Analisis Marjin Pemasaran. Analisis Ekonomi dan Kebijakan. .1 Analisis Finansial dan Ekonomi.

103 Pola Pasar Pola Pasar Pola Pasar Pertama Kedua Ketiga Pola Pasar I : Petani nenas-Pedagang pengumpul kebun- pedagang pengumpul desa - konsumen dan eksportir. Pola Pasar II : Petani nenas - Pedagang Pengumpul desa- konsumen dan eksportir. Pola Pasar III : Petani nenas – konsumen dan eksportir. Berikut ini disajikan Tabel 13.Marjin pemasaran di lokasi penelitian. Tabel 13. Marjin Pemasaran dan penyebaran harga hasil nenas di lokasi penelitian. No Uraian Pola pasar 1 Pola pasar 2 Pola pasar 3 Petani Nilai RpKg Nilai RpKg Nilai RpKg 1 Harga Nenas di Tingkat Petani 575,00 57,50 575,00 57,50 Biaya produksi 434,00 434,00 Biaya pamasaran 20,00 20,00 Total biaya 454,00 454,00 keuntungan bersih 121,00 121,00 Marjin pemasaran 121,00 12,10 121,00 12,10 2 Pedagang Pengumpul Kebun Harga beli 575,00 - Biaya Tataniaga Angkut 20,00 - Penyusutan 11,50 - total biaya 31,50 - Harga jual ke pedagang pengumpul dsa 650,00 - keuntungan bersih 43,50 4,35 - Marjin pemasaran 75,00 - 104 Pedagang Pengumpul Desa 3 Harga jual 650,00 600,00 Biaya Tataniaga Angkut 20,00 20,00 Penyusutan 13,00 24,00 Total biaya 33,00 44,00 Harga jual ke eksportirkonsumen 1.000,00 750,00 keuntungan bersih 17,00 8,00 66,00 Marjin pemasaran 50,00 5,00 150,00 15,00 Eksportir 4 harga beli 1.000.00 750,00 750,00 Biaya Tataniaga Angkut 20,00 20,00 20,00 Penyusutan 14,00 24,00 24,00 Total biaya 34,00 44,00 44,00 harga jual ke eksportir 1.000.00 1.000.00 1.000. keuntungan bersih 266,00 162,00 162,00 Marjin pemasaran 300,00 30,00 250,00 25,00 250,00 25.00 Total marjin pemasaran 546,0 521,0 446,0 Total biaya pemasaran 118,50 108,00 95,50 Total keuntungan 447,50 349,00 326,50 Sumber : analisis Data Primer petani dan pedagang. Semakin besar total marjin pemasaran keuntungan petani yang didistribusikan untuk pelaku-pelaku pemasaran semakin besar, sehingga bagian harga petani akan semakin kecil. Berdasarkan tabel dia ats diketahui bahwa pola pemasaran pertama, bagian harga petani paling kecil, dibandingkan pada pola pemasaran kedua dan ketiga. Bagian harga petani meunjukkan proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam suatu pola pemasaran komoditi. Semakin besar proporsi harga yang diterima petani berarti petani memiliki bargaining position yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi harga yang diterima petani semakin sedikit,bargaining position petani semakin kecil. Olah kaena itu pada pola pemasaran ketiga dalam penelitian ini petani merupakan pihak yang diuntungkan, akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan hanya sedikit 105 petani berkesempatan dan mampu memilih pola pemasaran ketiga. Kendala utama adalah keterbatasan modal petani, baik modal pemasaran, modal untuk kelangsungan usahatani selanjutnya, dan rendahnya pengalaman petani. 6.2.2 Analisis Kebijakan PAM. Hasil analisis matrik kebijakan PAM = Policy Analysis Matrix usaha tani nenas di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRCR yang diperoleh lebih kecil dari satu yaitu 0,515 dan 0,107; artinya untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik Tabel 6. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu satuan devisa pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Nilai PCR dan DRCR yang diperoleh tersebut lebih kecil dari satu, me ngindikasikan bahwa usaha tani nenas di Kabupate Subang mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komperatif. Dalam hal ini nilai DRCR 1 memberi arti bahwa memproduksi nenas di dalam negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik 10,7 , dengan kata lain produksi nenas domestik memiliki daya saing tinggi, sebab setiap satu dollar, devisa yang dihasilkan dalam usahatani nenas di Kabupaten Subang mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 0,515 dolar. Tabel 14.Hasil Analisis Kebijakan Usaha Tani Nenas di Kabupaten Subang, 2003. Satuan Rpkg Keterangan Penerimaan Rp Bi a y a I n p u t Rp Keuntungan Rp 106 Diperdagangkan Domestik Harga Privat 264.600.000 6.955.612,5 132.705.327,5 124.939.060 Harga Sosial 1.241.000.000 4.140.893,75 131.842.890,3 1.105.016.216 Divergensi -976.400.000 2.814.718,75 862.437,25 -980.077.156 PP = 124.939.060 FT = 862.437,25 N P C O = , 2 1 3 SP = 1.105.016.216 NT = -980.077.156 N P C I = 1 . 