pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mengalami kenaikan menjadi sebesar 3,31 pada tahun 1987. Selain itu, meningkatnya harga minyak
mentah juga turut memberikan kontribusi terhadap tingginya inflasi pada tahun ini.
Grafik 4.4: Perkembangan Laju Inflasi Indonesia 1987-2008
8.90 5.47 5.97
9.53 9.52 9.77
9.24 8.64 6.47
77.63
9.35 12.55
5.06 6.40 17.11
11.06 2.01
6.60 10.03
11.05 4.94
6.59 0.00
10.00 20.00
30.00 40.00
50.00 60.00
70.00 80.00
90.00
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 In
fl asi
Sumber: BPS
Memasuki tahun 1988 laju inflasi mengalami penurunan menjadi sebesar 5,47 dan kemudian meningkat sedikit menjadi sebesar 5,97 pada tahun 1989.
Rendahnya laju inflasi pada tahun-tahun ini dibandingkan tahun 1987 dikarenakan terjadinya penurunan pada laju pertumbuhan impor, menurunnya harga minyak
mentah, serta melemahnya nilai tukar rupiah. Pada tahun 1990 laju inflasi Indonesia kembali mengalami peningkatan
yang tajam menjadi sebesar 9,53. Meningkatnya laju inflasi pada tahun ini antara lain disebabkan karena meningkatnya permintaan agregat masyarakat
konsumsi dan impor, kenaikan harga BBM pada bulan Mei 1990 yang diikuti dengan naiknya tarif transportasi pada pertengahan bulan Juli 1990, serta kebijakan
pemerintah yang menurunkan likuiditas wajib minimum bank-bank dari 15 menjadi 2 yang berdampak pada meningkatnya JUB secara tajam.
Laju inflasi yang tinggi pada tahun 1990 terus berlanjut pada tahun 1991. Pada tahun 1991 laju inflasi tercatat sebesar 9,52. Penyebab tingginya laju
inflasi pada tahun ini antara lain: kenaikan harga BBM pada bulan Juli 1991 yang diikuti dengan naiknya tarif transportasi, meningkatnya upah minimum di berbagai
sektor ekonomi, terjadinya kemarau panjang pada periode Januari-Agustus 1991, serta masih tingginya permintaan masyarakat akan barang-barang dan jasa.
Kemudian pada tahun 1992, dengan menurunnya permintaan masyarakat akan barang-barang dan jasa serta pengendalian likuiditas perekonomian yang dilakukan
pemerintah, laju inflasi kembali dapat ditekan menjadi sebesar 4,94. Seiring dengan memanasnya kondisi perekonomian over heated nasional
dan meningkatnya permintaan masyarakat akan barang-barang dan jasa, pada periode 1993-1995 laju inflasi Indonesia kembali mengalami peningkatan dan
menunjukkan laju pertumbuhan yang tinggi. Pada tahun 1993 laju inflasi Indonesia tercatat sebesar 9,77, pada tahun 1994 sebesar 9,24, dan pada tahun
1995 sebesar 8,64. Kemudian, guna menekan perekonomian yang memanas tersebut pemerintah sejak 1 Februari 1996 menaikkan Giro Wajib Minimum menjadi
sebesar 3 dari yang berlaku sebelumnya yakni sebesar 2. Tindakan yang dilakukan pemerintah tersebut cukup berhasil dalam upaya menekan laju inflasi,
pada tahun 1996 laju inflasi menunjukkan penurunan menjadi sebesar 6,47. Memasuki awal 1997 hingga Juni 1997 laju inflasi masih terkendali,
namun sejak Juli 1997 tekanan inflasi mulai terasa akibat terdepresiasinya rupiah. Selain itu, tekanan inflasi juga diperberat oleh terjadinya musim kemarau yang
berkepanjangan yang berdampak pada terganggunya pasokan dan sistem distribusi. Hal tersebut mengakibatkan laju inflasi mengalami peningkatan menjadi sebesar
11,05 pada tahun 1997.
