Dengan elastisitas kapital sebesar 0,385 dan elastisitas labor sebesar 1,270, maka perhitungannya menjadi:
L L
1,270 K
K 0,385
Y Y
A A
• •
• •
− −
=
................... 30
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 30 tersebut diperoleh hasil TFP sebagaimana diperlihatkan pada grafik 4.26 di bawah ini.
Grafik 4.26: Pergerakan TFP Indonesia Periode 1987-2008
-0.31 3.80
5.07
-0.89 -3.28
-3.36 0.92
-0.90 -0.13
-0.76 -1.48
0.04
-5.25 -1.59
3.37 3.14
4.20
-0.73 -0.88
-2.39 -2.87
-1.61 -6.00
-4.00 -2.00
0.00 2.00
4.00 6.00
198 7
198 8
198 9
19 90
19 91
19 92
19 93
19 94
19 95
19 96
199 7
199 8
199 9
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
200 8
Sumber: Lampiran
Dari grafik 4.26 di atas terlihat jelas bahwa pertumbuhan TFP di Indonesia sepanjang periode 1987-2008 cenderung berfluktuasi. Secara rata-rata pertumbuhan
TFP sepanjang periode 1987-2008 menunjukkan pertumbuhan yang negatif, yakni sebesar -0,27. Sementara itu, bila hasilnya dibandingkan antara periode sebelum
dengan setelah krisis, terlihat kecenderungan hasil yang kontras. Pada periode sebelum krisis pertumbuhan TFP cenderung negatif dengan pertumbuhan TFP
mencapai pertumbuhan rata-rata sebesar -0,35. Sebaliknya pada periode setelah krisis, rata-rata pertumbuhan TFP cenderung positif dengan pertumbuhan TFP
mencapai pertumbuhan rata-rata sebesar 0,03. Bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian lain, sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 4.26, terlihat perbedaan yang signifikan pada semua
studi. Alasan penting dari berbedanya hasil TFP ini dengan studi sejenis yang dilakukan oleh para peneliti lain, sebagaimana dikemukakan oleh Pierre van der
Eng 2006 adalah karena adanya empat perbedaan pokok yang seringkali terjadi, yakni perbedaan dalam 1 periode pengamatan, 2 basis data yang digunakan
dan cara memproses data tersebut, 3 metodelogi atau cara memperhitungkan elastisitas faktor-faktor input dan TFP, serta 4 variabel yang digunakan untuk
memperhitungkan sumber pertumbuhan tersebut.
Tabel 4.26: Perbandingan TFP Indonesia Hasil Beberapa Penelitian
No. Peneliti
Periode Average TFP
Growth Kontribusi
TFP GDP
Growth
1 Drysdale and Huang 1997
1962-1990 2.10
31.34 6.70
2 Kawai 1994
1970-1990 1.50
24.19 6.20
3 Sarel 1997
1978-1996 1.20
25.53 4.70
4 UNINDO 2005
1962-2000 -1.53
-27.01 5.66
5 Sigit 2004
1980-2000 -0.80
-14.80 5.40
6 UNSFIR 2002
1971-2001 0.13
2.20 5.83
7 Peter War
2006 1980-2002
-0.11 -2.00
5.51 8 Sutanto
2004 1992-2002
-1.40 -36.84
3.80 9
Tjahjono Anugrah 2006 1985-2004
0.03 0.54
5.62 10
Van der Eng 2006 1971-2005
-0.11 -2.09
5.38 11
Van der Eng 2009 1971-2007
-0.20 -3.70
5.40 12 Studi
Ini 1987-2008
-0.27 -5.47
4.89
Sumber Van der Eng 2009; Sumber Firdausy 2005
Dengan kata lain, sulit untuk memastikan apakah perbedaan dalam perkiraan hasil pertumbuhan TFP dari berbagai studi tersebut adalah karena
sebagai akibat dari berbedanya pengukuran error atau karena berbedanya asumsi dan metodelogi yang mendasari pemrosesan data. Oleh karena alasan tersebut,
tidak mungkin untuk menjelaskan dan membandingkan secara rinci perbedaan hasil studi ini dengan temuan studi lain yang sejenis. Meskipun demikian, hasil
TFP yang negatif ini setidaknya sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Sigit 2004, Sutanto 2004, UNINDO 2005, Peter War 2006, Peter War
2006, serta Van der Eng 2009.