6 8 OT = -976.400.000 P C R = , 5 1 E P C = , 2 107 5 8 IT = 281.471.8.75 D R C R = , 1 7 P C = , 2 8 S P P = , 6.2.3.1 Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah. Ukuran divergensi dan kebijakan pemerintah dalam matrik PAM adalah transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. Ukuran relatif ditunjukkan oleh koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coeficient on output NPCO, koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on input NPCI, koefisien proteksi efektif atau effective protection coeficient EPC, koefisien profitabilitas atau profitability 108 coeficient PC dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producent SRP. 6.2.3.2 Dampak Kebijakan Harga Input. Dampak divergensi dan kebijakan pemerintah yang terdapat pada input tradable ditunjukkan oleh nilai transfer input IT dan NPCI. Nilai IT yang diperoleh adalah positif IT 0, yaitu Rp. 2.814.718,75. Hal ini mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan produsen atau petani nenas, karena petani nenas harus membayar harga input tradable lebih tinggi dari yang seharusnya. Nilai NPCI yang diperoleh lebih besar dari satu NPCI1 yaitu1 1.680 , berarti petani yang diteliti menerima harga input sekitar 16,8 lebih tinggi dari pada harga sosialnya. Hal ini terjadi karena harga pupuk dan etrel yang diterima petani lebih tinggi dari pada harga sosialnya. Tingginya harga tersebut dari pada harga sosialnya karena sebagian pupuk yang digunakan dan etrel tersebut merupakan input tradable yang komponen utamannya dari luar dan mekanisme pasar yang terbentuk dalam pemasaran ke dua input tersebut belum competitive market karena faktor kelembagaan masih terbatas seperti lembaga pemasaran input di daerah ini sangat kurang memadai. 6.2.3.3 Dampak Kebijakan Harga Output. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar output nenas yang berlaku sekarang dapat dianalisis melalui koefisien dampak kebijakan proteksi harga output nominal NPCO dan Transfer Output OT. NPCO merupakan rasio penerimaan yang dihitung 109 berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. Nilai NPCO menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efesiensi sehingga menyebabkan devergensi harga privat dengan harga sosial atas output. Apabila NPCO 1 menunjukkan bahwa pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efesiensinnya atau harga dunia. OT merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang menggunakan harga sosial. Nilai OT yang negatif OT 0 menunjukkan produsen petani nenas menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya di terima. Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa nilai koefisien NPCO adalah 0,213 NPCO 1 dan nilai OT yang negatif yaitu –976.400.000 . Hal ini memberi arti bahwa petani nenas di Kabupaten Subang telah menerima dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar output yang berlaku sekarang, dimana harga nenas domestik lebih rendah dari pada harga sosialnnya. Dengan kata lain, kondisi harga nenas pada saat ini, secara relatif belum memberikan instrumen maksimal terhadap pengembangan agribisnis nenas di Kabupaten Subang. Lebih jauh hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga nenas yang diterima petani nenas adalah 78,7 dari harga sosialnya. Oleh sebab itu sekitar 21,3 dari keuntungan yang seharusnya diterima produsen petani nenas beralih ke pelaku eksportir. 