Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang.

(1)

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

OLEH :

PINONDANG POLTAK MARGANDA

PROGRAM STUDI

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA


(2)

2006

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

OLEH :

PINONDANG POLTAK MARGANDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan


(3)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

Adalah benar merupaka hasil karya saya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan

telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2006

PINONDANG POLTAK MARGANDA

NRP. P.15500022


(4)

Judul : Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang.

Nama Mahasiswa : Pinondang Poltak Marganda N R P : P.15500022

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.H.Affendi Anwar, MSc Ketua

Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikjo,MSc Dr.Ir.Sunsun Saefulhakim, M.Agr Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascaSarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan


(5)

Prof. Ir.Isang Gonarsyah,Phd Prof.Dr.Ir.Sjafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian : 30 Agustus 2004 Tanggal Lulus : 5 Juni 2006

ABSTRAK

PINONDANG POLTAK MARGANDA. Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (‘Contract Farming’) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang. (AFFENDI ANWAR sebagai Ketua dan KOOSWARDHONO MUDIKJO serta SUNSUN SAEFULHAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji bagaimana sistem “kontrak pertanian” yang terjadi dalam usahatani nenas di Kabupaten Subang: apa dan bagaimana peran lembaga tataniaga yang menjadi opsi petani dalam tataniaga nenas, siapa yang menopang lembaga tersebut, bagaimana kinerja ekonomi usahatani nenas, bagaimana peran pemerintah, bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif, dan pemusatan wilayah serta persebaran usahatani nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan usahatani nenas di wilayah kabupaten Subang terdapat hubungan principle-agent yang saling menguntungkan antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang dituangkan dalam suatu “kontrak pertanian”. Sistem kontrak secara informal ini dapat berlanjut karena kedua belah pihak memiliki keterkaitan dalam transaksi komoditi, transaksi jasa dan pertukaran risiko yang saling menguntungkan. Petani nenas sangat responsif terhadap perkembangan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Penguatan kelembagaan petani akan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas di kabupaten Subang.

Kata Kunci: Kelembagaan Informal, Kelembagaan Ekonomi, Pasar Persaingan Sempurna, Contract Farming.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas segala berkat dan bimbinganNya, Thesis yang berjudul “Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang “ dapat diselesaikan tepat waktu.

Thesis ini terdiri atas 1) Pendahuluan, yang berisi latar belakang mengapa penelitian ini akan dilaksanakan, tujuan yang hendak dicapai serta manfaat hasil penelitian tersebut bagi kepentingan akademis maupun kebijakan. 2) Tinjauan Pustaka yang merupakan konsep-konsep teoritis yang berkaitan erat dengan aspek permasalahan yang akan dikaji untuk menjawab tujuan yang akan dicapai. 3) Kerangka Pemikiran dan Hipotesis, 4)Metodologi, menyangkut waktu dan lokasi pelaksanaan penelitian, cara atau metode untuk menganalisis data yang berkenaan dengan permasalahan , dan batasan operasional, 5) gambaran umum daerah penelitian, 6) hasil dan pembahasan, 7) kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka dan lampiran.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : Bapak Prof. Dr.Ir. H. Affendi Anwar MSc, Bapak Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo MSc, dan Bapak Dr. Ir. H. Sunsun Saefulhakim, M.Agr yang telah banyak meluangkan waktu membantu, membimbing dan memberi pengarahan dan komentar dari awal hingga akhir penulisan thesis ini. Bapak Dr. Sumarno, MSc, Bapak Dr.Ir. T.E.M. Napitupulu, Bapak Dr.Ir. Yul Harry Bahar dan Ibu Ir. Anastasia Promosiana, MS yang telah memberikan banyak perhatian kepada studi


(7)

penulis. Teman-teman PWD, Ibunda, Bapak Mertua, dan Ibu mertua, kakak-kakak, dan adik-adik, ipar-ipar serta semua keluarga atas do’a restunya yang merupakan pendorong keberhasilan penulis. Khusus untuk isteriku dr. Evalina tercinta dan anak-anakku tersayang Steiner Lukas Prisola L.Tobing dan Christine Rachel Margaretha L. Tobing yang telah rela berkorban dan atas pengertian dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pascasarjana serta memberi dorongan dan do’a senantiasa dipanjatkan sehingga menambah semangat penulis untuk meraih keberhasilan.

Akhir kata kritik dan saran yang membangun penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan thesis ini selanjutnya. Terima kasih.

Bogor, April 2006 P e n u l i s


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN

v

I. PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1 Pembangunan Ekonomi 11 2.2 Pembangunan Wilayah 12

2.3 Kelembagaan 13

2.3.1 Kelembagaan Contract Farming 16 2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan

Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis secara Vertikal

17

2.3.1.2 Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan 21

2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang Pengumpul dengan Petani 27

2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial 30

2.3.1.5 Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon 35

2.3.1.6 Mekanisme masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak Yang dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement) 39 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 44

3.1 Kerangka Pemikiran 44


(9)

IV. METODOLOGI PENELITIAN 50

4.1 Lokasi dan waktu Penelitian 50

4.2 Metode Pengumpulan Data 50

4.3 Metode Analisis Data 51

4.3.1 Model Basis Ekonomi :LQ 51

4.3.2 Analisis Localization Index (LI) 53

4.3.3 Analisis Specialization Index (SI) 54

4.3.4 Analisis Shift Share (SS) 55

4.3.5 Analisis Entropy 57

4.3.6 Analsis Kelayakan Usaha Pengembangan Nenas 59

4.3.6.1 Net Present Value (NPV) 59

4.3.6.2 Internal Rate of Return (IRR) 60

4.3.6.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 60

4.3.7 Policy Analysis Matrix (PAM) 61

4.3.8 Analisis Marjin Tataniaga 62 4.3.9 Penentuan Opsi Kelembagaan 63 4.3.10 Analisis Game Theory untuk Konflik Pemasaran Nenas 65

4.4 Jenis dan Sumber Data 68

4.5 Asumsi Dalam Penelitian 68

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 70

5.1 Letak Geografis Dan Batas Administrasi 70

5.2 Keadaan Sumber Daya Alam 70

5.3 Keadaan Potensi Fisik dan Prasarana 73

5.4 Keadaan Penduduk dan Aktifitas Ekonomomi 73

5.5 Gambaran Umum Kecamatan Jalan Cagak 75

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 76

6.1 Kelembagaan Petani 76

6.1.1 Interaksi Petani dan Pelaku Pasar 76 6.1.1.1 Analisis Institusi Sistem Kontrak Pertanian 76 6.1.1.2 Akses Petani Terhadap Input Produksi 77


(10)

6.1.1.3 Institusi Manajemen Resiko 79

6.1.1.4 Bentuk Kontrak Pertanian Tradisional 83

6.1.1.5 Mekanisme Pelaksanaan Kontrak Pertanian 87 6.1.1.6 Hubungan Principal- Agent 90 6.1.1.7 Peranan Kelembagaan Petani 93

6.1.1.8 Opsi Kelembagaan Pemasaran Nenas 94

6.2 Analisis Ekonomi dan Kebijakan 99 6.2.1 Analisis Finansial dan Ekonomi 98 6.2.2 Analisis Keterpaduan Pasar 101

6.2.3 Analisis Marjin Pemasaran 103

6.2.4 Analisis Kebijakan PAM 105 6.2.4.1 Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah 106

6.2.4.2 Dampak Kebijakan Harga Input 107

6.2.4.3 Dampak Kebijakan Harga Output 107

6.2.4.4 Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output 109

6.3 Analisis Game Theory Untuk Formulasi Strategi Pemasaran Nenas 110

6.4 Analisis Lokasional 113

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 118

7.1 Kesimpulan 118

7.2 Saran-saran 119

DAFTAR PUSTAKA 121

LAMPIRAN 126


(11)

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

OLEH :

PINONDANG POLTAK MARGANDA

PROGRAM STUDI

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA


(12)

2006

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

OLEH :

PINONDANG POLTAK MARGANDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan


(13)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (

CONTRACT FARMING

)

DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG

Adalah benar merupaka hasil karya saya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan

telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2006

PINONDANG POLTAK MARGANDA

NRP. P.15500022


(14)

Judul : Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang.

Nama Mahasiswa : Pinondang Poltak Marganda N R P : P.15500022

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.H.Affendi Anwar, MSc Ketua

Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikjo,MSc Dr.Ir.Sunsun Saefulhakim, M.Agr Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascaSarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan


(15)

Prof. Ir.Isang Gonarsyah,Phd Prof.Dr.Ir.Sjafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian : 30 Agustus 2004 Tanggal Lulus : 5 Juni 2006

ABSTRAK

PINONDANG POLTAK MARGANDA. Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (‘Contract Farming’) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang. (AFFENDI ANWAR sebagai Ketua dan KOOSWARDHONO MUDIKJO serta SUNSUN SAEFULHAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji bagaimana sistem “kontrak pertanian” yang terjadi dalam usahatani nenas di Kabupaten Subang: apa dan bagaimana peran lembaga tataniaga yang menjadi opsi petani dalam tataniaga nenas, siapa yang menopang lembaga tersebut, bagaimana kinerja ekonomi usahatani nenas, bagaimana peran pemerintah, bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif, dan pemusatan wilayah serta persebaran usahatani nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan usahatani nenas di wilayah kabupaten Subang terdapat hubungan principle-agent yang saling menguntungkan antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang dituangkan dalam suatu “kontrak pertanian”. Sistem kontrak secara informal ini dapat berlanjut karena kedua belah pihak memiliki keterkaitan dalam transaksi komoditi, transaksi jasa dan pertukaran risiko yang saling menguntungkan. Petani nenas sangat responsif terhadap perkembangan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Penguatan kelembagaan petani akan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas di kabupaten Subang.

Kata Kunci: Kelembagaan Informal, Kelembagaan Ekonomi, Pasar Persaingan Sempurna, Contract Farming.


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas segala berkat dan bimbinganNya, Thesis yang berjudul “Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang “ dapat diselesaikan tepat waktu.

