164
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
hasil karya sastra politis
48
dan “bacaan liar“ pada masa kolonial tersebut, kebijakan ini memiliki andil membentuk preferensi sastra Indonesia sekadar sebagai belles lettres.
49
Nasionalisme dalam karya-karya Balai Pustaka itu pun terbatas pada pemujaan keindahaan alam Indonesia. Salah satu misi didirikannya Balai Pustaka pada masa itu
adalah mencegah pengaruh ‘buruk’ dari bacaan liar yang dianggap memiliki misi politis yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Dalam periode 1900 - 1933, terdapat dua angkatan yang sangat menonjol, yaitu Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Batjaan Liar. Kedua angkatan ini masing-masing
memiliki visi perjuangan dan cara berekspresi yang berbeda.
4.1.1 Sastra Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka tak pernah dilupakan dalam setiap penulisan sejarah sastra Indonesia dan secara resmi dipelajari dalam pendidikan formal. Angkatan yang
‘dibina’ pemerintahan kolonial Belanda ini bahkan dipandang sebagai perintis sastra Indonesia modern karena mulai menggantikan syair, pantun, hikayat, dan gurindam
dalam tradisi lama. Yang disebut Angkatan Balai Pustaka yaitu kelompok sastra, penyair dan penulis prosa yang menerbitkan karyanya melalui penerbit Balai Pustaka. Balai
Pustaka adalah sebuah lembaga resmi yang dibangun pemerintah Belanda yakni ‘Comissie voor de Volkslectuur’ Komisi Batjaan Rakyat tahun 1908. Lembaga ini dibangun sebagai
konsekuensi politik etis yang mendirikan sekolah bagi kaum Bumi Putera. Banyak pemuda yang dididik secara Barat mendapatkan wawasan tentang nasionalisme, demokrasi, dan
berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan kesusastraan.
Hasil kesusastraan Balai Pustaka sudah dikenal luas oleh pembaca Indonesia. Apabila dilihat dari daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa
novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah novel Sumatera, dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Sastrawan-sastrawan seperti Merari Siregar, Marah
Roesli, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar, Abdul Moeis, Tulis Sutan Sati, Djamaludin Adinegoro, dan Aman Datuk Madjoindo merupakan sastrawan Sastrawan Sumatra.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka. Angkatan ini banyak
b
erbicara tentang pertentangan adat dan kawin paksa, dominasi orang tua dalam perkawinan. Gaya
penceritaan terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, masih menggunakan bahasa klise seperti peribahasa dan pepatah-petitih. Karya-karya yang diterbitkan Balai
Pustaka diharuskan memenuhi ketentuan Nota Rinkes yang mensyaratkan karya yang didaktis serta netral dalam soal-soal agama dan politik.
4.1.2 Sastra Angkatan Pengarang Liar
Di luar angkatan resmi, yaitu angkatan yang didirikan dan dibina oleh pemerintahan kolonial, terdapat sekelompok sastrawan yang sangat aktif pula menulis
karya-karya sastra dalam bahasa Melayu Rendah. Mereka tidak mempublikasikan karya-
48
Uraian tentang “Roman-roman Politk yang mula-mula” dikemukakan oleh Teeuw 1978: 31-35. Yang dimaksudkan dengan karya-karya sastra politis adalah karya-karya yang bersifat nasionalis dan
mengembangkan identitas kebangsaan. Karya-karya ini dipelopori oleh sastrawan Marxis seperti Semaun Hikayat Kadirun, Mas Marco Kartodikromo Student Hidjo, Rasa Merdika, Hikajat Sudjarmo.
49
Belles-lettres adalah istilah bahasa Prancis yang berarti tulisan yang indah beautiful or fine writing. Karya-karya sastra, baik fiksi, puisi, drama, dan esai dinilai sebagai belles-lettres atau karya-karya yang indah
karena kualitas estetisnya, gaya, serta nadanya yang asli, dan bukan sebagai sarana informasi atau tujuan- tujuan moral lainnya.