110 6.2.3.4 Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output. Untuk melihat pengaruh dari keseluruhan kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output, apakah memberikan insentif atau disinsentif terhadap usahatani nenas di kabupaten Subang dapat dianalisis dengan koefisien proteksi efektif EPC, dan koefisien profitabilitas PC. Nilai EPC 1 menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah memberikan insentif dukunganperlindungan terhadap pengembangan usaha tani nenas; sebaliknya nilai EPC 1 menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah menimbulkan disinsentif terhadap pengembangan produksi nenas di daerah penelitian. Hasil analisis EPC memperlihatkan bahwa petani nenas di kabupaten Subang tidak menikmati efektivitas perlindungan dari kebijakan pemerintah yang ada, seperti tercermin dari nilai EPC 0,208. Dengan kata lain, pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input-output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usaha tani nenas di kabupaten subang, sebab nilai tambah yang seharusnya diterima sosial, yaitu hanya sekitar 20,8 . Lebih rendahnya nilai tambah yang diperoleh petani disini karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang distortif, yaitu disuatu sisi petani menerima harga input 16,8 lebih tinggi dari pada harga sosial sedangkan di sisi lain petani juga menerima harga output 21,3 lebih rendah dari pada harga sosial yang seharusnya. 111 Dengan instrumen kebijakan peme rintah yang telah “gagal” dalam mekanisme pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani produsen nenas adalah berkurangnya nilai tambah dari yang seharusnya diterima, yaitu sebesar 20,8 EPC, koefisien proteksi efektif atau effective protection rate. Dengan kata lain perekonomian di Kabupaten Subang telah terjadi pengalihan keuntungan dari pihak produsen nenas ke pihak lain pelaku pasar input, tengkulak dan eksportir. 6. 3 Analisis Game Theory Unt uk Formulasi St rat egi Pemasaran Nenas. Dalam Analisis Game Theory terjadi interaksi interaksi sinergis yang dapat disederhanakan dengan model strategic game yang melibatkan tiga unsur penting, yaitu petani dan pedagang pengumpul sebagai players, strategi pemasaran dari petani dan pedagang pengumpul, serta manfaat payoff yang diterima petani dan pedagang pengumpul untuk setiap kombinasi dari strategi-strategi yang mungkin untuk dipilih. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pemasaran nenas, petani dihadapkan pada dua pilihan lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul strategi 1, dan eksportir strategi 2, sedangkan pedagang pengumpul kebun dalam rangka memaksimumkan keuntungannya menggunakan strategi memberikan modal strategi 1 dan tidak memberikan bantuan modal kepada petani nenas startegi 2. Selengkapnya matrik payoff dalam interaksi antara petani dengan pedagang pengumpul pada model interaksi ini tercantum pada tabel 15 berikut ini. 112 Tabel 15 Payoff Martrix dalam Interaksi Petani nenas dan Pedagang Pengumpul di Kabupaten Subang, 2001. Pedagang Pengumpul Memberikan modal strategi 1 Tidak memberikan modal strategi 2 Pemasaran hasil ke Pedagang Pengumpul Strategi 1 4.188.800 2.762.500 Petani Pemasaran ke Eksportir Strategi 2 3.168.000 2.250.000 Nilai-nilai yang terdapat pada matriks di atas menunjukkan payoff berupa nilai rataan pendapatan untuk masing-masing strategi yang dipilih petani nenas dalam melakukan interaksi dengan pedagang pengumpul. Payoff matrix tersebut menggambarkan pareto optimum tercapai pada posisi dimana petani nenas menerapkan strategi 2 pemasaran langsung ke eksportir dan pedagang pengumpul menggunakan strategi 2 tidak memberikan bantuan modal untuk petani. Bagi petani, apapun strategi yang paling dominan, karena lebih memudahkan petani untuk memeproleh bantuan modal dan pinjaman untuk usahataninya dan kebutuhan pokoknya sehari-hari, walaupun dalam analisis game theory menunjukkan strategi dua yang memberikan keuntungan maksimal bagi petani. Bagi pedagang pengumpul yang ingin memaksimalkan keuntungan, hipotesis bahwa strategi 2 akan jauh lebih 113 menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa memang strategi dua akan jauh lebih menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa memang strategi 2 yang optimum. Berdasarakan analisis strategis game tersebut dapat dinyatakan