Motif Politik Mutualisme Sifat novel SdRAS

310 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 telah diisyaratkan kepada beberapa orang linuwih. Dengan kata lain, keberadaan VOC di Jawa merupakan rencana besar cosmic untuk merintis berdirinya NKRI. Perkara terkait termasuk dalam faham kosmologi Jawa. Motif nujum seperti di atas sering ditampilkan dalam tiap-tiap episode dalam teks BTJ-S, mulai dari episode pertama sampai pada episode-episode terakhir. Pada masa pemerintahan Amangkurat II sampai pada keturunannya, Belanda memang memegang peranan penting dalam kebijakan yang diambil oleh kerajaan. Geanologi dengan motif nujum tersebut harus difahami dalam kerangka sastra, bukan kerangka sejarah, mengingat bahwa dalam sastra sejarah babad menampilkan keunikan-keunikan budaya dalam ketiga aspeknya, yaitu benda hasil karya, perilaku sosial, dan cara berfikir masyarakat Koentjaraningrat, 1984:5-6.

2. Motif Politik Mutualisme

Pembahasan pada motif nujum telah memberikan gambaran tentang peran penting Kompeni Belanda dalam ikut melestarikan hegemoni Dinasti Mataram pasca Sultan Agung. Kedatangan Kompeni Belanda di Jawa awalnya hanya berdagang saja. Dikatakan dalam teks BTJ-S bahwa Belanda sering menggempur negeri yang didatanginya dengan perang. Hanya di Jawa ini saja Belanda bersekutu dengan pemerintah Kerajaan yang resmi. Tujuan Belanda adalah mendapat izin usaha dagang dari Mataram. Belanda selalu saja meminta upah jasanya kepada raja Mataram yang berupa tanah daerah takhlukan Mataram tanpa dipungut pajak oleh kerajaan. Tujuan Kompeni berada di tanah Jawa diutarakan oleh Kapten Jaswa bahwasanya hanya untuk mengabdi dan mencari keuntungan BTJ-S: 439. Tabiat orang Belanda juga dituturkan oleh Ki Suraadimenggala: “…Tabiat orang Kumpeni itu sangat kurang ajar; jika sudah mendapat tempat berpijak tentu naik ke bahu. Artinya, jika dituruti satu permintaannya, terus akan bertambah lagi keinginan yang lain” BTJ-S: 366. Kompeni Belanda digambarkan begitu pandai memanfaatkan konflig antar pembesar Jawa. Sebagai contoh, Belanda mengajukan permintaan kepada Sinuhun Pakubuwana I untuk membunuh dipati Jangrana dari Surabaya, dan jika permintaan tidak dikabulkan, maka Jendral Kompeni hendak memutuskan persahabatan dengan Sinuhun dan bergabung dengan Sunan Mangkurat Mas Mangkrat III yang ketika itu menjadi buron Sinuhun Pakubuwana I BTJ-S:389, 391. Pada masa pemerintahan Mangkurat II, Mataram hendak memutuskan hubungan dengan Kompeni dengan jalan menumpas habis pasukan Belanda yang berada di Jepara BTJ-S: 290. Namun atas saran Pangeran Puger yang kelak menjadi Pakubuwana I, agar menghadapi Kompeni jangan dengan cara terbuka. Perlawanan terhadap Kompeni secara tertutup ini dimulai dengan pertarungan Untung Surapati. Politik mutualisme yang dibangun antara pihak Mataram dengan pihak Kompeni Belanda adalah 1 Mataram membutuhkan tenaga Kompeni Belanda untuk memperkuat kekuatan militernya dalam menangani pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah Jawa, 2 Mataram membutuhkan pengakuan legal formal dari Dewan Kompeni yang ada di Betawi untuk menjaga eksistensi dan hegemoni Mataram, 3 Kompeni membutuhkan izin usaha di Jawa dari raja Mataram, 4 Kompeni hendak meraub untung usaha sebesar- 311 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 besarnya dengan jalan memonopoli perdagangan di daerah-daerah pesisir Jawa yang diminta sebagai bayaran memperbantukan kekuatan militer. Jelasnya, Kompeni hanya mau bersahabat dengan penguasa Jawa raja Mataram yang paling kuat. Kompeni tidak mau terlibat langsung dengan konflig perebutan kekuasaan Mataram, prinsipnya, siapapun yang mejadi raja Mataram, kepada dialah Kompeni mengabdi dan bekerjasama. Pihak Kompeni selalu menempatkan pasukan khusus untuk menjaga keamanan raja Mataram yang beristana di Kartasura. Hal ini mestinya tidak difahami sebagai cara Belanda untuk memantau pemerintahan Mangkurat dan Pakubuwana saja, namun juga harus difahami sebagai tanda bukti pengabdian Belanda ke raja Jawa. Konvensi ini berdasarkan pada kerangka pemahaman karya sastra, dan sekali lagi bukan kerangka sejarah. Dalam masalah pengawalan ini saja telah tercermin suatu bentuk politik saling mengawasi untuk kepentingan kedua belah pihak. Kedua belah pihak, antara Mataram dan Belanda sama-sama tidak menginginkan kehilangan kendali atas pihak yang lain.