165
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
karyanya melalui penerbit Balai Pustaka. Kaum penguasa kolonial menyebut bacaan yang diproduksi oleh kaum pergerakan nasionalisme itu sebagai ‘batjaan liar’ karena memiliki
misi-misi politis. Angkatan ini saya namakan sebagai Angkatan Pengarang Liar. Istilah “Bacaan Liar” sebenarnya pertama kali digunakan oleh kaum kolonial Belanda untuk
menyebut bacaan-bacaan yang dianggap mengancam kedudukan dan stabilitas kekuasaan mereka. Tahun 1920-1926 merupakan masa subur menjamurnya “bacaan liar”
yang antara lain dipelopori oleh PKI . Tahun 1924, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI yang melakukan oposisi terhadap dominasi penerbitan Balai Pustaka
atau Commissie voor de Volkslectuur Komisi untuk Bacaan Rakyat.
Orang-orang pergerakan ini jelas-jelas menjadikan media sastra sebagai sarana perjuangan politiknya, yaitu untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia Razif,
2010. Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna untuk batjaan liar sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk melakukan pemberontakan, sehingga penulisnya
pun diberi cap sebagai pengarang liar.
Angkatan Pengarang Liar memiliki konsep dan visi kreatif dalam karya sastra sebagai literatuur socialistisch atau sastra sosialis. Istilah ‘sastra sosialis’ pertama
kali diperkenalkan oleh Semaoen tokoh PKI. Menurut Semaoen, “socialisme jalah ilmoe mengatoer pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep itoe orang-orangnja
djangan ada jang memeres satoe sama lain “ Razif, 2011. Karya-karya sastra sosialis atau batjaan liar pada umumnya bertemakan perjuangan kemerdekaan dan perjuangan
ideologi sosialis.
Sastra Angkatan Pengarang Liar antara lain Semaoen Hikayat Kadirun, Mas Marco Kartodikromo Student Hidjo,
50
Matahariah, Mata gelap, dan Rasa mardika; R.M. Tirtoadhisoerjo Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang Soenggoe Terjadi di Tanah Priangan,
Tjerita Njai Ratna, Membeli Bini Orang, dan Busono; F. Pangemanan Tjerita Si Tjonat dan Sjair Rossina; Liem Kim Hok Siti Akbari, Nio Joe Lan yang menyadur Hikayat
Sultan I brahim, dan Liem Koen Hian Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawi dalem
Tahoen 1740. Dalam bidang puisi, Mas Marco Kartodikromo menerbitkan Syair Rempah- Rempah, Sair Sama Rasa Sama Rata, dan Babad Tanah Djawa.
4.2 Sastra Periode 1950- 1965: Angkatan Lekra dan Manikebu
Kehidupan masyarakat Indonesia di bidang sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya pada periode 1955-1965 cukup dinamis, bahkan dapat dikatakan
bergejolak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Indonesia pada waktu itu adalah sebuah negara yang baru merdeka, yang memiliki semangat dan
harapan-harapan yang tinggi untuk menentukan masa depannya sendiri. Indonesia menghadapi berbagai persoalan besar, terutama di bidang politik, ideologi, dan
kebudayaan. Selama 20 tahun pertama kehidupan berbangsa, yaitu periode 1945 – 1965, pencarian jati diri bangsa Indonesia di bidang kebudayaan, politik, dan ekonomi
mengalami perbincangan bahkan polemik yang sangat dinamis lihat Ricklefs, 2001: 471- 557.
Dinamika sosial-politik itu antara lain ditandai dengan adanya persaingan yang dikenal sebagai ’perang dingin,’ peristiwa Madiun, diberlakukannya sistem demokrasi
50
Paul Tickell membandingkangkan roman Salah Asuhan karya Abdul Moeis yang diterbitkan Balai Pustaka dengan Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo.
166
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
terpimpin, digelorakannya ajaran Nasakom, dikumandangkannya semangat dan jiwa revolusioner, dan dilancarkankan sebuah konfrontasi ’Ganyang Malaysia’. Persoalan-
persoalan ini akan dikaji dalam teks-teks sejarah dan representasinya dalam teks-teks sastra.