bahwa strategi dimana petani nenas tidak mengikatkan diri dalam permodalan tetapi memasarkan hasil nenasnya ke eksportir merupakan parito optimal. Dengan strategi pareto optimal ini petani akan mendapatkan payoff sebesar Rp.2.250.000. Hasil ini merefleksikan bahwa pilihan strategi optimal ini hanya dilakukan sebanyak 18,7 persen dari petani responden. Rendahnya persentase petani dalam kelompok ini disebabkan karena akses langsung menjual nenas ke eksportir dapat dilakukan bila petani tersebut memiliki lahan yang luas dengan produksi yang lebih besar atau dapat juga melalui kelembagaan petani seperti kelompok tani yang secara horizontal kuat dan solid sehingga mempunyai posisi yang kuat untuk melakukan bargaining dalam pemasaran langsung ke eksportir secara bersama-sama. Jadi penguatan kelembagaan petani secara horizontal akan memperkuat kelembagan petani secara vertikal. Dari sisi permodalan, strategi optimum bagi pedagang pengumpul adalah dengan tidak memberikan kredit modal kepada petani. Meskipin di satu sisi kurang menjamin pemenuhan capacity , tetapi strategi ini menjadi optimum karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya moral hazard dan kegagalan panen dari petani penerima kredit. Sebaiknya bagi petani, tidak mengikatkan diri dalam kontrak permodalan dengan pedagang pengumpul merupakan strategi optimum. Meskipun harga input produksi mahal dan cenderung terus meningkat, dengan 114 akses yang sulit terhadap input-input produksi tersebut, tetapi kerjasama dengan pedagang pengumpul dalam bentuk ikatan permodalan melalui supply input produksi bukanlah solusi optimal bagi petani. Fenomena ini menggambarkan bahwa kontrak kredit input dengan – pedagang pengumpul akan memberikan kerugian bagi petani. Beberapa penyebab yang dapat disebutkan disini adalah tersisihnya petani nenas dari pengaturan-pengaturan kontrak akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar unequal bargaining power dalam penentuan kontrak antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang memiliki perilaku Oligopsoni Olygopsony rent. Fantor penyebab dan persoalan lain sering muncul di lapangan adalah biaya-biaya transaksi yang muncul akibat kontrak tersebut.

6. 4 Analisis Lokasional.

Hasil Location Quotient Analysis yang menggambarkan keunggulan komparatif berbagai komoditi tanaman buah-buahan di kabupaten Subang disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16. Location Quotient Produksi Masing-masing Komoditi Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2001 No. Kecamatan Alpukat Durian Dukuh Mangga Nenas Pepaya 1 Sagalaherang 62.07 16.33 28.47 1.71 0.04 2 Jalan cagak 0.11 0.04 0.25 0.02 1.09 0.02 3 Cisalak 1.28 20.35 - - 0.37 9.69 4 Tanjung siang 7.22 23.34 7.54 0.08 0.21 0.24 5 Cijambe 4.13 0.48 8.01 1.55 0.96 3.23 6 Cibogo - - - 18.91 0.14 9.31 7 Subang 22.8 10.21 9.85 9.42 0.11 0.97 8 Kalijati 3.53 24.48 11.87 3.80 - 18.12 9 Cipendeuy 1.37 29.86 9.90 0.36 - 2.99 10 Pabuaran - 0.80 - 21.05 - 1.83 11 Patokbeusi 4.1 - - 21.09 0.00 7.03 115 12 Purwadadi - 10.52 47.21 12.52 0.01 29.90 13 Pagaden - - - - - - 14 Cipunagara - - - 21.61 - 5.77 15 Compreng - - - 21.61 - 0.72 16 Binong - - - 10.81 0.55 465.26 17 Ciasem - - - 21.61 - 18.25 18 Pamanukan - - - 21.61 - 12.33 19 Pusakanagara - - - 21.61 - 71.19 20 Legonkulon - - - 21.61 - - 21 Blanakan - - - 21.61 - 31.02 Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa komoditi nenas memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus menjadi sektor basis sebagaimana ditunjukkan oleh nilai LQ 1, bagi masyarakat di Kecamatan Jalan Cagak. Namun pada kecamatan- kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Subang tanaman nenas bukan merupakan sektor basis. Beberapa hal yang mendukung tanaman tanaman nenas menjadi sektor basis di kecamatan Jalan Cagak disebabkan karena kondisi tanah dan iklim yang spesifik lokalita yang mendukung pertumbuhan dan produksi nenas yang mempunyai cita rasa yang spesifik. Disamping itu pemasaran hasil nenas lebih mudah dilakukan oleh