B. Percaturan Politik Dinasti Mataram

Ajaran “satya wacana” atau menepati janji Jw: Sabda Brahmana Raja datan kena wola-wali inilah yang dimanfaatkan oleh Kompeni untuk memanfaatkan kekuasaan raja- raja Jawa. Dengan mengusung perjanjian-perjanjian silam, Kompeni dengan leluasa ikut menentukan keadaan di Jawa. Usaha untuk memperbarui perjanjian dengan raja Mataram juga selalu dilakukan. Daerah-daerah yang diminta oleh Kompeni kepada raja Mataram membuat wilayah perekonomian bidang pangan dan dagang Mataram menyempit. Kekuasaan kompeni mulai menandingi kekuasan raja Mataram pasca Mangkurat I. Hal ini terbukti dengan menyerahnya Mangkurat Mas kepada kompeni, menyerahnya adipati di Madura kepada Kompeni. Kompeni dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman Mataram. Namun sesungguhnya banyak disuguhkan oleh episode-episode dalam teks, siapapun yang menyerah kepada Kompeni, selalu dilaporkan juga kepada Sinuhun Mataram. Hal ini mengisyaratkan bahwa Kompeni takut akan kekuasaan raja Jawa, dengan kata lain, Kompeni juga tidak berani memutuskan kerjasama dengan raja Mataram. Episode ketika Pangeran Puger Pakubuwana I memberontak kepada kemenaknnya Sinuhun Mangkurat III mendapat bantuan sepenuhnya dari Kompeni. Dijelaskan oleh BTJ-S bahwa Kompeni tidak menyukai tabiat Pakubuwana II karena dianggap sebagi raja yang sombong, tidak seperti para pendahulunya. Sesungguhnya, dengan kekuatan dan kesetiaan pada bupati dan dipati dari Surabaya, Madura, dan seluruh pesisir utara Jawa, Pangeran Puger tidak memerlukan bantuan Kompeni untuk menjadi raja di Kartasura. Pentahbisan menjadi raja dalam BTJ-S digambarkan dengan begitu mudahnya. Asal seseorang tersebut dari keturunan Mataram, maka ia berhak mengumumkan secara sepihak bahwa ia adalah seorang raja. Legal formalnya, setelah ia berhasil membobol dan menduduki istana leluhurnya. Kondisi seperti ini membuat rakyat tidak tenteram, sebab rakyat se-Jawa kebingungan untuk mengikuti siapa majikannya. Peran Kompeni Belanda dalam percaturan Politik Jawa pertama kali dimulai ketika pasukan militer Belanda membantu Mangkurat II merebut kekuasaan Mataram dari tangan Trunajaya. Mulai saat itu Mangkurat II merasa memiliki hutang budi terhadap Kompeni. Politik hutang budi ini kemudian dimanfaankan oleh Kompeni untuk menekan Mangkurat II. Kompeni mulai berani meminta matinya para bawahan raja Jw: sentana 312 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 yang dianggap berbahaya bagi keberadaan Kompeni di tanah Jawa. Peran kedua, Kompeni membantu Pangeran Puger merebut takhta Mataram dari tangan Mangkurat III, ketiga Kompeni membantu Pakubuwana I memukul pemberontakan di Surabay dan Madura, keempat Kompeni membantu Pakubuwana II meredam pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh adik-adiknya. Awalnya, Kompeni menggunakan politik militer, untuk berikutnya Kompeni mulai merangsang ke politik ekonomi dengan meminta daerah-daerah bawahan Mataram yang sangat berpotensi untuk meraub keuntungan dari perdagangan. Kebijakan Kompeni di Jawa didasarkan atas beberapa hal, yaitu 1 membuat ketergantungan mutlak pemerintahan Mataram terhadap Kompeni, 2 perhitungan yang matang dalam bertindak, 2 menyenangkan hati para bangsawan pejabat Jawa. BTJ-S belum mengisyaratkan adanya politik devide et impera yang berarti suatu prinsip dominasi untuk memecah belah dan menjajah. Politik devide et impera diterapkan oleh Kompeni sejak pecahnya Mataram menjadi dua kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta, yakni pada awal abad 18 ARA koleksi Van den Bosch No. 220 f. 303 dalam Hauben, 2002:148. BTJ-S memberi keterangan bahwa Kompeni tidak pernah bisa memberikan penyeleaian atas konflig-konflig yang terjadi di Jawa dan krisis dinasti Mataram perang suksesi Jawa. Inisiatif masih dipegang oleh tokoh-tokoh politikus Jawa, yang dtangan merekalah analisis untuk menyelesaikan masalah kerajaan terpusat. Secara konvensional, raja Mataram hanyalah symbol, sedangkan urusan