Thesis ini terdiri atas 1) Pendahuluan, yang berisi latar belakang mengapa penelitian ini akan dilaksanakan, tujuan yang hendak dicapai serta manfaat hasil penelitian tersebut bagi kepentingan akademis maupun kebijakan. 2) Tinjauan Pustaka yang merupakan konsep-konsep teoritis yang berkaitan erat dengan aspek permasalahan yang akan dikaji untuk menjawab tujuan yang akan dicapai. 3) Kerangka Pemikiran dan Hipotesis, 4)Metodologi, menyangkut waktu dan lokasi pelaksanaan penelitian, cara atau metode untuk menganalisis data yang berkenaan dengan permasalahan , dan batasan operasional, 5) gambaran umum daerah penelitian, 6) hasil dan pembahasan, 7) kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka dan lampiran.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : Bapak Prof. Dr.Ir. H. Affendi Anwar MSc, Bapak Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo MSc, dan Bapak Dr. Ir. H. Sunsun Saefulhakim, M.Agr yang telah banyak meluangkan waktu membantu, membimbing dan memberi pengarahan dan komentar dari awal hingga akhir penulisan thesis ini. Bapak Dr. Sumarno, MSc, Bapak Dr.Ir. T.E.M. Napitupulu, Bapak Dr.Ir. Yul Harry Bahar dan Ibu Ir. Anastasia Promosiana, MS yang telah memberikan banyak perhatian kepada studi


(17)

penulis. Teman-teman PWD, Ibunda, Bapak Mertua, dan Ibu mertua, kakak-kakak, dan adik-adik, ipar-ipar serta semua keluarga atas do’a restunya yang merupakan pendorong keberhasilan penulis. Khusus untuk isteriku dr. Evalina tercinta dan anak-anakku tersayang Steiner Lukas Prisola L.Tobing dan Christine Rachel Margaretha L. Tobing yang telah rela berkorban dan atas pengertian dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pascasarjana serta memberi dorongan dan do’a senantiasa dipanjatkan sehingga menambah semangat penulis untuk meraih keberhasilan.

Akhir kata kritik dan saran yang membangun penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan thesis ini selanjutnya. Terima kasih.

Bogor, April 2006 P e n u l i s


(18)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN

v

I. PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1 Pembangunan Ekonomi 11 2.2 Pembangunan Wilayah 12

2.3 Kelembagaan 13

2.3.1 Kelembagaan Contract Farming 16 2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan

Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis secara Vertikal

17

2.3.1.2 Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan 21

2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang Pengumpul dengan Petani 27

2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial 30

2.3.1.5 Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon 35

2.3.1.6 Mekanisme masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak Yang dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement) 39 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 44

3.1 Kerangka Pemikiran 44


(19)

IV. METODOLOGI PENELITIAN 50

4.1 Lokasi dan waktu Penelitian 50

4.2 Metode Pengumpulan Data 50

4.3 Metode Analisis Data 51

4.3.1 Model Basis Ekonomi :LQ 51

4.3.2 Analisis Localization Index (LI) 53

4.3.3 Analisis Specialization Index (SI) 54

4.3.4 Analisis Shift Share (SS) 55

4.3.5 Analisis Entropy 57

4.3.6 Analsis Kelayakan Usaha Pengembangan Nenas 59

4.3.6.1 Net Present Value (NPV) 59

4.3.6.2 Internal Rate of Return (IRR) 60

4.3.6.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 60

4.3.7 Policy Analysis Matrix (PAM) 61

4.3.8 Analisis Marjin Tataniaga 62 4.3.9 Penentuan Opsi Kelembagaan 63 4.3.10 Analisis Game Theory untuk Konflik Pemasaran Nenas 65

4.4 Jenis dan Sumber Data 68

4.5 Asumsi Dalam Penelitian 68

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 70

5.1 Letak Geografis Dan Batas Administrasi 70

5.2 Keadaan Sumber Daya Alam 70

5.3 Keadaan Potensi Fisik dan Prasarana 73

5.4 Keadaan Penduduk dan Aktifitas Ekonomomi 73

5.5 Gambaran Umum Kecamatan Jalan Cagak 75

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 76

6.1 Kelembagaan Petani 76

6.1.1 Interaksi Petani dan Pelaku Pasar 76 6.1.1.1 Analisis Institusi Sistem Kontrak Pertanian 76 6.1.1.2 Akses Petani Terhadap Input Produksi 77


(20)

6.1.1.3 Institusi Manajemen Resiko 79

6.1.1.4 Bentuk Kontrak Pertanian Tradisional 83

6.1.1.5 Mekanisme Pelaksanaan Kontrak Pertanian 87 6.1.1.6 Hubungan Principal- Agent 90 6.1.1.7 Peranan Kelembagaan Petani 93

6.1.1.8 Opsi Kelembagaan Pemasaran Nenas 94

6.2 Analisis Ekonomi dan Kebijakan 99 6.2.1 Analisis Finansial dan Ekonomi 98 6.2.2 Analisis Keterpaduan Pasar 101

6.2.3 Analisis Marjin Pemasaran 103

6.2.4 Analisis Kebijakan PAM 105 6.2.4.1 Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah 106

6.2.4.2 Dampak Kebijakan Harga Input 107

6.2.4.3 Dampak Kebijakan Harga Output 107

6.2.4.4 Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output 109

6.3 Analisis Game Theory Untuk Formulasi Strategi Pemasaran Nenas 110

6.4 Analisis Lokasional 113

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 118

7.1 Kesimpulan 118

7.2 Saran-saran 119

DAFTAR PUSTAKA 121

LAMPIRAN 126


(21)

(22)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Kabupaten Subang

Tahun 2000 dan tahun 2001 6

Tabel 2. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM) 62

Tabel 3. Konsekwensi Pahala dari Game Modelling 65

Tabel 4. Tujuan, Analisis, parameter, Data dan Output Penelitian Analisis Pengembangan nenas

di Kabupaten Subang 66

Tabel 5. Klasifikasi Ketinggian Tempat Kabupaten Subang 72 Tabel 6. Keadaan Tanah Pertanian Berdasarkan Topografinya

Di Kabupaten Subang 73

Tabel 7. Hasil Ekstraksi Komponen Utama dan Eigenvalue dari Berbagai Value Penduga Opsi Kelembagaan Tataniaga

Nenas 96

Tabel 8. Koefisien Loading Factor dari Berbagai Variabel Karakteristik

Petani dalam Opsi Tataniaga Nenas. 97

Tabel 9. Dugaan Koefisien Fungsi Logistik Opsi Kelembagaan

Informal Tataniaga Nenas 98

Tabel 10.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 32 % dalam

Luasan 1 ha, 2003. 100

Tabel 11.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 40 % dalam

Luasan 1 ha, 2003. 101

Tabel 12. Dugaan Koefisien Fungsi Harga Nenas di Kabupaten Subang 102 Tabel 13. Marjin Pemasaran dan Penyebaran Harga Hasil Nenas

Di Lokasi Penelitian 104


(23)

Kabupaten Subang, 2003 106 Table 15. Payoff Matrix dalam Interaksi Petani Nenas dan Pedagang

Pengumpul di Kabupaten Subang, 2001 111 Tabel 16. Location Quotient Analysis Masing-masing Komoditi

Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2001 113 Tabel 17. Hasil Shift-Share Analysis Produksi Komoditas Tanaman

Buah-buahan di Kabupaten Subang pada titik waktu Tahun

1996 dan 2001 116


(24)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Hubungan Unsur – unsur yang Dapat Mempengaruhi

Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak

Pertanian di Wilayah Pedesaan 34

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Pengembangan

Komoditi Nenas di Kabupaten Subang 48

Gambar 3. Bagan Kelembagaan Kerjasama Antar Petani, Pedagang

Pengumpul Kebun, Pengumpul Desa dan Eksportir 84


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Komoditi Nenas

Untuk Luasan 1 Ha 126

Lampiran 2. Hasil Analisis Ekonomi Usaha Tani Komoditi Nenas

Untuk Luasan 1 Ha 127

Lampiran 3. Data untuk Analisis Opsi Kelembagaan

Pemasaran Nenas 128

Lampiran 4. Data Untuk Analisis Keterpaduan Pasar 131 Lampiran 5. Hasil Analisis Shazam untuk Regresi 132 Lampiran 6. Hasil Regresi Opsi Kelembagaan 136

Lampiran 7. Flow Chart Analiis 140

Lampiran 8. Peta Administrasi Pemerintah Kabupaten Daerah 141 Tingkat II Subang tahun 1996


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan diarahkan untuk memanfaatkan sumberdaya nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Sejak tahap permulaan pembangunan sampai sekarang, sektor pertanian adalah sektor yang selalu menjadi pusat perhatian karena merupakan sektor penting yang mendukung pembangunan perekonomian nasional Indonesia. Namun selama ini pembangunan sektor pertanian lebih tertuju kepada pengembangan hasil (produksi) atau pada on-farmnya dan pada pengembangan off- farm lebih tertuju kepada industri pengolahan hasil pertanian yang berskala besar yang diharapkan mampu memberikan devisa besar serta penyerapan tenaga kerja yang besar pula, sehingga perhatian kepada industri pengolahan hasil pertanian berskala kecil diabaikan.Di samping itu, sektor pertanian sebagai bagian yang integral dari sistem perekonomian nasional menjadi pemasok input-input bagi sektor–sektor lainnya, seperti untuk keperluan sektor agro-industri, sehingga dengan demikian akan meningkatkan nilai tambah sektor yang bersangkutan.

Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas ditujukan untuk menghasilkan produk-produk unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri, memperluas kesempatan kerja dan berusaha melalui upaya peningkatan usaha pertanian secara terpadu yang berbasiskan pada agroindustri dan agribisnis yang tangguh dan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,


(27)

2

dan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani yang didukung dengan ketersediaan modal, tenaga kerja, faktor kelembagaan serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Menurut Anwar (2000), meskipun perekonomian Indonesia sekarang telah mengalami perubahan struktural, dimana peranan relatif sektor pertanian telah menyusut (dalam menyumbang PDB/Produk Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja), tetapi sektor ini masih memainkan peranannya dalam perekonomian Indonesia. Tambahan pula selama krisis ekonomi, sektor pertanian menjadi sektor penyelamat ekonomi nasional menuju kepada pemulihan ekonomi. Sektor ini masih menyumbang sebesar 20 persen kepada PDB, 55 persen kepada sektor non migas. Walaupun dengan upaya pembangunan telah banyak dicapai kemajuan melalui penerapan teknologi dan kemampuan dalam manajemen, sehingga manusia telah mampu untuk mengendalikan banyak aspek dalam mengatasi persoalan kehidupan, tetapi di dalam sektor pertanian yang menghasilkan beragam produk-produk pertanian yang telah memberikan manfaat.

Kebijaksanaan nasional dapat diorientasikan ke arah sisi penawaran (mobilitas sumberdaya) atau ke arah sisi permintaan (distribusi manfaat) daripada proses pembangunan atau integrasi keduanya. Tipe masalah regional di negara – negara berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menciptakan pembangunan ekonomi dengan memodernisasikan daerah-daerah kurang berkembang yang didasarkan atas perekonomian pertanian dan terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Terdapat indikasi bahwa orang-orang miskin di perdesaan seringkali gagal memperoleh manfaat , bahkan tidak jarang menjadi penanggung


(28)

3

beban dari usaha – usaha pembangunan. Adapun penyebab dari kegagalan pembagian manfaat-manfaat pembangunan tersebut adalah akibat dari kegagalan sistem pasar di dalam mengalokasikan sumberdaya yang ada sehingga pareto optimum tidak pernah dicapai (Anwar, 1997).

Fenomena umum yang dihadapi masyarakat perdesaan adalah (a) adanya proses pengalihan yang lamban dari penduduk untuk keluar dari produktivitas rendah di bidang pertanian, (b) massa penduduk di wilayah perdesaan terdiri dari berbagai derajat kemiskinan dengan terbatasnya sumberdaya, teknologi dan institusional, (c) daerah perdesaan memiliki tenaga kerja melimpah, lahan relatif sempit dan sedikit modal yang jika dimobilisasikan dapat mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup. Oleh karena itu pembangunan juga diharapkan merupakan perlakuan terhadap orang-orang miskin agar dapat keluar dari keseimbangan lingkaran kemiskinannya (Napitupulu, 1987 ).

Menurut Garcia (2000) bahwa pola pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah lebih bersifat Jawa sentris, bias perkotaan, bias pada usaha berskala besar dan mengandalkan penggunaan sumberdaya alam. Pola pembangunan yang sangat Jawa sentris dan bias perkotaan telah menyebabkan prioritas pembangunan lebih didasarkan pada potensi keunggulan alami baik dari segi demografi, limpahan sumberdaya maupun lokasi pemusatan alokasi sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi menyumbang pada pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya net transfer sumberdaya alam, pemusatan sumberdaya man-made capital, dan sumberdaya manusia daerah ke pusat kekuasaan atau kota-kota pusat pertumbuhan seperti mega urban Jabotabek, Gerbang Kartosusilo.


(29)

4

Sedangkan pembangunan yang bias usaha berskala besar seperti dikutip dari Lipton (1993) meskipun secara sosial investasi kapital (human capital, social capital, natural capital dan physical capital) akan lebih menguntungkan di wilayah perdesaan dibandingkan di kawasan perkotaan tetapi karena insentif yang diperoleh oleh elit lebih kecil maka investasi lebih berkonsentrasi di kawasan perkotaan. Keuntungan yang diperoleh oleh elit kota melalui kerjasama dengan konglomerat dan mempertahankan wilayah perdesaan dalam status quo ketidakmajuan secara ekonomi, sehingga muncul perbedaan yang mencolok pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik antar wilayah perdesaan dan kawasan perkotaan (Anwar, 1991). Ciri-ciri ketidakseimbangan perkembangan atau pertumbuhan perkonomian merupakan salah satu faktor yang menimbulkan dan menyebabkan adanya goncangan ekonomi, seperti yang sedang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 sampai saat ini. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan kondisi masyarakat sehingga dalam menghadapi permasalahan ini, kepentingan peranan setiap wilayah hendaknya disesuaikan dengan tujuan pembangunan wilayah yang merupakan paradigma pembangunan wilayah yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainable).

Pentingnya industri pengolahan hasil pertanian skala kecil di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial di dalam negeri, seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, jumlah pengangguran yang besar, terutama dari golongan masyarakat berpendidikan rendah, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak


(30)

5

merata antara urban dan rural, serta masalah urbanisasi dengan segala macam aspek negatifnya. Kesempatan kerja, dalam hal ini merupakan salah satu aspek yang penting dari pembangunan ekonomi dan masalah kesempatan kerja ini menjadi permasalahan serius sejak munculnya krisis ekonomi.

Banyak perusahaan di dalam negeri yang berskala besarpun dengan kepemilikan modal yang tidak terlalu kuat dan menggantungkan pada bahan baku impor melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pengangguran terbuka maupun terselubung semakin meningkat.

Industri pengolahan hasil pertanian skala kecil dapat mengatasi hal tersebut, mempunyai potensi untuk dapat menimbulkan dampak pembangunan yang strategis dalam ekonomi terutama dalam aspek peningkatan nilai tambah, aspek pemerataan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyerapan tenaga kerja dalam mengatasi pengangguran, kemiskinan dan urbanisasi, pelestarian budaya daerah dan bangsa serta aspek penguasaan teknologi dan keterampilan serta diharapkan dapat mengisi dan mewujudkan ke dalam struktur industri yang pada gilirannya memperkokoh struktur ekonomi.

Program peningkatan produksi hortikultura yang dicanangkan pemerintah perlu didukung dengan ketersediaan lahan yang cocok digunakan sebagai lahan usaha pertanian. Peningkatan produksi melalui perluasan penggunaan lahan merupakan suatu alternatif di samping usaha-usaha peningkatan produksi melalui intensifikasi. Hal ini karena potensi lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal masih cukup luas, baik lahan sawah maupun lahan kering.


(31)

6

Salah satu sub sektor hortikultura yang sedang dikembangkan adalah komoditi nenas. Dalam upaya peningkatan pendapatan petani, penigkatan produksi hendaknya diimbangi dengan harga jual dari petani yang memadai, agar petani dapat bergairah dalam mengelola usaha taninya. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan dan efisiensi tataniaga hasil usaha tani.

Kabupaten Subang memiliki areal pertanaman dan produksi yang potensil di komoditi Buah-buahan. Berikut ini disajikan Perkembangan Luas tanam, Luas panen dan produksi di Kabupaten Subang tahun 2000 dan 2001.

Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Komoditas Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2000 dan Tahun 2001.

Luas Tanam (Ha) Luas panen (Ha) Produksi (Ton) No. Komoditi 2000 2001 2000 2001 2000 2001

1. Adpokat 102 72 56 42 209 332

2. Durian 372 271 203 165 652 2.099

3. Duku 18 27 8 17 30 100

4. Mangga 2.998 1.725 2.774 90.095 5.231 3.016 5. Nenas 2.502 2.012 3.060 1.534 5.998 59.850 6. Pisang 4.293 1.780 5.410 1.861 30.000 22.444 9. Rambutan 6.896 4.875 5.315 3.851 23.280 360 10. Nangka 239 381 269 212 1.001 1.968

11. Manggis 136 168 44 35 275 802


(32)

7

Permintaan dunia terhadap nenas kalengan pada 1987 mencapai 667.667 metrik ton dan pada 1989 meningkat menjadi 814.790 metrik ton. Sedangkan permintaan untuk tahun 1994 naik sampai 1.159.890 metrik ton1), sementara itu pangsa pasar nenas kalengan dunia dikuasai Thailand (42 %) dan Philipina (22,5%), Indonesia hanya menguasai 3,3 % . Namun sepanjang tahun 1987 sampai 1989 pertumbuhan ekspor nenas Indonesia mencapai 38,86 %, sedangkan Philipina dan Thailand hanya 2,68 % dan 16,40 %. Di dalam negeri sendiri, produksi nenas kalengan dikuasai satu perusahaan multinasional di Lampung yang mendapat pasokan utama bahan bakunya dari kebun sendiri.

Penanganan nenas dengan pola contract farming nenas merupakan sumber penambahan pendapatan keluarga petani , baik yang memiliki lahan sedikit luas maupun terutama yang memiliki lahan relatif sempit. sistem kontrak pertanian dan industri kecil, khususnya yang terjadi di wilayah perdesaan. Permasalahan daam sistem kontrak ini adalah proses tawar-menawar (bargaining process) antara beberapa agen-agen (stakeholders) yang terlibat sebelum kontrak pertanian dilaksanakan (contractual problems). Karena pada masingmasing pihak, baik para petani maupun para pedagang/tengkulak biasa terkena pengalaman oleh keadaan kekurangan informasi sebelum kontrak disetujui, merupakan bagian yang penting dimana apabila hal ini terjadi, maka didalam sistem kontrak tersebut akan terjadi masalah-masalah yang akan menimbulkan pertentangan setelah kontrak disetujui (post contractual disputes), dan karenanya persoalan yang timbul bagaimana konflik tersebut dapat dicarikan solusi-solusinya. Adakah konflik-konflok tersebut muncul se


(33)

8

telah kontrak tersebut dilakukan dalam kontrak-kontrak pertanian dan industri kecil di wilayah perdesaan, maka kami menganggap bahwa permasalahan ini mempunyai bagian yang penting sebagai sumber informasi yang berharga untuk para pelaku sistem agribisnis, baik bagi para peneliti di bidang ini maupun untuk keperluan penentuan kebijaksanaan.

Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun 2001, maka peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk itu pemerintah kabupaten Subang dalam hal peningkatan sisi penerimaan perlu berupaya bagaimana potensi lokal yang ada dapat meningkatkan pemasukan kas daerah atau dengan kata lain sebagai kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) menyongsong era perdagangan bebas, kita dituntut untuk mampu bersaing/berkompetitif maka perlu adanya perhatian dan pemanfaatan potensi lokal yang ada seperti produk unggulan daerah untuk sub sektor industri kecil pengolahan hasil pertanian seperti pengolahan nenas, yang merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dapat berperan atau diperbesar peranannya sehingga nantinya output industri tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam peningkatan PAD serta kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Sistem kontrak pertanian yang terjadi dalam pertanian nenas di Kabupaten Subang,


(34)

9

2. Apa dan bagaimana peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustaine lembaga tersebut,

3. Bagaimana kinerja ekonomi usaha tani nenas di kabupaten Subang,

4. Bagaimana peran pemerintah terhadap proteksi harga input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

5. Bagaimana keunggulan komparatif, kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini mencakup :

1. Mengidentifikasi dan mengkaji sistem kontrak pertanian nenas di Kabupaten Subang,

2. Mengidentifikasi dan mengkaji peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustain lembaga tersebut,

3. Menelaah kinerja ekonomi usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

4. Menelaah peran pemerintah terhadap proteksi input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

5. Mengkaji keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.


(35)

10

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam memberikan arah pembangunan industri kecil beserta kelembagaan tataniaganya khususnya home industry nenas (khususnya Departemen/instansi pemerintah dan swasta) yang terlibat secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan home industry nenas sehingga dapat memberikan efek pengganda yang sebesar-besarnya di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat.


(36)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pembangunan Ekonomi

Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Pengertian pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Paling tidak menurut Goulet dalam Todaro (1999) pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance), jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom). Artinya pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian, keadaan fisik dan non fisik (Jayadinata, 1999).

Indonesia sebagai negara yang dibangun di atas konstitusi UUD 1945, haruslah mendasarkan pembangunannya termasuk pembangunan ekonomi pada amanat konstitusi dasar. Dengan demikian, ekonomi modern yang dibangun di atas bumi Indonesia tetap konsisten dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa sistem perekonomian yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi ekonomi yakni pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia adalah sumberdaya


(37)

12

manusia (tenaga, pikiran, waktu nilai-nilai, dan sebagainya) dan sumberdaya alam (lahan, keanekaragaman hayati, agroklimat tropis, dan lain-lain). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kerakyatan dimungkinkan jumlah penduduk, keanekaragaman sosial budaya masyarakat, dan sumberdaya alam dapat menjadi subyek dan modal pembangunan.

Pembangunan ekonomi nasional ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat luas. Hal ini merupakan konsekuensi langsung pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yakni melalui pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki rakyat dan keuntungan pelaku ekonomi (organisasi ekonomi). Bila pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya domestik dalam kerangka organisasi ekonomi kerakyatan, maka hasil pembangunan berupa gaji, upah, sewa, royalty, rent, profit secara otomatis akan diminati rakyat Indonesia.

2.2 Pembangunan Wilayah

Tantangan ekonomi utama yang dihadapi saat ini dan mempunyai keterkaitan penting dengan stabilitas sosial dan politik baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang terdiri dari dua permasalahan yang saling berkaitan, yaitu : (a) mempertahankan tingkat pendapatan nyata, dan jika mungkin meningkatkannya di tengah-tengah kendala sumberdaya dan dana yang terbatas, (b) meningkatkan lapangan kerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah terutama di wilayah perdesaan. Karena itu kebijaksanaan wilayah harus ditujukan untuk memperbaiki ketimpangan dan kesenjangan strukural sebagai proses penyesuaian


(38)

13

terus – menerus.

Dalam paradigma pembangunan wilayah yang menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat serta keberlanjutan pembangunan ekonomi.

Menurut Todaro (1999) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok – kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spritual.

2.3 Kelembagaan

Kelembagaan petani atau kelembagaan ekonomi masyarakat yang telah ada di lokasi merupakan modal bagi pengembangan kelompok agribisnis hortikultura. Upaya yang diperlukan adalah memberdayakan kelompok tani/agribisnis tersebut melalui pembinaan dan bimbingan intensif, sehingga dapat merubah cara pandang atau pola fikir menjadi pengelola kegiatan agribisnis secara baik dalam bentuk koperasi agribisnis, kelompok usaha agribisnis, kelompok usaha lainnya.


(39)

14

Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dalam meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang ada secara baik dan bijaksana. Kelompok tani merupakan kelompok swadaya masyarakat, terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk anggota, yang dibangun atas dasar kekuatan, kebutuhan dan tujuan bersama. Sebagai kelompok usaha, maka kelompok tani diarahkan agar mampu memanfaatkan berbagai peluang dan kesempatan berusaha serta meningkatkan usaha ke arah komersial, efisien dan profesional. Dengan demikian maka selanjutnya kelompok tani ini dapat berkembang menjadi kelompok agribisnis. Pengembangan kelembagaan usaha dalam rangka mengembangkan kelembagaan usahatani yang ada di masyarakat menjadi suatu kelembagaan usaha agribisnis. Beberapa komponen kegiatan yang tercakup dalam kegiatan pengembangan kelembagaan usaha adalah; 1) Inventarisasi kelembagaan usaha, 2) Penguatan/Pemberdayaan kelembagaan usaha, 3) Fasilitasi penumbuhan kelembagaan usaha.

Menurut Anwar (2000a) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game) dan organisasi, berperanan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara professional dengan produktivitas tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada


(40)

15

peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang berspesialisasi melalui pertukaran (exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain. Agar transaksi ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi, yang mencakup “aturan presentasi” dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut. Pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan :i) Transaksi melalui sistem pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumber-sumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. ii) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution).


(41)

16

Salah satu aspek industrialisasi perdesaan yang banyak dikembangkan dan diharapkan menjadi motor dalam proses pembangunan perdesaan sekaligus diharapkan dapat menambah devisa negara adalah agroindustri. Menurut Wilson (1986), secara umum pola contract farming memiliki kemiripan yang mencolok dengan usaha industri rumah tangga di luar sekor pertanian yang melakukan sub kontrak. Pada konteks ini, menurut Wilson, ada bentuk-bentuk hubungan dalam

contract farming yang perlu diamati secara cermat, yaitu hubungan kontrak pemasaran, hubungan kontrak produksi, dan integrasi vertikal (Wilson, 1986: 50-51). Implikasinya, kita dapat memiliki kejelasan mengenai kontrol yang diterapkan pemberi kontrak kepada petani produsen dan melihat keterlibatan inti atau pemberi kontrak dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani plasmanya.

Jadi dalam model contract farming ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan /menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah) yang kerap tidak bisa disetarakan dengan jumlah tenaga yang harus dikeluarkan. Pada banyak kasus, petani-petani tidak dapat terlibat di pasar bebas tersebut tidak mereka miliki. Akses yang bersifat infrastruktur maupun struktur pasar bebas dari komoditi-komoditi tertentu memang kerap tidak tersedia.

2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis Secara Vertikal


(42)

17

Didalam sistem agribisnis beberapa pakar berpendapat bahwa adanya kebutuhan untuk mengkoordinasikan rangkaian kegiatan antara manajemen penyediaan (supply) komoditi pertanian secara vertikal akan mendorong untuk menciptakan potensi yang menyangkut peranan baru dari kegiatan kontrak-kontrak pertanian. Kontrak tersebut merupakan sebagai salah satu cara untuk menghubungkan (yang saling membutuhkan) antara para petani kecil dan pengrajin kepada kegiatan- kegiatan di luar usahatani, sehingga dapat menjadikan komoditas pertanian menjadi bernilai tinggi di dalam pasar komoditi, terutama dalam hubungannya dengan liberalisasi ekonomi dalam menghadapi globalisasi perdagangan dunia yang akan diberlakukan tahun 2003. Oleh karena itulah dengan timbulnya persyaratan bagi sistem pertanian baru ini, dimana tata-niaga dan perdagangan komoditas bahan-bahan pangan dan non-pangan menjadi terlibat dalam kontrak-kontrak produksi maupun tataniaga dengan para petani dan industriawan di negara maju; atau bagi kepentingan Indonesia untuk mencapai koordinasi yang diperlukan, guna dapat mnyediakan (supply) dalam ukuran ketepatan jumlah, mutu maupun waktu penyampaian (delivery) dari komoditi pertanian yang diperlukan.

Sistem kontrak produksi pertanian dapat mempunyai berbagai bentuk-bentuk yang agak beragam, tetapi esensinya terdapat dalam bentuk kontrak pertanian dan industri kecil, dimana seorang pedagang/tengkulak berkontrak dengan para petani atau para pengrajin untuk membeli suatu jumlah dan kualitas dari hasil produksi pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang ditentukan dan disetujui secara bersama. Tingkat harga komoditas pertanian mungkin dapat menjadi tetap (fixed)


(43)

18

pada musim tanam atau tingkatnya ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran pasar pada musim panen. Dalam banyak pengalaman, terjadi manfaat/keuntungan bagi para petani dari adanya akses petani kepada informasi teknologi dan jasa-jasa penyuluhan yang diberikan oleh para pedagang/tengkulak. Sering juga para pedagang/tengkulak memberikan input-input (produksi) atas dasar kredit pendahuluan. Dengan adanya kontrak usahatani (contract farming) diharapkan akan mengurangi kerugian dari kedua resiko-resiko baik berupa resiko produksi maupun resiko tataniaga melalui jaminan yang meyakinkan terhadap sumber persediaan (supply) dengan persyaratan kualitas yang khusus dan waktu tertentu tertentu kepada pengolah hasil maupun kepada tengkulak perantara, dan menjamin kepada petani suatu pasar penjualan yang segera dapat dilakukan, sebagai saluran penjualan bagi hasil-hasil produksinya, maupun akses terhadap input-input yang diperlukan. Jenis kontrak ini sudah biasa dilakukan untuk tanaman tahunan (perennial) seperti kopi, kapas, dan yang bersifat musiman seperti sayuran yang diolah dan dikalengkan serta komoditi yang sangat mudah busuk (highly perishable commodities) termasuk sayur-sayuran dan susu. Praktek seperti ini banyak dilakukan baik di negara Afrika, di Asia (termasuk Indonesia), maupun Amerika Latin yang mempunyai pengalaman dalam kontrak-kontrak pertanian untuk kopi, teh, coklat, kacang-kacangan, susu, asparagus, tomat, terung jepang, kacang jepun (edamame), ocra, dll.

