Strukturalisme Levi- Strauss Penghapusan Ada Sesuatu Ada

188 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 merah’ dengan menghadirkan relasi-relasi melalui ceriteme-ceriteme yang ada dan menyusunnya secara sintagmatis dan paradigmatic Ahimsa, 2001:272. Untuk memahami ceriteme-ceriteme mana yang cocok dengan masalah yang diangkat, perlu perhatian khusus pada tokoh-tokoh tertentu agar mampu menampakkan makna-makna yang diharapkan. Dalam PP dan Pasar dapat diketahui bagaimana perilaku priyayi dan bagaimana kawula begitu mengagungkan dan menjadikan perilaku priyayi sebagai model dan standar norma dan niali kehidupan yang baik. Dengan bekal dua cerita di atas kita dapat memahami bagaimana para priyayi menghadapi wong cilik dan bagaimana pengabdian wong cilik kepada priyayi. Namun ketika membaca novel GP, kita akan menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan dua bekal yang telah kita miliki. Bekal itu akan dirusak dengan kehadiran seorang bendoro yang rajin ibadah sekaligus sering kawin cerai dan menganggap wong cilik tidak berguna dan tidak berharga. Kehidupan priyayi adalah mengerikan dan lebih ganas dari ganasnya laut. Hal lain yang menarik adalah ketika salah seorang pembantu bendoro, Mardinah, yang sebenarnya adalah anak seorang priyayi dipaksa kawin oleh penduduk dengan Si Dul Gendeng, wong cilik dari pesisir pantai yang malas bekerja. Namun demikian Mardinah merasa senang dan bahagia. Inilah yang membuat GP berbeda dengan dua novel sebelumnya. Untuk mengetahui ‘benang merah’ ketiga novel diatas, makalah ini menerapkan analisis struktural ala Levi’s-Strauss seperti yang elah dicoba oleh Ahimsa 2001 dalam menganalisis Para Priyayi, Bawuk, dan Sri Sumarah.