kenegaraan dipegang oleh sang mahapatih. Kebijakan-kebijakan diambil berdasarkan rapat anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat penting di tata pemerintahan Mataram. Ketakwenangan Kompeni dalam ikut campur masalah internal kerajaan tersurat dalam BTJ-S pada episode-episode terakhir, ketika Patih Danureja menegur komisaris Belanda bernama Dulkup yang berani mengangkat bupati Semarang tanpa meminta izin dari raja di Kartasura. Karena merasa bersalah si komisaris meminta belas kasihan ki patih agar tidak melaporkan kejadian tersebut ke Kartasura. Surat patih Danureja menegakan kedudukan serta wewenang Kompeni di Semarang, bahwa Kompeni tidak diberi wewenang untuk mengangkat seorang bupati daerah itu. Kompeni hanya berhak mengawasi dalam pekerjaan, dan apabila si bupati melakukan kesalahan, kumpeni harus melaporkan ke Kartasura. Kumpeni juga tidak berhak untuk menghukum kesalahan pejabat kerajaan. BTJ-S belum melihat keberadaan Kompeni di Jawa sebagai bahaya di masa yang akan dating. Sebagai bangsa asing, Kompeni hanya dilihat sebagai rekan politik dan rekan militer yang bisa diandalkan untuk beberapa hal. Sorotan utama yang dianggap berbahaya dalam teks BTJ-S adalah keretakan-keretakan diantara pemimpin Jawa yang sangat penting untuk disatukan demi menopang hegemoni penguasa tunggal di Jawa.

C. Fungsi BTJ- S

Teks babad memiliki fungsi di luar teks. Fungsi yang pertama adalah memberikan legitimasi kepada penguasa. Dengan memberi legitimasi tersebut, babad juga menduduki fungsi sebagai magi sastra Berg, 1985:41. BTJ-S memberikan informasi silsilah Dinasti Mataram yang berhak secara legal menduduki takhta Mataram memerintah seluruh Jawa 313 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 yang disusun dalam genealogi leluhur Mataram. BTJ-S memberikan gambaran cerdas tentang bagaimana cara pandang politkus Jawa terhadap keberadaan Kompeni di tanah Jawa. BTJ-S memberikan legitimasi terpusat, yakni legalitas pemerintahan Mataram yang memerintah seluruh Jawa. Motif-motif yang didapati dalam penelitian ini berdasarkan batasan masalah menunjukkan bahwa kekuasaan kerajan Mataram begitu besarnya sehingga mampu menguasai hampir seluruh Jawa. BTJ-S selalu mengisahkan lika-liku kehidupan manusia, keberlangsungan dinasti dan perjuangannya menghadapi diri dan lingkungannya. BTJ-S juga berfungsi sebagai ajaran untuk selalu berhati-hati dalam berpolitik; sikap waspada menghadapi orang asing, bahkan bangsa ataupun saudara sendiri. BTJ-S memberikan wawasan selayang pandang tentang bentuk pemerintahan jaman Mataram; kebijakan politik, kebijakan militer, dan kebudayaan. PENUTUP Simpulan penelitian ini bahwa universalitas teks BTJ-S padat dengan informasi peperangan para pembesar Jawa. Penulis BTJ menunjukkan kengerian yang terjadi dalam peperangan penakhlukan wilayah dan suksesi perang Jawa memperebutkan takhta dinasti Mataram. Efek peperangan yang kunjung surut seperti ketakstabilan pangan, politik, ketentraman, dan krisis kepercayaan serta mental. Dari episode awal sampai episode terakhir, pembaca selalu disuguhi ceritera-ceritera penakhlukan, pembunuhan, dan pemberontakan. BTJ-S juga menyampaikan ajaran jiwa keprajuritan, jiwa pengabdi bagi kesatria Jawa. Peperangan yang terus-menerus terjadi membuat Belanda megalami krisis ekonomi, sampai-sampai belanda harus meminta beras kepada Pakubuwana I untuk menghidupi pasukan militernya yang berada di Kartasura. Bagi Kompeni yang terpenting adalah perdamaian dan stabilitas dengan biaya serendah-rendahnya lihat Ricklefs, 2002:160. Peran Kompeni Belanda dalam percaturan politik Dinasti Mataram dimulai sejak Susuhunan Mangkurat II dan kerjasama ini dilanjutkan oleh raja-raja Mataram berikutnya. Kompeni dan Mataram saling mengawasi dan mengontrol dengan tujuan awal untuk saling menguntungkan. Penelitian yang mengambil objek karya sastra perlu digalakkan dengan perspektif- perspektif baru, menimbang bahwa karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan kondisi budaya. Karya sastra babad menyimpan ide, gagasan, dan pola berpikir masyarakat pada masanya. Ide, gagasan, pola piker masa lalu inilah yang membangun kebudayaan di masa lampau, maka dengan mempelajari kebudayaan silam dapat dibangun kebudayaan masa kini. D AFTAR PUSTAKA Audifax. 