16.52 11.32 14.33 14.13 7.39 11.73 9.39 12.34 15.38 15.38 15.84 30.00 30.00 50.00 15.00 25.00 35.00 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dana masyarakat dari asset perbankan ke asset non bank. Kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan lambatnya kemampuan bank umum dalam menciptakan uang yang pada akhirnya menyebabkan cenderung lambatnya pertumbuhan uang kuasi, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan M2. f Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan Perkembangan rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan sepanjang periode 1987-2008 dapat dilihat pada grafik 4.10. Secara keseluruhan sepanjang periode tersebut, tingkat suku bunga SBI 3 bulan cenderung berfluktuasi dengan rata-rata tingkat suku bunga sebesar 14,94. Apabila krisis diabaikan rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan sebesar 13,71. Meskipun demikian, apabila dibandingkan antara periode sebelum dengan setelah krisis, tampak bahwa tingkat suku bunga SBI 3 bulan pada periode sebelum krisis cenderung lebih tinggi ketimbang setelah krisis, pada periode sebelum krisis rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan sebesar 15,10 sedangkan pada periode setelah krisis sebesar 12,32. Grafik 4.10: Perkembangan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan Periode 1987-2008

20.24 16.52

10.90 11.32 14.33 14.13

39.10

10.18 7.39

9.10 11.73

8.04 9.39

16.40 12.34

15.33 15.38 15.38

16.56 15.84

15.25 23.39

0.00 10.00

20.00 30.00

40.00 50.00

1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ti ng k a t Suku B unga SB I 3 B u la n pe r t a h un Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia dan SEKI Perkembangan yang terjadi dalam tingkat suku bunga SBI tidaklah terlepas dari perkembangan yang terjadi pada laju inflasi, JUB, pertumbuhan ekonomi, maupun nilai tukar rupiah; ataupun sebaliknya perkembangan dalam laju inflasi, JUB, pertumbuhan ekonomi, maupun nilai tukar rupiah tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada tingkat suku bunga SBI. Grafik 4.11: SBI 3 Bulan, Inflasi, Perubahan M2, Pertumbuhan Ekonomi, dan Perubahan Nilai Tukar Rupiah -80 -60 -40 -20 20 40 60 80 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 SBI 3 Bulan Inflas i Pe r tum buhan M 2 De pr e s ias i Apr e s ias i Rupiah Pe r tum buhan Ek onom i Sumber: BI dan BPS Pada periode tahun 1987-1989 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan cenderung stabil pada kisaran 15,38-15,84. Kemudian seiring dengan meningkatnya laju inflasi dan JUB, pemerintah cenderung menerapkan kebijakan moneter kontraktif. Hal ini tercermin dari meningkatnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 1990 yang mengalami kenaikan menjadi sebesar 16,56 dan meningkat lagi pada tahun 1991 menjadi 20,24. Dengan kata lain, meningkatnya tingkat suku bunga pada tahun 1990 dan 1991 lebih ditunjukkan guna mengatasi laju inflasi dan JUB yang cenderung meningkat. Namun, di sisi lain hal tersebut juga mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi cenderung mengalami penurunan. Kemudian seiring dengan menurunnya laju inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar, pemerintah mulai menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ekspansif dengan menurunkan tingkat suku bunga SBI. Hal ini tercermin dari menurunnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan yang mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, yakni menjadi sebesar 16,52 pada tahun 1992 dan menurun lagi pada tahun 1993 menjadi 10,90. Namun, menurunnya tingkat suku bunga SBI tersebut cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun tersebut. Kemudian pada tahun 1994, rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan sedikit mengalami peningkatan, yakni menjadi sebesar 11,32. Pada tahun-tahun berikutnya, guna menekan laju perekonomian yang tengah mengalami pemanasan pemerintah kembali menaikkan tingkat suku bunga SBI. Hal ini tercermin dari meningkatnya rata-rata suku bunga SBI 3 bulan yang mengalami kenaikan menjadi sebesar 14,33 pada tahun 1995, dan masih relatif tinggi pada tahun 1996 yang tercatat sebesar 14,13. Relatif tingginya suku bunga SBI 3 bulan pada tahun-tahun tersebut cukup berhasil dalam upaya menekan inflasi, namun kurang berhasil dalam upaya menekan pertumbuhan JUB. Pada tahun 1997, kondisi perekonomian cenderung memburuk, rupiah terdepresiasi cukup tajam, inflasi meningkat, pertumbuhan jumlah uang beredar masih cukup tinggi, dan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah kembali menaikkan tingkat suku bunga SBI, hal ini tercermin dari meningkatnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan yang mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar 15,33. Memburuknya kondisi perekonomian tersebut terus berlanjut pada tahun berikutnya, rupiah semakin terdepresiasi, laju inflasi dan pertumbuhan JUB meningkat dengan tajam, dan pertumbuhan output mengalami kontraksi yang tajam. Makin memburuknya kondisi perekonomian pada tahun 1998 mengakibatkan pemerintah kembali menaikkan tingkat suku bunga SBI, yang tercermin dari meningkatnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan menjadi sebesar 39,10. Seiring dengan mulai pulihnya kondisi perekonomian, yang tercermin dari menurunnya laju inflasi, terkendalinya pertumbuhan JUB, menguatnya nilai tukar rupiah, dan kembali meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah secara bertahap kembali menurunkan tingkat suku bunga SBI. Hal ini tercermin dari menurunnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan menjadi sebesar 23,39 pada tahun 1999 dan menurun lagi menjadi sebesar 12,34 pada tahun 2000. Pada tahun 2001, laju inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar kembali mengalami peningkatan, begitu pula dengan nilai tukar rupiah yang kembali mengalami depresiasi yang tajam. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah kembali menaikkan tingkat suku bunga SBI, yang tercermin dari meningkatnya rata-rata suku bunga SBI 3 bulan menjadi sebesar 16,40. Namun, di sisi lain hal tersebut berdampak pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangan tahun-tahun selanjutnya, laju inflasi cenderung melambat, pertumbuhan JUB relatif terkendali, dan nilai tukar rupiah cenderung menguat. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk kembali menerapkan kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan suku bunga SBI guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat suku bunga yang ekspansif tersebut tercermin dari menurunnya tingkat suku bunga SBI 3 bulan yang mengalami penurunan pada tahun 2002 menjadi sebesar 15,25, kembali menurun pada tahun 2003 menjadi 10,18, dan menurun lagi pada tahun 2004 menjadi 7,39. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintah kembali meningkatkan suku bunga SBI, yang tercermin dari meningkatnya rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan menjadi sebesar 9,10 pada tahun 2005 dan kembali meningkat menjadi 11,73 pada tahun 2006. Meningkatnya tingkat suku bunga SBI pada tahun-tahun ini ditujukan guna mengatasi tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah. Seiring dengan menurunnya laju inflasi dan terkendalinya jumlah uang beredar sepanjang tahun 2007, rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan kembali mengalami penurunan, menjadi sebesar 8,04. Berikutnya pada tahun 2008, inflasi kembali meningkat dan nilai tukar cenderung terdepresiasi. Guna menekan laju inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah, pemerintah kembali menaikkan tingkat suku bunga SBI 3 bulan menjadi sebesar 9,39. g Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dan Pembiayaannya Ditinjau dari segi perkembangannya grafik 4.12, secara nominal realisasi pengeluaran pemerintah cenderung mengalami peningkatan dari 27.111 miliar rupiah pada tahun 1987 meningkat menjadi sebesar 252.075 miliar rupiah pada tahun 1999, dan kemudian mengalami penurunan pada 2000 menjadi sebesar 229.090 miliar rupiah. Penurunan yang drastis pada nilai nominal pengeluaran pemerintah pada tahun 2000, dikarenakan pada tahun 2000 pemerintah mengubah tahun anggaran dari yang sebelumnya menggunakan tahun fiskal April-Maret menjadi tahun kalender Januari-Desember sehingga anggaran pada tahun 2000 hanya untuk jangka waktu sembilan bulan April-Desember. Selanjutnya, pada tahun 2001 realisasi pengeluaran pemerintah kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar 357.448 miliar rupiah dan kemudian turun kembali pada tahun 2002 menjadi sebesar 334.493 miliar rupiah. Turunnya belanja pemerintah pada tahun 2002 ini, terkait dengan dua hal, yakni menurunnya pembiayaan defisit anggaran terutama menurunnya penarikan pinjaman luar negeri, dan menurunnya pengeluaran rutin pemerintah terutama berkurangnya subsidi yang diberikan pemerintah. Dalam periode selanjutnya, realisasi pengeluaran pemerintah cenderung mengalami peningkatan, dari 410.472 miliar rupiah pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 1.089.160 miliar rupiah pada akhir tahun 2008. Grafik 4.12: Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah Miliar Rupiah 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber: Departemen Keuangan, SEKI Diolah Grafik 4.13: Proporsi Pengel uran Pemeri ntah terhadap Total Pengeluaran 0.00 10.00