Pada tahun 1998 kondisi perekonomian Indonesia semakin memburuk, laju inflasi pada tahun ini tercatat sebesar 77,63, merupakan laju inflasi tertinggi
sepanjang periode 1987-2008. Tingginya inflasi pada tahun ini tidak terlepas dari pengaruh sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, antara lain
disebabkan karena terdepresiasinya nilai rupiah secara tajam, naiknya harga BBM pada bulan Mei yang diikuti dengan naiknya tarif angkutan, terjadinya kemarau
panjang, adanya aksi spekulatif oleh sebagian masyarakat yang menimbun barang-barang, serta terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah. Sedangkan
dari sisi permintaan, antara lain disebabkan karena meningkatnya permintaan masyarakat akan barang-barang sebagai akibat terjadinya panic buying,
meningkatnya JUB sebagai akibat dari kebijakan pemerintah memberikan BLBI, dan meningkatnya ekspektasi masyarakat akan inflasi yang disebabkan oleh
adanya isu-isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok.. Kemudian, seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian, pulihnya
stabilitas politik dalam negeri, kembali meningkatnya kepercayaan masyarakat akan sistem perbankan nasional, penerapan kebijakan moneter ketat, adanya
upaya pemerintah dalam memperbaiki dan memperlancar sistem distribusi barang- barang, serta upaya dalam menjaga pasokan kebutuhan pokok baik dengan cara
membuka keran impor dan membatasi ekspor komoditas tertentu, maka laju inflasi pada tahun 1999 dapat kembali ditekan dan diturunkan menjadi sebesar 2,01.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar 9,35 pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi
sebesar 12,55 pada tahun 2001. Tingginya laju inflasi pada tahun-tahun ini lebih
dikarenakan tekanan yang berasal dari faktor penawaran ketimbang yang berasal dari faktor permintaan. Dari faktor penawaran, terdepresiasinya nilai tukar rupiah,
pengurangan subsidi dan kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Mei 2001 yang diikuti dengan naiknya tarif dasar transportasi dan tarif dasar listrik TDL,
kenaikan cukai tembakau, serta kenaikan upah minimum diberbagai propinsi, mengakibatkan meningkatnya biaya di hampir seluruh sektor produksi sehingga
menyebabkan tingginya inflasi akibat meningkatnya biaya produksi cost-push inflation
. Selain itu, fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih dan rendahnya minat investasi karena masih tingginya faktor risiko berusaha telah
mengurangi minat investasi sehingga membatasi penambahan kapasitas produksi. Sementara itu dari sisi permintaan, akselerasi pemulihan ekonomi yang lebih
cepat dari yang diperkirakan juga telah mendorong meningkatnya permintaan agregat sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan harga dari sisi permintaan.
Pada tahun 2002 laju inflasi Indonesia cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, laju inflasi pada tahun ini tercatat sebesar 10,03.
Menurunnya laju inflasi pada tahun ini tidak terlepas dari pengaruh menguatnya nilai tukar rupiah, cukup terjaganya pasokan kebutuhan pokok masyarakat, serta
kebijakan kontraktif yang diterapkan oleh pemerintah. Meskipun demikian, laju inflasi pada tahun ini masih relatif tinggi apabila dibandingkan dengan rata-rata
inflasi sepanjang periode 1987-2008. Relatif tingginya laju inflasi pada tahun ini lebih disebabkan karena kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah berupa
kenaikan BBM pada bulan Januari dan Desember, kenaikan tarif transportasi pada bulan Februari, yang diikuti dengan naiknya TDL serta harga LPG pada bulan Juni
dan Desember. Selain itu, terganggunya pasokan pada awal tahun akibat banjir yang terjadi di berbagai daerah serta terjadi kemarau yang cukup panjang pada akhir
tahun juga turut memberikan kontribusi terhadap tingginya inflasi pada tahun ini. Selanjutnya pada tahun 2003 laju inflasi kembali mengalami penurunan,
menjadi sebesar 5,06. Penurunan laju inflasi pada tahun ini disebabkan baik oleh perkembangan faktor fundamental maupun non fundamental yang memberikan
tekanan inflasi yang menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan faktor fundamental yang membaik meliputi menurunnya ekspektasi inflasi, relatif
berimbangnya interaksi permintaan dan penawaran agregat, serta menguatnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, perkembangan faktor non fundamental yang lebih
bersifat kejutan terdiri dari menurunnya penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan adanya kejutan penawaran yang positif pada komoditas bahan makanan.