2007. SEMIOTIKA TUHAN : Tafsir atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Berg, C. C. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhatara Karya. Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual saduran Firmansyah Argus. Yogyakarta: Jalasutra. 314 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Hartarta, Arif. 2011. Makalah: Mencerap Karya Sastra dalam Prosiding Seminar Nasional “Peranan Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa dalam Membentuk Karakter Bangsa”. Solo: FSSR Publishing. Houben, Vincent J. H. 2002. KERATON DAN KOMPENI : Surakarta dan Yogyakarta, 1830- 1870 terjemahan E. Setiyawati Alkhatab. Jogjakarta: Bentang Budaya. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 : Sejarah Pembagian Jawa terjemahan Hartono Hadi Kusumo dan E. Setiyawati Alkhatab. Yogyakarta: Matabangsa. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas sebelas Maret University Press. Sudibjo Z. H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Teeuw, A. 1984. Indonesia as a ‘Field of Literary Study’ A Case door W. L. Olthof. Dordrecht: Foris Publication. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 315 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 PENI NGKATAN KETRAMPI LAN APRESI ASI SASTRA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DENGAN MEDI A CAMPURSARI PADA SI SWA KELAS XI I PA 1 SMAN 2 BANGUNTAPAN Venny I ndria Ekow ati FBS Universitas Negeri Yogyakarta vennyindriagmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan apresiasi sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa pada siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan, Bantul dengan menggunakan campursari sebagai media pembelajaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus diadakan selama tiga-empat kali pertemuan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan, Bantul. Data diperoleh dari tes, angket, dan lembar pengamatan. Teknik keabsahan data yaitu expert judgement dan diskusi dengan kolaborator. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian ini adalah pembelajaran bahasa Jawa dengan menggunakan media karakter wayang Kancil dapat meningkatkan motivasi siswa, sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Siswa menjadi tidak cepat bosan dalam mengikuti PBM. Sikap, perhatian, dan partisipasi siswa meningkat. Berdasarkan pengamatan peneliti, perilaku negatif siswa turun sebesar 28 dan perilaku positif naik 19 pada akhir siklus pertama. Kemudian pada akhir siklus kedua, perilaku negatif siswa kembali turun 21 dan perilaku positif naik 8 . Prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan. Nilai rata-rata pretest pada awal siklus pertama adalah 38,06. Kemudian pada post-test siklus I meningkat menjadi 66,53. Rata-rata nilai yang diperoleh pada post-test siklus kedua meningkat menjadi 87,40. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan media campursari dapat meningkatkan ketrampilan apresiasi sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa. Kata kunci : apresiasi sastra, campursari A. PENDAHULUAN Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor: 423.5 0912 tanggal 29 Maret 2005 menetapkan bahwa pelajaran bahasa Jawa harus diajarkan di SMASMK MA yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai muatan lokal wajib. Berbagai permasalahan seputar proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMA mengemuka dalam berbagai forum. Kondisi ini kerap menjadi rasanan ‘bahan pembicaraan’ antarguru. Berdasarkan permasalahan yang sering dikeluhkan oleh guru, guru-guru bahasa Jawa di SMA sering mengalami kesulitan dalam pengembangan bahan karena keterbatasan pengetahuan mengenai literatur yang dapat menjadi acuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar guru bahasa Jawa di SMA bukan merupakan guru dengan latar belakang pendidikan yang sama dengan mata pelajaran yang diampunya. 