Kontrak pertanian, dari sudut lain tidak dapat dianggap sebagai suatu obat mujarab untuk segala penyakit (is not a panacea) dalam hubungannya dengan keperluan tujuan mengintegrasikan para petani kecil dalam kaitannya kepada pasar


(44)

19

global yang bernilai tinggi. Skim kontrak pertanian juga banyak dirundung persoalan-persoalan di masa lampau, seperti ketidakmampuan untuk memaksakan kontrak-kontrak (inability to enforce contract) kepada para petani, karena tidak seimbangnya kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power) antara para petani produsen atau pengrajin dan para pedagang perantara (tengkulak) yang biasanya mempunyai perilaku monopsonistik dari para tengkulak yang bersangkutan, dimana keadaan ini cenderung mengeksploitasi rente monopsoni (monopsony rent). Bahaya dari beberapa skim kontrak pertanian juga terjadi dimana bahwa kontrak tersebut sepertinya menggantikan otoritas para pengambil keputusan dari setiap petani dengan menyerahkannya kepada para pengolah bagian hilir (downstream processors), atau para distributor yang dapat menjadikan seolah-olah para petani itu sebagai semacam tenaga-kerja/buruhnya (quasiemployees).

Persoalan lain yang dihadapi pada kontrak pertanian atau industri kecil berhubungan dengan biaya-biaya transaksi per unit yang tinggi yang disebabkan oleh kontrak tersebut, yang sebagian harus ditanggung oleh para petani yang berskala kecil. Tambahan pula, dapat dipahami bahwa para petani ini menghadapi persoalan-persoalan yang lebih besar dalam memenuhi persyaratan kualitas dan keamanan hasil pertaniannya atau produk setengah (jadi) olahannya (intermediate products); dan karenanya dari pengalaman menunjukkan bahwa kontrak- kontrak pertanian dan industri kecil akan lebih menguntungkan bagi para pelaku agribisnis yang usahataninya berskala medium sampai besar, seperti yang dilaporkan oleh Key and Runsten (1999). Faktor-faktor ini dapat menyumbang kepada terjadinya bahaya bahwa para petani kecil yang mungkin akan tersisishkan (terkucilkan) dari


(45)

20

manfaat/keuntungan karena sistem pengaturan-pengaturan kontrak pertanian yang terjadi.

Jika kita menerima anggapan pendahuluan bahwa kontrak-usahatani merupakan suatu alat agar para petani kecil dapat betahan dalam keterlibatannya dengan pasar-pasar bersaing untuk produk-produk tanaman pertanian dan hasil peternakan bernilai tinggi (high valued crops), maka sekarang menjadi penting untuk dapat mengambil pelajaran dari kontrak-usahatani (contract farming) dan menggunakan institusi ini guna memperbaiki kelembagaan yang sedang bekerja dan sekarang berlangsung. Dengan melalui evolusi dan mengarah kepada kecenderungan yang meningkat kepada keperluan adanya koordinasi vertikal di bidang usaha pertanian, maka kerangka konsep teoritis untuk mengevaluasi perkembangan institusi yang menyangkut koordinasi tersebut juga mengalami evolusi secara dinamik. Beberapa kerangka dari evaluasi perkembangan tersebut juga mengalami beberapa perubahan- perubahan.

Beberapa aspek yang menyangkut apa yang disebut ekonomi institusional yang baru (New Institutional Economics, NIE) seperti teori kontrak (contract theory), hubungan-hubungan agensi (principal-agent relations); kontrak yang tidak lengkap (incomplete contracts), teori permainan (game theory), biaya-biaya transaksi (transactions costs), dan batas-batas kegiatan usaha (boundaries of the firms), sekarang menjadi pusat perhatian utama (key focus areas) seperti yang dikemukakan oleh Barry e.t al. (1992). Kerangka berpikir teoritis ini bermanfaat dalam upaya untuk menganalisis hubungan-hubungan antara petani (agent) dan koordinator/negosiator dari agribisnis (principal), dimana pengambilan keputusan


(46)

21

tentang luasnya (scope) dari koordinasi vertikal dan spesifikasi-spesifikasi kontrak yang berhubungan, dapat mempengaruhi posisi finansial dan kinerja dari kedua belah pihak principal dan agent. Dalam kontekstual kontrak-usahatani (contract farming), kerangka berpikir ini dapat dipergunakan untuk menganalisis dan memecahkan persoalan- persoalan yang secara khusus banyak menjadi kendala dan sering mengarah kepada putusnya hubungan-hubungan kontraktual pertanian maupun industri kecil di wilayah perdesaan.

2.3.1.2 Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan

Meskipun kontrak usahatani dapat bersifat informal di wilayah perdesaan, tetapi tujuan utama dari pengaturan-pengaturan kontrak adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian lebih besar dari resiko pertanaman (seperti bencana alam karena banjir dan kekeringan atau serangan hama dan penyakit) disamping juga untuk menangkal terhadap resiko yang datang dari terjadinya fluktuasi harga-harga (market risk) yang disebabkan oleh sifat dari komoditas pertanian yang mudah busuk (perishability). Adanya kemungkinan untuk mempertukarkan resiko (trading risk) yang secara teknis disebut asuransi (insurance) yang bila dilakukan secara formal pada pasar yang bersaing akan meminta biaya-biaya transaksi yang tinggi. Oleh karena itu di wilayah perdesaan untuk mengatasi resiko-resiko diatas dibentuk kontrak non-formal sebagai alternatif institusional yang berdasarkan mekanisme saling percaya mempercayai (trust building mechanism) antara para petani dan pedagang/tengkulak. Sistem kontrak non-formal ini dianggap lebih efisien jika


(47)

22

dilakukan melalui sistem kontrak tersebut di luar mekanisme institusi pasar ( extra-market institution) karena biaya-biaya transaksinya kecil, yang banyak disaksikan terjadi di wilayah-wilayah perdesaan. Dalam kenyataan, sistem pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian tradisional yang ukuran usahataninya kecil-kecil. Oleh karena itu sistem produksi pertanian seperti ini dicirikan oleh volume produk-produk yang dihasilkan dengan keadaan kualitas dan kuantitasnya terkena oleh ketidak-pastian (uncertainty), karena produksinya kecil-kecil yang selanjutnya menimbulkan ketidak pastian kepada pasar dengan mengalami fluktuasi harga-harga yang besar. Di pihak lain, karakteristik permintaan dalam pasar komoditi adanya jaminan (asuransi) produksi tidak bersifat homogen, jika dibandingkan dengan pasar komoditas indusri umpamanya.

Dengan sifat permintaan yang demikian, jika diterapkan kedalam struktur pertanian seperti di atas, yang didominasi oleh pertanian kecil-kecil itu, tidaklah mengherankan bahwa pasar jaminan (asuransi) formal tidak dapat dilaksanakan sehingga pasarnya tidak terwujud (missing market). Namun demikian, karena sifat permintaan terhadap penanggulangan resiko (asuransi) pada petani tetap ada, maka sifat permintaan tersebut mengalami fragmentasi karena lahan petaninya kecil-kecil yang jumlah petaninya berjuta-juta orang mempunyai kadar resiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu terjadinya persoalan kemungkinan petani beresiko tinggi, akan menimbulkan kesalahan dalam menseleksi mereka sebagai calon nasabah, maka akan timbul fenomena apa yang disebut adversely selection of risk, yaitu kemungkinan kesalahan menyeleksi mereka yang beresiko tinggi dibanding dengan mereka yang baik-baik. Masalah lain yang dihadapi pasar asuransi pertanian (crop


(48)

23

insurance) adalah adanya fenomena lain yang timbul karena terjadinya kelalaian pada nasabah yangtelah diasuransikan yang disebut cenderung mengalami kerusakan moral (moral hazard) (Anwar, 2003) , tetapi dalam pasar asuransi bidang pertanian tradisional yang mempunyai karakteristik bahwa hubungan antar individu di perdesaan lebih bersifat personal yang biasa menggunakan mekanisme norma sosial yang dianut dalam tatanilai masyarakat ini, maka dalam sistem asuransi tradisional, antara lain berlaku berdasarkan hubungan atas saling percaya mempercayai (trust building mechanism), sesuai dengan kebiasaan hidup dan adat masyarakat perdesaan yang berlaku di wilayah ini. Hubungan personal dalam kelembagaan masyarakat tradisional (berbeda dengan sistem harga yang

impersonal) mempunyai fungsi penting dalam menekan biaya-biaya transaksi pada sistem ekonomi perdesaan yang biasa menganut norma sosial dengan tatanan adat yang mengandung sanksi-sanksi dan ganjaran (rewards and sanctions) baik yang bersifat sosial maupun ekonomi. Keadaan fragmentasi pasar perdesaan yang masing-masing bersifat tidak lengkap (incomplete market), maka pasar asuransi perdesaan mengarah kepada pasar yang sifatnya tidak sempurna (inperfect market). Keadaan pasar seperti ini biasanya disebabkan oleh buruknya keadaan infrastruktur (terutama jalan, jembatan dan sistem komunikasi), seperti yang banyak berlaku di wilayah perdesaan di luar Jawa. Sehingga aliran informasi menjadi terbatas atau sulit penyampaiannya sama sekali, terutama yang dialami oleh masyarakat di wilayah yang jauh-jauh dan terisolasi.

