167
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
para cendekiawan mengenai kebudayaan I ndonesia sebenarnya sudah tumbuh subur sebelum kemerdekaan diraih bangsa ini.
4.5.1 Sastra Angkatan Lekra
Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto,
MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950 Foulcher, 1986: 17; Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: 32.
52
D.N. Aidit dan Nyoto adalah para pemimpin PKI yang dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Muso.
53
Pada awalnya pengurus Lekra terdiri atas A.S Dharta Sekretaris I, M.S. Ashar Sekretaris II, dan Herman Arjuno Sekretaris III,
sedangkan Henk Ngantung, Nyoto, dan Joebaar Ajoeb menjadi anggotanya. Sekretariat Pusat Lekra mempunyai beberapa lembaga, yaitu Lembaga Seni Sastra, Seni Suara, Seni
Drama dan Film, Filsafat, dan Olahraga. Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian dan ilmu.
Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa
dipisahkan dari rakyat. Semboyannya adalah: sastra untuk buruh dan tani. Pada periode ini politik dijadikan panglima. Puisi pun mengabdi kepada kepentingan politik. Puisi-puisi
diciptakan untuk mengganyang kapitalis birokrat, nekolim, tujuh setan kota dan tujuh setan desa.
Lekra sesungguhnya muncul sebagai tanggapan para cendekiawan terhadap kegagalan konferensi Meja Bundar dan sikap sebagian besar cendekiawan yang pro-barat
dan pro-kapitalisme Foulcher, 1986: 13-26. Lekra memang didirikan enam bulan setelah diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang 18 Februari 1950. Meskipun demikian,
Lekra tidak didirikan secara khusus untuk menjadi pesaing bagi kelompok Seniman. Keprihatian Lekra terutama adalah pada elemen-elemen kapitalisme dan kolonialisme,
yang pada saat itu 1950 sedang berupaya mencengkeramkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Lekra menjalankan prinsip ”politik sebagai panglima’ yang berarti sebelum melakukan penggarapan seni orang harus mengkajinya terlebih dahulu dari aspek politik.
Seperti dikatakan Nyoto, penggagas motto tersebut, ”Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Oleh karena itu, dalam hal apapun dan kapan sajapun, politik harus
menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima” Yuliantri dan Dahlan, 2008: 25- 32. Karena itu, prinsip ini pun dituangkan dalam metode kreatif Lekra yang dirumuskan
sebagai kombinasi 1-5-1. Satu yang pertama adalah prinsip politik adalah panglima. Kelima asas yang kedua adalah: 1 meluas dan meninggi; 2 tinggi mutu ideologi dan
tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; 3 tradisi baik dan kekinian revolusioner; 4 kreativitas individual dan kearifan massa; dan 5 realisme-sosial dan romantik revolusioner. Satu
52
Ada beber apa pandangan yang menolak adanya hubungan or ganisasional antar a Lekr a dengan PKI . Lihat misalnya w aw ancar a penulis dengan sastr aw an Lekr a Putu Oka
Sukanta. Bantahan seper ti itu mungkin ada benar nya tetapi tidak sepenuhnya ber manfaat. Fakta bahw a or ganisasi ini didir ikan oleh par a pemimpin PKI ser ta memiliki kedekatan ideologis
menunjukkan bahwa Lekr a dan PKI memiliki banyak kesamaan ideologis.
53
Ger akan Muso yang gagal itu dikenal sebagai Per istiw a Madiun tahun 1948. Selama Or de Bar u, Per istiw a Madiun disosialisasikan sebagai sebuah upaya Kudeta yang dilakukan oleh
Par tai Komunis I ndonesia.
168
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
yang terakhir adalah metode yang harus dipakai untuk mencapai jalan berkebudayaan itu, yaitu turun ke bawah atau Turba.
Lekra mendapat kesempatan emas karena Sukarno menerapkan prinsip Demokrasi Terpimpin
54
. Garis perjuangan PKI telah menjadi dasar bagi setiap langkah dalam kebudayaan, di mana sokoguru revolusi adalah buruh, tani, dan prajurit. Hal ini
ditegaskan oleh DN Aidit dalam Konperensi Seni dan Sastra Revolusioner KSSR. Salah satu pernyataan Lekra dan PKI adalah mereka akan membabat dan membasmi musuh-
musuhnya.
Selama kurun waktu 1950-1965, Lekra sangat mendominasi dunia kreatif penciptaan karya sastra di Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa Lekra menguasai
panggung kebudayaan Indonesia. Karya-karya sastra para seniman Lekra dipublikasikan melalui harian-harian beraliran komunis seperti Harian Rakjat, Warta Bakti, Terompet
Masjarakat, Bintang Timur. Harian Bintang Timur memiliki sisipan ruang seni-budava bertajuk Lentera 1963-1965 dengan pemimpin redaksi Pramoedya Ananta Toer. Lentera
adalah terompet yang paling lantang suaranva. Di samping menyiarkan propaganda ideologi, di ruangan ini secara sistematik dilakukan serangan-serangan terhadap seniman-
sastrawan yang berseberangan dengan Lekra PKI, termasuk polemik yang sangat tajam dengan sastrawan Manikebu.
Akan tetapi, sejak Lekra dilarang pada tahun 1966, masyarakat tidak lagi mengenal sosok karya sastra, sastrawan, maupun peranannya di dalam sejarah sastra
Indonesia. Yang dikenang masyarakat kesusastraan Indonesia hanyalah bahwa Lekra berhadap-hadapan dan berseteru dengan sastrawan Manifes Kebudayaan manikebuis,
seolah-olah kepedulian Lekra hanya tertuju pada polemik dengan Manikebu. Dalam kenyataannya, Lekra menghasilkan banyak karya seni sastra, drama, seni lukis, dll yang
memiliki peran transformatif dalam masyarakat pada waktu itu. Hasil karya Lekra itu benar-benar terlupakan. Amnesia terhadap peran transformatif Lekra disebabkan karena
lembaga ini dipandang sebagai sebuah organisasi terlarang, sehingga karya-karya seniman Lekra pun secara sengaja dan sistematis dihilangkan dari sejarah Indonesia.
4.5.2 Sastra Angkatan Manikebu