316 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Selain keterbatasan literatur, guru-guru juga kesulitan untuk mendapatkan media yang sesuai dengan materi pembelajaran. Jadi sebagian guru hanya mengajar dengan sistem text book ‘menuang dari buku ajar’ kemudian disampaikan kepada para siswa. Kurangnya responsifnya siswa terhadap pelajaran yang diajarkan dikarenakan oleh berbagai faktor juga menjadi salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh para guru. Salah satu hal yang kerap dikeluhkan oleh guru dalam mata pelajaran bahasa Jawa adalah pembelajaran kompetensi sastra. Memang pengajaran sastra di sekolah merupakan topik hangat yang selalu mengemuka dalam berbagai diskusi maupun seminar sastra. Semua diskusi tersebut berujung pada satu kesimpulan bahwa pengajaran sastra di sekolah dianggap tidak berhasil. Banyak faktor yang dianggap sebagai biang keladi ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah. Salah satu faktor penyebabnya adalah mekanisme masih dicangkokkannya pembelajaran sastra dalam pembelajaran bahasa. Hal ini memunculkan anggapan bahwa pelajaran sastra dianggap kurang begitu penting. Selain itu, juga berimplikasi pada alokasi waktu yang sangat terbatas untuk mengajarkan sastra di sekolah Hidayat, 2002: 106. Kesimpulan lain lebih menuding guru sebagai penyebab terupuruknya pembelajaran sastra di sekolah. Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian Yus Rusyana 1999 yang menyatakan bahwa sekitar 41 guru kurang mengetahui bagaimana cara mengajarkan sastra. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah, juga memadukan antara bahasa dan sastra. Untuk pengajaran sastra Jawa, keadaannya diperparah dengan adanya pengetahuan yang sangat dangkal dari para siswa mengenai bentuk-bentuk kesastraan Jawa. Disebabkan saat ini para siswa sendiri kurang menguasai bahasa Jawa, sehingga timbul keengganan mereka untuk membaca dan mempelajari bentuk-bentuk kesusastraannya. Kurangnya penggunaan media pembelajaran yang menarik dan atraktif juga membuat siswa bosan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran. Bentuk-bentuk sastra Jawa, dewasa ini sebenarnya muncul dalam gubahan baru. Misalnya yang dapat dijumpai pada puisi, drama, maupun cerita pendek. Bentuk-bentuk sastra Jawa juga muncul pada teks-teks lagu campursari yang populer dan dikenal luas oleh masyarakat Jawa dalam berbagai usia. Para siswa SMA juga cukup familier dengan lagu-lagu campursari. Tidak jarang mereka juga hafal lirik lagu maupun iramanya. Namun para siswa tidak sadar bahwa sebenarnya dengan tidak sengaja mereka telah menghafal bentuk-bentuk kesastraan Jawa yang digunakan dalam syair lagu campursari. Bentuk-bentuk kesastraan Jawa dalam lagu campursari cukup beragam. Misalnya yang berbentuk purwakanthi, parikan, wangsalan, pepindhan, dan lain-lain. Tentunya bentuk-bentuk sastra dalam syair lagu campursari akan lebih membekas di benak para siswa daripada bentuk-bentuk sastra ini diajarkan dengan teknik hafalan seperti biasa. Oleh karena itu, campursari bisa digunakan sebagai salah satu media pembelajaran alternatif yang menarik dalam mengajarkan sastra Jawa. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencobakan campursari sebagai media pembelajaran sastra di SMA. Sekolah yang akan dipakai sebagai setting penelitian adalah SMAN 2 Banguntapan yang dahulu lebih dikenal sebagai SMAN 12 Yogyakarta. SMA ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan diskusi dengan guru, para siswa masih kesulitan dalam menerima pelajaran mengenai sastra Jawa. Selain itu berdasarkan pengamatan, selama peneliti menjadi pembimbing PPL di sekolah ini, 317 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 guru mata pelajaran bahasa Jawa maupun siswa-siswanya cukup kooperatif dalam menerima mata pelajaran bahasa Jawa.

