Sejarah Toping-Toping Analisis Pertunjukan Toping-Toping oleh Tiga Kelompok Toping-Toping pada Pesta Rondang Bittang ke XVIII di Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun

36

BAB III Pertunjukan

Toping-toping dalam Upacara SayurMatua dan Pesta Rondang Bittang

3.1 Sejarah Toping-Toping

Sistem tradisi kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Simalungun pada umumnya dilakukan secara oral dan dilanjutkan secara regenerasi maupun alamiah. Eksistensi suatu kebudayaan dapat dilihat hingga saat ini disebabkan oleh masyarakat pendukungnya yang turut berpartisipasi dalam menjalani aktivitas budaya tersebut. Melihat budaya yang hidup dapat dilihat dari kesadaran masyarakatnya untuk mengetahui pentingnya kebudayaan dalam segala aktivitas masyarakat tersebut. Sehingga tradisi kebudayaan hingga saat ini dapat bertahan dengan melihat bagaimana suatu masyarakat menyalurkan maupun menyampaikan suatu tradisi kebudayaan kepada generasinya. Proses penyampaian suatu tradisi kebudayaan dilakukan secara oral baik itu dalam bentuk pembelajaran, pemahaman, dan bahkan dalam bentuk cerita maupun sejarah. Terkait dengan tulisan ini tradisi toping-toping, penulis melihat bagaimana tradisi ini tetap hidup dalam masyarakat Simalungun. Keberadaan tradisi toping-toping ini pada awalnya tidak dilihat bagaimana proses pembelajarannya melainkan bagaimana tradisi toping-toping ini muncul dalam masyarakat Simalungun. Sejarah yang menceritakan tradisi ini memberikan pemahaman terhadap aktivitas budaya yang terdapat dalam masyarakat Universitas Sumatera Utara 37 Simalungun hingga saat ini dan hal ini dapat dilihat dari bagaiamana peran tradisi ini digunakan dalam suatu aktivitas budaya tersebut. Adapun sejarah yang menceritakan tentang awal mula tradisi toping- toping ini diasumsikan oleh kalangan masyarakat Simalungun dengan berbagai versi. Mengingat kebudayaan sifatnya tidak statis maka sejarah yang menceritakan tradisi toping-toping ini memiliki cerita yang berbeda walaupun masih dalam satu masyarakat. Tetapi cerita yang dianggap sejarah ini bukan menjadi penentu kebenaran dari cerita sebenarnya, mengingat sebuah cerita rakyat atau foklor sifatnya fleksibel yang memberikan beberapa macam versi maupun asumsi atas cerita tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis tidak melihat dari sudut pandang kebenaran akan cerita ini melainkan asumsi masyarakat akan cerita ini yang merupakan suatu kebudayaan terlebih kesenian yang berada di tengah- tengah kehidupan mereka. Selama penelitian lapangan yang membahas tentang tradisi toping-toping ini, penulis mendengar dua versi yang memunculkan kesenian toping-toping ini dalam masyarakat Simalungun. Ketika berbicara tentang sejarahnya, penulis telah melakukan wawancara dengan salah seorang informan yaitu bapak Riduan Purba selaku seorang penari huda-huda. Menurut keterangan beliau, munculnya toping- toping berawal dari meninggalnya seorang putra mahkota kerajaan Simalungun yang mengakibatkan kesedihan dan keharuan pada keluarga kerajaan. Dan lebih sedihnya permaisuri raja yang tidak bisa menerima kenyataan atas meninggalnya puteranya tersebut. Sang permaisuri selalu menangis di depan jenazah anaknya tersebut hingga tidak mengijinkan siapapun untuk mengebumikan puteranya Universitas Sumatera Utara 38 tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran untuk sang raja akan kesehatan sang permaisuri dan juga kondisi jenazah yang sudah mengeluarkan bau tidak sedap sampai-sampai sang raja memerintahkan anggota keluarga kerajaan hingga masyarakat kerajaan untuk membujuk permaisuri tetapi tetap tidak berhasil. Berita ini tersebar di seluruh masyarakat kerajaan sehingga suatu saat ada beberapa orang masyarakat kerajaan yang berprofesi sebagai paragat di sebuah ladang di tengah-tengah hutan. Pada saat mereka memasuki