32.0 44.5 39.7 34.1 17.3 19.2 15,585.8 50.92 12,257.7 30,442.4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dan cicilannya yang jatuh tempo terhadap ekspor. Pada periode 1990-1996, rata- rata DSR Indonesia cenderung tinggi mencapai rata-rata sebesar 32,6. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 30 proporsi hasil ekspor harus digunakan untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Kemudian pada tahun 1997 angka DSR tersebut telah mencapai 44,5, bahkan pada tahun 1998 mencapai 57,9. Grafik 4.22: Perkembangan DSR Indonesia Tahun 1990-2007

30.9 32.0

31.6 33.8

30.0 33.7

35.9 44.5

44.8 39.7

33.1 34.1

27.1 17.3

24.8 19.2

57.9 56.8

0.0 10.0

20.0 30.0

40.0 50.0

60.0 70.0

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 DSR Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia, BI Permasalahan mengenai besarnya proporsi utang luar negeri, terutama utang luar negeri jangka pendek yang dilakukan oleh sektor swasta, semakin bertambah kompleks. Hal ini dikarenakan utang luar negeri yang dilakukan oleh pihak swasta tersebut sebagian besar tidak dilindung-nilaikan unhedged. Akibatnya, pada saat mata uang rupiah terdepresiasi maka hal itu akan menambah beban utang luar negeri yang harus dibayar oleh sektor swasta. Goldstein, 1998. Perkembangan yang pesat dalam capital inflows dan utang luar negeri Indonesia seperti yang telah dikemukakan di atas, tidaklah terlepas dari kebijakan deregulasi sistem keuangan dan perbankan yang dilakukan Indonesia sejak awal tahun 1990an. Kebijakan ini, dinilai oleh beberapa ahli ekonomi Macltyre, 1998; Hill, 1999; Djiwandono, 2000; Rachbini, et al, 2000 ; Naya, 2001; dan Abdullah, 2003 terlalu prematur. Artinya, tindakan pemerintah dalam meliberalisasikan sistem keuangan dan neraca transaksi modalnya tidak diikuti secara proposional dengan upaya meningkatkan kualitas kelembagaan, peraturan, dan pengawasan. Akibatnya perkembangan, pengelolaan, dan pengaturan capital inflows dan utang luar negeri menjadi tidak terkontrol, dan keadaan ini membuat perekonomian Indonesia menjadi rentan terhadap gejolak siklus ekonomi. Selain kurang mampu mengontrol perkembangan capital inflows dan utang luar negerinya, Goldstein 1998 berpendapat bahwa prematurnya liberalisasi keuangan dan neraca transaksi modal juga membuat Indonesia menjadi kurang mampu untuk mengelola secara efisien dan produktif aset-aset keuangan yang dimilikinya. Keadaan ini terindikasi dari semakin besarnya proporsi aset-aset keuangan yang diinvestasikan pada sektor-sektor yang kurang produktif dan berisiko tinggi. Di sektor perbankan misalnya, ada kecenderungan bahwa kredit perbankan selama periode 1990-1997 semakin terkonsentrasi pada sektor properti lihat Tabel 4.9. Tabel 4. 10: Proporsi Kredit Bank Umum menurut Sektor Ekonomi 1990-1998 Keterangan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 Pertanian 8.36 7.60 7.69 8.16 7.91 7.29 6.53 6.88 8.06 Pertambangan 0.73 0.64 0.63 0.58 0.42 0.49 0.50 1.41 1.21 Perindustrian 31.37 31.18 30.60 35.01 34.03 32.10 30.12 29.53 35.22 Perdagangan 31.88 29.47 27.57 26.20 24.54 23.13 23.20 21.76 19.77 Bangunan Jasa2 16.58 17.74 18.79 20.84 23.66 26.70 28.65 30.03 28.54 Lain-lain 11.09 13.37 14.73 9.21 9.44 10.30 11.00 10.39 7.19 Total Kredit Miliar 71,564 100,413 115,739 124,167 157,170 196,149 242,423 378,134 487,426 Sumber: BI, SEKI Terkonsentrasinya kredit perbankan pada sektor-sektor yang kurang produktif dan berisiko tinggi merupakan salah satu cerminan bahwa legal framework dari perbankan nasional masih belum jelas dan penuh ketidakpastian. Akibat belum jelasnya legal framework ini, maka batas maksimum pengalokasian kredit sektoral menjadi sulit dikontrol sehingga proses penyaluran kredit perbankan berkembang menjadi bisnis yang tidak sehat. Pada akhirnya, belum jelasnya kerangka legal framework ini menyebabkan deregulasi perbankan gagal mencapai tujuannya, yakni menciptakan sistem perbankan yang efektif dan efisien. Sementara itu, kelemahan di sektor riil tampak dari perkembangan dalam ekspor maupun impor lihat Tabel 4.11. Meskipun ekspor Indonesia mengalami kenaikan, namun kenaikan ekspor tersebut juga diikuti dengan meningkatnya impor sehingga ekspor bersih cenderung mengalami penurunan, bahkan untuk periode 1993-1997 ekspor bersih Indonesia cenderung negatif. Bila ditinjau dari pertumbuhannya, hal yang sama terlihat, kinerja pertumbuhan ekspor Indonesia sejak tahun 1990-1997 cenderung mengalami penurunan laju pertumbuhannya, di sisi lain perkembangan dalam laju pertumbuhan impor cenderung tinggi dan mengalami peningkatan. Menurunnya kinerja ekspor bersih tersebut selain menandakan melemahnya daya saing ekspor Indonesia pada akhirnya juga mengakibatkan neraca perdagangan cenderung mengalami penurunan. Tabel 4.11: Perkembangan Ekspor Indonesia Menurut Harga Berlaku Periode 1990-1998 Tahun Ekspor Miliar Rp Pertumbuhan Ekspor Impor Miliar Rp Pertumbuhan Impor Ekspor Bersih Miliar Rp Pertumbuhan Ekspor Bersih 1990 51,953.10 22.23 50,945.70 31.98 1,007.40 -74.20 1991 62,263.80 19.85 61,375.70 20.47 888.10 -11.84 1992 76,384.40 22.68 70,336.60 14.60 6,047.80 580.98 1993 88,230.90 15.51 78,383.00 11.44 9,847.90