Parkai Komunis Indonesia PKI yang dihancurkan tahun 1948 muncul kembali di tahun 1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit, Lukman, Nyonto, dan
Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme merupakan pedoman untuk bertindak, bukannya dogma yang harus diikuti dengan kaku Ricklefs, 2004: 478.
Kepemimpinannya membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang memungkinkan partai ini segera menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan pesat PKI itu,
menurut Van der Kroef 1965: 357, juga disebabkan karena selama tahun 1961-1962 PKI sangat vokal mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan militeristik
yang sangat membatasi aktivitas politik
Pada periode 1955-1965, PKI merupakan sebuah partai yang sangat besar dan menjadi partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet. Periode itu
dapat disebut sebagai periode kebangkitan PKI. Ketakutan bahwa komunis “akan memimpin permainan’ yang berarti komunis semakin dominan dalam kehidupan sosial
masyarakat tampak jelas. Kebijakan Soekarno tentang Manipol dan Nasakom amat menguntungkan PKI dan menimbulkan persaingan yang semakin tajam, terutama dengan
kelompok militer Human Right Watch, 1989: 11. PKI mendapat keuntungan politik yang besar karena memberikan dukungan penuh pada kebijakan Soekarno dalam
‘mengganyang’ Malaysia. Sejak saat itu, taktik-taktik PKI beserta simbol dan ideologi anti kolonialisme dan dan anti imperealisme menjadi kebijakan resmi pemerintah Van der
Kroef, 1965: 359-360.
Sejak tahun 1957, dengan tekanan sistem demokrasi terpimpin, keseimbangan kekuatan antara Militer kanan, Soekarno tengah, dan PKI kiri selalu mengalami
krisis. Struktur kekuasaan di Indonesia menjadi tidak seimbang, khususnya antara Militer dan PKI. Konflik antar kedua kekuatan ini tidak mungkin terelakkan.
51
Pada tahun 1965 PKI mengalami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang politik, sehingga hampir
bisa dipastikan bahwa Indonesia akan segera berada di bawah kekuasaan komunis Thomas, 1981: 369-370.
PKI semakin mendominasi panggung politik di Indonesia dengan memanfaatkan pemikiran dan slogan-slogan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Bertambah kuatnya
komunis dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap kekuasaan, termasuk ancaman terhadap militer Goodfellow, 1975: 1. Iklim politik sampai dengan terjadinya peristiwa
G30S diwarnai dengan polarisasi kekuatan politik di antara dua kekuatan besar yang bersaing merebut kekuasaan dari Soekarno, yakni PKI dan militer Crouch, 1973: 2-4.
Dari perspektif militer, PKI ‘anti-peraturan’ dan dengan demikian anti kehendak rakyat. Peristiwa Madiun tahun 1948, Aksi Sepihak tahun 1964, dan pembentukan kekuatan
bersenjata angkatan kelima merupakan ancaman yang nyata bagi Indonesia. Dalam situasi seperti inilah, peristiwa G30S berlangsung.
Perjuangan ideologi di I ndonesia berlangsung sama tuanya dengan revolusi atau bahkan dengan pergerakan kebangsaan Teeuw, 1989: 30. Pertarungan ideologis antara
51
Penjelasan yang lebih mendetail tentang “konfr ontasi”, tentar a Angkatan Kelima, dan per imbangan kekuatan di I ndonesia, lihat John O. Sutter , “Two Faces of Konfr ontasi: Cr ush Malaysia and
the Gestapu” in Asian Survey, Vol. 6, No. 10, Oct., 1966, pp. 523-546. Univer sity of Califor nia Pr ess.
167
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
para cendekiawan mengenai kebudayaan I ndonesia sebenarnya sudah tumbuh subur sebelum kemerdekaan diraih bangsa ini.
4.5.1 Sastra Angkatan Lekra