2.6.2.4.2 Fosfor P
Unsur Pospor merupakan salah satu bahan kimia yang keberadaannya sangat penting bagi semua makhluk hidup, terutama dalam pembentukan protein
dan transfer energi di dalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : a fosfor anorganik; b fosfor
organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan c fosfor oragnik terlarut dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme Barus,
2004. Secara alami, senyawa fosfat yang terdapat pada perairan bersumber dari
hasil pelapukan batuan mineral seperti Fluoropatite Ca
5
PO
4 3
F, Hydroxylapatite Ca
5
PO
4 3
OH dan Whytlockite Ca
3
PO
4 2
dan dari hasil dekomposisi sisa-sisa organisme di dalam air. Selain sumber alami, senyawa fosfat juga dapat
bersumber dari faktor antropogenik yang antara lain berasal dari limbah rumah tangga seperti deterjen, limbah pertanian pupuk, limbah perikanan dan limbah
industri. Sawyer dan Mc.Carty 1978 menyatakan bahwa senyawa fosfor anorganik yang terdapat pada perairan berada dalam dua bentuk, yakni : a dalam
bentuk ortofosfat, yang terdiri dari trinatrium fosfat Na
3
PO
4
, dinatrium fosfat Na
2
HPO
4
, mononatrium fosfat NaH
2
HPO
4
dan diamonium fosfat NH
3 2
HPO
4
: b dalam bentuk polyfosfat, yang terdiri dari natrium hexametafosfat Na
3
PO
3 6
dan natrium tripolifosfat Na
5
P
3
O
10
. Orthofosfat merupakan bentuk senyawa fosfat yang dapat dimanfaatkan
oleh tumbuhan akuatik secara langsung sebagai sumber fosfat, sedangkan poly fosfat merupakan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan tumbuhan secara
Universitas Sumatera Utara
langsung, oleh sebab itu agar senyawa polyfosfat dapat dimanfaatkan tumbuhan akuatik sebagai sumber fosfat, maka senyawa polyfosfat harus terlebih dahulu
mengalami hidrolisa menjadi senyawa ortofosfat. Oleh karena senyawa orthofosfat merupakan senyawa yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman termasuk fitoplankton dan alga pada perairan, maka kesuburan suatu perairan dapat ditentukan berdasarkan kandungan
orthofosfatnya. Vollenweider dalam Wetzel 1975 mengklasifikasikan tingkat kesuburan suatu perairan berdasarkan tinggi rendahnya kandungan orthofosfat
pada perairan tersebut Tabel 2.1
Tabel 2.1 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Konsentrasi PO
4
No Klasifikasi
Orthofosfat PO
4
mgl
1 Oligotrofik
0,003-0,01 2
Mesotrofik 0,011-0,03
3 Eutrofik
0,031-0,1
Sumber : Vollenweider dalam Wetzel 1975
Kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27 – 5,51 mgl, di mana apabila konsentrasinya kurang dari 0,02 mgl, maka
fosfat akan menjadi faktor pembatas. Perairan dengan konsentrasi fosfat yang rendah 0,00-0,02 mgl akan didominasi oleh fitoplankton dari kelas
Chlorophyceae, pada konsentrasi fosfat yang sedang 0,02 – 0,05 mgl akan didominasi oleh kelas Bacillariophyceae Diatoma, sedangkan pada konsentrasi
fosfat yang tinggi 0,10 mgl akan didominasi oleh kelas Cyanophyceae ganggang biru-hijau. Secara umum suatu badan air yang telah mengalami proses
Universitas Sumatera Utara
eutrofikasi dapat ditandai dengan adanya kenaikan konsentrasi nutrien N dan P Suryono et al., 2010.
2.7 Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung KJA
Budidaya ikan sistem KJA merupakan kegiatan budidaya ikan yang dapat dikembangkan secara intensif dengan kepadatan densitas ikan budidaya yang
cukup tinggi, sehingga tidak dapat lagi hanya dengan mengandalkan sumber makanan dari yang tersedia secara alami di perairan, melainkan harus didatangkan
dari luar sebagai pakan tambahan. Pada umumnya pakan tambahan yang diberikan adalah pakan buatan yang disebut pelet.
Secara ekonomi usaha budidaya ikan dengan sistem kerambah jaring apung mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: a menambah efisiensi
penggunaan sumberdaya, b dapat meningkatkan produksi ikan, c memberikan pendapatan yang lebih teratur dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha
penangkapan. Namun demikian, bila pengelolaan budidaya ikan kerambang jaring apung KJA yang dilakukan dalam jumlah yang berlebihan dan teknologi yang
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan perairan akan dapat memberikan dampak yang serius terhadap lingkungan perairan tersebut, baik lingkungan biotik
maupun lingkungan abiotiknya. Menurut Beveridge 1984 kegiatan keramba jaring apung berdampak
terhadap empat hal utama yaitu : a membutuhkan banyak tempat space atau permukaan perairan danau, b menghambat aliran air dan arus untuk transportasi
oksigen, sedimen, plankton serta larva ikan, c menurunkan kualitas estetika perairan danau dan d menurunkan kualitas lingkungan hidup danau. Selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
kegiatan budidaya ikan KJA berpengaruh secara nyata terhadap lingkungan perairan, yaitu mulai dari adanya perubahan hara air, perubahan konsentrasi
oksigen terlarut DO, perubahan konsentrasi metabolik toksik serta berkembangnya organisme-organisme penyebab penyakit, sehingga perairan
tersebut menjadi tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber air minum, sarana rekreasi dan diperuntukan untuk perikanan itu sendiri.