Keadaan imperfeksi pasar yang berkaitan dengan keadaan lingkungan dan adat istiadat di atas, selanjutnya mendorong timbulnya berbagai sistem pengaturan


(49)

24

sosial (social arrangements) yang berupa norma-norma berfungsi sebagai subtitusi dari ketidak hadiran jaringan sistem legal yang lebih kompleks yang terdapat pada pasar jaminan asuransi formal. Pada pasar asuransi formal dengan kerangka sistem legal yang demikian, maka bentuk pasarnya bersifat yang lebih homogen (karena komoditas asuransi dibakukan dalam sistem legal yang serbasama) dengan para nasabahnya sama-sama juga memahami sistem tersebut, antara lain dicirikan oleh lebih jelasnya penegasan property right, aturan kontrak-kontrak yang formal yang dapat dilaksanakan (enforceable), sehingga lebih mengandung jaminan kepastian. Tetapi persyaratan-persyaratan pasar asuransi formal yang demikian tidak dapat diwujudkan dalam kebanyakan sistem ekonomi perdesaan. Karenanya persyaratan dan kondisi pasar asuransi formal ini di kebanyakan ekonomi perdesaan tidak dapat dipenuhi. Dengan tidak dapat dipenuhinya persyaratan tersebut, pengusaha asurasi formal akan meninggalkan segmen pasar asurasi pertanian di perdesaan, sehingga mudah menimbulkan terjadinya kekosongan pasar (vacuum). Di lain pihak dengan tingginya resiko di bidang pertanian, sebenarnya permintaan terhadap penanggulangan resiko (melalui asuransi) pada masyarakat perdesaan tetap besar, sehingga keadaan tersebut mendorong untuk munculnya upaya membentuk asuransi jenis lain yang menggunakan institusi sistem asuransi informal. Oleh karenanya dalam bentuk tradisional yang menyatu dengan adat kebiasaan/kultur masyarakat perdesaan, para petani sering berupaya untuk menanggulangi resiko membuat inovasi kelembagan baru yang berupa asuransi informal, seperti yang terdapat dalam praktek pembagian resiko (risk sharing). Cara-cara ini telah banyak dipraktekkan masyarakat pertanian di wilayah perdesaan, yang pada hakekatnya


(50)

25

merupakan bentuk pertukaran resiko dengan pihak petani lain melalui berbagai bentuk sistem aturan penyakapan lahan dengan cara-cara: bagi hasi maro, mertelu, dan sewa atau bentuk-bentuk institusi lain yang variasinya. Contoh lain dalam penanggulangan resiko pada masyarakat tradisional, sejak waktu dahulu, -- umpamanya dimana penerapan teknologi masih rendah (tradisional) --, maka resiko yang sering datang dari alam harus dihadapi petani dengan tegar. Oleh karena itu, untuk menanggulangi tersebut petani harus mencari seorang pelindung (patron) yang biasanya seorang petani kaya dengan mempunyai lahan luas. Namun sebaliknya, ketika suppy tenaga kerja masih terbatas, seorang patron juga membutuhkan tenaga kerja (client) yang terjamin (kesetiaannya), agar semua lahannya dapat digarap dengan berhasil baik. Dengan demikian, kedua pihak yang saling memerlukan mendorong pertukaran resiko masingmasing, sehingga terjadilah keadaan keseimbangan yang saling menguntungkan, yang mengarah kepada terbentuknya suatu kelembagaan yang disebut hubungan patron-client atau

principal-agent relations (menurut literatur ekonomi informasi).Dari sudut pandang ilmu ekonomi sebenarnya praktek asuransi seperti di atas merupakan tindakan pengelolaan resiko (risks management) yang mengakomodasikan kepentingan individu-individu untuk mempertukarkan resiko-resiko (to exchange the risks). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengatasi resiko kerugian karena kegagalan yang kemungkinannya lebih parah yang akan dihadapinya. Kemudian para produsen (petanipetani) yang bersangkutan dapat mentransfer resiko tersebut kepada pihak penjamin (insurer dengan melakukan 'pembayaran' tertentu dalam


(51)

26

bentuk premium harga yang biasanya lebih rendah dari harga pasar yang harus diterimanya.

Di wilayah perdesaan, kebanyakan para petani berupaya untuk mengatasi resiko, dengan mengelola resiko tersebut melalui cara kontrak informal. Tujuan dari pengaturan kontrak ini adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh resiko alami maupun resiko dari kejatuhan harga terutama apabila terjadi panen raya, karena sifat mudah busuk (perishability) dari hasil-hasil pertanian maka bilamana hasil tersebut tidak cepat dijual harganya akan jatuh sekali. Proses dalam mempertukarkan resiko ini tujuannya adalah untuk menghindari biayabiaya transaksi dari pasar asuransi formal yang biayanya jauh lebih tinggi (bila polis asuransi dibeli oleh petani dalam pasar asuransi formal). Oleh karena itu, melalui cara mempertukarkan resiko secara informal seperti melalui praktek ijon (hasil produksinya belum masak panen) yang didasarkan kepada saling percaya (trusts building mechanism) antara tengkulak dan para petani) dapat dipandang sebagai prosedur yang lebih efisien apabila dilakukan melalui institusi perdesaan yang banyak kita saksikan di wilayah-wilayah perdesaan. Seperti diketahui, resiko-resiko itu tidak dapat dihilangkan, tetapi untuk menghindari kerugian karena resiko, maka resiko dapat di-managed. Salah satu cara untuk memanage resiko tersebut adalah melalui pengaturan kontrak informal (seperti melalui future trading) dalam rangka

memanage resiko-resiko tersebut. Tujuan dari pengaturan kontrak itu karenanya untuk meminimumkan resiko kerugian yang lebih besar disbanding tanpa kontrak. Dalam kontrak informal biasanya petani dan tengkulak (traders) dimana petani menghadapi resiko kemungkinan kejatuhan harga pada waktu panen dan pedagang


(52)

27

menghadapi resiko dari tidak dipenuhinya volume yang akan dikirim kepada kontaktor yang lebih besar di kawasan kota (supper market misalnya). Oleh karena itu pengaturan kontrak memungkinkan individuindividu mempertukarkan resiko-resiko (exchanging risks) demi untuk memperoleh kepastian (certainty) dengan bayaran kerugian yang lebih kecil melalui kontrak informal. Cara kontrak informal ini ternyata memberikan biaya-biaya transaksi yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan melalui pasar asuransi formal. Resiko yang biasanya dihadapi oleh para pedagang adalah resiko tidak terpenuhinya volume hasil produksi kepada kontraktor diluar wilayah perdesaan, sehingga tengkulak membutuhkan upaya koordinasi dengan para petani untuk dapat memenuhinya dengan membayar kredit pendahuluan berupa ijon.

2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang pengumpul dengan Petani

Model contract farming ada yang memberikan peluang kepada pihak pengumpul untuk mengontrol proses produksi dan mengatur keuntungan yang bisa diraih, dapat dilihat dari bentuk kontrak dan bentuk pasar yang diciptakan. Meskipun untuk mencapai tujuan ini masih diperlukan faktor-faktor pendukung lainnya, seperti penguasaan manajemen usaha yang handal dan sistem kontrol yang juga handal. Penyimpangan ini terjadi karena tidak terpenuhinya kedua hal di atas. Banyak petani sering menjual hasil – hasil produksinya keluar . Kebebasan yang dimiliki petani tidak melulu disebabkan oleh kondisi lingkungan yang masih memungkinkan petani untuk menjual hasil pertaniannya ke luar pihak, melainkan karena tidak diterapkannya sanksi-sanksi hukum secara nyata yang menyertai ikatan-ikatan yang


(53)

28

telah ditentukan dalam kontrak. Sehingga struktur pasar yang direncanakan merupakan pasar bebas-monopsoni sedangkan struktur pasar yang berkembang merupakan pasar bebas-pasar bebas. Melihat struktur pasar tersebut tampak bahwa petani dalam contract farming memiliki kebebasan dan keberdayaan untuk menerobos tekanan struktur ikatan contract yang melingkupinya. Keberdayaan yang dimiliki pihak pengumpul lebih disebabkan oleh pihak pengumpul yang tidak mengembangkan mekanisme pengikat agar petani tidak bebas bergerak. Pihak pengumpul tidak memberikan dana kepada petani akibatnya tidak dapat mengikat petani. Ikatan kontrak tidak disertai oleh sanksi hukum.

Dalam hal ini perlu diciptakan struktur pasar, yang memberikan peluang usaha untuk menguntungkan pihak petani dari pada perusahaan/ pihak pengumpul. Apapun bentuk hubungan kontrak yang terjalin, pada hakekatnya perusahaan/ pihak pengumpul ingin menguasai pasar agar kendali harga pembelian hasil produksi maupun penjualan input dapat memperbesar keuntungannya dan proses akumulasi kapitalnya bisa berlangsung terus. Oleh karena itu, model pasar monopoli-monopsoni merupakan satu model ideal bagi suatu perusahaan/ peagang pengumpul yang mengembangkan hubungan produksi dengan petani kecil melalui kontrak. Pada satu sisi, jaminan kualitas hasil produksi yang bisa terkontrol selalu menjadi alasan untuk menguasai pasar atau menciptakan pasar yang monopolis.

Alasan kualitas hasil produksi ini kemudian selalu dimanfaatkan untuk menguasai aspek-aspek produksi yang seharusnya menjadi porsi dan hak petani untuk menentukannya, jika pasar yang berkembang adalah pasar bebas atau jika petani mendapatkan satu perlindungan penuh dari negara. Pasar yang monopsonis


(54)

29

kemudian dibangun melalui penutupan akses informasi terhadap pasar lainnya. Dengan kata lain, pasar yang dapat dikendalikan sektor privat akan selalu diupayakan oleh perusahaan/ pedagang pengumpul yang berkembang di alam kapitalisme. Untuk kepentingan ini mereka akan melakukan apa saja, termasuk membangun kerjasama dengan negara baik secara langsung maupun melalui kebijakan negara yang telah imbas tidak lagi mementingkan perkembangan ekonomi rakyat secara nyata, bukan di tingkat slogan dan retorika.

Salah satu fungsi utama pasar yang efisien adalah memberikan fasilitas bagi arus informasi harga. Secara ideal, harga aktual yang terbentuk berdasarkan informasi tersebut harus mencerminkan kondisi penawaran dan permintaan produk. Harga yang efisien sebenarnya dapat memberikan sinyal mengenai kelangkaan sumberdaya dan pereferensi konsumen (Adamowicz et al., 1984). Pada kenyataannya, penetuan harga yang efisien tersebut sangat sukar dilakukan karena adanya interaksi kompleks berbagai faktor di dalam sistem pemasaran. Besaran aktual dari suatu harga yang efisien sukar untuk diestimasi, namun informasi menyangkut arah perubahan harga (a lead or a lag structure – direction of price change) dapat pula digunakan sebagai indikator berkaitan dengan isu efisiensi penetapan harga (Higginson et al., 1988).