B. KESUSASTRAAN JAWA

Kesusastraan Jawa adalah semua bentuk hasil karya adi luhung yang memuat keindahan-keindahan yang digubah dengan menggunakan bahasa Jawa. Menurut Padmosoekotjo 1953:10-11, sastra Jawa tidak terbatas pada karya yang tertulis dalam naskah-naskah maupun buku-buku, tetapi juga sastra lisan. Tidak terbatas pula pada karya yang ditulis dengan aksara Jawa, tetapi bisa ditulis pula dengan aksara Latin, Arab, maupun aksara yang lain. Selain itu, karya sastra juga tidak dibatasi pada hasil karya suku Jawa. Karya siapapun bisa disebut dengan karya sastra Jawa jika memenuhi kriteria tersebut di atas. Kasusastran Jawa dapat dibentuk dari keindahan sastra sebagai berikut: 1 tembung saroja, 2 yogyaswara, 3 tembung garba sandi, 4 rura basa, 5 kerata basa, 6 tembung entar, 7 paribasan, 8 bebasan, 9 saloka, 10 sanepa, 11 cangkriman, 12 wangsalan, 13 dasanama, 14 purwakanthi,15 parikan, 16 guritan, 17 ukara sesumbar, 18 gugon tuhon, 19 donga dan japa mantra, 20 isbat, 21 suluk, 22 pralambang, 23 basa paprenesan, 24 kasusastran kang tinemu ana ing gendhing, 25 pepindhan, 26 candra, 27 basa rinengga, 28 sandi asma, dan 29 sengkalan. Pembagian di atas bukan berarti bahwa sastra Jawa bisa dipisah-pisahkan. Pembagian menjadi 29 macam tersebut diumpamakan sebagai unsur-unsur pembangun suatu karya sastra Jawa. Jika hasil karya sastra Jawa diumpamakan sebagai makanan, maka 29 bentuk sastra Jawa di atas merupakan bahan-bahan mentah sekaligus bumbunya. Karya sastra Jawa yang memenuhi kriteria keindahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1 memakai paramasastra ‘tata bahasa’ sebagai pedoman, 2 menggunakan bahasa indah, dan 3 menter ‘berisi’ Padmosoekotjo, 1953: 20. A. CAMPURSARI 1. Pengertian Campursari Salah satu kesenian yang banyak menggunakanbentuk-bentuk sastra adalah campursari. Kesenian campursari merupakan jenis musik baru yang mulai dikenal pada era tahun 80-an. Campursari, dalam waktu singkat berkembang dan menyebar secara luar biasa. Bahkan sebanding dengan penyebaran pop Barat. Campursari merupakan percampuran musik yang terdiri dari beberapa unsur dasar karawitan, keroncong langgam, dan musik pop Setiono, 2003: 198. Campursari pada umumnya menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis secara harmonis. Alat musik yang biasa dipakai adalah piano, rebab, gitar, saron, demung, kendang, dan gong. Campursari paling tidak dapat menjelma dalam lima wujud, yaitu 1 lelagon campursari, 2 Sekar Gendhing Campursari, 3 Macapat Campursari, 4 Lelagon Dolanan Campursari, dan 5 Langgam Campursari. Sesuai dengan hasil penelitian BAPEDA DIY 2004, kesenian campursari, berkembang secara pesat di masyarakat dewasa ini. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa 100 responden, menyatakan bahwa campursari masih hidup di 318 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 lingkungan mereka. Walaupun berdasar pada bentuk kesenian tradisi Jawa yang menggunakan gamelan, namun kesenian ini dapat berpadu secara selaras dengan alat musik modern. Campursari merupakan kesenian yang sangat fleksibel sehingga mampu diterima masyarakat luas. Kesenian ini semakin berkembang, sejalan dengan maraknya industri rekaman yang mengemas produk campursari secara modern melalui format VCD, DVD, dan lain-lain yang disiarkan secara luas melalui televisi. Kehadiran televisi lokal dewasa ini juga berperan besar pada perkembangan campursari. Dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, campursari juga berpadu dengan jenis-jenis musik yang lain seperti keroncong, dangdut, pop, dan lain-lain. Syair dan daya tarik penyanyi campursari yang kian variatif juga mendorong campursari makin mengedepan di masyarakat. Kehadiran campursari kian marak di upacara-upacara tradisi, panggung-panggung hiburan, dalam pertunjukan wayang, dan lain-lain.

2. Bentuk- Bentuk Sastra dalam Campursari