115
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
hasil penelitiannya 2002 menyatakan bahwa, para siswa sekolah kita kebanyakan “Rabun Membaca, dan Lumpuh Menulis”. Meskipun Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK
2004 yang kemudian menjelma menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP 2006 mewajibkan setiap lulusan SMA harus sudah membaca 15 karya sastra fiksi, dalam
dataran praksis hal itu belum dapat terwujud karena berbagai alasan.
Lebih-lebih pada era global yang penuh kompetisi dalam segala bidang kehidupan yang serba cepat serta kemajuan teknologi komunikasi yang memanjakan masyarakat
dengan berbagai produk teknologi komunikasi yang memberikan informasi dan hiburan murah seperti radio, tape recorder, televisi, video, VCD DVD, home theatre, telepon
seluler hand phone, komputer, dan internet, maka minat membaca karya sastra semakin memprihatinkan. Tidak banyak warga masyarakat Indonesia yang suka membaca
karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada kaum terpelajar atau kalangan intelektual dan ibu-ibu muda kelas menengah ke atas. Karya sastra literer misalnya kebanyakan
pembacanya adalah komunitas sastra. Mereka adalah pecandu sastra yang berlatar belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan sebagian lagi adalah kalangan intelektual terpelajar tertentu yang memiliki kegemaran membaca karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit.
Adapun karya sastra popular, mayoritas pembacanya adalah kaum remaja belia Anak Baru GedheABG dan ibu-ibu muda kelas menengah ke atas. Jadi, pembaca sastra kita
sebagian besar adalah masyarakat kota kelas menengah ke atas yang memiliki kesempatan dan dana untuk membeli atau menyewa
Kondisi tersebut terungkap dalam berbagai seminar sastra dan seminar pengajaran sastra di samping dapat dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya sastra
di toko-toko buku dan sedikitnya cetak ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian dalam hal ini untuk beberapa karya sastra fenomenal. Misalnya novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata 2006, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi 2010, Mereka Bilang saya Monyet 2003 dan Nayla 2007 karya Djenar Mahesa Ayu, Saman 1998 dan Larung
2001 karya Ayu Utami, Supernova karya Deedee 2001, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari 1982-1986, Pengakuan Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya
Linus Suryadi A.G. 1981, Khutbah di Atas Bukit 1976 dan Mantera Penjinak Ular 2000 karya Kuntowijoyo, Sri Sumarah 1975 dan Para Priyayi 1992 karya Umar
Kayam, Keluarga Permana 1987 dan Ladang Perminus 1992 karya Ramadhan K.H., Burung-Burung Manyar 1981 dan Burung-Burung Rantau 1987 karya Y.B.
Mangunwijaya 1981, Godlob 1974 dan Adam Ma’rifat 1981 karya Danarto, kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami 1967 dan novel Kemarau 1971 karya A.A. Navis, dan
sederet novel popular yang sangat laris manis.
3. Fungsi Ganda Film Sastra
Film sastra sebagai karya seni memiliki fungsi ganda yakni menghibur sekaligus berguna dulce et utileHoratius, menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu didactic
heresyEdgar Allan Poe, 1995. Film merupakan karya artistik yang indah dan memberikan efek didaktis. Namun, film juga merupakan karya sintetik perpaduan
berbagai cabang seni dan karya kolektif. Artinya, film melibatkan para seniman dari berbagai cabang kesenian, seperti seni rupa, seni desain, seni musik, seni peran acting,
seni sastra, seni tari, dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli teknologi komunikasi
116
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
dan informasi di samping ahli elektronik, kameraman, dan komputer dalam menampilkan adegan-adegan action dan atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Karena itu film
dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai media artistik yang paling kompleks dan memiliki daya pikat yang tinggi.
Sebagai media massa, film sastra dan jenis sinema lainnya memiliki tiga fungsi utama yakni; 1 memberi informasi to inform, 2 mendidik to educate, dan 3
menghibur to entertain. Di samping itu, ada tiga fungsi lain media massa yakni: 4 mempengaruhi to influence, membimbing to guide, dan mengeritik to criticise lihat
Effendi, 1986. Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah baiknya jika kita dapat memanfaatkannya sebagai media sosialisasi kultural bagi kaum muda ataupun
masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan daya artistiknya, film tidak saja memberi penonton hiburan melainkan juga memberi informasi sekaligus memberikan efek edukasi
secara persuasif. Sehingga, seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa, bahkan sebaliknya memanjakan, film mengajak para pentonton memperoleh edukasi kultural
tanpa harus menggurui atau menceramahi penontonnya.
Film sastra, pada hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan sosial-budaya Soebadio, 1993. Di satu sisi film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat
kehidupan sosial pada zamannya dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan kehidupan
budaya. Film memberikan kesaksiannya melalui gambar. Dengan kata lain, film menggunakan cara visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Landasan bagi ungkapan sosial-budaya tersebut adalah keadaan kehidupan sosial- budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu,
dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, mempengaruhi sifat ungkapan yang dikemukakan. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian atas isinya, perlu
diperhatikan keadaan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Implikasinya, bahwa isi film tidak dapat dinilai terlepas dari keadaan masyarakat yang berkaitan. Hal itu
menyangkut perhatian terhadap tingkatan masyarakat dalam pendidikan.
Film merupakan media massa modern dan baru berkembang pada abad XX, sehingga budaya sinema pun belum berkembang dalam kehidupan masyarakat kita.
Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi persoalan kalangan terbatas yakni para insan perfilman lihat Wardhana, 1997. Karena itu, diperlukan sikap
lain dalam menilai dan memahaminya. Film menggunakan media audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang berpendidikan
rendah, bahkan mereka yang belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, dampak film dan karya sinema lainnya jauh lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih
mengkhawatirkan
daripada sastra
Al-Ma’ruf, 1993.
Itulah agaknya
yang melatarbelakangi dibentuknya Lembaga Sensor Film di Indonesia untuk menyensor
adegan-adegan yang dipandang kurang etis atau dinilai tidak mendidik, yang dikhawatirkan dapat merusak sendi-sendi budaya bangsa. Jika kita melihat film dan
kemungkinan disensor karena alasan pendidikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat penonton ataupun kreativitas
kalangan sineas.
117
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
3. Fungsi Edukatif Kultural Film