Dalam perkembangan tahun berikutnya, laju inflasi Indonesia relatif masih terkendali. Laju Inflasi pada tahun 2004 ini tercatat sebesar 6,40 sedikit lebih
tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Relatif terkendalinya laju inflasi pada tahun ini antara lain karena interaksi permintaan dan penawaran yang relatif
berimbang, cukup terjaganya pasokan barang dan jasa, kebijakan moneter ketat yang diterapkan pemerintah, ekspektasi inflasi yang relatif terkendali, serta
menurunnya inflasi administered prices. Meskipun demikian, Secara keseluruhan laju inflasi pada tahun ini lebih banyak disumbangkan karena tekanan depresiasi
nilai tukar rupiah pada pertengahan tahun dan meningkatnya inflasi volatile food Pada tahun 2005 laju inflasi Indonesia kembali mengalami peningkatan
yang tajam dibandingkan tahun sebelum. Laju inflasi pada tahun ini tercatat
sebesar 17,11 yang merupakan laju inflasi tertinggi sepanjang periode setelah krisis. Tingginya laju inflasi pada tahun ini lebih disebabkan karena kebijakan
harga yang ditetapkan pemerintah berupa kenaikan BBM sebanyak dua kali pada bulan Maret dan Oktober 2005, yang diikuti dengan kenaikan tarif transportasi,
harga elpiji, cukai rokok, tarif PAM, dan tarif tol. Selain disebabkan oleh administered prices
, tekanan inflasi pada 2005 juga dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah, serta terganggunya pasokan dan distribusi barang-barang di
berbagai daerah akibat terjadinya penimbunan maupun karena kelangkaan barang. Kemudian, seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah, melemahnya
daya beli masyarakat, minimalnya kebijakan administered prices yang bersifat strategis, menurunnya ekspektasi inflasi, terjaganya distribusi dan pasokan
kebutuhan pokok, serta diterapkannya kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiskal yang berhati-hati, maka laju inflasi pada tahun berikutnya cenderung
mengalami penurunan. Pada tahun 2006 laju inflasi tercatat sebesar 6,60. Berikutnya pada tahun 2007, laju inflasi relatif stabil dan cenderung
berada pada kisaran yang sama dengan tahun sebelumnya. Laju inflasi pada tahun ini tercatat sebesar 6,59. Tingkat inflasi yang relatif stabil tidak terlepas dari
perkembangan nilai tukar rupiah yang relatif stabil, terjaganya ketersediaan pasokan dan lancarnya distribusi kebutuhan pokok, minimalnya tekanan dari
interaksi permintaan dan penawaran agregat, tidak adanya kenaikan administered price
yang bersifat strategis, serta menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Meskipun demikian, memasuki paruh kedua tahun 2007, perkembangan inflasi
mendapat tekanan yang cukup berat terutama disebabkan karena meningkatnya
harga komoditas internasional seperti minyak mentah, crude palm oil CPO, gandum, dan emas, yang disertai melemahnya nilai tukar rupiah.
Terakhir, pada tahun 2008 laju inflasi cenderung mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar 11,06. Sumber tekanan inflasi
pada tahun ini terutama berasal dari tingginya lonjakan harga komoditas global terutama harga komoditas minyak dan pangan. Selain berdampak pada imported
inflation yang tinggi, lonjakan harga minyak dunia juga berdampak pada kenaikan
inflasi administered seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada bulan Mei 2008. Ditambah dengan beberapa permasalahan
distribusi dan pasokan, berbagai perkembangan tersebut menyebabkan ekspektasi inflasi yang tinggi dan mempengaruhi perkembangan inflasi pada tahun 2008.