petani karena aksebilitas yang mudah dijangkau karena didukung oleh infrastruktur yang memadai dan berdekatan dengan objek wisata Tangkuban Perahu dan pemandian air panas Ciater. Tanpa mengabaikan berbagai kendala yang ada, upaya pengembangan komoditas harus disandarkan pada local community dan domestic resource. Indikator utamanya adalah bahwa komoditas yang dikembangkan harus memiliki kapabilitas serapan tenaga kerja yang tinggi dan mampu dilakukan oleh tenaga kerja lokal, serta didukung oleh kapasitas dan kesesuaian lingkungan sumberdaya alam 116 setempat. Ukuran keunggulan komparatif komoditas tanaman buah-buahan dapat diketahui dengan melakukan Location Quotient Analysis, diantaranya dengan indikator produksi sebagai representasi domestic resource. Keunggulan komparatif suatukomoditi bersifat sangat dinamis. Artinya keunggulan komparatif tersebut dapat berubah atau diubah dan tentu saja dapat pula dikembangkan. Untuk itu semua komponen atau faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas nenas harus ditingkatkan. Hasil Location Quotient Analysis tersebut, dapat di justifikasi dengan Shift- Share Analysis yang dapat menggambarkan posisi kemajuan luas areal suatu komoditi perkebunan pada suatu daerah dibandingkan dengan total luas areal komoditi pertanian di wilayah referensinya. Dalam analisis ini, ada 3 komponen analisis yang patut diperhitungkan yaitu; Agregat Growth a, Proportional Shift b, dan Differential Shift c. Agregat Growht, menggambarkan laju pertumbuhan total produksi buah-buahan. Proportional Growth menggambarkan perubahan relatif guna mengetahui konsentrasi produksi masing-masing jenis komoditi tanaman buah- buahan. Differential Shift menunjukkan tingkat keunggulan kompetitif suatu jenis komoditi dalam hal produksi. Sejak tahun 1995 tanaman buah-buahan lainnya mengalami peningkatan dalam hal produksi di Kabupaten Subang sehingga nenas mulai mengalami pergeseran dalam hal produksi. Fakta inilah yang kemudian menjadi justifikasi penggunaan titik waktu tahun 1996 dan 2002 dalam shift-share analysis . Selengkapnya hasil analisis yang menggunakan indikator luas areal berbagai 117 komoditas buah di Kabupaten Subang dengan menggunakan titik waktu tahun 1996 dan 2002 tergambar dalam Tabel 17. Tabel 17. Hasil Shift-Share Analysis Produksi Komoditas Tanaman Buah- buahan di kabupaten Subang pada Titik Waktu Tahun 1996 dan 2001 Hasil Analisis SSA Alpukat Durian Dukuh Mangga Nenas Pepaya Economic Growth 0,367287556 Proportional Shift 1,61 10,46 -1,33 -0,87 0,17 7,18 No. Kecamatan Alpukat Durian Dukuh Mangga Nenas Pepaya 1 Sagalaherang 1,29 1,53 0,03 1,38 1,39 - 2 Jalan cagak 0,39 9,08 - 0,39 0,09 19,78 3 Cisalak 2,97 - - 0,49 1,50 11,45 4 Tanjung siang 1,11 - 0,13 - 4,23 6,24 5 Cijambe - 10,88 - 0,17 1,37 3,22 6 Cibogo - - - 5,51 4,46 3,41 7 Subang - 1,82 - 3,93 0,40 8,14 8 Kalijati - 2,15 - 2,75 1,54 47,95 9 Cipendeuy - 7,37 - 0,27 - - 10 Pabuaran - 11,27 0,04 0,99 1,54 5,64 11 Patokbeusi - 11,82 - 0,25 - 2,45 12 Purwadadi 2,98 8,78 - 0,35 1,25 2,77 14 Pagaden - - - 0,49 1,54 8,30 15 Cipunagara - - - 0,47 1,54 7,81 16 Compreng - 1,54 118 - - 8,23 3,05 17 Binong - - - 0,49 - 4,80 18 Ciasem - - - - - 6,28 19 Pamanukan - - - 0,20 - 2,59 20 Pusakanagara - - - 0,05 - 9,36 21 Legonkulon - - - 0,84 - - 22 Blanakan - - - 0,16 - 6,15 Tabel 17 di atas memberikan ilustrasi bahwa laju pertumbuhan produksi pada sektor sektor tanaman buah-buahan di Kabupaten Subang masih mengalami pertumbuhan yaitu 0,376; hal ini disebabkan karena beberapa komoditi tanaman buah-buahan masih mengalami pertumbuhan dalam hal produksi seperti komoditi alpukat, durian, nenas dan pepaya. Namun untuk komoditi duku dan mangga sudah tidak mengalami pertumbuhan lagi dan bahkan mengalami penurunan. Secara spasial komoditi nenas mengalami keunggulan kompetitif pada Kecamatan Tajung Siang dan Cibogo, sedangkan untuk Kecamatan Jalan Cagak tanaman nenas yang merupakan sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif justru tidak mengalami keunggulan kompetitif