Perusahaan / pedagang pengumpul sangat bergantung pada situasi pasar yang harus mereka hadapi untuk memasarkan hasil produksinya lebih lanjut. Namun, selama mereka masih bisa masuk kedalam pasar ini boleh dikatakan situasinya lebih baik dibanding dengan situasi yang harus dihadapi petani di pasar tertutup akibat hubungan kontraknya dengan pihak perusahaan / pedagang


(55)

30

pengumpul. Ketika harga hasil produksi perusahaan/pedagang pengumpul mengalami penurunan, mereka masih dapat menekan petani untuk memikul bebannya dengan cara merendahkan kembali harga beli atau menolak menerima hasil produksi dengan berbagai teknis yang sebetulnya merupakan upaya untuk mengontrol optimalisasi produksi. Sementara itu, petani harus menerima tekanan ini karena mereka terikat kontrak dengan pihak perusahaan/pedagang pengumpul dan posisi tawar mereka lebih rendah dibanding dengan posisi tawar pihak perusahaan/pedagang pengumpul. Melalui struktur pasar tertutup yang dibangun antara perusahaan / pedagang pengumpul dan petani, perusahaan/ pedagang pengumpul dapat memperkecil resiko kerugian dengan cara melimpahkannya kepada petani yang “harus” menerimanya.

2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial

Kontrak melalui ikatan kredit bersifat kompleks dan elusif benar-benar ditegakkan secara mandiri, tanpa melibatkan aturan formal atau mediasi organisasi formal/semi formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta asosiasi petani buah-buahan/sayur-sayuran. Sayangnya, terdapat sejumlah informasi yang menyebabkan kontrak menjadi bias seperti tidak ada petani yang dikenakan denda karena menjual hasil panen sayuran kepada selain tengkulak yang telah memberikan kredit kepada mereka. Mengapa hal ini dapat terjadi, karena petani merasa malu atau takut untuk melakukan tindakan tercela (moral hazard) tersebut karena reputasi mereka akan jelek di mata masyarakat. Tekanan sosial baik rasa malu ataupun rasa takut merupakan implikasi keberadaan norma sosial untuk menghukum petani berlaku curang terhadap petani lainnya. Mekanisme penegakan


(56)

31

melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila petani dan tengkulak merupakan anggota masyarakat desa yang sama, dimana anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara geografi maupun karena hubungan kekerabatan/persahabatan. Aksi spontan secara bersama-sama yang diorgani-sasikan dalam sebuah desa bertujuan untuk menghindari masalah penunggang gelap (free riders), tentu saja mekanisme penegakan yang kuat tersebut hanya akan efektif diterapkan dalam komunitas masyarakat yang kecil. Keberadaan norma semacam itu akan meneyebabkan bias yang luas dalam penetapan biaya kontrak, dimana tidak hanya pembias yang mengalami kerugian dalam kontrak sedang berjalan. Di masa mendatang reputasi petani tersebut menjadi buruk dimana ia tidak memiliki peluang memperoleh kontrak kredit dengan anggota masyarakat yang lain.

Mekanisme penegakan kontrak melalui norma sosial tidak hanya berlaku bagi petani tetapi juga tengkulak. Meskipun tidak dirinci secara eksplisit, hal ini dapat diasumsikan bahwa petani menerima harga penjualan hasil panen secara adil, yang dikonseptualisasikan sebagai perbedaan harga jual tengkulak dengan standar keadilan bagi semua anggota masyarakat di dalam komunitas tersebut. (perspektif yang berbeda dengan konsep tersebut dikenal dengan teori dilemma pedagang /

theory of traders dilemma ). Tegkulak akan dikenakan sanksi sosial, jika mereka menyebabkan bias secara signifikan terhadap klausul kontrak yang implisit tersebut yang mengharuskan membayar produk petani berdasarkan harga yang adil. Hal ini dibuktikan dengan adanya seorang tengkulak yang beroperasi di wilayah penelitian (walaupun hanya isteri keduanya berasal dari desa tersebut) dihentikan suplainya


(57)

32

oleh petani karena melakukan pembayaran harga yang tidak adil. Secara de facto penghentian tersebut diorganisasi oleh petani berdasarkan norma sosial dan aliran informasi yang lengkap dalam sebuah desa. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya mengakui bahwa dalam pasar yang bersaing akan membuat sanksi tersebut menjadi lebih dapat dipercaya (reliable).

Petani sayur – mayur atau buah-buahan biasanya melakukan penjualan produk secara kontinu berdasarkan harga yang ditawarkan oleh tengkulak yang menjalin ikatan kredit kontrak dengan petani. Namun hal ini tidak berarti kekuatan monopoli berada di tangan tengkulak. Dalam pasar yang lebih kompetitif, petani dapat dengan mudah beralih kepada tengkulak lain pada musim berikutnya, jika harga yang ditawarkan tengkulak jauh lebih rendah secara relatif terhadap harga pasar. Namun, tentu saja kekuatan monopsoni dapat menangkap rente monopsoni (suatu kelebihan di atas rata-rata keuntungan) dari aktivitas ekonomi, ketika tidak terdapat pesaing lain dalam pasar produk lokal. Berikut merupakan diagram yang menggambarkan informasi unsure-unsur yang berpengaruh terhadap posisi rebut tawar dalam kontrak agribisnis dalam kaitannya dengan peranan sejarah dan tradisi dalam norma sosial jauh sebelum kontrak itu terjadi, khususnya yang berperan dalam terciptanya kontrak pertanian dan agribisnis ke arah perubahan kelembagaan dan akumulasi asset baik pada tingkat petani maupun pedagang.


(58)

33

Aset Perdagang :

- Pendidikan,

- Pengalaman

- Lahan

- Rumah

- Aset lain

- Keuangan

- Sosial

Aset Petani : - Pendidikan - Pengalaman - Lahan usaha

- Aset lain seperti rumah

- Pendapatan, - Sosial

Penerapan agribisnis : - Pengawasan kualitas

/ kuantitas,

- Metode pembayaran, - hubungan kerjasama

dan jaringan kerja, - Perjanjian kontrak - Penggunaan antara, - Pencarian informasi - Pengukuhan hak - Penegakan hukum, - I nvestasi &spesialisasi


(59)

34

Gambar 1. Hubungan Unsur-unsur yang Dapat Mempengaruhi Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak Pertanian di Wilayah Perdesaan. 2.3.1.5 Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon

Kontrak-kontrak non-formal dalam aktivitas agribisnis traditional biasa dilakukan oleh para pengumpul antar-desa (inter-village collectors) yang menciptakan kelembagaan untuk memastikan more exact persiapan dan koordinasi dalam mengumpulkan produk-produk pertanian seperti buah-buahan dan sayuran kedalam ukuran volume yang besar guna dikirim ke kota-kota besar seperti Jakarta melalui cara ikatan kredit pendahuluan (tanpa bunga) yang sering disebut ijon

Aktivitas Komersial : - Penjualan

- Transportasi - Penyimpanan,

- Transformasi(bentuk,ukuran)

- Biaya operasi Tetap,

- Biaya operasi variabel

- Biaya variabel pemasaran, - Biaya transaksi

Kinerja :

- Biaya,

- Marjin,

- Keuntungan.

- Arbitrase Antar Wilayah (Perdagangan antar wilayah ) - Arbitrase antar waktu

(Penyimpangan)

- Arbitrase antar bentuk (pengolahan).


(60)

35

(masih hijau) kepada para tengkulak pengupul di perdesaan untuk jaminan agar produk-produk yang telah dikumpulkan dapat dihimpun kepadanya. Ikatan kredit kepada tengkulak tingkat bawah (di suatu desa) oleh tengkulak tingkat atas (antara desa) banyak dilakukan untuk jagung dan kedele misalnya. Untuk komoditi pertanian tengkulak antar desa sering memberikan kredit pendahuluan jangka pendek) kepada pengumpul di desa atau kampong untuk membeli komoditi pertanian yang dapat disimpan kepada petani. Dalam pemasaran buah-buahan dan sayuran ikatan kredit dilakukan antara tengkulak dan petani (pada masa hasil produksi masih hijau) untuk menjamin bahwa pengiriman penjualannya oleh petani kepada tengkulak ilakukan secara tepat, karena tengkulak harus memastikan volume kiriman kepada kontraktor lain diluar desanya. Pemberian kredit oleh tengkulak juga dapat berbentuk pupuk atau pestisida, terutama hal ini terjadi pada petani buah-buahan atau sayuran pada musim tanam atau musim pemupukan pohon. Bahkan dalam hal petani buah mangga, bantuan kredit tersebut bukan hanya berbentuk barang atau uang, tetapi juga alat memetik buah dengan gunting agar buah mangganya bersih, tidak mengandung getah. Meskipun perjanjian kontrak tidak tertulis, tetapi secara implicit dalam kontrak tersebut mengandung bagian sanksi bahwa apabila petani yang sudah diberi kredit pendahuluan menjual hasilnya kepada tengkulak lain dapat dikenakan denda (mungkin beberapa ratus rupiah per kilogramnya) yang dikenakan kepada petani yang melanggar.