Meskipun demikian, tekanan inflasi mulai mereda cukup signifikan pada triwulan IV-2008 terutama akibat merosotnya harga komoditas global dan melambatnya
perekonomian dunia. Selain itu, rendahnya tekanan inflasi di penghujung tahun 2008 juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk menurunkan kembali
harga BBM pada Desember 2008 seiring dengan turunnya harga minyak dunia.
d Perkembangan Nilai Tukar rupiah
Secara keseluruhan, sepanjang periode 1987-2008 perkembangan nilai tukar rupiah serta depresiasi dan apresiasinya cenderung berfluktuasi, sebagaimana
diperlihatkan pada grafik 4.6. Sepanjang periode tersebut rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 5.631 per 1 USD dan rupiah terdepresiasi rata-rata sebesar 6,32
per tahun. Apabila periode krisis diabaikan, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp. 5.554 per 1 USD dan rupiah terdepresiasi rata-rata sebesar 2,43 per tahun.
Grafik 4.5: Perkembangan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Periode 1987-2008
1,000 2,000
3,000 4,000
5,000 6,000
7,000 8,000
9,000 10,000
11,000
19 86
19 87
19 88
19 89
19 90
19 91
19 92
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
Ni la
i T u
k a
r Ru p
ia h
p e
r 1 US
D Rp
US D
-80 -70
-60 -50
-40 -30
-20 -10
10 20
30 40
50
A p
resi asi
d an
D ep
resi asi
R u
p iah
Rata2 Nilai tukar RpUSD Depresiasi Apresiasi Rupiah
Sumber: BI, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia SEKI
Meskipun demikian, apabila dibandingkan antara periode sebelum krisis dengan setelah krisis terlihat bahwa perkembangan nilai tukar pada periode
setelah krisis lebih berfluktuasi ketimbang sebelum krisis. Pada periode sebelum krisis, nilai tukar rupiah dan depresiasinya cenderung bergerak secara stabil. Rata-
rata nilai tukar rupiah pada periode ini tercatat sebesar Rp. 1.980 per 1 USD dan rupiah cenderung terdepresiasi rata-rata sebesar 5,60 per tahun.
Pada periode sebelum krisis depresiasi rata-rata nilai tukar rupiah tertinggi terjadi pada tahun 1987 yang tercatat sebesar 21,37. Tingginya depresiasi nilai
tukar rupiah pada tahun ini dikarenakan rata-rata nilai tukar tahun 1987 jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1986. Pada tahun 1987 rata-rata nilai tukar rupiah
sebesar Rp.1.649 per USD sedangkan pada tahun 1986 sebesar Rp 1.296 per USD, hal ini menyebabkan rata-rata nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi secara
tajam. Perbedaan yang tajam antara rata-rata nilai tukar rupiah tahun 1986 dengan 1987 dikarenakan kebijakan pemerintah yang mendevaluasikan rupiah pada akhir
September 1986. Meskipun pemerintah mendevaluasikan rupiah pada akhir September 1986 sehingga nilai tukar rupiah pada akhir bulan September 1986
menjadi sebesar Rp. 1.493 per 1 USD, namun nilai tukar rupiah pada periode bulan Januari-Agustus 1986 masih cenderung rendah berkisar antara Rp 1.113 per
USD – Rp. 1.137 per USD, sehingga rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 1986 cenderung jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1987.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, yakni pada tahun 1988 hingga akhir tahun 1996, nilai tukar nominal rupiah cenderung terdepresiasi terhadap
USD rata-rata terdepresiasi sebesar 3,85 per tahun. Cenderung terdepresiasinya nilai tukar rupiah pada periode ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam
upaya menjaga daya saing produk ekspor. Dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali, Bank Sentral melakukan intervensi agar rupiah tetap terjaga nilainya.