62.83 1994

101,331.90 14.85 96,952.60 23.69 4,379.30 -55.53 1995 119,592.50 18.02 125,656.90 29.61 -6,064.40 -238.48 1996 137,533.30 15.00 140,812.00 12.06 -3,278.70 -45.94 1997 174,871.30 27.15 176,599.80 25.42 -1,728.50 -47.28 1998 506,244.80 189.50 413,058.10 133.89 93,186.70 -5,491.19 Senada dengan hal di atas, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia 1998 menyimpulkan bahwa menurunnya daya saing ekspor Indonesia di pasaran internasional juga menjadi faktor pendorong munculnya krisis mata uang di Indonesia. Kondisi melemahnya daya saing ekspor ini, selain tampak dari menurunnya pertumbuhan ekspor juga terlihat dari perkembangan nilai tukar riil rupiah. Meskipun Bank Indonesia selalu mengusahakan agar nilai tukar nominal terdepresiasi, namun perkembangan nilai tukar riil terutama sejak periode 1993- 1996 cenderung terapresiasi rata-rata sebesar 18 per tahun lihat grafik 4.23. Terapresiasinya nilai tukar riil tersebut menunjukkan bahwa harga barang-barang ekspor Indonesia menjadi relatif lebih mahal dibandingkan harga barang luar negeri, dengan kata lain daya saing ekspor Indonesia cenderung mengalami penurunan. Grafik 4.23: De pre siasi dan Apre siasi Nilai Tukar Riil dan Nominal Indone sia Pe riode 1990-2000 -3.39 -4.09 -48.75 -42.06 -1.88 0.30 -1.58 2.12