20.00 30.00

40.00 50.00

60.00 70.00

80.00 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pr opor si Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Anggaran Belanja untuk Daerah Sumber: Departemen Keuangan, SEKI Diolah Ditinjau dari proporsinya lihat grafik 4.13, proporsi terbesar pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran rutin yang mencapai rata-rata sebesar 58,11 per tahun untuk periode 1987-2008, kemudian pengeluaran pembangunan sebesar 25,41 per tahun, dan selanjutnya belanja untuk daerah yang mencapai rata-rata 16,48 per tahun. Namun dilihat dari trend kecenderungannya, untuk proporsi pengeluaran pembangunan dan belanja untuk daerah terlihat hal yang menarik. Untuk pengeluaran pembangunan, sejak tahun 1997 hingga akhir tahun 2008 proporsinya cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya, untuk belanja daerah cenderung mengalami kenaikan sejak tahun 2000 hingga akhir tahun 2008. Kecenderungan menurunnya pengeluaran pembangunan ini, disebabkan dua hal, yakni terjadinya krisis dan meningkatnya proporsi pengeluaran rutin dan belanja untuk daerah. Sedangkan kecenderungan meningkatnya proporsi belanja daerah disebabkan adanya kebijakan otonomi daerah dan diterapkannya desentralisasi fiskal. Sementara itu, meningkatnya proporsi pengeluaran rutin, terkait dengan masih tingginya proporsi pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri, melonjaknya pengeluaran untuk subsidi terutama subsidi BBM sebagai akibat dari melonjaknya harga minyak mentah dunia, serta meningkatnya proporsi pengeluaran rutin lainnya termasuk bantuan sosial dan dana bencana. Grafik 4.14: Proporsi Pengel uran Ruti n terhadap Total Pengel uaran

