Refleksi melalui Peristiw a Tokoh dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

209 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 terdapat cinta yang tulus dari bapaknya. Ia merindukan bapaknya, tetapi ia juga sering tidak menerima perlakuan bapaknya yang terlalu mengatur hidupnya. Di rumah Bendoro, dalam kehidupan kota, ia merasakan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan dirinya sebagai manusia. Di kota ini ia justru tak mendapatkan kebahagiaan, walau harta melimpah, tetapi harta dirinya sebagai manusia telah lenyap dan ia tidak ubahnya disetarakan dengan barang. Apalagi Gadis Pantai berasal dari desa, semakin membuat orang-orang priyayi merendahkan derajatnya sebagai manusia. Di akhir-akhir kisah Gadis Pantai ini terjadi penolakan pada kehidupan priyayi yang digambarkannya tidak memberikan ruang bagi kemanusiaan: “Ah, tidak. Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan, Tak ada mau dengarkan tangisnya.” Toer, 2000:229. Ketika dalam akhir cerita ini dikisahkan Gadis Pantai mengunjungi rumahnya di desa, disambut oleh orang-orang desa dan Emak dan Bapaknya, namun ia juga tak memutuskan tinggal di desanya kendatipun kedua orang tuanya mengharapkannya kembali, juga tak akan kembali ke rumah ke kota yang berlimpah harta tetapi memberangus kemanusiaannya. Gadis Pantai tak kuasa menatap emak dan bersimpuh mencium kaki bapak, ia sudah berjanji tak akan kembali ke kota, tetapi ia justru pergi mau menuju arah ke pelayan perempuan yang sudah diusir dari kota, seorang pelayan tua yang menyayanginya, ia mau pergi ke Blora.

2. Refleksi melalui Peristiw a Tokoh dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya Pramoedya Ananta Toer yang wujudnya lebih berupa catatan-catatan pengalaman dirinya ketika dituduhkan sebagai penganut marxisme-leninisme oleh penguasa pada masa Orde baru, yang membuat dirinya dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lain, dari penjara di Jakarta, Nusa Kambangan, hingga di Pulau Buru. Buku ini berisi catatan perjalanan dari Jakarta ke Nusa Kambangan dan kemudian ke Pulau Buru Toer, 1995:viii. Buku ini ditulis dalam kondisi tidak menentu, seperti halnya orang main layang-layang, kalau anginnya kencang ulur benang dan kalau tidak kencang tarik benang. Sebuah karya yang dibuat dalam masa pembuangan sebagai tahanan tapol, yang di akhir pembebasan dinyatakan tidak bersalah tetapi tetap diperlakukan sebagai tahanan. Kalau ada yang menganggap buku ini sebagai karya sastra, tentunya boleh-boleh saja, sebab dalam halaman depan buku ini juga memang tidak dicantumkan secara khusus apakah karya ini sebuah karya sastra atau kisah pribadi pengarangnya. Di samping itu, kendatipun karya-karya yang terangkum di dalamnya, namun kalau dibaca masih dapat dirunut adanya jalinan cerita yang menarasikan perjalan hidup pengarang sejak ditahan hingga dilepaskan kembali setelah belasan tahun. Namun, satu hal yang jelas, data-data yang ditulis dalam karya ini memang sangat realistis, menyebut nama, tahun, tempat, kejadian, dan disertai dengan dokunen yang mendukung apa yang dikisahkan di dalamnya. Namun, menurut Toer 1995:viii, naskah ini juga termasuk yang tidak lengkap karena banyak bagiannya yang sengaja dihancurkan, setelah I seorang sarjana muda sejarah melaporkan kepada penguasa. Karya ini semula memang ditulis lebih bersifat pribadi, yang dimaksudkan untuk mengenang kembali apa yang sudah terjadi. Namun demikian, kendatipun dituliskan dalam sifatnya yang pribadi, tentu saja tidak dapat dianggap sekadar sebagai karya pribadi. Toer 1995:ix mengatakan bahwa betapa pun tampak pribadi namun sebetulnya 210 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 dapat juga dibaca sebagai pengalaman