0.74 0.21

1.30 -26.00 13.03 -2.27 -3.15 -4.68 -4.57 -5.58 4.15 -21.75 -44.37 12.82 -60.00 -50.00 -40.00 -30.00 -20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 De s -to-De s D epr esi asi dan A pr esi asi DepresiasiApresiasi Nilai Tukar Nominal Nilai Tukar Riil Sumber: BI, SEKI diolah Lebih dalam, perkembangan struktur impor non-migas juga menunjukkan bahwa sektor riil di Indonesia sangat ketergantungan terhadap bahan baku dan barang modal dari luar negeri. Hal ini terlihat dari rata-rata proporsi nilai impor bahan baku dan barang modal terhadap total impor non-migas yang mencapai rata-rata 92,47 untuk periode 1990-1997, yang mana proporsi nilai impor bahan baku menyumbangkan kontribusi rata-rata sebesar 50,84 sedangkan proporsi nilai impor barang modal sebesar 41,63 lihat Tabel 4.12. Akibatnya, ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah maka akan menyebabkan sektor riil kesulitan mempertahankan produksinya karena terjadinya kenaikan biaya produksi. Tabel 4.12: Nilai Juta USD dan Proporsi Impor Non Migas menurut Golongan Barang Tahun Barang Konsumsi Proporsi Bahan Baku Proporsi Barang Modal Proporsi Total Impor Non-Migas 19911992 1,679.1 7.01 11,194.6 46.76 11,066.4 46.23 23,940.1 19921993 1,777.7 7.01 12,141.2 47.87 11,441.4 45.12 25,360.3 19931994 1,805.4 6.76 13,775.8 51.58 11,128.3 41.66 26,709.5 19941994 2,460.0 7.85 17,304.5 55.21 11,578.9 36.94 31,343.4 19951996 3,584.5 9.37 20,592.3 53.82 14,081.3 36.81 38,258.1 19961997 3,511.3 8.76 20,249.4 50.51 16,328.8 40.73 40,089.5 19971988 2,828.7 8.20 17,654.5 51.15 14,029.9 40.65 34,513.1 19981999 3,144.1 13.48 11,774.4 50.48 8,406.6 36.04 23,325.1 Rata-rata 2,598.9