2. Strukturalisme Levi- Strauss

Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganggap bahwa teks naratif, misalnya mitos atau cerita, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah kesatuan yang bermakna meaningful whole, yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran seseorang, seperti halnya sebuah kalimat memperlihatkan atau mengejawantahkan pemikiran seorang pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan pengertian bahwa dia diartikulasikan dari bagian- bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks merupakan kumpulan peristiwa atau bagian- bagian yang bersama-sama membentuk sebuah cerita atau menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Lévi-Strauss ini secara implisit menganut pandangan bahwa sebuah cerita, seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan hasil dari suatu proses artikulasi Pettit, 1977:40-43. Mitos tersusun dari satuan-satuan yang disebut mytheme mythemes atau gross constituent unit. Setiap mytheme akan terdiri atas satu relasi yang bukan merupakan relasi terisolasi, melainkan satu bundel relasi. Satu bundel relasi adalah relasi-relasi dalam satu kolom yang akan menghasilkan makna jika menetapkan satu bundel relasi dan mengombinasikannya. Dengan kata lain, bila substansi mitos adalah cerita, satuan-satuan yang membentuknya adalah bukan sebagaimana yang terdapat dalam bahasa. Satuan- satuan mitos tersebut tidak dapat ditemukan dalam fonem, morfem, ataupun semem, tetapi pada tataran yang lebih tinggi lagi sehingga untuk mengidentifikasinya dan mengisolasi mytheme yang ada sebaiknya dicari dalam tataran kalimat Lévi-Strauss, 1963: 206-207. 189 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Analisis struktural tentang struktur ini dibedakan menjadi dua, yakni struktur lahir, struktur luar surface structure dan struktur batin, struktur dalam deep structure. Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah dibuat, tetapi tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya Ahimsa-Putra, 2001:63-66. Relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan, oposisi biner yang paling tidak memiliki dua pengertian, yakni oposisi biner yang bersifat eksklusif, seperti pada kategori: menikah-tidak menikah dan lulus-tidak lulus; dan oposisi biner yang tidak eksklusif, yang dapat ditemukan dalam berbagai macam kebudayaan, seperti: air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari- rembulan, hitam-putih, besar-kecil, dan panjang-pendek. Logikanya, oposisi-oposisi ini memang tidak eksklusif, tetapi dalam konteks yang khusus, dapat pula dikategorikan sebagai oposisi eksklusif, sebagaimana terlihat dalam mitos-mitos yang dianalisis oleh Lévi-Strauss, yang antara lain terlihat dalam Kisah Oedipus. Makalah ini membandingkan tiga novel secara bersama-sama dan masing-masing diperlakukan seperti fonem yang mempunyai arti atau makna saat disandingkan dengan dipasangkan dengan sistem atau elemen yang lain seperti kata batu dan satu . Fonem b dan s menjadi sangat jelas maknanya. Fonem-fonem tersebut mempunyai ciri pembeda sehingga masing-masing bisa dikenali dengan ciri pembedanya tersebut. Pada makalah ini, ketiga novel dicari ciri pembedanya sehingga maknanya bisa lebih dijelaskan. 3. Pandangan Tokoh Terhadap Priyayi Beberapa ceriteme yang ada dalam PP, Pasar, dan GP dapat dirangkum dalam latar belakang pandangan tokoh terhadap priyayi. Dari rangkuman ini akan terlihat berbagai persamaan dan perbedaan pandangan sehingga ditemukan ‘benang merah’ di antara ketiga novel. Dalam GP, priyayi sejati menurut keluarga bendoro adalah Bendoro yang justru tidak pernah mengurusi wong cilik, bujang, atau pembantu. Dalam PP, Pariyem adalah pembantu di keluarga priyayi. Kedudukannya sebagai pembantu, babu, disadari dan diterimanya sebagai sebuah kodrat yang harus dijalani dengan sepenuh hati tanpa harus nggresula. Rasa terpanggil dalam pengabdiannya lebih utama ketimbang bandha donya. Kedudukannya dan pandangan wong cilik terhadap priyayi adalah sepenuhnya mengabdi. Pengabdian yang mutlak tanpa mempertimbangkan imbalan. Paijo dalam pasar adalah tukang karcis yang menarik uang dari para pedagang di pasar. Dia adalah satu-satunya pembantu mantri pasar. Bagi Paijo, tingkah laku, ucapan dan pendapat seorang bendoro, seorang priyayi, seorang Pak Mantri adalah baik dan ideal. Hal itu menjadikan ia sebagai priyayi baru, manggantikan Pak Mantri. Menurut Pak Mantri, sebagai priyayi ia harus terlihat tenang, sabar, dan mampu menghadapi segala cobaan. 190 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Pandangan priyayi terhadap dirinya dan hubungannya dengan wong cilik adalah memberi, tetapi terdapat bayang-bayang bahwa pemberian itu dalam rangka mempertahankan martabat kepriyayiannya. Priyayi Priyayi Memberi Wong cilik Gumpalan ilmu Gadis Pantai dalam GP adalah anak nelayan yang hidup di pesisir pantai. Dengan modal kecantikan gadis Pantai, orang tuanya menikahkannya dengan seorang bendoro. Perkawinan inipun atas kehendak bendoro setelah melihat kecantikannya. Sebenarnya Gadis Pantai tidak suka dikawinkan dengan bendoro. Perkawinannya dengan bendoro, yang waktu itu digantikan dengan sebilah keris, merupakan awal dari perampasan kebebasannya. Ia tak tahu apa yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombaknya yang amis. GP, 2003:12. Penggambaran yang jelas dalam GP adalah bahwa priyayi menginginkan penghormatan dan pengabdian dari wong cilik. Segala hal yang diperbuat dan diberikan kepada wong cilik adalah semata-mata untuk kehidupan priyayi itu sendiri. Priyayi memberi Wong cilik Pariyem, Paijo, dan Gadis Pantai sebagai wong cilik yang berhubungan langsung dengan priyayi mempunyai harapan dan pandangan sendiri-sendiri. Pariyem ingin mengabdi sepenuhnya kepada bendoro tanpa mengharapkan balasan. Paijo ingin menunjukkan bahwa ia setia kepada atasannya. Gadis Pantai yang sebenarnya tidak menyukai kehidupan priyayi berusaha ingin menuruti kehendak orang tuanya agar ia bisa jadi priyayi. Dari uraian tentang pandangan tokoh terhadap priyayi dalam tiga novel di atas kita akan melihat rangkaian berikut. Pariyem : PP - mengabdi - tidak mengharap balas Paijo : Pasar tidak mengabdi Gadis Pantai : GP …… - ingin jadi priyayi menuruti keinginan orang tuanya Wong cilik 191 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Gadis Pantai : GP …............................. …… Hidup sengsara Jadi priyayi Paijo : Pasar Hidup bahagia Pariyem : PP ….. tidak jadi priyayi Dalam rangkaian di atas kita dapat melihat pasangan oposisi dan elemen yang menyatukannya. Pariyem, Paijo dan Gadis Pantai adalah sama-sama wong cilik. Hal yang menjadikan mereka berbeda beroposisi Paijo dan Pariyem bertekad untuk mengabdi kepada priyayi sedangkan Gadis Pantai tidak. Paijo dan Pariyem tidak mengharapkan balas jasa sedangkan Gadis Pantai ingin mendapat perhatian lebih dari priyayi. Sementara pada rangkaian selanjutnya, Paijo dan Gadis Pantai bersatu menjadi priyayi dan beroposisi dengan Pariyem yang tidak menjadi priyayi. Namun, posisi Paijo dan Pariyem bersatu lagi yaitu sama-sama hidup bahagia beroposisi kembali dengan Gadis Pantai yang tidak hidup bahagia.

4. Relasi- Relasi Antartokoh