0.00 5.00

10.00 15.00

20.00 25.00

30.00 35.00

1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pr opo rs i Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga Cicilan Pokok Utang Subsidi Pengeluaran Rutin Lainnya Sumber: Departemen Keuangan, SEKI Diolah Sementara itu ditinjau dari segi pertumbuhannya tabel 4.4, pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang periode 1987-2008 cenderung berfluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 20,14 per tahun. Apabila krisis diabaikan, rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah sebesar 17,74 per tahun. Sedangkan bila dibandingkan antara periode setelah krisis dengan sebelum krisis, terlihat bahwa laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah pada periode setelah krisis cenderung lebih tinggi ketimbang pada periode sebelum krisis. Pada periode setelah krisis, rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah sebesar 19,57 per tahun, sedangkan sebelum krisis sebesar 15,90 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah pada periode setelah krisis cenderung lebih ekspansif ketimbang pada periode sebelum krisis. Tabel 4.4: Rata-rata Laju Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Keterangan 1987-2008 1987-1996 1997-1998 1999-2008 Total Pengeluaran Pemerintah 20.14 15.90 44.16 19.57 Pengeluaran Rutin 22.24 17.49 58.68 19.69 Pengeluaran Pembangunan 12.63 15.24 9.08 10.72 Anggaran Belanja untuk Daerah 27.48 13.21 79.57 31.32 Meskipun demikian, apabila dibandingkan antara periode sebelum krisis dengan setelah krisis, terlihat kecenderungan yang menarik. Pada periode sebelum krisis rata-rata pertumbuhan pengeluaran pembangunan lebih tinggi ketimbang pada periode setelah krisis, sebaliknya rata-rata pertumbuhan belanja daerah pada periode setelah krisis lebih tinggi daripada periode sebelum krisis Sedangkan untuk pengeluaran rutin, rata-rata laju pertumbuhannya pada periode setelah krisis cenderung lebih tinggi dibandingkan pada periode sebelum krisis lihat tabel 4.3. Cenderung lebih rendahnya rata-rata pertumbuhan pengeluaran pembangunan pada periode setelah krisis disebabkan karena meningkatnya pengeluaran rutin dan belanja daerah, serta adanya perubahan dalam orientasi kebijakan pembangunan, dari yang sebelumnya bersifat top down beralih menjadi bottom up. Sedangkan relatif lebih tingginya rata-rata laju pertumbuhan belanja daerah pada periode setelah krisis disebabkan karena adanya kebijakan otonomi daerah dan diterapkannya desentralisasi fiskal. Sementara itu, lebih tingginya rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran rutin pada periode setelah krisis, terkait dengan masih tingginya proporsi pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri, serta melonjaknya proporsi pengeluaran untuk subsidi terutama subsidi BBM. Grafik 4.15: Perkembangan Relasisasi Penerimaan Pemerintah Miliar 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 M il iar R u pi ah Penerimaan Perpajak an Penerimaan Buk an Pajak termasuk Penerimaan Migas Hibah Sumber: Departemen Keuangan, SEKI Diolah Ditinjau dari segi perkembangan penerimaan pemerintah grafik 4.15, secara nominal realisasi penerimaan pemerintah baik yang bersumber dari penerimaan perpajakan maupun non-pajak cenderung mengalami peningkatan. Untuk penerimaan perpajakan mengalami peningkatan dari 9.031 miliar rupiah pada tahun 1987 meningkat menjadi 658.667 miliar rupiah pada akhir tahun 2008, sedangkan penerimaan non-pajak mengalami kenaikan dari 11.800 miliar rupiah pada tahun 1987 menjadi 319.949 miliar rupiah pada akhir tahun 2008. Meskipun demikian, penerimaan negara tersebut masih belum mampu sepenuhnya untuk membiayai belanja pemerintah. Oleh karena itu, pembiayaan lainnya masih diperlukan dalam upaya menutup defisit anggaran belanja negara. Sementara itu ditinjau dari proporsi pembiayaannya Tabel 4.5, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah proporsi terbesarnya dibiayai oleh sumber penerimaan yang berasal dari pajak, yang mencapai proporsi rata-rata sebesar 52,78 untuk periode 1987-2008. Kemudian pembiayaan dari sumber non- pajak yang mencapai proporsi rata-rata sebesar 31,10, dan selanjutnya pembiayaan dari pinjaman luar negeri yang mencapai proporsi sebesar 12,82 serta dari penerbitan obligasi yang mencapai rata-rata proporsi sebesar 2,17. Tabel 4.5: Rata-rata Proporsi Penerimaan Pemerintah dan Pembiayaan Defisit Anggaran Terhadap Total Belanja Negara Keterangan 1987-2008 1987-1996 1997-1998 1999-2008 Total Penerimaan Negara 83.88 83.30 82.46 84.74 Penerimaan Perpajakan 52.78 49.07 52.97 56.46 Penerimaan Bukan Pajak 31.10 34.23 29.49 28.28 Pembiayaan Defisit Anggaran 16.12 16.70 17.54 15.26 Pembiayaan Dalam Negeri 3.30 -1.23 -0.67 8.63 Perbankan Dalam Negeri -0.85 -1.23 -1.08 -0.43 Non Perbankan 4.15 - 0.40 9.05 a. Privatisasi 0.37 - 0.40 0.73 b. Penjualan Asset Restrukturisasi 1.68 - - 3.70 c. Penerbitan Obligasi Negara Bruto 2.17 - - 4.77 d. Penyertaan Modal Negara -0.07 - - -0.16 Penarikan Pinjaman Luar Negeri Bruto 12.82 17.93 18.21 6.63 Total 100 100 100 100 Sumber: Departemen Keuangan, SEKI Diolah Lebih lanjut, dari segi pembiayaan defisit fiskal, terlihat hal yang menarik. Pada periode sebelum krisis pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah bersumber dari pinjaman luar negeri dan perbankan dalam negeri, yang mana proporsi terbesarnya adalah bersumber dari pinjaman luar negeri. Namun sejak terjadinya krisis, pembiayaan defisit anggaran tidak hanya bersumber dari dua pembiayaan tersebut, melainkan juga dari sumber non- perbankan yang meliputi privatisasi, penjualan aset restrukturisasi perbankan, penyertaan modal negara, serta dari penerbitan obligasi pemerintah.

