Analisis Marjin Pemasaran. Analisis Ekonomi dan Kebijakan. .1 Analisis Finansial dan Ekonomi.
103
Pola Pasar Pola Pasar
Pola Pasar Pertama
Kedua Ketiga
Pola Pasar I : Petani nenas-Pedagang pengumpul kebun- pedagang pengumpul desa - konsumen dan eksportir.
Pola Pasar II : Petani nenas - Pedagang Pengumpul desa- konsumen dan eksportir. Pola Pasar III : Petani nenas – konsumen dan eksportir.
Berikut ini disajikan Tabel 13.Marjin pemasaran di lokasi penelitian. Tabel 13. Marjin Pemasaran dan penyebaran harga hasil nenas di lokasi penelitian.
No Uraian
Pola pasar 1
Pola pasar 2
Pola pasar 3
Petani Nilai
RpKg Nilai
RpKg Nilai
RpKg
1 Harga Nenas di Tingkat Petani
575,00 57,50
575,00 57,50
Biaya produksi 434,00
434,00 Biaya pamasaran
20,00 20,00
Total biaya 454,00
454,00 keuntungan bersih
121,00 121,00
Marjin pemasaran 121,00
12,10 121,00
12,10 2
Pedagang Pengumpul Kebun
Harga beli 575,00
- Biaya Tataniaga Angkut
20,00 -
Penyusutan 11,50
- total biaya
31,50 -
Harga jual ke pedagang pengumpul dsa 650,00
- keuntungan bersih
43,50 4,35
- Marjin pemasaran
75,00 -
104
Pedagang Pengumpul Desa
3 Harga jual
650,00 600,00
Biaya Tataniaga Angkut 20,00
20,00 Penyusutan
13,00 24,00
Total biaya 33,00
44,00 Harga jual ke eksportirkonsumen
1.000,00 750,00
keuntungan bersih 17,00
8,00 66,00
Marjin pemasaran 50,00
5,00 150,00
15,00
Eksportir
4 harga beli
1.000.00 750,00
750,00 Biaya Tataniaga Angkut
20,00 20,00
20,00 Penyusutan
14,00 24,00
24,00 Total biaya
34,00 44,00
44,00 harga jual ke eksportir
1.000.00 1.000.00
1.000. keuntungan bersih
266,00 162,00
162,00 Marjin pemasaran
300,00 30,00
250,00 25,00
250,00 25.00
Total marjin pemasaran 546,0
521,0 446,0
Total biaya pemasaran 118,50
108,00 95,50
Total keuntungan 447,50
349,00 326,50
Sumber : analisis Data Primer petani dan pedagang.
Semakin besar total marjin pemasaran keuntungan petani yang didistribusikan untuk pelaku-pelaku pemasaran semakin besar, sehingga bagian
harga petani akan semakin kecil. Berdasarkan tabel dia ats diketahui bahwa pola pemasaran pertama, bagian harga petani paling kecil, dibandingkan pada pola
pemasaran kedua dan ketiga. Bagian harga petani meunjukkan proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam suatu pola pemasaran
komoditi. Semakin besar proporsi harga yang diterima petani berarti petani memiliki bargaining position yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi
harga yang diterima petani semakin sedikit,bargaining position petani semakin kecil. Olah kaena itu pada pola pemasaran ketiga dalam penelitian ini petani merupakan
pihak yang diuntungkan, akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan hanya sedikit
105
petani berkesempatan dan mampu memilih pola pemasaran ketiga. Kendala utama adalah keterbatasan modal petani, baik modal pemasaran, modal untuk
kelangsungan usahatani selanjutnya, dan rendahnya pengalaman petani.
6.2.2 Analisis Kebijakan PAM. Hasil analisis matrik kebijakan PAM = Policy Analysis Matrix usaha tani
nenas di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRCR yang diperoleh lebih kecil dari satu yaitu 0,515 dan 0,107; artinya untuk
menghasilkan satu satuan nilai tambah output pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik
Tabel 6. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu satuan devisa pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan korbanan kurang
dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Nilai PCR dan DRCR yang diperoleh tersebut lebih kecil dari satu, me ngindikasikan bahwa usaha tani
nenas di Kabupate Subang mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komperatif. Dalam hal ini nilai DRCR 1 memberi arti bahwa
memproduksi nenas di dalam negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik 10,7
, dengan kata lain produksi nenas domestik memiliki daya saing tinggi, sebab setiap satu dollar, devisa yang dihasilkan dalam usahatani nenas di
Kabupaten Subang mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 0,515 dolar.