Tabel 4.3: Transaksi Berjalan dan Neraca Modal Indonesia 1990-2008 Juta USD
I II
I + II III
Tahun Neraca
Perdagangan Neraca
Jasa Transaksi
Berjalan Neraca
Modal Jumlah
I + II + III 1990 5,352
-8,592 -3,240
4,746 1,506
1991 4,801 -9,193
-4,392 5,829
1,437 1992 7,022
-10,144 -3,122
18,111 14,989
1993 8,231 -10,529
-2,298 17,972
15,674 1994 7,901
-10,861 -2,960
4,008 1,048
1995 6,533 -13,293
-6,760 10,589
3,829 1996 5,948
-13,749 -7,801
10,989 3,188
1997 10,074 -15,075 -5,001
2,542 -2,459
1998 18,428 -14,332 4,096
-3,836 260 1999 20,644
-14,861 5,783 -5,944
-161 2000 25,042
-17,050 7,992 -8,166
-174 2001 22,695
-15,795 6,900 -7,617
-717 2002 23,512
-15,690 7,822 -1,102
6,720 2003 24,563
-16,456 8,107 -949
7,158 2004 20,152
-18,589 1,563 1,852
3,415 2005 17,534
-17,256 278 345 623
2006 29,660 -18,801 10,859
3,025 13,884
2007 32,754 -22,262 10,492
3,591 14,083
2008 23,309 -22,703 606
-1,706 -1,100
Sumber: BI, Laporan Perekonomian Indonesia
Di samping itu, terdepresiasi rupiah pada periode ini 1988-1996 juga disebabkan karena meningkatnya defisit transaksi berjalan, terutama meningkatnya
defisit neraca jasa serta menurunnya neraca perdagangan Tabel 4.2. Meningkatnya
pembayaran jasa-jasa ke luar negeri menyebabkan permintaan akan valas meningkat, sedangkan menurunnya neraca perdagangan khususnya sejak tahun
1994 berdampak pada berkurangnya kemampuan BI dalam memasok valas. Kombinasi tersebut menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan dan pada
akhirnya memberikan kontribusi yang cukup besar atas terjadinya depresiasi rupiah. Sementara itu, meningkatnya neraca modal terutama masuknya aliran
modal jangka pendek cukup membantu dalam menguatkan nilai tukar rupiah. Memasuki awal tahun 1997 nilai tukar rupiah masih relatif terkendali,
namun sejak pertengahan Juli 1997 nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang berat akibat dari terjadinya currency crises. Meskipun Bank Indonesia telah
melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah, namun upaya tersebut relatif kurang berhasil, dan rupiah semakin terdepresiasi. Sehubungan dengan hal
itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa maka pada 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan menganut
sistem nilai tukar mengambang bebas. Meskipun telah melakukan upaya tersebut, namun secara keseluruhan pada tahun ini nilai tukar rupiah mengalami depresiasi
yang cukup tajam, dari Rp. 2.349 per 1 USD pada tahun 1996 menjadi Rp. 2.952 per 1 USD atau terdepresiasi sebesar 20,42.
Memasuki tahun 1998 tekanan terhadap rupiah semakin menguat, bahkan pada pertengahan Juni 1998 rupiah sempat mencapai level Rp16.500 per 1 USD.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi fundamental perekonomian yang semakin melemah, menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional, perkembangan sosial politik yang
memburuk, masalah utang luar negeri swasta, derasnya aliran modal yang keluar, dan adanya aksi spekulasi. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya
untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, namun secara keseluruhan pada tahun ini nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang tertinggi, dari Rp. 2.952 per 1 USD pada
tahun sebelumnya menjadi Rp. 9.839 per 1 USD atau terdepresiasi sebesar 70. Selanjutnya pada periode setelah krisis, nilai tukar rupiah serta depresiasi
dan apresiasinya cenderung lebih berfluktuasi ketimbang pada periode sebelum krisis. Rata-rata nilai tukar rupiah pada periode ini sebesar Rp. 9.128,40 per 1
USD dan rupiah cenderung terapresiasi rata-rata sebesar 0,74 per tahun. Pada periode ini, apresiasi rata-rata nilai tukar rupiah terjadi pada tahun 1999, 2002,
2003, dan 2006, sedangkan depresiasi rata-rata nilai tukar rupiah terjadi pada tahun 2000, 2001, 2004, 2005, 2007 dan 2008.