Biasanya pembayaran kembali kredit dilakukan dengan mengurangkan dari pendapatan penjualan hasil buah-buahan atau sayuran pada waktu panen. Namun skedul pembayaran kredit dapat dilakukan secara fleksibel tetapi pada umumnya


(61)

36

dalam selang waktu dua atau tiga bulan. Ikatan kredit pada buah-buahan dan sayuran tujuan utamanya adalah untuk jaminan ketepatan pengiriman dalam jumlah dan waktu untuk komoditas mudah busuk dalam system pemasarannya dan bukan karena sekedar untuk memperoleh uang atau pupuk dan pestisida saja. Ikatan kredit umpamanya tidak terdapat pada tanaman tembakau, karena petani memerlukan pupuk dan pestisida yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh petani sayuran dan buah-buahan. Apabila para petani diikat oleh kredit pendahuluan oleh para tengkulak di suatu desa, tengkulak di desa itu juga diikat oleh kredit dari tengkulak antar-desa. Untuk memberikan kredit dalam bentuk pupuk, tengkulak di desa memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa berupa uang cash dengan syarat ketentuan yang sama sebagaimana kontrak yang dilakukannya dengan para petani. Untuk kedua tengkulak desa dan antardesa, sukubunga yang dikenakannya tidak secara jelas ditentukan.

Biasanya kredit dari tengkulak antar-desa untuk membeli komoditi yang dapat disimpan seperti kedele menggunakan kredit dengan jangka waktu sangat pendek, mungkin kurang dari seminggu sehingga sukubunga yang dikenakan sangat kecil atau diabaikan. Dalam hubungan dengan yang terakhir ini, maka kiranya kurang masuk akal, apabila kredit tersebut tidak dikenakan sukubunga untuk masa dua bulan, mengingat di wilayah perdesaan biasanya dicirikan oleh ekonomi dengan kelangkaan modal yang ketat di wilayah perdesan dan tingginya sukubunga. Tetapi mengingat para tengkulak memerlukan jaminan ketepatan waktu dan jumlah pengiriman barang pertanian yang dihimpun dari para petani, maka pemberian kredit


(62)

37

tanpa bunga (dapat) merupakan bayaran yang harus ditanggung tengkulak untuk memperoleh kepastian perolehan barang yang lebih besar.

Cara lain dalam kontrak antara petani dan tengkulak biasa dilakukan dengan menggunakan perbedaan harga-harga (differential prices) pupuk dan pestisida. Tengkulak dapat membeli input-input ini dalam jumlah besar dengan memberikan kredit pendahuluan kepada banyak petani dimana pembelian input oleh tengkulak dikenakan harga yang lebih rendah dibanding dengan pembelian masing masing petani yang jumlahnya lebih kecil. Umpamanya jika tengkulak dapat membeli pupuk dari pedagang agent (dealer) besar di kawasan perkotaan dalam jumlah besar biaya pembelian beberapa ton termasuk biaya transportnya akan lebih kecil, sedangkan harga yang dikenakan kepada para petani lebih tinggi dimana pada tingkat harga ini sama yang dibayar oleh petani untuk membeli pupuk satu dua karung kepada kios-kios pupuk di desa-desa. Dengan cara ini, tentunya operasi kredit tengkulak di desa menjadi menguntungkan, terutama jika tengkulak desa tersebut memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa dengan pinjaman tanpa bunga. Jika dia harus mengoperasikan dana untuk dipakai sebagai kredit pengikat, maka biaya kredit tersebut akan hampir sama besarnya dengan bunga yang diperolehnya. Sekarang bagaimana sukubunga dikenakan kepada kredit pendahuluan dari tengkulak antar-desa kepada tengkulak di dalam antar-desa?. Biaya kredit (suku bunga) untuk tengkulak antar-desa biasanya jauh lebih rendah dibanding dengan tengkulak di dalam desa, karena tengkulak antar-desa lebih mempunyai agunan (kolateral) dan sebagian karena besarnya jumlah pinjaman juga lebih besar, sehingga biaya transaksi per unitnya jauh lebih kecil. Demikian pula karenanya jangka waktu kreditnya lebih


(63)

38

pendek bagi tengkulak antar-desa disbanding dengan jangka waktu kredit tengkulak di dalam desa. Biasanya tengkulak antar-desa mempunyai ikatan kontrak kredit dengan banyak tengkulak-tengkulak pengumpul di beberapa tempat yang satu sama lain berbeda dalam keadaanlingkungannya dimana musim-musim bertanam dan panennya berbeda pula. Oleh karena itu tengkulak antar-desa dapat memulihkan kreditnya kembali dari tengkulak dalam desa diberbagai tempat satu per satu secara terus menerus dimana dia dapat memotong pembayaran kembali kredit yang telah diberikannya dari hasil penerimaan pendapatan sejumlah besar penjualan buah-buahan dan sayuran yang disampaikan kepadanya dari beberapa musim dalam setahun. Dari hasil perolehan pembayaran kembali kredit tersebut dari salah satu desa pada musim panen, maka dia dapat memberi dana kredit kepada tengkulak di desa lain pada musim tanam. Dengan cara ini maka kredit jangka panjang itu dapat dirubah menjadi kredit bergulir untuk jangka pendek dengan menghemat secara nyata sukubunga yang dikenakan. Meskipun biaya kredit tersebut dapat hemat untuk tengkulak antar-desa, tetapi besarnya masih positif dan cukup besar. Rupanya mereka para tengkulak harus menanggung biayabiaya yang harus dikurangkan dari keuntungannya, demi untuk memperoleh jaminan (dengan kordinasi lebih baik) antara produksi usahatani dan pemasaran dari komoditi pertanian yang umumnya bersifat mudah-busuk (perishable) guna dapat dikirim kepada pasar-pasar yang lokasinya jauh.

2.3.1.6 Mekanisme Masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak yang Dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement)


(1)

Ekonomi dan Sosial Perdesaan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

______, 2001a. Dasar-Dasar Teori Agency. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

______, 2001b. Usaha Membangun Asset-Asset alami dan Lingkungan Hidup Pada Umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan ekonomi Masyarakat Kearah Berkelanjutan. Bahan Diskusi Serial di Lembaga Alam Tropika (LATIN). Bogor.

______, 2001c. Pentingnya Peranan Hukum Dalam Menjamin Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan. Makalah Seminar. Fakultas Ekonomi, Universitas Ibnu Khaldun. Bogor.

______, dan Rustiadi. 2001. Perspektif Pembangunan Tataruang (Spasial) Wilayah Perdesaan Dalam Rangka Pembangunan Regional. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor

Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE Jakarta.

Audretsch, O.B. 1996. Technology Regimes, Industrial Demography and Evaluation of Industrial Structure WP 96-42 . International Institute for Applied System Analysis. Austria.


(2)

Azzaino, Z. 1981. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Bardan, P. 1989. Alternative Approach to The Theory of Institution in Economic Development (P.3-17_. The Economic Theory of Agrarian Institutions. Claraendon Press, Oxford Univ. Press. New York.

Darusman. D. 1981. Pengantar Perencanaan Pembangunan Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Gittinger, J. Price. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects 2nd Completely Revised and Expanded. UI – Press~ Johns Hopkins University Press.

Glasson, J. 1974. Pengantar Perencanaan Regional (terjemahan) Paul Sihotang. LPFE- UI. Jakarta.

Gujarati, Damodar. 1996. Basic Econometrics, McGraw-Hill, Inc. Gunawan. 1996. Pengantar Ekonometrika, BPFE, Yoyakarta.

Haris, U. 1999. Analisis Ekonomi Kelembagaan Tataniaga Bahan Olahan Karet Rakyat (BOKAR): Suatu Pendekatan Hubungan Principal- Agen. Program pasca Sarjana IPB. Bogor.

Hartveld, Aard. 1985. The Nucleus Estate and Smallholders Development Program In Indonesia : The Origine, the Development and the Prospects for Smallholders. Paper Penelitian, Institute of Social Studies.

Hayami, Y. and V.W. Ruttan, 1984. Agricultural Development, An International Perspective. The John Hopkin University Press, Baltimore and London.


(3)

______, 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Perspective from Sunda Village. CGRT. Bogor.

Indaryati, Yoyoh, Yultifah R dan Mangara Tambunan. 1991. Dampak Pelaksanaan Pola PIR Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Usahatani : Kasus Industri Pengolahan Nenas di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Project Working Paper Series No. : A-29, Proyek Penelitian Sektor Non- Pertanian Pedesaan Jawa Barat, Bogor; PSP-IPB.

Jayadinata, JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan., Perkotaan dan Wilayah Edisi Ketiga. Penerbit ITB Bandung.

Karla Hoff, dkk. 1997. The Economics of Rural Organization, Published for the World Bank Oxford University Press.

Kartono, 1987. Dampak Industri Manufacturing Dalam Pembangunan Wilayah. Publikasi Geografi No. 10.

Mandala, GS. 1989. Introduction to Econometrics, Macmillan Publishing Company, New York.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Pengantar Ekonomi Pertanain. Penerbit LP3ES. Jakarta.

Nancy, 1988. Usaha Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia. Di Pasar Internasional Melalui Efisiensi Pemasaran. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Napitupulu, Tom E.M. 1987 Sistem Ekonomi Susu dan Peternakan Sapi Perah di Jawa Tengah. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor; Institut Pertanian Bogor.


(4)

Nugroho, Heru. 2000. Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di jawa. Pustaka Pelajar ~ Center for Critical Social Studies (CCSS). Yogyakarta.

Pakpahan, 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi Prosiding PATANAS Evolusi Kelembagaan Perdesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Puslit Agroekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Simatupang, P. 1994. Prosiding Seminar Sehari Peranan Strategis Industri Kecil dalam PJPT II Jakarta, 22 Juli 1993. LP UKI Press Jakarta.

Sinungan M, Maret 1990 Manajemen dan Bank, Jakarta.

Soetrisno, Loekman. 1989. Masalah dan Prospek PIR-BUN, dalam Prisma No. 4/1989, halaman 65-72.

Tambunan, Tulus TH. 2000. Perekonomian Indonesia. Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia.

Todaro, MP. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 1 Edisi Keenam (Terjemahan). Penerbit Erlangga.

White, Benjamin. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan, dalam Sayogyo dan M. Tambunan (ed), Industrialisasi Pedesaan, halaman 199-250. Jakarta : Sekindo Eka Jaya.

Williamson, O.E. 1985. The Economics Institutions of Capitalism. The Free Press, A Division of Macmillan, Inc.. New York.


(5)

---, 1998. Beberapa Aspek dari Analisis Ekonomi Biaya – biaya Transaksi, IPB Bogor.


(6)