lagi hal ini diduga disebkan karena sudah terbatasnya lahan pengembangan untuk komoditi nenas yang sesuai secara ekonomis. Sedangkan untuk Kecamatan Tanjung Siang dan Cibogo yang juga memiliki agroklimat dan jenis tanah yang spesifik lokalita yang sesuai dengan sayarat tumbuh tanaman nenas dan menghasilkan buah nennas yang mempunyai cita rasa yang spesifik pula, serta didukung juga oleh ketersediaan lahan untuk pengembangan usaha tani nenas dan kemudahan dalam memasarkan hasil nenas serta memiliki kelayakan secara financial dan ekonomis akan memicu tanaman 119 nenas memiliki keunggulan kompetitif pada ke dua kecamatan tersebut walaupun sampai pada saat ini kedua kecamatan tersebut tanaman nenas dari segi produksi belum merupakan sektor basis. 120

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan.

Berdasarkan hasil pembahasan maka ditarik beberapa kesimpulan yang berpedoman kepada tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan principle-agent antara petani nenas dengan pengumpul kebun yang saling menguntungkan yang diwujudkan dalam suatu kontrak pertanian. Kontrak pertanian tersebut menjadi sustainable karena memiliki keterkaitan pasar dalam hal transaksi komoditi, transaksi jasa dan pertukaran resiko. 2. Sistem kontrak Kelembagaan informal dalam tataniaga nenas yang bersifat informal melalui ikatan kredit bersifat kompleks dan dan elusif benar-benar ditegakkan secara mandiri, tanpa melibatkan aturan formal atau mediasi organisasi formalsemi formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta asosiasi. Namun mekanisme penegakan melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila dimana anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara geografi maupun karena hubungan kekerabatan dan persahabatan. 3. Penguatan kelembagaan petani baik secara vertikal maupun horizontal akan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas di Kabupaten Subang. 4. Kinerja finansial usaha tani nenas menunjukkan bahwa usaha tani nenas sangat baik dilakukan oleh karena BC ratio yang lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR yang lebih besar dari suku bunga tabungan yang berlaku di lokasi penelitian. 5. Pertanian nenas di Kabupaten Subang memberikan pertumbuhan positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan produksi ditunjukkan oleh nilai pergeseran proporsional yang positif khususnya di Kecamatan Jalan cagak. 121 6. Terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan produsen atau petani nenas, karena petani nenas harus membayar harga input tradable lebih tinggi dari yang seharusnya. 7. Produsen petani nenas menerima harga yang lebih rendah dari harga seharusnya diterimanya sehingga boleh dikatakan petani nenas di Kabupaten Subang menerima dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah terhadap kebijakan harga output dan mekanisme pasar yang berlaku sekarang. 8. Kecamatan Jalan Cagak memiliki sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif sedangkan Kecamatan Tanjung Siang dan Cibogo oleh karena spesifik lokalita memiliki keungulan kompetitif sekalipun belum merupakan sektor basis. 8.2 Saran-saran. Pengembangan nenas di Kabupaten Subang sangat memerlukan peranan pemerintah daerah agar pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani nenas dapat ditingkatkan. Peranan yang perlu dilaksanakn oleh pemerintah daerah tersebut meliputi beberapa hal, yaitu : 1. Penguatan kelembagaan petani nenas baik secara vertikal maupun secara horizontal. 2. Adanya perlindungan terhadap kebijakan harga input dan output yang menguntungkan bagi petani nenas. 3. Meningkatkan nilai tambah produk nenas berupa olahan seperti dodol nenas dalam industri rumah tangga, serta mengurangi dampak negatif dari industri dodol yang ada di Kabupaten Subang. 4. Membina petani-petani nenas dengan memfasilitasi pemupukan modal baik berupa memfasilitasi institusi perbankan lewat pengusaha afalis yang membina dan membeli nenas petani di Kabupaten dengan meningkatkan daya saing dari produk nenas petani.