Pada tahun 1999 rata-rata nilai tukar rupiah kembali menguat menjadi sebesar Rp. 7.809 per 1 USD atau terapresiasi sebesar 26. Perkembangan
tersebut antara lain disebabkan oleh sentimen pasar yang positif terhadap perkembangan ekonomi makro dan kebijakan yang diambil pemerintah. Selain itu,
sentimen positif pasar terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh pencairan dana bantuan lembaga keuangan internasional, restrukturisasi utang luar negeri
perbankan, kondisi politik yang cenderung membaik, serta semakin besarnya iklim keterbukaan pemerintah di berbagai hal turut mengoreksi sentimen negatif pasar.
Berikutnya pada tahun 2000, nilai tukar rupiah kembali melemah. Rata- rata nilai tukar rupiah pada tahun ini sebesar Rp 8.534 per 1 USD atau terdepresiasi
sebesar 8,50. Secara umum, melemahnya nilai tukar rupiah tersebut disebabkan
karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap prospek pemulihan ekonomi akibat berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menyebabkan
depresiasi rupiah terkait dengan masih terbatasnya pasokan valas akibat dari masih rendahnya arus modal masuk swasta dan tidak kembali sepenuhnya devisa hasil
ekspor, di sisi lain, permintaan valas mengalami peningkatan khususnya permintaan oleh sektor swasta dalam rangka pelunasan utang luar negeri yang jatuh tempo.
Dari sisi eksternal, cenderungan meningkatnya suku bunga internasional, menguatnya dolar AS, dan gejolak nilai tukar regional turut memberi tekanan
terhadap rupiah. Selain itu, sentimen negatif pasar terhadap gejolak politik menjelang Sidang Tahunan MPR juga memperburuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Terdepresiasiya nilai tukar rupiah pada tahun 2000 terus berlanjut pada tahun 2001. Pada tahun ini rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp.10.266 per 1
USD atau terdepresiasi sebesar 16,86. Secara umum melemahnya nilai tukar pada tahun ini disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan
permintaan valas. Relatif terbatasnya pasokan valas antara lain disebabkan menurunnya aliran dana yang masuk akibat dari meningkatnya risiko usaha dan
ketidakpastian politik, dan memburuknya kinerja ekspor akibat menurunnya perekonomian dunia, sementara itu, pada saat yang sama terdapat peningkatan
permintaan valas terutama oleh sektor korporasi untuk pembayaran utang luar negeri dan kebutuhan impor. Di samping itu, tekanan rupiah juga diperburuk oleh
sentimen negatif pelaku pasar akibat ketidakpastian situasi politik menjelang pergantian kepemimpinan nasional dan ketidakjelasan penyelesaian permasalahan
struktural seperti restrukturisasi, divestasi, privatisasi, serta hubungan dengan IMF.
Setelah mengalami depresiasi, nilai rupiah kembali mengalami apresiasi yang signifikan pada tahun 2002. Secara keseluruhan, rata-rata nilai tukar rupiah
pada tahun ini sebesar Rp 9.261 per 1 USD atau terapresiasi sebesar 10,85. Dari sisi fundamental, menguatnya nilai rupiah terutama dipengaruhi oleh besarnya
surplus neraca pembayaran yang disebabkan menurunnya defisit transaksi modal dan meningkatnya surplus transaksi berjalan. Dari sisi sentimen, faktor positif
yang mendorong penguatan nilai rupiah terutama terkait dengan kemajuan yang dicapai dalam program restrukturisasi seperti keberhasilan penjadwalan kembali
utang luar negeri, pencairan pinjaman IMF, perbaikan peringkat utang Indonesia, dan terlaksananya program divestasi bank BCA dan Niaga serta privatisasi BUMN.
