grafik 4.7. Dengan rata-rata laju pertumbuhan untuk M2 sebesar 21,57, uang kuasi sebesar 23,05, dan M1 sebesar 18,88. Apabila dibandingkan antara
periode sebelum dengan setelah krisis, terlihat bahwa pertumbuhan M2 pada periode sebelum krisis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan periode
setelah krisis. Pada periode sebelum krisis rata-rata pertumbuhan M2 sebesar 25,87, sedangkan pada periode setelah krisis sebesar 12,89.
Grafik 4.6: Perkembangan Rata-rata M1, Uang Kuasi, dan M2 di Indonesia Periode 1987-2008 Miliar Rp
200,000 400,000
600,000 800,000
1,000,000 1,200,000
1,400,000 1,600,000
1,800,000
19 87
19 88
19 89
19 90
19 91
19 92
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
M 1,
U a
ng K u
a s
i, M 2
M ilia
r R p
Rata-Rata M1 Miliar Rp Rata-Rata Uang Kuasi Miliar Rp
Rata-Rata M2 Miliar Rp
Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia dan SEKI
Grafik 4.7: Pertumbuhan M1, Uang Kuasi, dan M2 Periode 1987-2008
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
P e
rt um
b uhan M
1 , U
a ng
K u
asi , d
a n M
2
Pertumbuhan M1 Pertumbuhan Uang Kuasi
Pertumbuhan M2
Selain itu, bila ditinjau lebih dalam tampak bahwa tingginya pertumbuhan M2 pada periode sebelum krisis lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan uang
kuasi ketimbang M1, untuk uang kuasi rata-rata laju pertumbuhannya pada periode sebelum krisis sebesar 29,52 sedangkan M1 sebesar 18,53. Sebaliknya pada
periode setelah krisis, laju pertumbuhan M2 lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan M1 ketimbang uang kuasi, untuk M1 rata-rata laju pertumbuhannya
pada periode setelah krisis sebesar 16,29 sedangkan uang kuasi sebesar 11,95. Cenderung tingginya pertumbuhan uang kuasi pada periode sebelum krisis
tidak terlepas dari kebijakan deregulasi perbankan yang telah dilakukan pemerintah sejak 1983 yang kemudian diikuti oleh deregulasi lanjutan pada tahun 1988 dan
awal tahun 1990-an. Kebijakan itu, antara lain berupa pemberian kemudahan dalam pendirian bank, membuka kantor cabang, serta keleluasaan dalam memperluas
instrumen pengerahan dana masyarakat. Kebijakan itu, mengakibatkan jumlah bank-bank umum mengalami peningkatan yang tajam dari 112 bank pada tahun
1987 meningkat jumlahnya menjadi 237 pada akhir tahun 1996 grafik 4.8. Meningkatnya jumlah bank umum menyebabkan meningkatnya persaingan di
antara lembaga keuangan perbankan tersebut, baik persaingan dalam memobilisasi dana masyarakat maupun dalam meningkatkan pelayanannya kepada para nasabah.
Grafik 4.8: Perkembangan Jumlah Bank Umum di Indonesia periode 1987-2008
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
110 120
130 140
150 160
170
1987 1989
1991 1992
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2002
2004 2006
2008
Ju m
la h
B a
n k
Bank Persero BPD
Bank Swasta Nas. Bank Asing Campuran
Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia
Meningkatnya persaingan dalam memobilisasi dana nasabah terlihat dari tingginya tingkat suku bunga deposito bank-bank umum, baik tingkat suku bunga
deposito 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan maupun 24 bulan grafik 4.9. Secara rata-rata
tingkat suku bunga deposito persen per tahun pada periode sebelum krisis sebesar 17,11 untuk deposito 3 bulan, 17,24 untuk deposito 6 bulan, 17,44
untuk deposito 12 bulan, dan 17,41 untuk deposito 24 bulan. Tingginya tingkat suku bunga deposito pada periode sebelum krisis tersebut mendorong masyarakat
untuk menempatkan dananya pada perbankan baik dalam bentuk deposito maupun instrumen-instrumen lain ketimbang memegang dalam bentuk uang kartal.