8.55 15,585.8 50.92 12,257.7

40.52 30,442.4

Sumber: BPS Lemahnya fundamental sistem keuangan dan ekonomi Indonesia seperti yang telah dikemukakan di atas, menyebabkan struktur keuangan dan perekonomian Indonesia tidak mampu bertahan terhadap gejolak siklus ekonomi yang dipicu dengan terjadinya krisis nilai tukar Bath Thailand sehingga menyebabkan Indonesia juga ikut mengalami krisis nilai tukar. Kemudian sejak pertengahan Juli 1997 tekanan terhadap nilai rupiah menjadi semakin berat. Meskipun BI telah melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah, namun upaya tersebut kurang berhasil dan rupiah semakin terdepresiasi. Sehubungan dengan hal itu, dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa serta mengurangi dampak negatif spekulasi, maka pada 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang bebas. Selain itu, guna menahan terus berlanjutnya depresiasi mata uang rupiah, pemerintah juga menerapkan kebijakan moneter yang sangat ketat. Akibatnya, tingkat diskonto SBI, suku bunga PUAB, suku bunga deposito, dan suku bunga kredit mengalami peningkatan yang sangat pesat. Selanjutnya, terjadinya peningkatan di dalam beberapa variabel tersebut menyebabkan bank nasional mengalami kesulitan likuiditas terjadinya krisis likuiditas. Hal ini terjadi karena, sebagaimana bisa dilihat pada tabel 4.13, meskipun suku bunga kredit dan simpanan sama-sama mengalami peningkatan yang pesat, tetapi peningkatan di dalam suku bunga kredit relatif lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan di dalam suku bunga simpanan. Keadaan ini mendorong terjadinya negatif spread yang pada gilirannya tidak saja akan mengurangi atau menghilangkan keuntungan bank, tapi juga akan mengganggu posisi likuiditas bank. Tabel 4.13: Perkembangan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI, PUAB, Deposito, dan Kredit 1996-2000 dalam Persen Keterangan 1996 1997 1998 1999 2000 SBI • 1 Bulan 13.82 14.51 49.32 23.63 12.55 • 3 Bulan 14.13 15.33 39.10 23.39 12.34 PUAB • Keseluruhan 13.94 26.97 63.14 23.61 10.62 Deposito • 3 Bulan 17.03 23.92 49.23 12.95 13.24 • 6 Bulan 16.78 16.96 36.78 14.25 13.31 • 12 Bulan 16.70 15.92 28.29 22.35 12.17 • 24 Bulan 15.14 15.46 16.61 18.38 14.32 Kredit • Modal Kerja 19.22 21.82 32.15 27.66 18.46 • Investasi 16.42 17.74 22.98 22.19 16.58 Sumber: BI, SEKI Dalam perkembangan selanjutnya, krisis likuiditas tersebut menjadi semakin parah karena Bank Indonesia, atas rekomendasi IMF melakukan tindakan untuk melikuidasi 16 bank swasta pada bulan November 1997, tanpa melakukan persiapan dan sosialisasi yang matang sebagaimana terindikasi dari belum adanya skema penjamin simpanan masyarakat blanket guarantee. Likuidasi ini kemudian menyebabkan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional yang kemudian mendorong masyarakat untuk menarik secara besar- besaran simpanan dana mereka dari perbankan nasional terjadinya bank run. Kebijakan moneter yang sangat ketat yang dilakukan pemerintah dan tindakan untuk melikuidasi 16 bank swasta pada akhirnya tidak cukup efektif dalam upaya meredam terus berlanjutnya depresiasi rupiah. Sebaliknya, rupiah menjadi semakin terdepresiasi dengan tajam dan menjadi sulit dikendalikan, sedangkan sektor perbankan menjadi semakin tidak stabil dan mengalami kesulitan likuidasi yang lebih parah. Pada gilirannya, tidak stabilnya perbankan nasional ini kemudian memperlemah kemampuan perbankan melakukan fungsi intermediasi, sebagaimana terindikasi baik dari menurunnya tingkat pertumbuhan kredit maupun menurunnya loan to deposit ratio atau LDR lihat tabel 4.14. Tabel 4.14: Perkembangan Total Kredit, Pertumbuhan Kredit, DPK, dan LDR Periode 1994-200 7 Tahun Total Kredit Miliar Rp Pertumbuhan Kredit DPK Miliar Rp LDR 1994 157,170 26.58 170,406 92.23 1995 196,149 24.80 214,764 91.33 1996 242,423 23.59 281,718 86.05 1997 378,134 55.98 357,613 105.74 1998 487,426 28.90 573,524 84.99 1999 225,133 -53.81 625,618 35.99 2000 269,000 19.48 720,379 37.34 2001 307,594 14.35 805,827 38.17 2002 365,410 18.80 845,015 43.24 2003 437,942 19.85 902,326 48.53 2004 553,548 26.40 965,080 57.36 2005 689,669 24.59 1,134,086 60.81 2006 787,136 14.13 1,298,757 60.61 2007 995,111 26.42 1,528,181 65.12 2008 1,300,179 30.66 1,775,239 73.24 Lebih dari itu, ketidakstabilan yang terjadi di sektor perbankan, yang disertai dengan semakin tingginya tingkat suku bunga dan semakin terdepresiasinya rupiah, menyebabkan banyak perusahaan sebagai debitur perbankan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pada gilirannya, kondisi tersebut membuat kinerja perbankan menjadi semakin terpuruk, sebagaimana terindikasi dari terjadinya peningkatan di dalam proporsi kredit bermasalah atau NPL grafik 4.24. Grafik 4.24: Perkembangan Non Performing Loan Bank Umum Periode 1996-2008

9.30 19.80

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

1 30 100

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Barat (periode 1995-2008

0 22 150

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA TAHUN 1986-2013.

0 3 14

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PERIODE TAHUN 1983 – 2007 Dengan Pendekatan Error Correction Model.

0 2 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Tahun 1986-2014.

0 1 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SURAKARTA TAHUN 1987-2014 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 2 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SURAKARTA TAHUN 1987-2014 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 3 15

PENDAHULUAN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 5 14

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI NANGGROE ACEH FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 1988-2008.

0 3 15

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Daerah COVER

0 0 15