Yang dikenang masyarakat kesusastraan Indonesia hanyalah bahwa Lekra berhadap-hadapan dan berseteru dengan sastrawan Manifes Kebudayaan manikebuis,
seolah-olah kepedulian Lekra hanya tertuju pada polemik dengan Manikebu. Dalam kenyataannya, Lekra menghasilkan banyak karya seni sastra, drama, seni lukis, dll yang
memiliki peran transformatif dalam masyarakat pada waktu itu. Hasil karya Lekra itu benar-benar terlupakan. Amnesia terhadap peran transformatif Lekra disebabkan karena
lembaga ini dipandang sebagai sebuah organisasi terlarang, sehingga karya-karya seniman Lekra pun secara sengaja dan sistematis dihilangkan dari sejarah Indonesia.
4.5.2 Sastra Angkatan Manikebu
Istilah ‘Angkatan Manikebu’ belum digunakan sebelumnya. Istilah yang lebih populer untuk menyebut angkatan dalam periode 1955-1965 adalah Angkatan Majalah
Kisah karena sastrawan-sastrawan non-Lekra cenderung mempublikasikan karya-karyanya melalui Majalah Kisah. Istilah ini digunakan karena pertikaian yang keras atantara Lekra
dan Manikebu dipandang merupakan salah satu tonggak penting sejarah sastra Indonesia.
Mabikebu pada awalnya merupakan sebuah gerakan kekusastraan yang muncul sebagai reaksi atas dominasi Lekra. Dalam suasana kehidupan sosial-budaya yang
terkotak-kotak pada periode 1955-1966, pada bulan September 1963, muncul sebuah dokumen di dalam Majalah Sastra yang diberi judul “Manifes Kebudayaan” Mohammad,
1993: 12. Dokumen itu ditandatangani oleh 20 orang seniman dan sastrawan itu telah diumumkan tanggal 17 Agustus 1963. Kelompok lawannya menyebutnya dengan olok-
54
Tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato tentang manifesto politik yang dijadikan manifesto politik bagi penerapan model Demokrasi Terpimpin.
169
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
olokan sebagai “manikebu” yang merujuk pada kata “mani kebo” atau sperma kerbau Setiawan, 2003: 178-179.
Goenawan Mohammad 1993: 14 mengungkapkan bahwa 95 isi Manikebu itu ditulis oleh Wiratmo Soekito dan bahwa banyak dari penandatangan itu tidak sepenuhnya
memahami isinya. Pernyataan ini mengandung pengertian tertentu. Studi Supartono 2000 menunjukkan latar belakang si penyusun naskah Manikebu, Wiratmo Soekito, yang
memiliki hubungan khusus dengan tentara Angkatan Darat. Dapat diduga bahwa Manifes Kebudayaan juga merupakan sebuah gerakan politik dan bukan gerakan kebudayaan.
Keterlibatan militer dalam kelompok Manikebu tampak jelas dari susunan penyelenggara Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia KKPI yang memasukkan
tiga perwira sebagai dewan penasihat dan seorang brigjen sebagai ketua kehormatan. Dalam kegiatan KKPI yang dilaksanakan di Jakarta, 1 – 7 Maret 1964, sebagian besar
fasilitas dan akomodasi disumbangkan oleh militer. Lekra mencoba menggagalkan konferensi ini, akan tetapi karena dukungan yang kuat dari Nasution, maka konferensi itu
dapat berjalan dengan baik Foulcher, 1986: 126. Dengan demikian, Manikebu bukan hanya sebuah persoalan kebudayaan tetapi juga persoalan politik atau bahkan sebuah
gerakan politik.
KKPI menghasilkan sebuah Ikrar Pengarang Indonesia yang ditandatangani ketua presidiumnya Brigjen Dr. Soedjono. Ikrar itu menggunakan bahasa-bahasa politik seperti
yang digunakan Lekra, misalnya berjuang bersama rakyat untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia. Ikrar semacam ini jelas memiliki tendensi politis. Foulcher 1986: 124-127
bahkan mendudukkan kelahiran Manikebu dalam sebuah konteks yang benar-benar politis, sebagai bagian dari perjuangan Angkatan Darat yang anti-PKI dan antigerakan kiri
pada umumnya. Wiratmo Sukito adalah salah seorang yang bekerja pada Badan Intelijen Militer. Kehadiran kelompok Manifes, bagi Foulcher, tak lain daripada pamer kekuatan
kelompok kebudayaan antikomunis.
Oleh karena itu, seperti dikemukakan salah satu pelaku penandatangan Manikebu, Goenawan Mohamad 1993: 13, Manikebu itu tampil seperti sebuah surat tantangan,
atau juga sebuah undangan untuk pengganyangan dari kelompok Lekra yang memiliki ideologi berkesenian ’politik adalah panglima’. Pramoedya Ananta Toer, tokoh Lekra,
yang pada waktu itu menjadi pemimpin redaksi rubrik ”Lentara” pada Harian Bintang Timur merupakan orang yang paling keras dalam menyerang kaum Manikebu. Pram
bahkan dipandang ”memimpin penindasan kreativitas”, ”melecehkan kebebasan berekspresi, ”menyambut pelarangan buku dan piringan hitam”, mengelu-elukan
pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya, melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra”, ”teror
mental dan intimidasi”, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit independen.
55
Lekra dan Manikebu adalah dua kubu yang bertentangan dalam hal ideologi keseniannya. Pertentangan, konflik, bahkan friksi ideologi berkesenian antara Lekra dan
Manikebu, termasuk pula polemik dan tindakan-tindakan pengganyangan terhadap
55
Pandangan tersebut diambil dari “Pernyataan” 26 sastrawan dan budayawan dipelopori oleh Taufiq I smail untuk menolak pemberian hadiah Magsaysay terhadap Pramoedya Ananta Toer, tanggal 19 Juli
1995. Lihat Sambodja, 2010: 28-29.
170
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
lawannya masing-masing yang berupa pelarangan mempublikasikan tulisan, pelengseran dari posisi kepegawaian, tertuang pula di dalam karya-karya sastra.
Berbeda dari Angkatan Sastrawan Lekra yang menggubah karya-karya yang sifatnya revolusioner dan berapi-api dan penuh semangat perjuangan, Angkatan
Manikebu ini memilih jalan kesenian yang berbeda. Banyak muncul dari mereka puisi bercorak romantik dan kedaerahan, atau mencoba menggali akar kebudayaan daerah.
Penyair-penyair Angkatan Majalah Kisah antara lain Ramadhan KH Priangan Si Jelita, WS Rendra Empat Kumpulan Sajak, Ballada Orang-orang Tercinta, Sajak-sajak
Sepatu Tua, Blues untuk Bonnie, Potret Pembangunan dalam Puisi, Toto Sudarto Bachtiar Suara, Etsa, Subagio Sastrowardoyo Simphoni, Daerah perbatasan, Salju,
Hartoyo Andang Jaya Buku Puisi, dll.
5. Kesimpulan