sebagai sebuah bangsa. Hal ini dapat disimak dalam pernyataan Toer berikut: “Penerbitan ini didasarkan pada pertimbangan apa pun dan bagaimana pun pengalaman inderawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya”. Artinya, kendatipun tampak pengarang berkisah tentang apa yang pernah dialaminya sendiri, sebenarnya apa yang dialaminya itu menjadi cermin yang dialami bangsanya. Catatan- catatan ini juga ditulis dalam kondisi yang terburu-buru, karena kondisi yang memang tidak memungkinkan ketika itu, sebagaimana yang dikatakan Toer dalam buku ini: “Catatan-catatan dan surat-surat yang terhimpun di dalam buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali beberapa bagian. I ni tidak lain karena keadaan tidak memungkinkan menempuh jalan lebih baik dan lebih luas” Toer, 1995:viii. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini menjadi buku yang penting untuk melihat refleksi manusia yang terdegradasikan, terutama terkait dengan kejadian pasca-G30S PKI. Kejadian ini, oleh dunia internasional, memang disoroti sebagai kejadian yang paling tidak beradab dan tidak berkemanusiaan. Banyak orang tidak berdosa menjadi korban tuduhan tidak berdasar karena ada wacana penguasa yang menyalahkan pihak-pihak yang belum tentu kesalahannya. Toer sebagai pengarang buku ini termasuk salah satu dari ratusan orang yang hak-hak asasinya diberangus oleh penguasa. Ia mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosiologis dalam waktu yang sangat panjang yakni sekitar dua tahun di tahanan di Jakarta dan Nusa Kambangan, serta empat belas tahun, dan setelah bebas pun ia tak memiliki kebebasan di luar penjara. Toer mengalami hidup semacam itu dengan ratusan teman lainnya yang juga mengalami nasib yang sama. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini merekam dan merefleksikan jeritan penderitaan Toer dan ratusan teman lainnya yang seperti tak ada yang mendengarkannya, dan karena itulah diibaratkan: nyanyi sunyi seorang bisu. Namun, bersyukur Toer memiliki kemahiran menulis, karena sebagaimana telah diungkap dalam biografinya ia memang di masa mudanya pernah menjadi seorang wartawan. Jadilah kemudian nyanyi sunyi itu tak bisu selamanya. Ada dokumen yang terselamatkan yang kemudian dapat diterbitkan dan dibaca oleh anak bangsa ini. Dalam bagian awal catatan ini tergambar betapa kejadian ini membuat kita terenyuh: “Surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan. Takkan mungkin sampai ke tanganmu. Lihat, dia tetap kutulis, untukmu—kau, yang sedang berbahagia dalam suasana pengantin baru. Akan tetap kukenang perisistiwa yang satu itu. Kau datang bersama calon suamimu dan seorang penghulu, yang begitu terburu-buru kuatir terttinggal karena rejeki” Toer, 1995:1. Kutipan tersebut merupakan refleksi bagaimana ia terakhir kalinya dijenguk oleh putrinya, dan setelah itu Toer tak pernah bisa menghubungi keluarganya, karena ia dipaksa mengalami masa tahanan dari Jakarta menuju Nusa Kambangan dan kemudian ke Pulau Buru. Dalam masa perjalanan inilah kisah ini dituturkan oleh Toer, sebagai refleksi bagaimana para tahanan—yang notabene sebagai manusia—diperlakukan oleh penguasa bangsa ini. Dari sinilah penderitaan demi penderitaan harus diterima, bahkan ada teman-temannya yang tidak kuat dan kemudian mendahuluinya pergi ke alam kubur. Kisah pendegradasian nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana terefleksikan dalam buku ini, terutama dimulai ketika kapal yang akan mengangkutnya dari Nusa Kambangan ke Pulau Buru. Ketika menunggu kapal datang, para tahanan—termasuk Toer—sudah dijemur seharian tanpa makan dan kelaparan yang sangat tinggi yang membuat para 211 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 tahanan merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah- mentah tanpa dicuci lebih dahulu karena untuk mencuci akan meninggalkan barisan dan kena hajar Toer, 1995:4—5. Tidak hanya itu, dalam perjalanan ke Buru itu dapat juga dilihat refleksi pendegradasian lebih jauh melalui apa yang dikisahkan dalam buku ini: “... Dan jangan kau muntah melihat kami makan tikus-tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang pepaya atau bonggol pisang—mentah-mentah—atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi. Bahkan drs.J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup....” Toer, 1995:5. Begitupun ketika masuk dalam dek kapal yang sangat tidak layak dipenuhi tumpukan kotoran manusia, dan juga tak ada saluran pembuangannya. Toer dan kawan- kawan tahanannya seperti terkurung besi, seperti tanpa sama sekali memiliki hak untuk melihat langit dan udara: “Ruangan itu penuh dengan bukitan kotoran.... Genangan air kotoran ternyata menjelma menjadi rawa lumpur. Saluran air pampan semua. Setan pun mungkin takkan tahu lagi di mana sesungguhnya lubang-lubang pembuangan itu.....” Toer, 1995:5. Begitulah awal pendegradasian yang terfeleksikan dalam buku ini, dan selanjutnya berbagai pendegradasian terjadi susul-menyusul, semakin tragis, semakin menghempas, dan semakin membuat para tahanan ingin mengakhiri hidupnya. Namun, dengan saling memberi semangat satu sama lain, dengan perasaan senasib seperjuangan di kalangan tahanan, mereka kemudian dapat melanjutkan hidupnya, walau tanpa masa depan yang jelas. Beberapa di antara teman-teman tahanannya yang tidak kuat, mental, fisik, atau psikis, kemudian meninggal. Di Pulau Buru sudah banyak teman tahanannya yang meninggal dan dikuburkan di sana. Rata-rata mereka di penjara dari tahun 1967—1977. Karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini merupakan karya yang lebih terang berupa dokumen sosial tentang pengalaman pengarang yang sekaligus merupakan bagian dari pengalaman bangsa. Sebagai dokumen sosial, karya ini dilengkapi juga dengan lampiran data para tahanan yang meninggal, luas area pertanian tapol, dan foto-toto ketika ada di Pulau Buru. Di dalam karya ini, kita dapat melihat potret kekejaman atas kemanusiaan, yang berlangsung lama dan menyengsarakan, tidak hanya orang-orang yang ditahan tetapi juga keluarga yang ditahan. Semua yang diungkapkan Toer dalam karya ini adalah nyata, sebuah kenyataan sejarah. Dengan adanya tekanan lembaga dunia, pada tahun 1977 barulah dilaksanakan pembebasan pertama. Toer tidak diikutkan dalam pembebasan pertama itu, walaupun orang-orang yang bergerak dalam lembaga HAM di dunia sebenarnya sudah mengetahui bahwa namanya juga tercantum. Tidak diikutkannya Toer dalam pembebasan pertama itu, karena dalam wawancara oleh penguasa kepada Toer, jawaban-jawaban Toer masih dianggap bernuansa mempertahankan aliran marxisme-leninisme. Perlu diungkapkan di sini, batalnya pembebasan Toer ini juga diliput oleh media dunia. Namun, dua tahun setelah itu ia baru dibebaskan, dan kemudian diangkut ke Jawa, dan Toer termasuk dalam rombongan yang tidak langsung diangkut ke Jakarta. Ia diturunkan dalam rombongan yang jumlahnya 400 orang karena dianggap sebagai tahanan yang tidak sepenuhnya bebas. Ia masih diminta wajib lapor seminggu sekali, kemudian sebulan sekali. Intinya, Toer memang dalam masa tahanan dan sampai pasca-tahanan sebagai orang yang tidak memiliki kekebasannnya, hak-hak sipilnya terampas, serta harkat dan derajatnya direndahkan oleh penguasa. 