Untuk memahami hasil yang negatif dari pertumbuhan TFP tersebut, perlu dikemukakan bahwa negatifnya nilai TFP bukan berarti mengindikasikan bahwa
di Indonesia tidak terdapat kemajuan teknologi yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, setidaknya terdapat dua problem mendasar yang
berkaitan dengan kalkulasi perhitungan pertumbuhan TFP: 1 kalkulasi perhitungan elastisitas faktor-faktor input pada studi ini tidak mengasumsikan sepenuhnya
asumsi yang dikemukakan Solow, dan 2 TFP ditaksir sebagai residual. Terkait dengan hal yang pertama, sebagaimana telah dibahas pada bagian
sebelumnya, bahwa perhitungan elastisitas faktor-faktor input tidak mengasumsikan sepenuhnya asumsi yang dikemukakan Solow, yakni tidak mengasumsikan
persaingan sempurna, input-input produksi dibayar sesuai dengan marginal produknya, diminishing return baik untuk kapital dan labor, serta constant return
to scale dalam fungsi produksi. Metode perhitungan elastisitas faktor-faktor input
diperoleh melalui pendekatan ekonometrik dengan melakukan regresi pada fungsi produksi dan tidak dengan cara melakukan pembobotan seperti halnya yang
dilakukan oleh Solow. Lebih jauh, berdasarkan hasil perhitungan secara ekonometrik diperoleh elastisitas labor dan kapital yang besar, khususnya untuk elastisitas
labor yang mengalami increasing return to labor. Di samping itu, penjumlahan kedua elastisitas dari kedua input tersebut tidak menunjukkan constant return to
scale . Relatif tingginya nilai elastisitas untuk labor dan kapital, pada gilirannya
secara langsung berdampak pada tingginya kontribusi labor dan kapital terhadap pertumbuhan ekonomi, dan sebagai akibatnya kontribusi pertumbuhan TFP
terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi relatif kecil bahkan menjadi negatif.
Terkait dengan hal yang kedua, perhitungan TFP sebagai residual mengandung arti bahwa TFP tidak hanya merefleksikan perkembangan teknologi
tetapi juga perkembangan sumber-sumber lainnya yang tidak dimasukkan dalam model, seperti: perkembangan institusi, regulasi, country specific-shock, karakteristik
negara tersebut, sumber daya alam, pengaruh dari faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam model, serta komponen-komponen lain yang tidak diinginkan
estimasi error, variabel yang tidak dimasukkan pada model, aggregation bias, dan kesalahan spesifikasi model. Dengan kata lain, interpretasi TFP sebagai residual
mempunyai makna yang luas. Meskipun demikian, interpretasi dari negatif maupun rendahnya nilai TFP ini setidaknya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut.
Pertama pada periode sebelum krisis 1987-1996, kecenderungan dari negatifnya nilai TFP pada periode ini antara lain dikarenakan:
1 Sejak berakhirnya era bom oil hingga memasuki awal tahun 1990-an perekonomian Indonesia memasuki tahap transisi, dari yang sebelumnya
ketergantungan pada sektor migas dan pertanian beralih ke sektor industri manufaktur yang padat tenaga kerja, ketika memasuki tahap transisi ini
produktivitas sektor industri diduga belum sepenuhnya mampu menghasilkan produktivitas yang efisien sehingga berdampak pada rendahnya nilai TFP pada
periode 1987-1990; 2 Sejak diberlakukannya kebijakan liberalisasi keuangan dan modal di Indonesia,
sebagian besar dari perkembangan aliran investasi asing yang masuk lebih diarahkan untuk tujuan investasi kapital maupun portofolio ketimbang untuk
investasi dalam perkembangan teknologi, sebagai akibatnya kontribusi untuk kapital cenderung tinggi dan sebaliknya kontribusi dari TFP menjadi rendah;
3 Sektor swasta mengalami ketergantungan terhadap barang modal dan bahan baku impor, sebagai akibatnya hasil ekspor maupun utang luar negeri swasta
yang sebenarnya dapat dipakai untuk pengembangan dan peningkatan produktivitas menjadi terbatas dan pada gilirannya berdampak pada rendahnya
produktivitas sektor swasta dan pertumbuhan TFP; 4 Dalam kerangka institusi, kualitas pemerintahan pada periode sebelum krisis
cenderung rendah, birokrasi cenderung korup dan sentralistik. Dalam kerangka institusi ini, rendahnya kualitas pemerintah akan mempengaruhi
kinerja produktivitas karena hal tersebut akan menghambat penerapan manajemen makroekonomi yang baik, di samping itu hal tersebut juga
berdampak pada rendah kredibilitas pemerintah di mata investor domestik maupun luar negeri. Sementara itu, birokrasi yang korup menyebabkan
terhambatnya penyediaan infrastruktur dan sarana publik lainnya yang diperlukan oleh sektor usaha untuk pengembangan produktivitasnya.