Grafik 4.9: Suku Bunga Deposito Bank-bank Umum per tahun
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
40.00 45.00
50.00 55.00
19 89
19 90
19 91
19 92
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
S u
ku B
u n
g a D
ep o
si to
p er
t a
h u
n
3 Bulan 6 Bulan
12 Bulan 24 Bulan
Sumber: BI, SEKI
Meningkatnya jumlah bank umum bank pencipta uang dan tingkat suku bunga deposito di satu sisi, sementara di sisi lainnya, GMW cenderung rendah
yakni sebesar 2 sejak tahun 1990 GWM baru ditingkatkan kembali pada Februari 1996 menjadi sebesar 3, dan dinaikkan lagi menjadi 5 pada April
1997, menyebabkan meningkatnya kemampuan bank umum dalam menciptakan uang yang pada akhirnya menyebabkan tingginya pertumbuhan uang kuasi pada
periode sebelum krisis. Selanjutnya, tinggi pertumbuhan uang kuasi berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan M2 pada periode sebelum krisis.
Pada periode setelah krisis, kondisi yang sebaliknya terjadi, yakni pertumbuhan M2 lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan M1 ketimbang uang
kuasi. Tingginya pertumbuhan M1 terutama didorong oleh meningkat permintaan
masyarakat akan uang kartal baik untuk motif transaksi maupun berjaga-jaga akibat dari meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, serta belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan belum stabilnya kondisi sosial-politik terutama pada periode awal pasca krisis. Selain itu, semakin berkembangnya
sektor UMKM juga mengakibatkan peningkatan dalam permintaan uang kartal. Di sisi lain, menurunnya pertumbuhan uang kuasi pada periode setelah
krisis antara lain disebabkan: i masih tingginya pemegangan uang dalam bentuk uang kartal baik untuk tujuan transaksi maupun berjaga-jaga; ii menurunnya
jumlah bank-bank umum sebagai akibat dari krisis; iii fungsi intermediasi perbankan yang belum pulih; iv restrukturisasi perbankan yang berjalan lambat;
v meningkatnya GWM rupiah bank umum pada September 2005 dari yang semula ditetapkan 5 menjadi 5-8 secara proporsional terhadap jumlah dana
pihak ketiga DPK yang dimiliki oleh masing-masing bank sejak Juli 2004 diberlakukan ketentuan GWM berstrata berdasarkan besarnya DPK yang dimiliki
oleh bank umum dan GMW ini baru diturunkan kembali pada Oktober 2008; vi menurunnya kapitalisasi bunga seiring dengan cenderung menurunnya tingkat
suku bunga deposito, dimana tingkat suku bunga deposito pada periode setelah krisis relatif lebih rendah ketimbang pada periode sebelum krisis. Pada periode
setelah krisis rata-rata suku bunga deposito sebesar 11,10 untuk deposito 3 bulan, 11,18 untuk deposito 6 bulan, sebesar 12,40 untuk deposito 12 bulan,
dan sebesar 13,67 untuk deposito 24 bulan; serta vii berkembangnya alternatif penyimpanan dana lain yang berbentuk reksa dana maupun obligasi yang
menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik, sehingga terjadi pengalihan
dana masyarakat dari asset perbankan ke asset non bank. Kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan lambatnya kemampuan bank umum dalam menciptakan
uang yang pada akhirnya menyebabkan cenderung lambatnya pertumbuhan uang kuasi, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan M2.
f Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan
Perkembangan rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan sepanjang periode 1987-2008 dapat dilihat pada
grafik 4.10. Secara keseluruhan sepanjang periode
tersebut, tingkat suku bunga SBI 3 bulan cenderung berfluktuasi dengan rata-rata tingkat suku bunga sebesar 14,94. Apabila krisis diabaikan rata-rata tingkat
suku bunga SBI 3 bulan sebesar 13,71. Meskipun demikian, apabila dibandingkan antara periode sebelum dengan setelah krisis, tampak bahwa tingkat
suku bunga SBI 3 bulan pada periode sebelum krisis cenderung lebih tinggi ketimbang setelah krisis, pada periode sebelum krisis rata-rata tingkat suku bunga
SBI 3 bulan sebesar 15,10 sedangkan pada periode setelah krisis sebesar 12,32.
Grafik 4.10: Perkembangan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan Periode 1987-2008
20.24 16.52