Transfer Dana Bagi Hasil-DBH
Buku Panduan Sumber dan Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi
Depkeu tidak menyukai SILPA “non-struktural”, karena dianggap berlawanan dengan usaha Pemerintah Pusat dalam menutup defisit anggaran. Di satu pihak, Depkeu harus mencari sumber yang mahal untuk menutup
defisit, bahkan dari sumber luar negeri, sementara Pemda–Pemda justru memiliki nilai surplus yang besar.
Sebaliknya, banyak Pemda mempunyai SILPA “struktural” karena ada masalah dalam pembelanjaan anggaran perencanaan yang buruk, atau ada kegiatan yang dibatalkan. Implikasinya, Pemerintah Pusat mengetatkan
penggunaan dana desentralisasiperimbangan, terutama DAK dan DAU. Bahkan setelah adanya informasi tingginya SILPA, tak lama kemudian Pemerintah mengeluarkan kebijakan agar penyerapan DAK dimonitor
secara triwulanan. Jika ada Pemda yang tidak dapat melaporkan penyerapan setiap triwulan, maka Depkeu akan menunda atau membatalkan penyaluran pada periode berikutnya. Hal ini dilakukan dengan harapan agar surplus
berlebih dapat dihindarkan.
Pengaturan dalam Pemanfaatan SILPA Menurut PP No. 82006 dan Permendagri No. 592007, yang mengatur penggunaan SILPA, maka kegiatan–
kegiatan di bawah dapat dibiayai SILPA untuk: • Menutup deisit APBD,
10
• Melunasi pinjaman, • Modal investasi untuk Badan Usaha Milik Daerah BUMD atau Perusahaan Daerah PD jika keduanya menanda-
tangani perjanjian dengan sektor swasta, • Perpanjangan pinjaman Pemerintah Pusat atau Pemda lain,
• Kegiatan di bidang penyediaan layanan dasar yang telah dialokasikan dalam APBD, • Membantu menutup kekurangan keuangan pada kegiatan yang didanai dari APBD tahun anggaran
sebelumnya, namun belum terselesaikan, • Membiayai kegiatan yang belum selesai dalam tahun anggaran bersangkutan.
Penggunaan SILPA harus dirancang sedemikian rupa agar memberi manfaat pada kebutuhan pendanaan Pemda. Pertama–tama Pemda yang menggunakan SILPA harus menggunakannya untuk menutup defisit APBD, dan jika
masih tersisa maka dapat digunakan untuk kegiatan yang telah dianggarkan dalam APBD dan merupakan program prioritas yang memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Penggunaannya harus melalui konsultasi dan
seizin DPRD. Apabila hal–hal tersebut telah dilakukan, maka SILPA dapat langsung digunakan melalui mekanisme keuangan daerah.
Aplikasi di sektor sanitasi Maka jelaslah bahwa SILPA untuk pembiayaan sanitasi diizinkan. Namun, banyak Pemda masih ragu untuk
melakukannya dan menunggu adanya peraturan tambahan dari Depkeu. Tegal, salah satu kota ISSDP 2, telah memakai SILPA untuk mendanai beberapa kegiatan sanitasinya. Sebetulnya, apabila Pokja beserta aparat Pemda
memiliki hubungan kerja yang kondusif dengan DPRD, maka penggunaan SILPA dapat menjadi lebih mudah -terutama untuk membiayai kegiatan–kegiatan sanitasi yang kekurangan pendanaan.
BOKS 8.3 Penggunaan SILPA di Kota Tegal
Sejak beberapa tahun terakhir, Kota Tegal yang merupakan kota berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa, kerap memiliki SILPA yang cukup besar dibandingkan kota–kota lainnya. SILPA Kota Tegal selalu berada pada
kisaran Rp 100an miliar. Namun ternyata Kota Tegal telah membelanjakan SILPA-nya untuk kegiatan– kegiatan, yang tidak hanya sekadar investasi pada instrumen keuangan yang menghasilkan imbal hasil
tinggi, namun tanpa memberikan multiplier effect terhadap perekonomian daerah sekitar.
Dari hasil diskusi pada suatu rapat Pokja di penghujung tahun 2008 dengan seorang staf dinas keuangan, diketahuilah bahwa penggunaan SILPA di Kota Tegal banyak digunakan untuk membiayai kegiatan yang
dialokasikan pada tahun sebelumnya, namun tidak terselesaikan. Termasuk untuk membiayai kegiatan sanitasi. Namun, sayangnya tidak diungkapkan subsektor apa saja yang memperoleh kucuran dana SILPA
tersebut.
Seperti diketahui, penggunaan SILPA masih sedikit untuk kepentingan kegiatan infrastruktur dan belum banyak yang menggunakan. Karena itu, salut perlu diberikan kepada Pemerintah Kota Tegal atas
penggunaan SILPA tersebut.
10 Permendagri No. 132006 menyatakan bahwa deifiisit APBD dapat ditutup dengan memakai SILPA, Dana Cadangan atau pinjaman.