212 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Namun, sebagai pribadi yang kuat dan tak pernah menyerah, Toer menuliskan semua pengalaman dan perjalanan hidupnya ini dalam karya-karya besarnya, yang membuat siapa pun generasi dalam kurun waktu yang berbeda jadi merenung. Dengan membaca karya-karya Toer, kita dapat merasakan betapa bangsa ini memiliki sejarah yang kelam yang memperlakukan anak bangsanya dengan tidak beradab dan tidak manusiawi. Sebuah bangsa yang tidak melindungi anak bangsanya sendiri, dan justru mendegradasinya hanya karena adanya dugaan yang juga belum tentu kejelasannya. Refleksi-refleksi—yang dalam hal ini disimak dari dua karya Toer ini— mengungkapkan bahwa bangsa ini memang perlu belajar dari sejarah, agar sejarah kelam sebagaimana yang dialami oleh anak-anak bangsa ini tidak terulang kembali di masa mendatang. Rakyat adalah pemilik bangsa ini, yang harus dilindungi dan juga harus diberikan hak-hak sipilnya. Penguasa betapa pun berkuasanya, tidak boleh memperlakukan rakyatnya semena-mena, apalagi memperlakukan rakyat yang tidak berdosa. Prediksi: Nilai- nilai Kemanusiaan Universal dalam Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Sebagaimana dikemukakan, dua karya Toer Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merefleksikan pendegradasian kemanusiaan. Di dalam dua karya ini tokoh- tokohnya mengalami ketertindasan hak hidup, hak sipil, hak kemerdekaan, dan hak-hak lainnya yang bersifat asasi. Tokoh Gadis Pantai misalnya, ia kehilangan kebebasan asasinya sebagai manusia, sehingga ia tidak ingin kembali ke kota ke rumah Bendoro walaupun di sana bergelimangan kekayaan. Toer sendiri sebagai tokoh yang hadir di dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, merupakan tokoh yang ditindas hak-hak hidup dan kebebasannya, hanya karena ia dituduhkan menganut dan menyebarkan aliran marxisme- leninisme. Dalam kondisi tertindas dan ditindas seperti yang dialami tokoh-tokoh karya itu, para tokohnya bukannya hanya menerima begitu saja, tetapi juga melakukan perlawanan. Perlawanan ini tampak dari apa yang dilakukan perempuan tua yang selalu membela Gadis Pantai: “Aku cuma bilang,” pelayan tua itu jadi kasar, “kembalikan uang itu Di sini ada hukum, kalau hukum tidak ditaati lagi, mari, mari kita panggil hakim.” Toer, 2000:92. Perlawanan Gadis Pantai ini juga tampak ketika bagaimana ia menentukan pilihannya sendiri untuk mau tinggal mencari pelayan tua yang pernah menyayanginya ketika berada di kota. Ia tidak mengikuti kehendak bapaknya agar kembali ke desa, dan juga tidak kembali ke kota: “Gadis Pantai mengambil cambuk dan melecut kuda dari bawah perutnya. Kuda pun melompat dan lari. Roda-rodanya menggilas jalanan pasir, lari laju menuju jalan pos. Tanpa menengok ke belakang lagi Gadis Pantai memusatkan mata ke depan.” Toer, 2000:231. Begitu juga halnya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, penindasan kemanusiaan itu menyadarkan si tokoh aku: “Juga sejak itu aku mengerti apa yang dituduhkan pada tapol sebenarnya apa yang diharapkan dilakukan oleh para tapol. Suatu metode dalam kejahatan politik yang baru pertama kali kukenal.” Toer, 1995:289. Jadi, prediksi yang dimaksudkan adalah adanya nilai-nilai kemanusiaan universal yang terpola bertolak dari berbagai pendegradasian kemanusiaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dari dua karya Toer ini. Nilai-nilai kemanusiaan itu berupa: penghargaan 213 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 pada harkat kemanusiaan, pemberian hak-hak sipil, kemerdekaan pribadi, dan penegakan keadilan. Penutup Karya Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya yang merefleksikan pendegradasian kemanusiaan, sebagaimana yang dialami tokoh-tokoh karya tersebut. Kisah yang mengandung pendegradasian kemanusiaan itu diangkat dari pengalaman yang dialami pengarangnya sebagai bagian dari pengalaman bangsanya. Dalam Gadis Pantai, yang merupakan roman keluarga