Tabel 14.Hasil Analisis Kebijakan Usaha Tani Nenas di Kabupaten Subang, 2003. Satuan Rpkg
Keterangan Penerimaan Rp
Bi a y a I n p u t Rp Keuntungan Rp
106
Diperdagangkan Domestik
Harga Privat 264.600.000
6.955.612,5 132.705.327,5
124.939.060 Harga Sosial
1.241.000.000 4.140.893,75
131.842.890,3 1.105.016.216
Divergensi -976.400.000
2.814.718,75 862.437,25
-980.077.156 PP = 124.939.060
FT = 862.437,25 N
P C
O =
, 2
1 3
SP = 1.105.016.216 NT = -980.077.156
N P
C I
= 1
. 6
8 OT = -976.400.000
P C
R =
, 5
1 E
P C
=
, 2
107
5 8
IT = 281.471.8.75 D
R C
R =
, 1
7 P
C =
, 2
8
S P
P =
,
6.2.3.1 Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah. Ukuran divergensi dan kebijakan pemerintah dalam matrik PAM adalah
transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. Ukuran relatif ditunjukkan oleh koefisien proteksi output nominal atau nominal
protection coeficient on output NPCO, koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on input NPCI, koefisien proteksi efektif atau
effective protection coeficient EPC, koefisien profitabilitas atau profitability
108
coeficient PC dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producent SRP.
6.2.3.2 Dampak Kebijakan Harga Input. Dampak divergensi dan kebijakan pemerintah yang terdapat pada input
tradable ditunjukkan oleh nilai transfer input IT dan NPCI. Nilai IT yang diperoleh adalah positif IT 0, yaitu Rp. 2.814.718,75. Hal ini
mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan produsen atau petani nenas, karena petani nenas
harus membayar harga input tradable lebih tinggi dari yang seharusnya. Nilai NPCI yang diperoleh lebih besar dari satu NPCI1 yaitu1 1.680 , berarti
petani yang diteliti menerima harga input sekitar 16,8 lebih tinggi dari pada harga sosialnya. Hal ini terjadi karena harga pupuk dan etrel yang diterima
petani lebih tinggi dari pada harga sosialnya. Tingginya harga tersebut dari pada harga sosialnya karena sebagian pupuk yang digunakan dan etrel
tersebut merupakan input tradable yang komponen utamannya dari luar dan mekanisme pasar yang terbentuk dalam pemasaran ke dua input tersebut
belum competitive market karena faktor kelembagaan masih terbatas seperti lembaga pemasaran input di daerah ini sangat kurang memadai.
6.2.3.3 Dampak Kebijakan Harga Output. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kebijakan pemerintah dan
mekanisme pasar output nenas yang berlaku sekarang dapat dianalisis melalui koefisien dampak kebijakan proteksi harga output nominal NPCO dan
Transfer Output OT. NPCO merupakan rasio penerimaan yang dihitung
109
berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. Nilai NPCO
menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efesiensi sehingga menyebabkan devergensi harga privat
dengan harga sosial atas output. Apabila NPCO 1 menunjukkan bahwa pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga
efesiensinnya atau harga dunia. OT merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang
menggunakan harga sosial. Nilai OT yang negatif OT 0 menunjukkan produsen petani nenas menerima harga yang lebih rendah dari harga yang
seharusnya di terima. Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa nilai koefisien NPCO adalah
0,213 NPCO 1 dan nilai OT yang negatif yaitu –976.400.000 . Hal ini memberi arti bahwa petani nenas di Kabupaten Subang telah menerima
dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar output yang berlaku sekarang, dimana harga nenas domestik lebih rendah
dari pada harga sosialnnya. Dengan kata lain, kondisi harga nenas pada saat ini, secara relatif belum memberikan instrumen maksimal terhadap
pengembangan agribisnis nenas di Kabupaten Subang. Lebih jauh hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga
nenas yang diterima petani nenas adalah 78,7 dari harga sosialnya. Oleh sebab itu sekitar 21,3 dari keuntungan yang seharusnya diterima produsen
petani nenas beralih ke pelaku eksportir.
110
6.2.3.4 Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output.
Untuk melihat pengaruh dari keseluruhan kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output, apakah memberikan insentif atau disinsentif
terhadap usahatani nenas di kabupaten Subang dapat dianalisis dengan koefisien proteksi efektif EPC, dan koefisien profitabilitas PC. Nilai EPC 1
menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah memberikan insentif dukunganperlindungan terhadap pengembangan usaha tani nenas;
sebaliknya nilai EPC 1 menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah menimbulkan disinsentif terhadap pengembangan produksi nenas
di daerah penelitian. Hasil analisis EPC memperlihatkan bahwa petani nenas di kabupaten
Subang tidak menikmati efektivitas perlindungan dari kebijakan pemerintah yang ada, seperti tercermin dari nilai EPC 0,208. Dengan kata lain, pengaruh
instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input-output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usaha tani
nenas di kabupaten subang, sebab nilai tambah yang seharusnya diterima sosial, yaitu hanya sekitar 20,8 . Lebih rendahnya nilai tambah yang
diperoleh petani disini karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang distortif, yaitu disuatu sisi petani menerima harga input 16,8 lebih tinggi dari
pada harga sosial sedangkan di sisi lain petani juga menerima harga output 21,3 lebih rendah dari pada harga sosial yang seharusnya.
111
Dengan instrumen kebijakan peme rintah yang telah “gagal” dalam mekanisme pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani
produsen nenas adalah berkurangnya nilai tambah dari yang seharusnya diterima, yaitu sebesar 20,8 EPC, koefisien proteksi efektif atau effective
protection rate. Dengan kata lain perekonomian di Kabupaten Subang telah terjadi pengalihan keuntungan dari pihak produsen nenas ke pihak lain pelaku
pasar input, tengkulak dan eksportir. 6. 3
Analisis Game Theory Unt uk Formulasi St rat egi Pemasaran Nenas.