Kecenderungan menguatnya nilai tukar rupiah pada tahun 2002 terus berlanjut pada tahun 2003. Pada tahun 2003, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar
Rp. 8.571 per 1 USD atau terapresiasi sebesar 8,05. Menguatnya nilai rupiah pada tahun ini disebabkan karena membaiknya faktor risiko, tercukupinya pasokan
valas, masih menariknya perbedaan suku bunga, dan munculnya sentimen positif. Pada tahun 2004, perkembangan nilai tukar rupiah menunjukkan arah yang
berlawanan dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni cenderung terdepresiasi. Rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun ini sebesar Rp.9.030 per 1 USD atau
terdepresiasi sebesar 5,09. Tekanan depresiasi rupiah pada tahun ini disebabkan karena berbaliknya kembali aliran modal asing jangka pendek akibat dari
perkembangan ekonomi AS yang masuk ke dalam siklus kebijakan ekonomi ketat. Selain itu, cenderung meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi
kebutuhan impor di sektor migas dan otomotif, meningkatnya ekspektasi akibat
ketidakpastian kondisi politik menjelang pelaksanaan pemilu eksekutif pada Agustus dan September, serta aksi pemboman di depan kedutaan besar Australia
pada 9 September 2004, turut memberi kontribusi terhadap tekanan nilai rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah pada tahun 2004 terus berlanjut pada tahun
2005. Pada tahun ini rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.751 per 1 USD atau terdepresiasi sebesar 7,39. Dari sisi eksternal, melemahnya nilai tukar rupiah
terutama terkait dengan masih berlanjutnya siklus pengetatan moneter yang dilakukan oleh AS. Sementara dari sisi internal, melemahnya rupiah tidak terlepas
dari kinerja neraca pembayaran yang mengalami penurunan surplus neraca transaksi berjalan sementara arus modal masuk relatif masih terbatas serta
meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Kemudian, seiring dengan membaiknya kondisi fundamental makro ekonomi Indonesia, relatif terjaganya daya tarik investasi, makin kondusifnya
perkembangan ekonomi global, cenderung melemahnya mata uang dolar, meningkatnya pasokan valas yang bersumber dari aliran masuk modal portofolio
asing ke pasar keuangan di dalam negeri sedangkan permintaannya cenderung merosot akibat melemahnya kegiatan impor, serta seiring dengan penerapan
kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati, maka nilai tukar rupiah kembali menguat. Pada tahun 2006 rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.141 per 1
USD atau terapresiasi sebesar 6,67 dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam perkembangan selanjutnya, rata-rata nilai tukar rupiah relatif stabil
dan cenderung sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2007 rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.164 per 1 USD atau terdepresiasi sebesar 0,24 dibandingkan tahun sebelumnya. Relatif stabil nilai
tukar rupiah pada tahun 2007 terutama ditopang oleh kinerja neraca pembayaran yang masih mencatat surplus, faktor risiko yang membaik, imbal hasil investasi
asset rupiah yang tetap menarik, serta kebijakan moneter dan fiskal yang ditempuh secara hati-hati yang disertai langkah kebijakan stabilisasi nilai tukar.
Meskipun demikian, pada paruh kedua tahun 2007 nilai tukar sempat mengalami tekanan terutama akibat gejolak eksternal yakni masih tingginya harga minyak
dunia dan terjadinya krisis subprime mortgage pada akhir tahun 2007. Terakhir, pada tahun 2008 nilai rupiah cenderung melemah dibandingkan
tahun sebelumnya. Rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun ini sebesar Rp. 9.757 per 1 USD atau terdepresiasi sebesar 6,08. Secara umum perkembangan nilai
tukar rupiah selama tahun 2008 sangat dipengaruhi oleh gejolak harga komoditas, melambatnya perekonomian dunia, dan terjadinya krisis keuangan global.
e Perkembangan Jumlah Uang Beredar M2
Perkembangan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia secara nominal sepanjang periode 1987-2008 cenderung mengalami peningkatan, baik untuk uang
beredar dalam arti sempit M1, uang kuasi, maupun uang beredar dalam arti luas M2 atau likuiditas perekonomian grafik 4.6. Cenderung meningkatnya jumlah
uang beredar secara nominal tersebut merupakan hal yang wajar seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan dunia usaha akan likuiditas perekonomian.
Meskipun demikian, ditinjau dari laju pertumbuhannya terlihat bahwa pertumbuhan uang beredar sepanjang periode 1987-2008 cenderung berfluktuasi
grafik 4.7. Dengan rata-rata laju pertumbuhan untuk M2 sebesar 21,57, uang kuasi sebesar 23,05, dan M1 sebesar 18,88. Apabila dibandingkan antara