4.1.2 Perkembangan Kondisi Sosial-Ekonomi Indonesia

a Pendapatan Perkapita, Kemiskinan, dan Pengangguran Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tidak hanya dicerminkan oleh kinerja pertumbuhan ekonomi, namun juga harus dilihat dari kinerja indikator-indikator ekonomi sosial, seperti pendapatan perkapita, jumlah penduduk miskin, maupun tingkat pengangguran. Grafik 4.16: Pendapatan Perkapita USD Indonesia Periode 1987-2008 402 436 490 532 576 713 797 896 1,001 925 697 372 705 1,144 1,030 2,000 1,682 1,440 968 843 595 429 250 500 750 1,000 1,250 1,500 1,750 2,000 2,250 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 P en d ap at an p er K ap it a U S D Sumber: BPS Diolah Ditinjau dari segi pendapatan perkapita grafik 4.16, pendapatan perkapita Indonesia cenderung meningkat dari 372 USD pada tahun 1987 hingga mencapai 1.001 USD pada tahun 1996, sebelum akhirnya menurun kembali akibat krisis menjadi sebesar 925 USD pada tahun 1997 dan menurun lagi menjadi 429 USD pada tahun 1998. Setelah krisis, pendapatan per kapita Indonesia kembali meningkat dari 595 USD pada tahun 1999 menjadi sebesar 2.000 USD pada akhir tahun 2008. Tabel 4.6: Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Periode Jumlah Penduduk Juta Jiwa Penduduk Miskin Juta Jiwa Persentase Penduduk Miskin 1987-2008 211.48 36.51 17.43 1987-1996 211.73 29.40 14.38 1999-2008 213.77 38.30 17.97 Tanpa Krisis 212.47 34.76 16.52 Sumber: BPS, Statistik Indonesia Diolah Meskipun pendapatan per kapita cenderung meningkat, terutama setelah periode krisis, namun hal tersebut juga masih menyisakan masalah pemerataan. Hal ini tercermin dari masih tingginya jumlah dan persentase penduduk miskin, terutama pada periode setelah krisis Tabel 4.6. Pada periode setelah krisis rata- rata persentase penduduk miskin relatif lebih tinggi ketimbang sebelum krisis. Pada periode setelah krisis rata-rata persentase penduduk miskin sebesar 17,97, sedangkan pada periode sebelum krisis sebesar 14,38. Grafik 4.17: Persentase Tingkat Pengangguran di Indonesia 1987-2008

2.81 2.66

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

1 30 100

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Barat (periode 1995-2008

0 22 150

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA TAHUN 1986-2013.

0 3 14

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PERIODE TAHUN 1983 – 2007 Dengan Pendekatan Error Correction Model.

0 2 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Tahun 1986-2014.

0 1 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SURAKARTA TAHUN 1987-2014 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 2 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SURAKARTA TAHUN 1987-2014 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 3 15

PENDAHULUAN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 1987-2014.

0 5 14

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI NANGGROE ACEH FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 1988-2008.

0 3 15

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Daerah COVER

0 0 15