2.8 Limbah Keramba Jaring Apung KJA
Secara umum limbah yang berasal dari kegiatan budidaya ikan KJA adalah limbah organik yang berasal dari sisa-sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan
budidaya dan buangan dari sisa metabolisme ikan berupa faeces dan urine. Banyaknya pakan yang tidak terkonsumsi dan faeces yang dihasilkan oleh ikan
keramba jaring apung tergantung pada beberapa faktor, antara lain: a jenis pakan, b kepadatan ikan di setiap keramba, c kesehatan ikan yang dipelihara, d
frekwensi pemberian pakan, dan e metode pemberian pakan dan rasio konversi makanan. Mc Donald et al. 1996; Boyd 1999 menyatakan bahwa dari sejumlah
pakan yang diberikan kepada ikan budidaya akan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi lebih kurang 30. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang
dikonsumsi oleh ikan akan dieksresikan kembali ke badan air sebagai faeces sekitar 25-30. Hal ini berarti bahwa limbah organik dari pakan ikan KJA yang
terbuang ke badan air secara kontinu jumlahnya cukup besar. Limbah organik dari kegiatan KJA yang masuk kedalam perairan dapat
berbentuk padatan, koloid, tersuspensi atau terlarut. Pada umumnya, limbah organik dalam bentuk padatan akan mengendap ke dasar perairan, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
bentuk lainnya koloid, tersuspensi akan tetap berada di badan air. Affan 2012 mengatakan, kecepatan arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa
bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air, dan dalam hubungannya dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi
organisme penempel fouling. Jika laju pengendapan partikel limbah jauh lebih besar dari kecepatan arus air, maka partikel-partikel bahan organik akan
mengendap ke dasar perairan di sekitar lokasi KJA tersebut berada Barg, 1992. Philips et al. 1985 dalam Beveridge 1996 menyatakan bahwa limbah organik
dalam bentuk padat akan jatuh ke dasar danau dan akhirnya membentuk sedimen. Mayunar et al. 1995 menyebutkan organisme penempel akan lebih banyak
menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cmdt sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen. Selama proses sedimentasi, sebahagian
limbah organik akan dikonsumsi oleh biota lain seperti ikan-ikan liar, dan sebahagian lagi akan pecah menjadi partikel-partikel yang lebih halus. Jika limbah
organik tidak dimakan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya, maka limbah organik akan mengalami dekomposisi oleh mikroba, baik
mikroba aerobik mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen, mikroba anaerobik mikroba yang hidupnya tidak memerlukan oksigen dan mikroba
fakultatif mikroba yang dapat hidup aerobik dan anaerobik Garno, 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 - Februari 2013. Pengambilan sampel dilaksanakan di perairan Danau Toba dengan lokasi
penelitian berada pada 3 wilayah administrasi yaitu : Kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir, Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun
dan Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Selanjutnya pelaksanaan analisis sampel air dilaksanakan di laboratorium Uji Mutu Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Sumatera Utara.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer berupa pengukuran kondisi fisik, kimia perairan danau
diperoleh di lapangan dan sebagian dari hasil uji laboratorium. Data persepsi masyarakat di sekitar perairan Danau Toba diperoleh dengan cara pengisian
kuesioner oleh responden penduduk. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, laporan serta
dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan topik yang dikaji.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Pengambilan Sampel Kualitas Air.
Tujuan dari pengambilan data ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang sifat fisika, kimia perairan danau. Penentuan lokasi pengambilan sampel
parameter fisika, kimia perairan ditetapkan secara purposive sengaja. Pengambilan sampel air lebih diarahkan pada pusat-pusat kegiatan penduduk
sebagai sumber aliran limbah yang masuk ke perairan danau yaitu pada lokasi kegiatan KJA masyarakat. Penentuan titik-titik pengambilan contoh air di danau
dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai aliran limbah cair dari berbagai kegiatan aktivitas keramba jaring apung masyarakat
yaitu lokasi penelitian I di Kecamatan Onan Runggu, lokasi penelitian II di Kecamatan Haranggaol Horison dan lokasi penelitian III di Kecamatan
Pangururan. Selanjutnya pada masing-masing lokasi penelitian, ditentukan 4 posisi, di mana keempat posisi tersebut berada pada garis yang ditarik dari daerah
sekitar pinggir populasi KJA ke empat arah. Pada setiap posisi tersebut diambil sampel pada 3 stasiun penelitian sebagai berikut:
1. Stasiun 1 terletak di sekitar pinggir populasi KJA, pada jarak 0 – 1 meter dari pinggir lokasi populasi KJA;
2. Stasiun 2 terletak pada jarak sekitar 15 meter dari pinggir lokasi populasi KJA; 3. Stasiun 3 terletak pada jarak sekitar 30 meter dari pinggir lokasi populasi KJA.
Pengambilan sampel air di masing-masing stasiun dilakukan pada tiga kedalaman air yang berbeda, yaitu pada kedalaman 0 meter permukaan air
danau, kedalaman 4 meter kedalaman di bawah KJA dan kedalaman 8 meter
Universitas Sumatera Utara
kedalaman di bawah KJA, dimana hasil pengambilan sampel ini dapat dilihat pada lampiran 1,2 dan 3. Penentuan kedalaman sampling tersebut dilakukan
berdasarkan kedalaman KJA yang beroperasi di lokasi umumnya adalah 4 meter.
Gambar 1: Sketsa posisi pengambilan sampel air di sekitar KJA
3.3.2 Sumber dan Beban Pencemaran Perairan Danau