ke tengah hutan dalam perjalanan tiba-tiba jatuh beberapa pelepah pohon yang menarik perhatian beberapa bodat kera. Pada awalnya kera-kera tersebut hanya melihat-lihat pelepah tersebut sembari para paragat tersebut memperhatikan tingkah kera-kera tersebut. Begitu lucunya kera-kera tersebut yang mengambil pelepah kayu dan memasangnya tepat di wajah kera tersebut layaknya menggunakan sebuah topeng. Hal ini membuat para paragat tersebut tertawa terbahak-habak melihat kelucuan kera tersebut, dan di waktu yang sama tiba-tiba datang seekor burung enggang yang sedang memperhatikan tingkah kera tersebut juga. Burung enggang tersebut memperhatikan kera tersebut sambil menggoyangkan ekor dan badannya yang sebenarnya menunjukkan pembelaan diri si burung enggang yang melihat tingkah aneh kera-kera tersebut. Pada saat melihat kejadian seperti inilah salah seorang paragat tersebut memberikan sebuah ide untuk meghibur si permaisuri yang bersedih atas meninggalnya putranya dengan meniru kelakuan si kera dengan topengnya dan tingkah si burung enggang yang lucu. Keesokan harinya seluruh kerajaan gempar akan kehadiran tari toping-toping atau huda-huda yang ditampilkan oleh para paragat tersebut di halaman kerajaan. Keramaian penonton Universitas Sumatera Utara 39 dari masyarakat kerajaan hingga anggota keluarga kerajaan menarik perhatian atas pertunjukan tari tersebut. Dan seketika itu juga permasiuri ikut melihat pertunjukan tersebut ke luar halaman sehingga ada kesempatan untuk mengebumikan jenazah puteranya tersebut. Melihat situasi tersebut raja memerintahkan untuk segera mengebumikan jenazah puteranya tersebut karena si permaisuri sudah terhibur dengan pertunjukan toping-toping tersebut. Begitulah salah satu cerita yang menjelaskan sejarah timbulnya tradisi ini dalam masyarakat Simalungun dahulunya. Dari sisi pandangan sebagian masyarakat Simalungun terkait sejarah tradisi toping-toping ini memiliki cerita yang berbeda dari cerita yang di atas. Adapun cerita lain disebutkan juga Versi yang lain yang menceritakan sejarah tradisi ini diawali pada saat meninggalnya seorang raja dalam masyarakat Simalungun dulunya. Kabar dan perasaan duka tentu dialami oleh keluarga kerajaan dan bahkan rakyat kerajaan tersebut. Dan lebih sedih lagi adalah sang permaisuri ataupun istri raja yang tidak dapat merelakan kepergian sang raja. Adapun alasan utama sang permaisuri tidak merelakan suaminya tersebut disebabkan oleh “kejantanan” sang raja dalam melayani sang permaisuri. Oleh alasan itulah permaisuri tidak dapat merelakannya hingga rakyat pun resah dengan kondisi jenazah sang raja yang sudah mulai mengeluarkan bau tidak sedap. Untuk itu salah seorang dukun di kerajaan itu mencari inspirasi agar dapat mengubur jenazah sang raja, dan singkat cerita terpikirlah untuk menarikan tari lucu dengan menggunakan topeng dan juga burung enggang di depan kerajaan. Dengan dilaksanakannya salah satu ide dukun ini, akhirnya perhatian sang permaisuri Universitas Sumatera Utara 40 tertuju kepada hiburan tari toping-toping dengan huda-huda ini. Sehingga dengan diam-diam rakyat mengubur jenazah sang raja, sampai akhirnya sang permaisuri mengetahuinya dan menerimannya. Secara fungsional dapat dilihat persamaan dari kedua cerita tersebut yang menjelaskan digunakannya tari toping-toping ini untuk menghibur sang permaisuri raja dan dengan konsep dalam situasi duka atau atas meninggalnya seorang putra raja maupun rajanya. Sejarah dari tradisi ini yang sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Simalungun dan terlebih pengaplikasiannya terhadap aktivitas budaya yang dilakukan. Tradisi toping-toping hingga saat ini masih tetap digunakan oleh masyarakat Simalungun dengan konsep-konsep ritual dan musikal yang menunjukkan identitas dari sejarah yang membawanya hingga sekarang.

3.2 Upacara Sayur Matua