Dalam Analisis Game Theory terjadi interaksi interaksi sinergis yang dapat disederhanakan dengan model strategic game yang melibatkan tiga unsur penting,
yaitu petani dan pedagang pengumpul sebagai players, strategi pemasaran dari petani dan pedagang pengumpul, serta manfaat payoff yang diterima petani dan
pedagang pengumpul untuk setiap kombinasi dari strategi-strategi yang mungkin untuk dipilih.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pemasaran nenas, petani dihadapkan pada dua pilihan lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul strategi 1, dan
eksportir strategi 2, sedangkan pedagang pengumpul kebun dalam rangka memaksimumkan keuntungannya menggunakan strategi memberikan modal
strategi 1 dan tidak memberikan bantuan modal kepada petani nenas startegi 2. Selengkapnya matrik payoff dalam interaksi antara petani dengan pedagang
pengumpul pada model interaksi ini tercantum pada tabel 15 berikut ini.
112
Tabel 15 Payoff Martrix dalam Interaksi Petani nenas dan Pedagang Pengumpul di Kabupaten Subang, 2001.
Pedagang Pengumpul Memberikan modal
strategi 1 Tidak memberikan modal
strategi 2 Pemasaran hasil ke Pedagang
Pengumpul Strategi 1 4.188.800
2.762.500 Petani
Pemasaran ke Eksportir Strategi 2
3.168.000 2.250.000
Nilai-nilai yang terdapat pada matriks di atas menunjukkan payoff berupa nilai rataan pendapatan untuk masing-masing strategi yang dipilih petani nenas
dalam melakukan interaksi dengan pedagang pengumpul. Payoff matrix tersebut menggambarkan pareto optimum tercapai pada posisi dimana petani nenas
menerapkan strategi 2 pemasaran langsung ke eksportir dan pedagang pengumpul menggunakan strategi 2 tidak memberikan bantuan modal untuk petani. Bagi
petani, apapun strategi yang paling dominan, karena lebih memudahkan petani untuk memeproleh bantuan modal dan pinjaman untuk usahataninya dan kebutuhan
pokoknya sehari-hari, walaupun dalam analisis game theory menunjukkan strategi dua yang memberikan keuntungan maksimal bagi petani. Bagi pedagang pengumpul
yang ingin memaksimalkan keuntungan, hipotesis bahwa strategi 2 akan jauh lebih
113
menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa memang strategi dua akan jauh lebih menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa
memang strategi 2 yang optimum. Berdasarakan analisis strategis game tersebut dapat dinyatakan bahwa
strategi dimana petani nenas tidak mengikatkan diri dalam permodalan tetapi memasarkan hasil nenasnya ke eksportir merupakan parito optimal. Dengan strategi
pareto optimal ini petani akan mendapatkan payoff sebesar Rp.2.250.000. Hasil ini merefleksikan bahwa pilihan strategi optimal ini hanya dilakukan sebanyak 18,7
persen dari petani responden. Rendahnya persentase petani dalam kelompok ini disebabkan karena akses langsung menjual nenas ke eksportir dapat dilakukan bila
petani tersebut memiliki lahan yang luas dengan produksi yang lebih besar atau dapat juga melalui kelembagaan petani seperti kelompok tani yang secara horizontal
kuat dan solid sehingga mempunyai posisi yang kuat untuk melakukan bargaining dalam pemasaran langsung ke eksportir secara bersama-sama. Jadi penguatan
kelembagaan petani secara horizontal akan memperkuat kelembagan petani secara vertikal.
Dari sisi permodalan, strategi optimum bagi pedagang pengumpul adalah dengan tidak memberikan kredit modal kepada petani. Meskipin di satu sisi kurang
menjamin pemenuhan capacity , tetapi strategi ini menjadi optimum karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya moral hazard dan kegagalan panen
dari petani penerima kredit. Sebaiknya bagi petani, tidak mengikatkan diri dalam kontrak permodalan dengan pedagang pengumpul merupakan strategi optimum.
Meskipun harga input produksi mahal dan cenderung terus meningkat, dengan
114
akses yang sulit terhadap input-input produksi tersebut, tetapi kerjasama dengan pedagang pengumpul dalam bentuk ikatan permodalan melalui supply input
produksi bukanlah solusi optimal bagi petani. Fenomena ini menggambarkan bahwa kontrak kredit input dengan – pedagang pengumpul akan memberikan kerugian bagi
petani. Beberapa penyebab yang dapat disebutkan disini adalah tersisihnya petani nenas dari pengaturan-pengaturan kontrak akibat ketidakseimbangan dalam
kekuatan tawar-menawar unequal bargaining power dalam penentuan kontrak antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang memiliki perilaku Oligopsoni
Olygopsony rent. Fantor penyebab dan persoalan lain sering muncul di lapangan adalah biaya-biaya transaksi yang muncul akibat kontrak tersebut.