Sedangkan, birokrasi yang sentralistik cenderung menjadi penghambat bagi daerah untuk berkembang sehingga berdampak pada rendahnya pencapaian
produktivitas perekonomian daerah. 5 Pada periode sebelum krisis kompetisi dalam berusaha cenderung rendah, hak-
hak bagi perusahaan kecil seringkali diabaikan dan sebaliknya cenderung mengistimewakan grup perusahaan besar tertentu, terutama yang mempunyai
koneksi dengan pejabat. Selain itu, juga terdapat hambatan regulasi usaha seperti
hambatan dalam melakukan persaingan usaha, hambatan impor, maupun kecenderungan terjadinya monopoli oleh grup-grup perusahaan tertentu.
Kondisi lingkungan bisnis yang demikian, menyebabkan terjadinya high cost economy
, yang pada gilirannya mengurangi efisiensi dan menghilangkan kesempatan ekonomi, sehingga berdampak pada rendahnya pertumbuhan TFP.
Kedua, pada periode 1997-1998. Pada periode ini, negatifnya pertumbuhan TFP disebabkan terjadinya krisis. Terjadinya krisis, mendorong perusahaan untuk
mengurangi atau menghentikan penggunaan teknologi yang berbiaya tinggi, yang mana teknologi tersebut sebagian besar merupakan barang impor.
Ketiga, pada periode setelah krisis 1999-2008. Meskipun masih relatif rendah, namun pertumbuhan TFP pada periode ini relatif lebih baik daripada periode
sebelum krisis, dan pertumbuhan TFP pada periode ini antara lain disebabkan: 1 Kondisi perekonomian Indonesia masih belum sepenuhnya pulih dari krisis,
yang ditandai dengan masih belum stabilnya berbagai indikator makro ekonomi, sebagai akibatnya pertumbuhan TFP masih berjalan dengan lambat.
2 Masih belum stabilnya kondisi politik di Indonesia, terutama pada periode 2000-2001 pemerintahan Presiden Wahid. Pada periode tersebut, seringkali
terjadi konflik kepentingan politik yang berakhir dengan lengsernya Gus Dur dari tampuk kekuasaan presiden. Ketidakstabilan politik ini mempengaruhi
perkembangan indikator makro ekonomi dan iklim usaha, yang pada gilirannya menyebabkan TFP cenderung negatif pada tahun-tahun tersebut.
3 Terjadinya reformasi dalam institusi kepemerintahan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Pada tahun-tahun awal diterapkannya kebijakan ini,
pemerintah daerah sebagian besar belum mampu menjalankan pemerintahan yang baik, kinerjanya masih belum efisien, dan korupsi menjadi masif di
berbagai daerah, akibatnya peningkatan produktivitas berjalan dengan lambat. 4 Terjadinya perubahan dalam kebijakan persaingan usaha dan iklim bisnis di
Indonesia, dari yang sebelumnya cenderung tertutup pada perekonomian global mulai semakin terbuka. Di samping itu, beberapa hambatan usaha seperti
hambatan tarif, impor, penetapan harga, izin usaha, dan kecenderungan monopoli mulai dikurangi. Kondisi lingkungan bisnis yang demikian, berdampak
pada menurunnya biaya dalam melakukan bisnis, yang pada gilirannya berdampak pada meningkatnya efisiensi dan kesempatan ekonomi, dan pada
akhirnya berdampak pada meningkatnya pertumbuhan TFP Indonesia. Di samping hal-hal di atas, secara keseluruhan 1997-2008 rendahnya
TFP Indonesia juga disebabkan karena rendahnya dukungan pemerintah terhadap sektor RD Research Development, kurangnya penyediaan jasa informasi
teknologi yang merupakan penghubung antara sektor RD dan sektor industri, serta kurangnya minat perusahaan dalam melakukan pengembangan teknologi
bagi usahanya dan cenderung hanya mengandalkan pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan teknologi, khususnya untuk teknologi menengah dan tinggi.
Sementara itu, bila dibandingkan dengan kontribusi dari masing-masing faktor input, ternyata kontribusi TFP terhadap pertumbuhan output merupakan
yang paling rendah dibandingkan input labor dan kapital lihat grafik 4.27. Secara keseluruhan untuk periode 1987-2008, dari rata-rata pertumbuhan GDP sebesar
4,89, sumbangan sebesar 2,73 diberikan oleh labor, sebesar 2,43 diberikan
oleh kapital, dan sisanya sebesar -0,27 disumbangkan TFP. Besarnya sumbangan labor dan kapital terhadap pertumbuhan output menunjukkan bahwa kedua input
ini memainkan peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Grafik 4.27: Kontribusi Labor, Kapital, TFP terhadap GDP Growth
4.89 6.89