yang mengisahkan nenek dari keluarga ibunya merefleksikan kegigihan seorang perempuan desa yang sempat tinggal di kota untuk mencari hak-hak hidup, kebebasan, dan keadilannya. Begitu juga dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sang tokoh aku yang mengekspresikan kejadian-kejadian yang dialami pengarangnya mencoba tidak menyerah walaupun penderitaan demi penderitaan dialaminya. Ia menuliskan kejadian demi kejadian, walaupun ketika menulis ia tidak mengetahui apakah karyanya ini akan dapat diselamatkan dan dapat dibaca orang atau tidak. Adanya pendegradasian ini memunculkan universalitas yang berupa nilai kemanusiaan yang menyangkut penghargaan pada harkat dan martabat manusia, penghargaan hak-hak sipil, dan penegakan keadilan. Nilai-nilai universalitas inilah yang merupakan prediksi yang berguna bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Daftar Pustaka Foulcher, Keith. 1981. “Bumi Manusia and Anak Semua Bangsa: Pramoedya Ananta Toer Enters 1980s”, in I ndonesia, Vol 32 Oct., 1981, pp 1—15 Goldmann, Lucien. 1977. Towards a Sociology of the Novel. London: The Cambridge University Press. Multatuli. 1985. Max Havelaar. Jakarta: Jambatan Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra ______ 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera. Manuaba, I. B. Putera. 2003. “Novel-novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan Interpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia”, dalam Humaniora: Jurnal Fakultas I lmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume XV,, No.3, halaman 276-284 Multatuli. 1985. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan. 214 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 I DENTI TAS DAN RESI STENSI BUDAK PADA MASA KOLONI AL: SEBUAH KAJI AN POSKOLONI AL TERHADAP NOVEL SURAPATI DAN ROBERT ANAK SURAPATI KARYA ABDOEL MOEI S 58 I Nyoman Yasa, S.Pd, M.A 59 . Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali nyomanyasajpbsiymail.com Abstract This research is conducted based on the problem of slavery found in Indonesian literary texts. Using a deconsructive technique, this research intends to show 1 the relations between the colonizer and colonized people found in the novel Surapati and Robert Anak Surapati SdRAS, 2 the resistance of slaves to his masters, 3 the characteristics of SdRAS novels according to postcolonial perspectives. The result of this research shows unequal relations between the colonizer, Dutch, and colonized people, native Indonesian. These unequal relations can be found through Dutch’s expression by stereotyping Indonesian as animals, and by referring to their skin color. The Dutch characters in the novel viewed themselves more civilized than those indigenous characters, and this categorization was formulated based on skin colors. This point of view constructed the colonizer’s mind and behaviors that impacted to the emergence of negative depictions of native Indonesians as left behind, slow, lazy people, and other animal likes such as monkey. Such negative depictions and domination discrimination, racism, and marginalization led Indonesian slaves into resistance in the form of mimicry and mockery by mocking Dutch colonizers. These were performed as an effort to abolish their powerful position. Mimicry and Mockery, however, reveals the hybrid attitude of colonized Indonesians which, at the same time, shows that ambiguity of the discourse constructed in the novels. Therefore, according the postcolonial approach, the novels SdRAS can be characterized as ambiguous novels. These novels show their resistance to the dominant on the one hand. They are also hegemonized by colonial discourse on the other hand. Key w ords: resistance, slave Surapati and Robert Anak Surapati, postcolonial 1. PENDAHULUAN Secara universal, manusia dilahirkan tanpa memiliki kelas atau strata sosial, apalagi diberikan identitas sebagai budak. Sarup 2003: 30 menyatakan bahwa men and women are not born with an identity. Seseorang atau sekelompok orang diberikan identitas sebagai budak menandakan bahwa ada superioritas dibalik pemberian identitas itu. Superioritas Barat menciptakan inferioritas Timur. Anggapan inferior ini 58 Makalah ini diseminar kan pada tanggal 7-9 November 2012 di Yogyakar ta dalam kegiatan HI SKI . 59 Pengajar Jur usan Pendidikan Bahasa dan Sastr a I ndonesia, Univer sitas Pendidikan Ganesha, Singar aja-Bali 215 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 menjadikan manusia yang satu menindas manusia yang lain. Superioritas yang demikian memunculkan masalah bagi kemanusiaan itu sendiri. Masalah kemanusiaan itu pernah dialami bangsa Indonesia masa silam dalam sebuah peristiwa perbudakan Wertheim, 1998: 186. Walaupun demikian, budak dan perbudakan jarang diteliti Anatona, 2000, padahal budak pernah mencatatkan perlawanan-perlawanan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa perbudakan tersebut diangkat dalam novel Surapati dan Robert Anak Surapati SdRAS oleh Abdoel Moeis. Objek material dalam penelitian ini adalah novel Surapati terbit pada tahun 1965 cet. Ke-4 dan novel Robert Anak Surapati yang terbit pada tahun 1953 cet. I Novel SdRAS tersebut perlu dikaji melalui pendekatan poskolonial karena pendekatan poskolonial mampu mengungkap jejak-jejak kolonialisme dalam karya sastra dan mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme didalamnya serta menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda itu Foulcher, 2002: 3. Dalam kajian poskolonial, karya sastra itu sesungguhnya mengungkap jejak-jejak perjumpaann kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara semenjak masa imperialisme ibid. Sementara itu, Sumarwan 2004: 61 menyampaikan bahwa pendekatan poskolonial sebagai salah satu alternatif untuk membaca dan menafsirkan sastra Indonesia dalam upaya mencari oposisi antara penjajah melawan terjajah, menunjukkan potensi kekerasan didalamnya. Dengan demikian, poskolonialisme memberikan ruang agar lapisan yang semula termajinalisasi mampu menyuarakan pendapat mereka sendiri Bhaha, 2006. Dalam hal ini, poskolonial memandang bahwa realitas merupakan hasil imajinasi atau diskursus para pelakunya sebagai representasi dari pengetahuannya. Pengetahuan yang dimiliki kaum penjajah digunakan untuk mensistemasisasikan adanya pihak lain Other, yang sekaligus dipandang terbelakang Said, 1978: 3. Makalah ini berupaya untuk mendeskripsikan 1 relasi antara penjajah dengan terjajah, 2 resistensi budak terhadap kaum majikan, dan 3 sifat novel SdRAS, memiliki tujuan untuk mengakumulasi ilmu sastra, terutama teori poskolonial, menjembatani pemahaman pembaca terhadap SdRAS, dan menyuarakan kembali pemikiran-pemikiran kaum subaltern budak agar suaranya dapat didengar kembali, antara lain mengenai perjuangan membebaskan dirinya dari belenggu penjajah. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menikatkan nasionalisme generasi muda bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan pada zaman global ini. Pembahasan pada makalah ini menggunakan konsep relasi Barat dan Timur dalam Orientalism karangan Edward Said, konsep resistensi pasif dan radikal dalam Postcolonial Transformation karangan Bill Ashcroft, dan konsep Mimikri, Hibriditas, dan Ambigu dalam The Location of Culture karangan Homi Bhabha. Menurut Said 1978:5, hubungan antara Timur dan Barat adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Timur ditimurkan tidak hanya karena ia didapati dalam keadaan “bersifat Timur” dalam semua hal yang dipandang umum oleh rata-rata yakni mudah untuk—dijadikan Timur. Orientalisme menurut Said bukanlah fantasi kosong Eropa mengenai dunia Timur, melainkan suatu sosok teori dan praktek yang sengaja diciptakan. Ada hegemoni gagasan-gagasan Eropa mengenai dunia Timur yang mengulangi pernyataan mengenai keunggulan Eropa atas keterbelakangan Timur. Realitas Timur adalah berbeda dengan 216 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 realitas Barat; kebiasaannya, warna kulitnya yang eksotik, kenangan dan pengalaman yang indah. Timur harus dipahami memiliki keterbatasan dan kelemahan sehingga membutuhkan kekuatan dan pengetahuan Barat. Oleh karena itu, Timur siap untuk diatur kembali, diperintah, dikuasai, dan direkonstruksi. Akibat perlakuan Barat penjajah yang mensistematisasi, perlawanan-perlawanan resistensi muncul dari pihak bangsa terjajah Timur. Ashcroft 2001: 19-20 menyatakan bahwa resistensi memiliki dua bentuk, yakni bentuk pasif dan bentuk radikal. Resistensi yang berbentuk pasif dapat dilakukan dengan melakukan mimikri dalam upaya untuk melebarkan harapan dan cita-cita pihak terjajah Ashcroft: 2001: 3. Mimikri dalam konsepnya Bhabha 2006: 122-123 sebagai sebuah strategi bagi pihak terjajah dengan cara menyesuaikan diri dengan “yang lain” karena mimikri itu memvisualisasikan kekuatan dan mimikri itu memberi efek yang dalam dan bersifat mengganggu terhadap kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, mimikri mengandung mockery Lo and Gilbert, 1998: 12. Sementara itu, resistensi radikal sebagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah terhadap kekuasaann kolonial. Bentuk resistensi radikal ini dicirikan oleh adanya rencana-rencana pergerakan yang terorganisasi, yang dilakukan dengan menyerang secara langsung melalui peperangan atau dengan memproduksi teks bacaan ibid. Adanya perlawanan-perlawanan dari kaum terjajah dan dominasi atas kekuasaan kolonial, keambiguan sifat pada diri kaum terjajah muncul Bhabha, 2006: 122-123, termasuk dalam karya sastranya. Hasil penelitian Faruk 2007 terhadap beberapa novel Indonesia menunjukkan data bahwa novel-novel Indonesia, seperti Siti Nurbaya, Hikayat Kadiroen, dan lain-lain, memperlihatkan keambiguan. Penelitian Liliani 2005 terhadap drama 9 Oktober 1740 juga menunjukkan sifat tersebut. Berkaitan dengan keambiguan ini, sifat novel SdRAS sangat perlu diteliti. Oleh karena itu, penerapan teori poskolonial pada novel SdRAS dilakukan dengan menggunakan teknik dekonstruksi. 2. PEMBAHASAN Sebagai mana disampaikan sebelumnya, makalah ini berupaya mendeskripsikan 1 relasi antara penjajah dan terjajah, 2 resistensi budak dan majikan, dan 3 sifat novel SdRAS. Pembahasan dari permasalahan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.

2.1. Relasi antara Penjajah dan Terjajah

Penjajah dan pihak terjajah memiliki relasi yang tidak setara. Ketidaksetaraan itu ditandai dengan dominasi penjajah atas kaum terjajah. Dominasi itu tampak pada kaum majikan, yakni Tuan edeleer Moor dan Suzanne terhadap si Untung, Robert terhadap Untung Surapati, masyarakat Belanda terhadap Robert, dan kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Ketidaksetaraan perlakuan Tuan edeleer Moor kepada si Untung tampak pada peristiwa tenggelamnya Suzanne di laut, walaupun ia akhirnya dapat diselamatkan oleh si Untung. Tuan edeleer Moor menyalahkan si Untung. Dalam konteks itu, si Untung adalah pihak subaltern, pihak yang tidak dapat menentukan pilihan dan menyatakan bahwa dirinya benar. Sebagai seorang budak, ia memang menyerahkan diri sepenuhnya kepada majikannya karena seutuh dirinya menjadi hak milik majikannya Nooij, dkk., 1996: 90.